MENUJU PERTANIAN ORGANIK

SELAMAT DATANG

Jumat, 30 September 2011

Bakteri Rumen Sapi untuk Pertanian Organik


Bakteri Rumen Sapi untuk Pertanian Organik


KabarIndonesia - Bakteri Rumen Sapi adalah hasil pengembangan bakteri mikrobia yang bersumber dari rumen sapi, dengan teknis pengembangan secara sederhana dan murah. Bakteri ini  sangat membantu peningkatan  petani dalam pengembangan pertanian yang berwawasan pada pelestarian kesuburan tanah dan sumber daya alam.
Bakteri Rumen Sapi terdiri dari kumpulan beberapa mikro organisme yang sangat bermanfaat dalam proses pengolahan pupuk kandang, kompos, pupuk organik cair, dan sekaligus mampu memperbaiki tingkat kesuburan tanah dan memberi kehidupan di dalam tanah.

Mikroorganisme yang terdapat di dalam Bakteri Rumen Sapi dapat meningkatkan fermentasi limbah dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan unsur hara untuk tanaman, serta menekan aktifitas serangga, hama dan mikroorganisme patogen.

1. Cara Kerja Bakteri Rumen Sapi
- Menekan pertumbuhan patogen tanah
- Mempercepat fermentasi pupuk, sampah organik dan urine
- Meningkatkan senyawa organik dalam tanah
- Meningkatkan nitrogen
- Meningkatkan aktifitas mikroorganisme di dalam tanah
- Menekan kebutuhan pupuk dan pestisida kimia

2. Keunggulan Bakteri Rumen Sapi
- Dapat dibuat sendiri
- Bahan tersedia dan mudah didapatkan
- Peralatan cukup sederhana
- Sangat berguna bagi petani

Dua tahapan pengembangan Bakteri Rumen Sapi yaitu:
1. Pembuatan Induk Bakteri
a. Bahan yang digunakan:
· Rumen sapi: 5 kg
· Tetes tebu: 1 ltr
· Bekatul halus: 2 kg
· Air matang: 7 ltr

b. Cara Pembuatan :
· Katul diserilkan dengan cara dikukus/ dipanaskan
· Masukkan air, tetes, katul dalam gentong plastik dan diaduk selama 10 menit hingga larutan menjadi homogen
· Tutup dengan plastik rapat
· Pada hari ke-4 , 5, dan 6 hasilnya diamati (perhatikan warna, bau, dan temuan lain)
· Pada hari ke-7 dilakukan penyaringan dan didapatkan induk Bakteri Rumen Sapi.
· Induk bakteri ini bisa dikembangkan lebih banyak lagi atau untuk pengolahan pupuk organik (padat dan cair), fermentasi pakan ternak (jerami, janggel jagung, dll).

2. Pengembangan Bakteri
a. Bahan yang digunakan:
· Induk Bakteri Rumen Sapi: 1 ltr
· Tetes tebu: 1 ltr
· Bekatul steril: 3 kg
· Terasi: 2 ons
· Air matang: 10 ltr

b. Cara Pengembangan:
· Masukkan air matang, tetes tebu, katul, trasi yang sudah dihaluskan dan induk bakteri mikrobia ke dalam gentong plastik
· Aduk ramuan tersebut selama 10 menit (homogen)
· Tutup rapat-rapat dengan plastik
· Pada hari ke-4 dibuka, kemudian diaduk selama 10 menit
· Tutup kembali dan dalam penutupan diberi lubang untuk sirkulasi udara
· Pengadukan ini dilakukan selama 5 hari dan setiap penutupan harus diberi lubang udara
· Pada hari kesembilan dan kesepuluh Bakteri Rumen Sapi sudah jadi dan siap untuk digunakan sebagai sarana dan  pendukung pertanian organik yang berwawasan pada pelestarian kesuburan tanah dan peningkatan produksi
· Bakteri Rumen Sapi mampu bertahan hidup selama 6 bulan antara lain: Lumbricus (bakteri asam laktat, bakteri fotosintetik, serta ragi).

Pertanian Organik


Pertanian Organik

Cara Membuat Kompos
Kompos adalah pupuk organik yang terbuat dari kotoran hewan dan diproses dengan bantuan bakteri.
Bahan dan Komposisi:
100 kg arang sekam berambut
200 kg kotoran hewan
3-5 kg dedak atau bekatul
0,5 kg gula pasir atau gula merah yang dicairkan dengan air
0,5 liter bakteri
Air secukupnya
Cara Pembuatan:
Arang sekam, kotoran hewan, dedak, dan gula dicampur sampai rata dalam wadah yang bersih dan teduh. Jangan terkena hujan dan sinar matahari secara langsung.
Campurkan bakteri ke dalam air kemudian siramkan campuran di atas sambil diaduk sampai rata.
Tutup dengan plastik atau daun-daunan.
Tiap dua hari sekali siram dengan air dan diaduk-aduk.
Dalam 10 (sepuluh) hari kompos sudah jadi.
Cara Pembiakan Bakteri
Untuk menghemat biaya, bibit bakteri EM4 yang dibeli di toko atau koperasi Saprotan dapat dikembangbiakkan sendiri, sehingga kebutuhan pupuk organik untuk luas lahan yang ada dapat dipenuhi. Adapun prosedur pembiakan bakteri EM4 adalah sebagai berikut:
Bahan dan Komposisi:
1 liter bakteri
3 kg bekatul (minimal)
¼ kg gula merah/gula pasir/tetes tebu (pilih salah satu)
¼ kg terasi
5 liter air
Alat dan Sarana:
Ember
Pengaduk
Panci pemasak air
Botol penyimpan
Saringan (dari kain atau kawat kasa)
Cara Pembiakan:
Panaskan 5 liter air sampai mendidih.
Masukkan terasi, bekatul dan tetes tebu/gula (jika memakai gula merah harus dihancurkan dulu), lalu aduk hingga rata.
Setelah campuran rata, dinginkan sampai betul-betul dingin! (karena kalau tidak betul-betul dingin, adonan justru dapat membunuh bakteri yang akan dibiakkan).
Masukkan bakteri dan aduk sampai rata. Kemudian ditutup rapat selama 2 hari.
Pada hari ketiga dan selanjutnya tutup jangan terlalu rapat dan diaduk setiap hari kurang lebih 10 menit.
Setelah 3-4 hari bakteri sudah dapat diambil dengan disaring, kemudian disimpan dalam botol yang terbuka atau ditutup jangan terlalu rapat (agar bakteri tetap mendapatkan oksigend ari udara).
Selanjutnya, botol-botol bakteri tersebut siap digunakan untuk membuat kompos, pupuk cair maupun pupuk hijau dengan komposisi campuran seperti yang akan diuraikan dibawah ini.
Catatan: Ampas hasil saringan dapat untuk membiakkan lagi dengan menyiapkan air kurang lebih 1 liter dan menambahkan air matang dingin dan gula saja.
Memahami Pertanian yang Berkelanjutan
Dewasa ini, istilah ‘Pertanian Berkelanjutan’ semakin sering digunakan. Sebagian orang mungkin pusing dengan kata tersebut. Oleh karena itu, perlu dijelaskan secara ringkas dan padat perihal pengertian istilah ‘pertanian berkelanjutan’ (sustainable agriculture).
Penjelasan berikut ini disarikan dari dua buku: (1) karangan Coen Reijntjes, Bertus Haverkort, dan Ann Waters-Bayer, Farming for the Future: An Introduction to Low-External-Input and Sustainable Agriculture, Netherland: ILEIA, 1992; dan (2) buku karangan Jules N Pretty, Regenerating Agriculture: Policies and Practice for Sustainability and Self-Reliance, London: Earthscan, 1996.
Kata ‘berkelanjutan’ (sustainable), sebagaimana dalam kamus, mengacu pada makna “mengusahakan suatu upaya dapat berlangsung terus-menerus, kemampuan menyelesaikan upaya dan menjaga upaya itu jangan sampai gagal”. Dalam dunia pertanian, ‘berkelanjutan’ secara mendasar berarti upaya memantapkan pertanian tetap menghasilkan (produktif) sembari tetap memelihara sumber daya dasarnya.
Sebagai contoh, Komite Penasehat Teknis Grup Konsultatif Riset Agraria Internasional (TAC/CGIAR) 198 menyatakan, “Pertanian berkelanjutan adalah manajemen sumber-sumber daya secara berhasil bagi agraria untuk mencukupi perubahan-perubahan kebutuhan manusia sembari tetap merawat dan meningkatkan kualitas lingkungan dan perbaikan sumber-sumber daya alam.”
Dengan demikian, pertanian berkelanjutan merupakan suatu pilihan lain atau “tandingan” bagi pertanian modern. Akan tetapi, sebagai tandingan bagi pertanian modern, selain kata berkelanjutan, ada juga yang menggunakan istilah:
pertanian alternatif,
regeneratif,
input eksternal rendah,
bekelanjutan input rendah,
bekelanjutan input seimbang,
conservasi-sumber daya,
biologis,
alamiah,
pertanian ekologis (ramah lingkungan),
agro-ekologis,
pertanian organis,
biodinamis, dan lain sebagainya.
Baik pertanian berkelanjutan dan berbagai istilah lainnya, umumnya mengandung suatu makna penolakan terhadap pertanian modern. Penolakan itu karena pertanian modern diartikan sebagai cara bertani yang menghabiskan sumber daya, pertanian industri, dan pertanian input eksternal tinggi atau intensif.
Sebagai gambaran sederhana, pertanian modern memakai masukan (input) luar seperti pupuk pabrik, bibit pabrik, pestisida dan herbisida kimia pabrik, yang umumnya merusak kelestarian tanah dan alam. Sebaliknya, suatu pertanian berkelanjutan lebih mengandalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia seperti bibit lokal, sumber air, matahari, dan teknologi yang ramah lingkungan; dan juga sangat mengutamakan pemanfaatan pupuk kandang (kompos) dan pengendali hama alami atau pestisida dari bahan-bahan alami.
Oleh karena itu, inti pemahaman pertanian berkelanjutan adalah sangat mengutamakan pemanfaatan sumber daya lokal beserta pengetahuan lokal.
Untuk lebih memudahkan pemahaman, Nicanor Perlas mengembangkan konsep pertanian berkelanjutan ILEIA (buku Farming the for Future); dan Perlas berhasil merumuskan Tujuh Dimensi Pertanian Berkelanjutan (baca: Nicanor Perlas, “The Seven Dimensions of Sustainable Agriculture“, makalah pada Konferensi Internasional II Forum Pembangunan Asia yang diadakan ANGOC di Filipina, tanggal 22-26 Februari 1993).
Dari berbagai bahan tersebut, penulis mencoba menyadur tujuh dimensi pertanian berkelanjutan tersebut ke dalam Bahasa Indonesia yang mudah dipahami, sebagaimana berikut ini.
Pertanian berkelanjutan harus menjadi pertanian:
Ramah lingkungan;
Menggairahkan kehidupan ekonomi;
Adil dan layak secara sosial;
Peka pada nilai budaya;
Mampu mengembangkan teknologi tepat guna;
Mampu menjadi pengetahuan yang menyeluruh;
Menjadi obor bagi kemanusiaan.
Namun, semua itu tidak berarti tanpa menyadari bahwa pilar terpenting dari pertanian berkelanjutan, selain lingkungan alam, adalah manusia. Pertanian berkelanjutan akan terwujud bila manusia bersungguh-sungguh memahami bahwa cita-cita pertanian berkelanjutan hanya dapat terwujud apabila dilandasi suatu pembaruan atau reformasi atas sumber-sumber daya alam dan agraria di mana rakyat secara adil dan setara dapat merasakan dan memanfaatkannya.
Peluang Indonesia dalam Pertanian Organik
Seiring dengan maraknya gerakan konsumen hijau, kesadaran konsumen untuk membeli produk yang ramah lingkungan semakin meningkat, termasuk di dalamnya produk-produk pertanian yang sehat dan bebas bahan kimia.
Munculnya berbagai persyaratan perdagangan internasional seperti ISO-9000, ISO-14000, dan ecolabeling. Berbagai persyaratan ini menandakan bahwa masyarakat internasional tidak lagi menghendaki produk pertanian yang mengandung bahan-bahan kimia dan merusak kesehatan, lingkungan, dan generasi berikutnya.
Pertanian organik menjadi alternatif bagi bangsa Indonesia karena jika pola pertanian modern yang padat bahan kimia tetap dilakukan seperti sekarang ini, dikhawatirkan Indonesia tidak dapat lagi mengekspor produk-produk pertaniannya.
Selain itu, bertani secara organis merupakan terobosan bagi para petani di tengah membubung tingginya harga pupuk dan pestisida kimia.
Sebenarnya, ada dua cara untuk mengatasi tingginya harga pupuk dan pestisida buatan pabrik. Pertama, menyediakan modal yang lebih besar. Ini dapat dilakukan, misalnya, dengan mendapatkan pinjaman Kredit Usaha Tani (KUT). Tentu saja petani terkena beban hutang. Kedua, petani membuat pupuk sendiri dengan bahan-bahan alami yang telah disediakan oleh alam dan melakukan pengendalian hama. Cara kedua relatif jauh lebih murah dan menyehatkan.
Petani organik menjadi petani yang mandiri dan merdeka, karena bahan-bahan bertani diperoleh dari alam sekitar. Petani tidak lagi menjadi tergantung kepada para produsen benih, pupuk, maupun pestisida. Selain itu, pertanian organik memberi ruang yang luas bagi petani untuk mengembangkan kreativitas bertaninya, seperti memanfaatkan bahan-bahan tidak berguna untuk kegiatan bertaninya. Sampah digunakan menjadi pupuk. Kaleng bekas dimanfaatkan untuk mengusir burung. Pertanian organik menjadi bagian dari upaya pemberdayaan petani, karena mengurangi ketergantungan petani terhadap pihak-pihak atas desa yang selama ini mengeksploitasi petani.
Dalam konteks pertanian yang berkelanjutan, model pertanian organik merupakan suatu strategi penguatan pemahaman petani akan harkat hidupnya, dan masa depan pertanian Indonesia. Dalam pemahaman inilah, hak petani atas tanah, perlu ditegakkan. Oleh karena itu, Reforma Agraria Indonesia tetap menjadi agenda pokok perjuangan petani Indonesia.
Labelisasi Produk Organik
Gerakan pertanian organik sudah dimulai di mancanegara semenjak tahun 1970-an. Akibat lebih banyak dampak buruk revolusi hijau, maka masyarakat lebih menginginkan produk pertanian yang baik bagi kesehatan manusia dan sekaligus ramah lingkungan. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sangat memperhatikan hal ini. Dengan demikian, secara pelahan pertanian organik berkembang dan produknya harus mempunyai standar yang lebih tinggi. Pertanian organik juga berkembang di Asia, terutama di Jepang, Thailand, Malaysia, dan Filipina.
Sekarang ini, negara Eropa dan Amerika sangat menyukai produk organik. Sekitar 3 ribu ton/tahun sayuran organik beku dan olahan buah-buahan organik berpeluang menembus pasar. Dalam perkembangan ini, para pedagang sering memasang label organik untuk menaikkan harga dagangannya. Oleh karena itu, misalnya, produk organik di Jerman harus diawasi dan dipasangi label ekolabeling (label ramah lingkungan).
Demikian juga halnya di Jepang. Karena sering ditipu pedagang dan pengusaha agribisnis, maka konsumen dan petani Jepang bergabung dalam JOAA (Japan Organic Agriculture Association). Mereka tidak mau diatur-atur pemerintah. Konsumen juga tidak mendapat jaminan tentang kualitas dan bagaimana produk itu ditanam.
Oleh karena itu, konsumen Jepang memperkenalkan konsep tei kei. Konsep ini artinya konsumen membeli langsung sayuran atau produk pertanian lainnya secara langsung dari petani. Dengan demikian, selain dapat memastikan kualitas produk. Konsumen dan produsen dapat berbincang-bincang dan mempererat keakraban.
Petani yang menerapkan konsep tei kei, menentukan harga produknya berdasarkan biaya produksi dan biaya hidup yang dia butuhkan sebagai petani. Harga produk menjadi mahal dibandingkan harga pasar. Meskipun demikian, konsumen tetap membeli karena puas dengan kualitas tanaman organik. Sehingga, petani tetap bergairah untuk menekuni pertanian organik.
Kesadaran Organis
Kesadaran akan pentingnya alam bagi kelangsungan hidup umat manusia memunculkan berbagai gerakan dengan isu penyelamatan lingkungan hidup. Secanggih apa pun teknologi yang diciptakan, manusia tetap bergantung kepada alam. Berbagai gerakan seperti gerakan antinuklir, konsumen hijau, konservasi hutan, perlindungan satwa, dan di bidang pertanian —gerakan pertanian organik— merebak di mana-mana.
Pertanian organik bukan saja tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia, tetapi juga merupakan sistem pertanian selaras dengan alam, berguna bagi kesehatan manusia. Lebih jauh lagi, pertanian organik menjadikan petani sebagai manusia yang merdeka dan mandiri. Pertanian organik mengkombinasikan sistem pertanian dan keraifan tradisional (indigenous knowledge) dengan ilmu pengetahuan pertanian yang terus berkembang.
Kata kunci dari pertanian organik adalah organis, yang berarti menyadari bagian dari alam, baik dilihat dari sisi petaninya, tanaman, maupun pola budi dayanya. Oleh karena itu, dalam pertanian organik, petani organis sebagai individu maupun kelompok selalu bersikap positif, memelihara dan melayani alam sebagai upaya timbal-balik sebab alam telah lebih dulu melayani manusia.
Petani organis berusaha untuk mandiri. Lahan, bahan, tenaga dan waktu digunakan secara hemat dan tepat. Bahan-bahan yang dimasukkan ke dalam katagori sampah atau terbuang, oleh petani organis diteliti agar bermanfaat. Bagi petani organis, tidak ada yang tidak berguna.
Menjaga dan memelihara kesuburan tanah merupakan sikap petani organis yang terpenting. Bagi petani, tanah adalah kehidupan itu sendiri. Bagian tanah yang dilindungi adalah bagian top soil, tempat tanaman mengambil zat-zat yang diperlukan. Dengan melakukan pemulsaan menggunakan bahan-bahan setempat, seperti sisa-sisa panen, tebasan rumput,
pangkasan tanaman pagar hidup dan sebagainya, tanah dilindungi, dipelihara, dan dihidupkan. Mulsa yang lapuk akan menjadi pupuk organik. Melindungi tanah berarti juga melindungi beragam organisme seperti cacing tanah dan mikroorganisme yang mempunyai peranan penting dalam proses penyuburan tanah.
Karena prinsip organis, maka pupuk dan pestisida kimia ditolak. Hama tidak dibasmi. Melalui pestisida botani yang lebih ramah lingkungan, hama dikendalikan. Penggunaan berlebihan pestisida botani juga akan mematikan musuh (predator) alami hama. Pestisida botani digunakan hanya jika populasi hama meningkat. Jika sudah terjadi lagi keseimbangan antara hama dengan predatornya atau pemangsanya, maka dengan semestinya kita menghentikan penggunaan pestisida botani.
Mitos Pertanian Modern
Dunia pertanian modern adalah dunia mitos keberhasilan modernitas. Keberhasilan diukur dari berapa banyaknya hasil panen yang dihasilkan. Semakin banyak, semakin dianggap maju. Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an.
Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah.
Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat:
Berbagai organisme penyubur tanah musnah;
Kesuburan tanah merosot/tandus;
Tanah mengandung residu (endapan) pestisida;
Hasil pertanian mengandung residu pestisida;
Keseimbangan ekosistem rusak; dan
Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama.
Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas mandiri.
Nenek moyang memanfaatkan pupuk hijau dan kandang untuk menjaga kesuburan tanah, membiakkan benih sendiri, menjaga keseimbangan alam hayati dengan larangan adat. Mereka mempunyai sistem organisasi sosial yang sangat menjaga keselarasan, seperti organisasi Subak di Bali dan Lumbung Desa di pedesaan Jawa.
Dengan pertanian modern, petani justru tidak mandiri Padahal, FAO (lembaga pangan PBB), telah menegaskan Hak-Hak Petani (Farmer‘s Rights) sebagai penghargaan bagi petani atas sumbangan mereka. Hak-hak Petani merupakan pengakuan terhadap petani sebagai pelestari, pemulia, dan penyedia sumber genetik tanaman.
Hak-hak petani dalam deklarasi tersebut mencakup: hak atas tanah, hak untuk memiliki, melestarikan dan mengembangkan sumber keragaman hayati, hak untuk memperoleh makanan yang aman, hak untuk mendapatkan keadilan harga dan dorongan untuk bertani secara berkelanjutan, hak memperoleh informasi yang benar, hak untuk melestarikan, memuliakan, mengembangkan, saling tukar-menukar dan menjual benih serta tanaman, serta hak untuk memperoleh benihnya kembali secara aman yang kini tersimpan pada bank-bank benih internasional (Wacana, edisi 18, Juli-Agustus 1999).
Dalam revolusi hijau, petani tidak boleh membiakkan benih sendiri. Bibit yang telah disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia —yang membuat banyak petani terlilit hutang. Akibat terlalu menjagokan bibit padi unggul, sekitar 1.500 varietas padi lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini.
Meskipun dalam Undang-Undang No. 12/1992 telah disebutkan bahwa “petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudi-dayaannya”, tetapi ayat tersebut dimentahkan lagi oleh ayat berikutnya, yakni “petani berkewajiban berperan serta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam” (program pemerintah). Dengan begitu, kebebasan petani tetap dikebiri oleh rezim pemerintah.
Dapat dipastikan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan para produsen pupuk, pestisida, benih, serta petani bermodal kuat. Revolusi hijau memang membuat hasil produksi pertanian meningkat, yang dijadikan tolak ukur sebagai salah satu keberhasilan Orde Baru. Namun, di balik itu semua, ada penderitaan kaum petani. Belum lagi kerusakan sistem ekologi pertanian yang kerugiannya tidak dapat dinilai dengan uang.
Mitos akan kehebatan Revolusi Hijau lahir karena ditopang oleh teknologi yang dikembangkan dari sistem ilmu pengetahuan modern, mulai dari genetika sampai kimia terapan.
Pantas jika Masanobu Fukuoka, pelopor pertanian alami di Jepang, pernah berkata: “Peranan ilmuwan dalam masyarakat itu analog dengan peranan diskriminasi di dalam pikiran-pikiran Anda sendiri.”
Apa yang dikembangkan oleh para ilmuwan telah membedakan mana yang maju dan terbelakang, modern dan tradisional, serta efisien dan tidak efisien. Sedangkan buktinya, sistem pertanian yang disebut sebagai yang terbelakang, tradisional dan tidak efisien itu ternyata lebih bersifat ekologis, tidak merusak alam.
Pilihan untuk Kemerdekaan dan Kemandirian Petani
Air susu sama saja air tuba! Itulah kesimpulan yang didapat jika mengetahui hasil penelitian WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia) tentang metabolisme, yang ternyata menunjukkan bahwa air susu ibu (ASI) di Pulau Jawa ada yang telah tercemar pestisida. Padahal ASI dikampanyekan sebagai susu terbaik bagi bayi. Secara tidak langsung, proses ancaman kehidupan berlangsung lewat kasih sayang para ibu. Lalu, apa yang dirasakan seorang suami yang melihat istrinya sedang menyusui anaknya dengan air susu yang tercemar? Itulah yang diungkapkan oleh Tanto D. Hobo, seorang petani organik dalam lokakarya petani peringatan Hari Pangan Sedunia di Ciwidey, Bandung yang berlangsung pada tanggal 16-18 Oktober 1999 lalu.
Pestisida telah lama diketahui menyebabkan iritasi mata dan kulit, gangguan pernapasan, penurunan daya ingat, dan pada jangka panjang menyebabkan kanker. Jika ibu hamil mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung residu pestisida, maka janin yang dikandungnya mempunyai risiko dilahirkan dalam keadaan cacat.
Penggunaan pestisida juga menyebabkan terjadinya peledakan hama —suatu keadaan yang kontradiktif (bertentangan) dengan tujuan pembuatan pestisida— karena pestisida dalam dosis berlebihan menyebabkan hama resisten (kebal) dan megakibatkan kematian musuh alami hama yang bersangkutan.
Akan tetapi, mitos obat mujarab pemberantas hama tetap melekat di sebagian petani. Mereka tidak paham dengan bahaya pestisida. Informasi yang sampai kepada mereka adalah “jika ada hama, “pakailah pestisida merk A”.
Para petani juga dibanjiri impian tentang produksi yang melimpah-ruah jika mereka menggunakan pupuk kimia. Para penyuluh pertanian adalah “antek-antek” pedagang yang mempromosikan “keajaiban” teknologi modern ini. Penyuluh pertanian tidak pernah menyampaikan informasi secara utuh bahwa pupuk kimia sebenarnya tidak dapat memperbaiki sifat-sifat fisika tanah, sehingga tanah menghadapi bahaya erosi.
Penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus akan mempercepat habisnya zat-zat organik, merusak keseimbangan zat-zat makanan di dalam tanah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman. Akibatnya, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pupuk urea dari tahun ke tahun menurun.
Source:
Pertanian Organik: Kemerdekaan dan Kemandirian Petani
Perlunya Labelisasi Organik
Mitos Pertanian Modern
Kesadaran Organis

Kearifan hidup, kedaulatan petani, dan pertanian organik: menanamkan benih-benih transformasi sosial




Contents

Pendahuluan
3
Bab Satu
8
Revolusi Hijau
8
Benih ‘Ajaib’?
8
Peningkatan produksi?
12
Bantuan
14
Bab Dua
17
Kearifan gulma: Memulihkan budidaya lokal
17
Bab Tiga
35
Tantangan untuk Transformasi Sosial
35
Pembahawan Agraria
36
Kebijakan harga dan pemasaran produk petani
41
Pertanggungjawaban atas Kerusakan Lingkungan Pertanian
46
Ketimpangan Gender
47
Globalisasi
49
Bioteknologi
50
Kesimpulan
54
Ilmu Hidup
54
Lampiran
56
Jaringan Gerakan Pertani Ekologis, Jawa
57
58 Tahun – dijajah Bangsa Sendiri
60
Daftar Pustaka
61
Halaman Pengesahan
63



Pendahuluan
Pertanian organik sebagai strategi hidup dan perjuangan

Pagi-pagi, pukul 8.00. Matahari pagi sudah mulai menghangati lahan Bu Napsiyah yang ditanami dengan campuran sayuran yang beragam – petak-petak kecil sawi, kangkung, kailan, lombok, tomat, daun bawang, jagung manis, bok choi, bayam merah, bayam hijau. Lepas dari alas kakinya, saya datang untuk bertanya, untuk belajar mengenai pertanian organik sebagai strategi hidup dan perlawanan. Dua, tiga kali seminggu, lahan Bu Napsiyah di desa Pulungan, Tumpang, Malang, menjadi ruang kuliah saya. Bu Napsiyah menjadi guru saya yang luar biasa. Keahlian Bu Napsiyah jauh melebihi batasan lahannya untuk meliputi ekosistem sekitarnya sebagai keseluruhan. Kearifannya atas ekologi lokal, atas tumbuhan-tumbuhan liar, atas keanekaragaman hayati sangat mengagumkan, luar biasa dalam luasnya. Berkali-kali saya akan bertanya, buat apa tumbuhan ini? Cara pembenihan, penanaman bagaimana? Dengan sabar, dia akan membagi pengalaman, pengetahuannya… daun ini bisa dipakai sebagai pestisida… gulma ini, buat sayur bisa… ini juga, semua bisa dimakan! Kulitnya pohon ini, direbus, diminum buat jamu… dan kalau daun ini, akan mempersubur lahannya, pupuk hijau ini… ini, mau nanam ini, batangnya ditanam akan tumbuh. Namun, kearifan lokal, kearifan pembenihan, penanaman, pengendalian hama secara ekologis, seimbang dengan siklus regenerasi dan pembaruan, telah ditinggalkan oleh masyarakat petani. Petani nga lagi tahu daun buat pestisida, buat pupuk hijau.

Bertahun-tahun, secara perlahan-lahan, kearifan berbudidaya telah direbut dari tangan petani. Secara sistemik, proyek kolonialisasi besar-besaran, yakni Revolusi Hijau, program intensifikasi dan modernisasi dalam corak produksi pertanian, memusnahkan kemandirian petani Indonesia. Atas nama pertumbuhan produksi, ketahanan pangan dan swasembada beras, petani dipaksakan untuk memakai benih hibrida, dan pupuk kimia, pestisida dan herbisida buatan pabrik. Pengetahuan lokal atas cara-cara memproduksi pupuk sendiri dari bahan asli setempatnya; mengendalikan hama secara alami, yakni dengan memelihara keseimbangan antara musuh dan hama; bahkan memuliakan benih sendiri, tersingkirkan. Secara sengaja, kearifan ini dihancurkan oleh teknologi revolusi hijau. Sudah lama petani hanya menjadi ‘tukang tani’ di lahannya sendiri. Tukang menyemprotkan pestisida Phonska, tukang menaburkan pupuk urea dan TSP, tukang menanam benih hibrida jagung yang dikeluarkan dari laboratorium Monsanto. Segalanya harus dibeli, segalanya harus didapatkan dari luar ekosistem petani (dan sekarang bahkan sumber air terancam akan diswastakan). Lagi pula, perdagangan segala input-input pertanian ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa seperti Monsanto, Cargill dan sebagainya.[1] Rakyat petani semakin jauh dari pengetahuan tata-cara bertaninya. Dalam kata Danarti Wulandari dan Toto Rahardjo, asisten tim penelitian REaD, yang telah melakukan studi untuk mengidentifikasikan isu-isu dari pelaksanaan program PHT (Pengendalian Hama Terpadu), petani terjebak pada situasi penuk ketergantungan, dan dengan mudah dipermainkan oleh tangan-tangan dalang yang mengontrol input-input pertanian dari balik meja perusahaan (2003:143). Lebih singkat, ujar Drs. Andrianto, pelaku pendamping petani di Bantul, Klaten dan Boyolali, profesi paling tua di negeri ini menjadi terpinggirkan (dlm Sunanto, 2001).

Mulai pada tahun 1967/68, proyek Revolusi Hijau menjadikan bertani sekedar proses memproduksi komoditas, proses menghasilkan barang. Seiring dengan pergantian kekuasaan politik di Indonesia, dari Orde Lama ke Orde Baru, adalah rusaknya nilai-nilai yang berlandaskan pada kepercayaan terhadap kemulian alam dan penciptanya. Dinyatakan Sabastian Saragih, aktivis dari Yogyakarta LSM SPTN-HPS, Revolusi Hijau mengakibatkan hubungan manusia dengan alam maupun dengan sesama manusia lebih berkembang ke arah eksploitatif (2003:vi). Bertani, berbudidaya sebagai ritual kehidupan untuk berkreasi dan berkarya disingkirkan, digantikan dengan nilai-nilai pasar dan kapitalisme.
Selama ribuan tahun, tanah di Indonesia telah ditanami dengan menggunakan teknologi budidaya ekologis (namun demikian, sejarah politik represif di Indonesia yang mendahului rejim Orde Baru harus diakui. Sejarah feodalisme dan kolonialisme sangat membatasi kebebasan masyarakat petani). Pertanian ekologis didasarkan pada prinsip-prinsip keberlanjutan, yakni keanekaragaman varietas, kekhasan ekologi lokal dan keseimbangan ekosistem. Vandana Shiva, ahli fisika, filsuf dan feminis, menunjukkan bahwa pada tingkat bumi, keanekaragaman menyiratkan koeksistensi dan saling ketergantungan antara pohon, tanaman pertanian, manusia dan ternak, yang memelihara siklus kesuburan melalui aliran biomassa (2001:130). Bertani seimbang dengan hama/predator, siklus air, siklus hara, kesuburan tanah, seimbang dengan siklus pembenihan, penanaman, pemanenan, bukan sekedar memelihara pembaruan ekosistem, tetapi lebih dari itu, mempertahankan pembaruan kehidupan, yakni kemandirian masyarakat petani. Setiap musim tanam, sebagian dari benih yang dipanen musim sebelumnya ditanamkan kembali oleh petani. Di ladangnya ada keseimbangan alami antara serangga predator dan hama. Dan kesuburan lahannya diperkaya dengan pemasukan pupuk kandang, daun-daunan, sisa panen – segalanya yang didapatkan dari lingkungan sekitarnya. Dengan demikian ada lingkaran yang lengkap, ada siklus regenerasi yang berkelanjutan. Sumber daya alam dilestarikan bagi generasi berikutnya sementara kemandirian masyarakat lokal diseleraskan.

Sebaliknya, corak pertanian yang diselenggarakan melalui Revolusi Hijau menggantikan siklus regenerasi dengan arus linear. Vandana Shiva menyatakan, strategi pemulian tanaman yaitu memelihara keanekaragaman genetik dan mengembangkan kemampuan tanaman untuk memperbarui diri sendiri digantikan dengan strategi baru yang didasarkan atas keseragaman dan ketidakberlanjutan (2001:135). Dalam kata lain, dengan menggunakan teknologi buatan pabrik dan laboratorium – pupuk kimia, insektisida, pestisida, herbisida, benih ‘unggul’ – alam akan digantikan dengan lebih baik, dan dengan demikian akan menjadi sarana untuk menghasilkan pertumbuhan yang tidak dihalangi olek keterbatasan kemampuan alam.

Selama masa Orde Baru yang panjang, rakyat pedesaan disuluh (lewat program PPL, Petugas Penyuluh Lapang),[2] diinstruksi, dan dipaksa untuk mengadopsi teknologi input-input pertanian tersebut, baik melalui propaganda halus dan janji-janji manis mengenai produktivitas dan pendatangan, maupun dengan cara-cara paksa yang melibatkan kekuatan militer. Ujar Wulandari dan Rahardjo, bujukan dan paksaan telah menginternalisasi nilai-nilai baru pada petani, menggusur kejernihan, kearifan, kepemilikan, dan kedaulatan petani atas diri sendiri serta alat produksinya (2003:145). Ibu Napsiyah mengingat kembali penyelenggaran program intensifikasi pertanian di Pulungan, PPL akan datang ke desa… melalui kelompok tani, ngumpulkan di gubug… disuruh pupuk sekian, pestisida sekian. Sampai sekarang, pestisida, pupuk baru tetap dipromosikan… dikasih kaos… iya lahannya tandus, uang petani habis dimakan pabrik, tapi tetap ada kaos pupuk Phonska! (30 April 2004).

Revolusi Hijau dicanangkan di Indonesia sebagai sarana yang akan meningkatkan produksi pangan, khusunya produksi beras, secara luar biasa. Dengan demikian, ada asumsi bahwa kelimpahan produksi akan meningkatkan kesejahteraan rakyat petani. Namun, pengalaman pahit kalangan petani akibat Revolusi Hijau membuktikan propagandanya pada dasarnya keliru.

Dalam Bab Satu saya mempersoalkan asumsi-asumsi yang melandaskan penyelenggaraan proyek intensifikasi pertanian, yakni mengenai benih ‘ajaib’, peningkatan produksi dan ‘bantuan’ dari hibah internasional. Padi ‘unggul’, atau High Yielding Varieties (HYVs), dipromosikan sebagai benih ‘ajaib’ – pendek umur, tinggi hasilnya dan tahan penyakit. Namun, yang disaksikan petani ialah benih ‘unggul’ yang sama sekali tidak unggul. Padahal, benih hibrida yang dikeluarkan dari laboratorium pusat riset dan industri ialah benih mandul, yang tidak bisa ditanam kembali. Yang diselenggarakan oleh agen agri-bisnis dan penyuluh petani ialah benih yang haus pupuk buatan, pestisida, air, dan asupan luar. Benih ‘ajaib’ ini melahirkan ketergantungan dan kerentanan baru. Penyuluh pertanian memperkenalkan petani kepada teknologi revolusi hijau atas asumsi bahwa teknologi tersebut ini akan meningkatkan produksi, dengan demikian akan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran petani. Asumsi ini juga dibuktikan salah. Dari perspektif kesejahteraan petani, peningkatan produksi menjadi tidak berarti ketika degradasi ekosistem pertanian, perluasan ketimpangan kelas masyarakat desa, ketika peningkatan ketergantungan dan kerentanan diperhitungkan. Selanjutnya, peningkatan produksi menjadi tidak berarti ketika penjajahan baru dalam bentuk ‘bantuan’ dari pinjaman dan hibah internasional diperhitungkan.

Sebagai bentuk perlawanan terhadap proses pembodohan sistemik yang telah menghancurkan teknologi dan pengetahuan masyarakat lokal, dalam Bab Dua saya mengumpulkan sebagian dari kearifan dan keahlian Bu Napsiyah, beserta petani organik dari Jawa Timur dan Jawa Tengah (termasuk juga resep-resep masak dari teman saya, serta ramuan pewarnaan alami yang saya sempat belajar dengan guru batik saya, Mas Sigit dari Tulung Agung).[3] Dengan mempertahankan ilmu hidup tersebut ini, Bu Napsiyah bertekad untuk menemukan jalan keluar dari kecanduan, kerentanan dan keracunan yang diakibatkan oleh Revolusi Hijau.

Akhirnya, dalam Bab Tiga saya menguraikan enam tantangan yang perlu diperjuangkan oleh gerakan pertanian organik, yakni pembaharuan agraria; kebijakan harga dan pemasaran produk petani; pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan pertanian; ketimpangan gender; globalisasi; dan bioteknologi. Dengan ikut berjuang dalam menuntut hak petani untuk menentukan nasib mereka sendiri, pertanian organik menjadi sebuah alat transformasi sosial yang terarah, kuat dan cerdas.

Bab Satu
Revolusi Hijau: kecanduan, kerentanan dan keracunan
Petani terperangkap pabrik… terjebur, telanjur pada kimia (Bu Napsiyah, 2004).

Di Indonesia, khususnya di Jawa, Revolusi Hijau dipromosikan sebagai strategi yang akan menghasilkan kelimpahan produksi dalam masyarakat pertanian. Dengan meningkatkan produksi beras secara luar biasa, ada asumsi akan meningkatkan juga kesejahteraan kelas petani. Namun, yang disaksikan rakyat petani sebagai akibat proyek intensifikasi dan modernisasi dalam bidang pertanian ialah bukan kelimpahan, tetapi kelangkaan baru pada tingkat ekosistem pertanian dan masyarakat desa. Teknologi revolusi hijau membutuhkan investasi besar dalam pupuk, pestisida, benih hibrida, air, serta energi. Tiga dekade kemudian, petani kecil Indonesia terperangkap pada siklus ketergantungan dan kemiskinan, terjerat pada hutang dan terpinggirkan oleh mekanisme pasar. Asupan pertanian – pupuk, benih, pestisida – yang pada masa lalu dikuasai petani sendiri, sekarang petani terpaksa terus-menerus membelinya. Sebagai akibat dari pemakaian bahan kimia yang sistemik dan lama ialah lahannya semakin tandus, maka setiap musim tanam memerlukan input asupun luar semakin banyak. Lama-lama tinggal kimia toh! (Bu Napsiyah, 2004). Memang masyarakat petani telah menyaksikan kenyataan pahit yang sangat beda dari yang dijanjikan oleh penyuluh pertanian dan perangkat negara.


Benih ‘ajaib’?

Salah satu kekhianatan yang paling merugikan pada masyarakat petani ialah propaganda mengenai pemulihan benih padi ‘unggul’. Secara sistemik, ribuan benih lokal dirampaskan dari lahan pertanian, dari tangan petani Indonesia, dan berpindah ke IRRI (Internasional Rice Research Institute) di Filipina. Ironisnya perampasan besar-besaran ini difasilitasi, tidak hanya oleh para perusahaan dan bisnis, tetapi juga oleh para akademisi pribumi, intelektual bidang pertanian dan perangkat-perangkat negara, yang menghamba pada kegemilangan industri, modernisasi dan keuntungan dari perusahaan-perusahaan raksasa multinasional (Wulandari et al, 2003:143). Dalam waktu yang luar biasa singkatnya, padi lokal dimusnahkan oleh varietas baru, varietas ‘unggul’ yang dikeluarkan laboratorium IRRI[4]. Tuturkan Bu Napsiyah, aku ingat, pada waktu melahirkan anak, waktu itu mengelolah tanah ayah… tahun 75 akhir. Ada PPL datang, informasikan benih, pupuk… disuruh ganti semua. Tahun 76, jenis lama itu, padi jawa, sudah habis. Sampai sekarang nga pernah ketemu lagi padi ini (4 Mei 2004).

‘Kultivar primitif’, yakni induk padi yang dikembangkan dan dilestarikan oleh petani, lalu dikembangkan dalam laboratorium IRRI serta pusat-pusat riset industri, dikeluarkan sebagai komoditi. Varietas seragam ini, yang dimodifikasi oleh industri atas plasma nutfah dari lahan petani, disebut ‘unggul’ atau ‘elit’. Memang, penggunaan bahasa menyiratkan hirarki yang sangat jelas. Propaganda padi ‘unggul’ atau HYVs (high yielding varieties, di Indonesia lalu diberi sebutan VUTW, varietas unggul tahan wereng) – pendek umur, tinggi hasilnya dan tahan penyakit – juga sangat meyakinkan. Akan tetapi, jauh dari yang dijanjikan, yang disaksikan oleh petani ialah benih ‘unggul’ yang sama sekali tidak unggul. Pengalaman pahit Mbah Suko, salah seorang buruh tani di desa Mangunsari, Sawangan, Magelang, telah dialami jutaan petani seluruh kepuluhan Indonesia. Menurut informasi PPL (Petugas Penyuluh Lapang) yang datang ke dusun Sabrang, kalau petani menggunakan bibit padi jenis ‘unggul’ baru keluaran pemerintah beserta paket pupuk kimia dan pestisida, maka petani akan lebih cepat panen dan hasilnya lebih banyak. Dalam kenyataan, tutur Mbah Suko,

Setelah sekian lama memakai zat-zat kimia lahan pertanian menjadi keras dan bantat. Hal ini jelas sangat mempengaruhi tingkat kesuburan padi yang saya tanam. Bulir-bulir benih buatan pabrik hasilnya memang lebih banyak, tapi saya tidak bisa membenihkannya kembali. Saya pernah mencoba menyisakan bulir-bulir yang bernas untuk ditanam kembali, tapi setelah dua-tiga kali tanam yang muncul adalah tanaman padi yang tidak karuan jenisnya. Ada yang panjang dan pendek, ada yang cepat menguning dan ada yang mati saat masih hijau. Waktu panen padi pun menjadi tidak serempak, dan saat itu jutaan hama menyerang lahan. Saya kira varietas aslinya mulai muncul ketika saya berkali-kali membenihkan dan menanamnya. Karena itu pada musim tanam selanjutnya saya terpaksa kembali membeli benih di KUD atau toko-toko pertanian, disertai paket kimia lainnya. Dan kami harus melakukannya pada musim berikutnya, dan berikutnya lagi… (2001:208).

Pengalaman Bu Napsiyah bertepatan dengan Mbah Suko, buat benih, padi IR 64 cuma tiga empat kali nanam, tumbuhan nga bagus lagi… harus beli lagi. Benih yang mampu memperbarui diri sendiri, benih ‘primitif’, digantikan dengan benih mandul. Apakah mungkin benih ini bisa disebut ‘unggul’? Logik reproduksi dan regenerasi digantikan dengan logik produksi dan keuntungan (namun yang beruntung tentu bukan petani).
Lagi pula, istilah varietas HYVs dibuat mengelirukan, karena menyiratkan bahwa setiap benih secara inheren menghasilkan panenan tinggi. Ingrid Palmer, salah seorang ekonom yang pada awal tahun 1970-an pernah melakukan penelitian lapangan di Indonesia, menyarankan bahwa penggunaan istilah ‘varietas dengan responsi yang tinggi’ lebih tepat. Bukan HYVs, bukan ‘yielding’ yang tinggi, tetapi ‘absorbing’nya yang tinggi, HAVs (high absorbing varieties). Yang lebih tinggi ialah tingkat penyedotan atas pupuk buatan, pestisida dan air. Tanpa tambahan input tersebut ini, hasilnya benih ‘unggul’ dapat lebih buruk dibandingkan dengan varietas lokal (dlm Wahono, 2001:xiv). Benih padi yang dikeluarkan dari laboratorium industri (sama dengan benih jagung, kedelai, tomat, lombok, ketimun yang sudah termasuk hibrida), jelas bukan benih ‘unggul’ tetapi benih yang haus pupuk kimia dan asupan lain yang harus terus-menerus dibeli.

Selanjutnya, dari tahun ke tahun, dibandingkan dengan nilai tukar hasil pertanian, harga input-input pertanian terus-menerus naik. Sabastian Saragih membuktikan bahwa petani terperangkap ke dalam teknologi yang tidak mampu dia ciptakan. Petani dijadikan pemakai (‘tukang’) asupan luar, sedangkan nilai tukar dari apa yang diproduksi terhadap teknologi yang dipakai turun terus. Perbandingan harga pupuk, pestisida, bibit hibrida dan sebagainya dengan produk pertanian, misalnya beras atau jagung, sangat tidak seimbang. Kalau dulu harga 1kg beras sama dengan 5kg urea, maka sekarang harga 1kg beras sama dengan 1kg urea (2003:vii). Petani semakin dirugikan.[5]

Tutur Pak Saroso, petani dari dukuh Gunung Timur, kecamatan Simo, Jawa Tengah, untuk lahan luasnya 1500m², satu kwintal (100kg) dibutuhkan, dengan harganya Rp140.000. Selama satu musim tanam pupuk urea ini diaplikasi dua kali. Berarti, dalam kalkulasi biaya produksi, kalau lahan luasnya satu hektar, lebih dari satu ton pupuk kimia dipakai setiap musim tanam (sekali, sekitar 670kg, jadi per musim tanam sekitar 1.300kg per hektar) dengan biayanya hampir dua juta rupiah (kira-kira Rp1.900.000). Padahal, pada tahun 1970an hanya setengah kwintal pupuk dibutuhkan satu hektar, jadi per musim tanam, kalau diaplikasi dua kali dibutuhkan satu kwintal. Untuk menghasilkan yang sama, sejak waktu itu, kebutuhan pupuk naik pergandaan lebih dari tigabelas! (ujar Pak Umar, PPL dari Pasuruan, Jawa Timur). Mengingat bahwa hasil beras dipanen dari satu hektar dijual untuk enam sampai dengan tujuh juta rupiah, biaya pupuk buatan merupakan persentase biaya produksi yang luar biasa tingginya (belum lagi menghitung biaya ekologis). Dan pada tahun berikutnya, Pak Saroso menuturkan, untuk mendapat hasil yang sama, pupuk harus ditambah lagi, dan pasti harganya akan naik. Belum diperhitungkan biaya benih, pestisida dan asupan lain, biaya menanam, membajak, menyiangi, sewa lahan, belum lagi tenaga petani. Perbandingan biaya produksi dengan pendatangan petani sangat tidak seimbang.



Peningkatan produksi?

Pengalaman petani-petani seperti Pak Saroso membuktikan bahwa Revolusi Hijau didasarkan atas asumsi yang pada dasasnya salah.[6] Teknologi intensifikasi pertanian diperkenalkan kepada petani atas janji-janji penyuluh pertanian, peneliti dan perguruan tinggi, yakni teknologi ini akan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat petani. Asumsi yang dipakai, seiring dengan peningkatan produksi maka akan terjadi peningkatan pendapatan, yang kemudian akan mengakibatkan peningkatan kesejahteraan (Saragih, 2003:vii). Pak Saroso telah menyaksikan bahwa janji-janji ini padahal sangat mengelirukan. Dalam kata-kata Vandana Shiva, peningkatan hasil panen menjadi tidak berarti ketika peningkatan eksternal input (yang dibutuhkan corak pertanian kimia) dihitung (2001:136). Lebih jauh lagi, peningkatan hasil panen menjadi tidak berarti ketika kerugian lingkungan hidup dihitung. Ketika perusakan kesuburan tanah dihitung - pemiskinan nutrisi mikro untuk tumbuh-tumbuhan; pengasaman dan kelangkaan air; pengurangan biomassa untuk makanan ternak dan pupuk organik; ketidakseimbangan nutrisi tanah akibat menurunnya tanam-tanaman penyubur seperti kacang-kacangan, biji-bijian berminyak, dan polong-polongan. Ketika pencemaran pestisida pada makanan, air, tanah, manusia dan hewan dihitung. Tutur Mbah Suko, akibat keracunan pestisda,

...semua serangga mati saat itu juga. Tidak hanya hama, tapi juga kupu-kupu, capung, laba-laba, kepiting, ikan-ikan, kodok, musnah beserta telur-telurnya. Suara burung pun mulai jarang terdengar, hanya sekali-sekali mereka berkicau di pohon tinggi jauh di ladang-ladang… (2001:209).

Ketika erosi keanekaragaman, sumber daya genetik, dihitung. Sempitnya basis genetika dari varietas Revolusi Hijau meningkatkan kerentanan terhadap hama dan penyakit. Lagi pula, penanaman monokultur, yakni jenis yang sama dalam areal yang sangat luas bertahun-tahun, akan dengan muda diserang hama (Shiva, 2001:136). Ketika degradasi ekosistem pertanian, akibat perlakuan kimiawi yang lama dan sistemik, diperhitungkan, peningkatan produksi, dari perspektif kesejahteraan dan kelangsungan hidup rakyat petani, menjadi tidak berarti. Siapa mampu bertahan mencangkul lahan tandus dengan hasil yang semakin tak mampu mencukupi makan sehari-hari? (Wulandari et al, 2003:143).

Namun, ketika ukuran yang dipakai untuk mengukur keberhasilan pertanian berubah dari kecukupan pangan dan kesejahteraan petani menjadi besarnya produksi, proyek Revolusi berhasil (Saragih, 2003:vii). Dari segi produksi, program intensifikasi pangan di Indonesia menunjukkan hasil yang luar biasa. Para petani di Jawa menghasilkan padi dua kali lipat dibandingkan pada masa akhir tahun 1960-an, dan pada tahun 1985 Indonesia mencapai swasembada beras (impor beras nol persen).[7] Namun keberhasilan-keberhasilan Revolusi Hijau dalam meningkatkan produksi beras dilatarbelakangi oleh transformasi secara drastis dalam corak produksi pertanian. Seiring dengan kebangkitan otoritarianisme di bawah kekuasaan Suharto, ekonomi produksi untuk subsistensi digantikan dengan ekonomi produksi untuk komoditi. Sampai perubahan penguasa politik dari Orde Lama ke Orde Baru, petani Indonesia cenderung berproduksi hanya untuk mencukupi kebutuhan subsistensinya (keenganan berproduksi hingga surplus untuk pasar diberi istilah ‘involusi kebertanian’ oleh anthrolpologis Clifford Geertz, 1963, dlm Wahono, 2000:132). Untuk apa berproduksi lebih dari kebutuhan sehari-hari? Kapitalisme memang tidak muncul secara naluriah. Kapitalisme harus diajari, harus dipaksakan.

Sebaliknya, dalam corak produksi kapitalis, yakni dalam kerangka politik agraria Orde Baru, pertumbuhan kapitalis adalah syarat wajib untuk ‘pembangunan’. Ekonomi-ekonomi lokal yang berproduksi hanya untuk subsistensi merupakan suatu hambatan terhadap jalan ‘pembangunan’ dalam konteks akumulasi kapital. Kalau masyarakat lokal melestarikan benih sendiri, mengelola dan memelihara kesuburan tanah sendiri tanpa input-input luar, dan akhirnya panenan dikonsumsi sendiri, proyek akumulasi kapital, akumulasi keuntungan laba akan gagal. Pemilik modal besar, pemilik perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik akan rugi. Kapitalisme mengharuskan kolonialisme. Maka, proyek Revolusi Hijau menjadikan kekayaan alam sekedar modal dalam ekonomi produksi kapitalis, kaum petani sekedar komoditi dan bertani sekedar proses menghasilkan barang (Fauzi, 1999:5). Memang, menurut ukuran memproduksi komoditi, yaitu meningkatkan produksi beras, program Revolusi Hijau berhasil. Namun, memang juga, peningkatan produksi tersebut ini didasarkan atas kolonialisme – kolonialisasi atas tanah, alam, kaum petani, kaum perempuan, teknologi, dan pengetahuan masyarakat lokal. Vandana Shiva menunjukkan bahwa kolonialisme ialah landasan dasar untuk pertumbuhan kapitalis. Pembangunan ekonomi di negara Utara tidak akan pernah terjadi tanpa kolonialisme yang memudahkan akses atas bahan mentah dan pasar di benua Afrika, Asia dan Amerika Latin. Kerajaan Belanda pernah menjadi pusat keuangan Eropa Barat justru atas eksploitasi hasil bumi Indonesia. Berarti, tanpa penjajahan, akumulasi kapital akan berhenti. Nah, justru seperti Revolusi Industri mengharuskan perusakan ekonomi dan struktur masyarakat lokal untuk memungkinkan ekstraksi kekayaan alam (‘bahan mentah’) dari negara selatan, maka Revolusi Hijau memerlukan kolonialisasi teknologi, budaya, dan ekonomi lokal, disebut oleh Vandana Shiva sebagai ‘gelombang kedua kolonialisme’ (2001:122).


‘Bantuan’?

Penjajahan baru dalam bentuk Revolusi Hijau justru memperlebarkan ketimpangan akses antara negara Utara (Amerika Serikat, Eropa, Australia, Jepang) dan negara Selatan (Asia, Afrika, Amerika Latin). Untuk melaksanakan kebijakan intensifikasi pertanian – di antaranya berupa subsidi terhadap harga pupuk; kredit pertanian melalui Bimas dan Inmas; pengadaan dan perbaikan sarana irigasi; serta pembelian padi oleh pemerintah melalui BULOG – pemerintahan Orde Baru memperoleh ‘bantuan’ besar dari pinjaman dan hibah internasional.[8] Atau, lebih tepat kalau dikatakan, memperoleh hutang besar. Menurut Sabastian Saragih, hutang luar negeri inilah yang menjadi pendorong terjadinya resesi ekonomi, sulitnya kebangkitan ekonomi Indonesia, serta tidak mandirinya pemerintah dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. Kebijakan pemerintah menjadi sangat mudah diintervensi oleh kepentingan-kepentingan negara/lembaga pemberi hutang (2003:vi). Binny Buchori menulis dalam Tempo (14 Oktober 2001),

Total hutang Indonesia kurang lebih US$150 milyar atau 100% dari PDB (pendapatan kotor nasional). Data dari Bank Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia harus membayar hutang sebesar US$7.5 milyar pada tahun 2001 dan tahun-tahun berikutnya sebesar US$10.97; US$9.32; US$8.3; dan US$8.2 milyar. Melihat begitu besar beban hutangnya maka Indonesia pasti tidak mampu membayar hutangnya dan tetap tergantung kepada hutang.

Selanjutnya, Sabastian Saragih menjelaskan mengenai hubungan antara hutang dan proses penjajahan dengan menggunakan teknologi revolusi hijau. Pertama, negara penemu teknologi revolusi hijau, yakni negara Utara, meyakinkan kepada pemerintah bahwa revolusi hijau akan meningkatkan produksi secara ‘revolusioner’. Kedua, negara pemilik modal itu menawarkan proyek ‘kerjasama’, agar proses intensifikasi dapat berjalan.[9] Namun, ‘bantuan’ ini diperoleh dengan biaya yang tinggi. Menurut studi yang dilakukan Oxfam, dari setiap US$1 ‘bantuan’ yang diberikan, akan diambil lagi kira-kira sebesar US$2 akibat syarat-syarat yang diberlakukan atas ‘bantuan’ tersebut. Bantuan yang diberikan dalam bentuk peralatan pertanian misalnya, akan diikuti dengan bentuk konsultasi, training dan monopoli suku cadang oleh negara pemberi ‘bantuan’, yang nilainya bisa mencapai dua kali lipat dari jumlah bantuan tersebut. Kegiatan ikutan tersebut harus dibiayi oleh negera penerima ‘bantuan’. Berarti dibiayi oleh rakyat yang diklaim dibantu.

Proyek ‘kimitraan’, program ‘kerjasama’ tersebut ini, lebih tepat kalau dipandang sebagai proyek penundukan. Francis Wahono membuktikan, dalam hal kecukupan pangan, kerjasama sejati tidak didasarkan pada sekedar partisipasi pada program yang bukan dibuat oleh para petani negara berkembang. Kerjasama itu harus dilandaskan pada inisiatif pribadi, kemandirian, dan kebebasan dalam membuat keputusan mengenai program yang petani-petani kecil di negara berkembang susun bagi diri mereka sendir. Dalam singkat kata, kerjasama sejati harus didasarkan atas hak masyarakat untuk menentukan nasib mereka sendiri, yang selama ini terpinggirkan. Tutur Bu Napsiyah,

Orang di atas, pemerintah, politikus… termasuk LSM yang selalu sibuk keliling-liling, hadir rapat-rapat… nga sempat terjun ke bawah. Hanya ngomong-ngomong… kata-kata terbang, nga sambung ke bawah. Saat pemilu, kampanye direbut… pemilu, pemilu, pemilu, bendera-bendera… uang dibuang… dan lima tahun kemudian sekalian akan diulangi… gaya air tumpah, uang belok sini, belok sana, sampai bawah nga ada tetesan… tinggal cuma tempatnya, dibuang aja! Daripada uang dibuang buat pemilu, militer, bensin motor… bagaimana tanya pada perempuan, ‘mau kerja apa sih?’. Daripada obat, lebih baik dikasih ilmu kesehatan. Daripada sembako[10] lebih baik dikasih kerjaan. Itu cuma harapan saya, cuma satu orang saya sendiri… cuma bicara di dapur sini





Bab Dua
Kearifan gulma: memulihkan budidaya lokal
Benih sendiri, pupuk sendiri… perusahaan akan rugi (Bu Napsiyah, 2004).

Dengan mengembalikan kearifan lokal ke lahannya, Bu Napsiyah melawan proses pembodohan sistemik yang telah merebut pengetahuan berbudidaya dari tangan petani. Dengan memuliakan benih sendiri; melestarikan kesuburan lahannya dengan memproduksi pupuk sendiri dari bahan daun-daunan, pupuk kandang (kotoron sapi atau kambing)[11], beserta sisa panen; mengendalikan hama dengan menyiramkan ramuan daun pahit, dia telah menemukan jalan keluar dari kecanduan, kerentanan, dan keracunan yang diakibatkan oleh Revolusi Hijau. Namun, pada saat Bu Napsiyah mulai bertani secara organik dua tahun yang lalu, dengan menanam benih berbagai macam sayuran dibawa oleh Supri dari MBI, petani lain dari Pulangan, semua ketawa… nanam apa sih? Petaknya sekecil itu, kok nanam macam-macam? Diketawain terus, seperti main-main, seperti nanam bunga aja… sampai saya rasa malu. Pernah, saya mengagumi keberaniannya. Berani? Iya, nga mau mundur. Bu Napsiyah menjelaskan, sudah bertahun-tahun rakyat petani dicandukan, dibodohkan. Pengetahuan berbudidaya secara ekologis, seimbang dengan hama/predator, siklus air, hara, kesuburan tanah, sudah lama ditinggalkan, sudah lama dihancurkan. Dari desa lain mereka datang… mahasiswa, PPL, LSM-LSM semua datang ke sini… lihat, bertanya, belajar… tapi dari desa ini, diam… nga ada yang ingin tahu. Sawah-sawah sekitar lahan Bu Napsiyah,[12] sekalian dikerjakan dengan menggunakan bahan-bahan kimia – pestisida, pupuk urea, KCl, TSP. Akibatnya, aliran air yang mengaliri lahan Bu Napsiyah dari lahan ke atas, sudah dijadikan aliran kimia.[13] Pada saat musim hujan, lahan yang ke atas dari lahan Bu Napsiyah ditanami dengan monokultur tanaman ketimun, penjara ketimun. Setiap minggu sekali tumbuhan ketimun disemprotkan dengan pestisida (kadang juga sampai dua kali seminggu). Sebagian dari pestisida tersebut ini pasti mengaliri lahan Bu Napsiyah. Lalu, mulai musim kemarau, sekalian dibongkar, digantikan dengan monokultur tanaman lombok. Pada saat kami mau pulang lewat lahan lombok ini, terpaksa bernafas udara pestisida yang menyakitkan betul (apalagi petani yang berkali-kali menyemprotkan pestisida itu, akan memunculkan penyakit apa pada tahun-tahun berikutnya?). Tidak mengherankan juga, hama lebih senang berpindah ke lahan Bu Napsiyah, tumbuhan tanpa pestisida memang lebih enak!

Untuk mengendalikan serangan hama dari lahan tetangganya, Bu Napsiyah dan Pak Djalan menyiramkan tumbuhannya dengan ramuan dibuat dari daun pahit – daun moris, daun paitan, daun tembaku. Pematangnya ditanami dengan tanaman pelindung, penolak hama seperti kenikir, tembaku dan kemangi. Selanjutnya, daripada corak pertanian monokultur – penanaman satu jenis yang sama dengan areal yang luas selama bertahun-tahun, corak yang meningkatkan kerentanan terhadap hama dan penyakit, lahan Bu Napsiyah ditanami dengan campuran sayuran yang beragam – bayam merah, bayam hijau, kangkung, kailan, sawi, bok choi, kubis, lombok, tomat, jagung manis, ketimun, daun bawang.
Tapi sebagian besar dari petani, nga lagi tahu… nga lagi tahu daun moris, daun randu sebagai pestisida… nga lagi tahu jarak, kambas, gude, mindi… Pengetahuan dan keahlian masyarakat lokal yang dimusnahkan revolusi hijau tidak sekedar pengetahuan pestisida alami dan pupuk hijau, tetapi juga termasuk pengetahuan obat-obatan, pengetahuan gulma lahan yang kaya bergizi, pengetahuan pewarnaan, padahal sekalian pengetahuan atas tumbuhan liar juga ditinggalkan. Kearifan atas keanekaragaman hayati, atau dalam kata-kata Bu Napsiyah, atas ilmu hidup, dihancurkan oleh proyek keseragaman besar-besaran, yang menyelenggarakan pengetahuan monokultur. Kalau nga diperhatikan, tumbuhan liar hilang… kok punah semua… pohon liar dibuang aja. Maka, dengan mempertahankan, dengan memperhatikan kearifan ekologi lokal, Bu Napsiyah melawan kepunahan keanekaragaman hayati. Pelestarian keanekaragaman hayati justru merupakan basis untuk keberlanjutan penghidupan petani kecil, untuk keberlanjutan penghidupan dia sendiri.

Secara perlahan-lahan, Bu Napsiyah sudah mulai membangunkan kembali kesadaran masyarakat petani atas kearifan keanekaragaman hayati yang selama ini terpinggirkan. Ketika pulang dari ladang dengan membawa daun-daunan – moris, lamtoro, paitan - ke lahannya, petani akan bertanya, buat apa ngendong daun-daun? Dengan diam-diam, Bu Napsiyah akan mebagi pengalamannya, keahliannya… daun moris ini, sama dengan ini, paitan buat obatan… paitan, juga bisa pupuk ijo… ini juga, lamtoro… Pengetahuannya tentang ekologi lokal memang luar biasa dalam luasnya. Saya pernah bertanya, belajar dari siapa? Belajar di mana kearifan tumbuhan-tumbuhan? Jawabnya, saya nga pernah belajar ilmu besar, cuma sekolah sampai SD Kelas 6… tapi sudah kecil saya keliaran di lahan… Untuk Bu Napsiyah, keanekaragaman hayati merupakan jaringan hubungan yang menjamin keseimbangan dan keberlanjutan. Setiap pohon, setiap tumbuhan, setiap mahkluk mempunyai nilai intrinsik, mendapatkan karakteristik dan nilai melalui hubungannya dengan tumbuhan dan mahkluk lain.

Saya beruntung sekali sempat belajar dengan Bu Napsiyah, teman saya, guru saya. Kumpulan kearifan ‘gulma’ yang berikutnya merupakan sebagian sangat kecil dari pengetahuan dan keahliannya, dan sebagai strategi perlawanan terhadap pengetahuan monokultur adalah hanya permulaan. Termasuk juga ialah resep-resep masakan yang saya sempat belajar, masak, dan makan dengan teman-teman perempuan saya. Kearifan pangan, pengetahuan tumbuhan sayur, buah dan bumbu, memang menyiratkan kearifan masakan yang diwarisi kaum perempuan, secara turun-menurun, dari ibu-ibu dan nenek-neneknya. Akhirnya, ada tumbuhan yang bisa dimanfaatkan untuk pewarnaan alami, sebuah aliran kearifan yang saat ini telah tersingkirkan oleh pewarnaan sintetis. Namun, di Tulung Agung, pengetahuan ini dipertahankan dan dilestarikan oleh Mas Sigit, guru batik saya. Banyak betul, guru saya selama semester ini!

Semua ada nama, semua ada kegunaan, semua ada sejarah, semua ada khasiat (Bu Napsiyah, 2004).

Aren
Pewarnaan
Bunganya dipotong, lalu tetesan dari batang (nira) diambil, dipakai untuk mendapat warna coklat.
Es teler, Bu Gondo, Yogyakarta
Buah aren, dibakar lalu dikupas untuk membuat kolang-kaling. Campur dengan buah mangga, nangka, melon, kelapa muda yang dipotong kecil. Bagikan buah campur antara mangkok, kasih santan (yang telah dimasak dengan garam sedikit), susu kental manis, dan es.

Bawang putih
Pestisda
Ditumbuk, dilarutkan dengan air kemudian disemprot.
Tempe penyet, Nany, Sampit
Bawang putih diuleg sama garam, kasih air sedikit. Masukkan tempe dipotong tipis, lalu digoreng hingga emas. Makan sama Sambal Sampit… lombok merah besar dipotong, digoreng, lalu diuleg sama garam, bawang putih, bawang merah, beberapa tomat. Sekalian digoreng lagi.

Bayam merah
Pembenihan
Ambil benih yang sudah kering di batang lalu dijemur pada pagi hari (8-10am, jangan sampai siang, akan kepanasan), selama seminggu. Tanaman sayuran – bayam, kailan, kangkung, sawi dan sebagainya – untuk pembenihan seharusnya terpisah dari tumbuhan yang mau dipanen (tumbuhan yang sudah tua akan mengundang hama, penyakit ke lahannya).
Pewarnaan
Daunnya ditumbuk, direbus, kemudian disaring. Dipakai untuk mendapat warna merah muda.
Sayur

Brotowali
Jamu
Untuk memperlangsing badan, kayu brotowali direbus, airnya diambil, dikasih garam, gula jawa, lalu diminum (awas… pahit sekali).
Pengendalian penyakit keriting pada cabai, Pak Sutomo, Purworejo
Brotowali (batang kayu) 1kg, ditumbuk dengan kapur 10 sendok makan, dan kunyit 1kg. Airnya diambil, lalu dicampur dengan air 30-50 liter. Disemprotkan pada tanaman cabai.

Cemondelan
Tumbuhan liar
Sayur Gulma, Bu Napsiyah, Pulungan
Cemondelan (berbunga ungu), tempuyung, kenikir, junggul direbus sampai masak (5-10 minit). Campur sama bumbu kelapa, yakni lombok 3, bawang putih 1, daun jeruk 1, bawang merah 2, kencur sedikit diuleg sama garam. Kasih kelapa parut, diuleg lagi lalu bumbunya dikukus (dibungkus dalam daun pisang) 10 minit. Sayur gulma juga enak dimakan sama bumbu pecel.

Cucung galod
Pewarnaan
Daun cucung galod, ditumbuk, direbus, disaring… dipakai untuk mendapat warna coklat muda.

Eceng-eceng (kacang babi)
Pupuk hijau
Penyubur tanah. Ditanam duluan padi. Sebelum berkembang dibabat, kemudian sekalian dibajak.

Gadung
Penanaman
Kulitnya, yang dilepas dalam proses pembuatan pestisida, bertunas kecil. Saat musim hujan tunasnya ditanam, akan tumbuh. Pohonnya merambat, lalu saat musim kemarau berikutnya akar menggembungnya dapat dipanen.
Pestisida
Gadung  1kg dikupas, kemudian diparut -  pakai sarung tangan karena gatal sekali. Lalu diperas, airnya diambil, dicampur dengan air 6 liter, siap disemprotkan.  Obat ini kejam sekali, akan mematikan ulat – dan bagi manusia, memusingkan betul. Selama proses pembuatan, penyemprotan harus pakai mask.

Genjer
Tumbuhan liar
Sayur
Gulma padi berbunga kuning. Untuk masak enak tumbuhan muda.

Gude
Pupuk hijau
Akarnya juga mengandung zat lemas (sebangsa kacang-kacangan), akan mempersubur tanah sekitarnya.
Sambal gude, Bu Napsiyah, Pulungan
Biji-biji gude muda diuleg sama garam, bawang merah, lombok kecil.

Jamu akaran
Penanaman
Akar bertunas yang ditanam akan tumbuh kembali. Tunasnya harus berarah ke atas dan kalau ada tunas banyak, dipotong tinggal hanya satu. Senangnya di tempat teduh.

Bengle
Pestisida
Daun bengle… lihat ramuan pestisida Bu Hendrastuti.
Jamu
Untuk perempuan yang baru habis melahirkan rimpang bengle diparut, diperas (atau diiris-iris, lalu direbus). Airnya diambil, diminum.
Jahe
Jamu
Untuk yang menderita mabuk air, motor atau laut, teh yang dibuat dari rimpang jahe (ditumbuk, dikasih air panas), diminum sebelum perjalanan akan mengurangi perasaan mual.
Susu, Telur, Madu, Jahe
Susu segar yang telah dipanaskan hingga mau mendidih lalu diangkat dari api, telur ayam kampung, madu sama air jahe (diparut lalu diperas) diaduk-aduk. Diminum, akan mempersegarkan badannya.
Sari jahe wangi, kelompok tani perempuan Barokah, Banjarejo, Boyolali
Jahe 2kg, serai 3 batang, pala 5 (yang telah diparut), kayu manis, ginseng 1 besar… ditumbuk, diperas. Airnya diambil (sekitar 6 gelas), dicampur dengan pandan wangi 6 lembar diikat, gula pasir 3kg, gula jawa 2on. Sekalian direbus sampai kental. Cepatlah diangkat dari api, kemudian diaduk-aduk sampai menjadi pasir. Siap diminum, kasih air hangat.
Terong Bumbu Bali, Milas, Yogyakarta
Terong dipotong besar, dicuci sama garam lalu digoreng, minyak sedikit. Bumbunya… bawang putih, bawang merah, kunyit, jahe, lombok merah digoreng lalu diuleg sama gula, garam, tomat, daun jeruk. Terong sama bumbunya dicampur sampai rata, dimasak lagi hingga terong menjadi empuk. Dimakan sama lalapan… ketimun, kemangi.




Kencur
Jamu
Untuk yang menderita menceret, mengoleskan ramuan dari rimpang kencur, kunci pepet, dan kunyit di perut.
Mendol, Bu Musmini, Pulungan
Bumbunya… bawang putih, bawang merah, kencur, laos, daun jeruk, ketumbar, lombok diuleg sama gula, garam. Tempe bisa, tahu juga bisa. Kalau tempe, dihancurkan sama bumbu. Kalau tahu, diperas dan airnya dibuang, lalu kasih kelapa parut dan campur sama bumbu. Kasih daun brambang (bawang merah) dipotong kecil. Membentukkan bulat-bulat dan menggoreng.

Kunci jawa

Kunci pepet
Jamu
Untuk memperlangsing badan, kunci pepet, kencur sama kunyit, diparut, diperas, airnya diambil, lalu diminum.

Kunyit
Jamu
Pewarnaan
Rimpangnya (akar nenek, yakni yang paling merah besar) ditumbuk atau diparut, lalu diperas dan airnya diambil. Warna kuning betul.
Nasi Kuning, Bu Sumi, Kemulan
Kunyit (1 jari), ketumbar (1 sendok makan), jahe (1 jari), bawang putih (5), pala (separoh biji), kayu manis… diuleg sama garam (1 sendok makan). Beras 1kg dicuci, dikasih daun jeruk 3, daun serai 2 batang. Bumbunya tadi diperas sama kelapa parut Rp1000, air secukupnya untuk menututupi beras (atas beras air seharusnya hingga garis pertama dari jari telunjuk). Masak sampai airnya hampir habis, lalu berpindah ke sablukan (air di bawanya, daun pandan wangi 3), dan masak lagi sampai empuk, sekitar 30 minit.

Lengkuas (laos)
Jamu
Untuk yang kurang nafsu makan, rimpang lengkuas diparut sama buah mengkudu (yang agak muda), diperas, airnya diambil, dicampur sama madu, asam sedikit, air secukupnya, lalu direbus, diminum.
Kare, Bu Sumi
Bumbunya… brambang, bawang, jahe, ketumbar, lombok merah besar (bijinya dibuang), merica sedikit, lengkuas diuleg sama garam, gula lalu digoreng. Campur sama kentang, tahu yang telah digoreng, tempe yang telah dikukus sebentar (5 minit), beserta santan secukupnya. Daun jeruk sama daun serai masukkan langsung

Lempuyung
Jamu
Untuk memperlancar air susu ibu… lihat ramuan klabangan.

Temu ireng
Jamu
Untuk bayi yang tidak bernafsu makan, atau anak cacingan, rimpangnya dioleskan di perut. Tutur Bu Napsiyah, baunya ke dalam… besok cacing ke luar. Kalau ayam cacingan, lewat mulut (tapi kasihan… pahit sekali).
Pestisida
Direndam, airnya diambil lalu disemprotkan.

Temulawak
Pewarnaan
Rimpangnya ditumbuk, diperas (gaya kunyit) untuk mencipta warna coklat oranye.

Jarak
Pestisida
Buahnya ditumbuk dengan daun-daunan yang pahit. Airnya diambil, lalu dicampur dengan air (30-50 liter). Siap disemprotkan atau disiramkan.
Pupuk hijau
Daun jarak.
Jamu
Untuk orang yang menderita gigi bengkak, menceret atau kencing darah, buahnya (kuning kecil) ditumbuk dengan kunyit, airnya diambil lalu diminum.
Pewarnaan
 Untuk mendapat warna hijau buahnya ditumbuk, diperas, lalu airnya direbus.

Jati
Pewarnaan
Untuk menciptakan warna coklat merah, daun muda ditumbuk, diperas, lalu airnya direbus.

Junggul
Tumbuhan liar
Sayur
Lihat resep Bu Napsiyah untuk sayur gulma.

Kacang tanah
Pupuk hijau
Ditanam sebagai penyubur tanah.
Gado-gado, Ibu Titi, Yogyakarta
Kacang digoreng, minyak sedikit. Diuleg halus. Sambalnya… bawang merah, bawang putih, lombok merah panjang kurus, udang kering (terserah) diuleg sama garam, lalu digoreng. Kacang halus dan sambal dicampur dengan air panas, gula jawa dan asam jawa sedikit. Bumbu kacang ini siap dimakan sama kentang rebus, telur, tauge, kubis, lontong, wortel rebus, bayam, krupuk.



Kambas
Pembenihan
Ambil buah yang sudah tua, kering di batang. Dijemur pada pagi hari sampai kering betul, di dalamnya ada benih hitam, agak besar (sebesar benih labu).
Pestisida
Ditumpangsarikan dengan ketimun sebagai pelindung… ulat akan makan kembas daripada ketimun.

Kates (papaya)
Pembenihan
Benih kates direndam air, dicuci bersih, lalu dijemur pada pagi hari selama seminggu.
Urap-urap daun kates, Bu Sumi, Kemulan
Daun kates (penambah darah) direbus, lalu dicampur sama bumbu kelapa… kencur sedikit, daun jeruk, lombok, bawang putih diuleg sama garam, gula, kemudian dikukus (dibungkus dalam daun pisang).

Kecubung
Pestisida
Untuk mengendalikan walangsangit, buah kecubung (2 butir) direbus dengan brotowali (1kg), air satu liter. Ramuan kemudian disaring, dicampur dengan air dengan perbandingan 1:16. Siap menyemprotkan pada pagi dan sore hari.

Keduyo
Pestisida
Daun direndam selama seminggu, lalu airnya diambil siap disemprotkan pada tanaman.

Kelerek
Pestisida
Untuk mengendalikan hama ulat pada tanaman sayuran… daun tembaku kering (5 lembar), direndam air panas (1 liter) sama buah kelerek (7 butir dipotong-potong). Diaduk. Setelah ramuan sudah dingin siap disemprotkan.
Ganti sabun
Untuk kain halus, kain batik, buah ditumbuk halus, lalu akan berbusa.
Kelorwono
Pupuk hijau

Kemangi
Pembenihan
Ambil benih yang sudah kering di batang, lalu dijemur pada pagi hari (8-10am, jangan sampai siang, akan kepanasan), selama seminggu. Biji-biji kecil, hitam.
Pestisida
Ditanam di pematang lahan sebagai penolak hama.
Trancam, Bu Sumi, Kemulan
Kencur, kemiri (yang sudah digoreng), lombok, bawang putih diuleg sama garam, gula. Kasih kelapa parut, diuleg lagi. Bumbu kelapa dicampur sama kemangi, ketimun dipotong kecil, biji toro, tauge, tempe (yang dibakar, arang bisa, elpiji bisa, lalu diremas).
Dawet kemangi, Bu Napsiyah, Pulungan
Benih kemangi direndam dalam air hangat selama satu jam. Akan menjadi semacam dawet, gaya telur kodok.
Tahu pepes, Bu Gondo, Yogyakarta
Bawang putih, bawang merah, lombok merah, jahe diuleg sama garam, gula. Masukkan tahu, telur (1), daun kemangi, daun bawang… kemudian campur sekalian sampai merata. Dibungkus dalam daun pisang, dikukus kurang lebih 20 minit.

Kenikir
Pembenihan
Cara pembenihan sama seperti kemangi. Benihnya panjang, kurus.
Pestisida
Ditanam di pematang lahan sebagai pelindung tanaman.
Sayur
Lihat resep Bu Napsiyah untuk sayur gulma.

Klabangan (telapak kuda)
Jamu
Untuk memperlancar air susu ibu, daun klabangan, daun simbuan, daun luntas, kunyit, kencur, kunci jawa, lempuyung, asam, garam ditumbuk, diperas, lalu airnya diambil, direbus. Siap diminum.
Koro pait
Pestisida
Daun koro pait dimasukkan ke dalam rendaman. Setelah sudah busuk, kurang lebih seminggu, airnya diambil, disiramkan pada tumbuhan.



Lamtoro
Pestisida
Buah lamtoro.
Pupuk organik cair, kampung Silingan
Daun lamtoro serta daun kacang-kacangan yang masih hijau muda 10kg, dimasukkan ke dalam karung dengan kotoran ternak 10kg, dan diikat dengan tali. Sekalian dimasukkan ke dalam ember berisi air dengan perbandingan 1:2. Letakkan batu atau kayu agar karung dapat terendam air. Biarkan terendam selama 2-3 hari. Siap digunakan. Campur pupuk dengan air dengan perbandingan 1:3. Semprotkan atau siramkan pupuk sekitar tanaman, sekali sehari pada musim kemarau, tiga hari sekali pada musim hujan. Bahan-bahan yang ada di dalam dapat dionggokkan ke sekitar tanaman, sebagai bumbun di masa musim kemarau.

Loncak
Pewarnaan
Buahnya ditumbuk untuk mendapat warna ungu.

Luntas
Jamu
Untuk menghilangkan bau keringat, daun luntas ditumbuk, diperas, lalu airnya direbus, diminum. Juga bisa dipakai untuk memperbanyak air susu, lihat ramuan klabangan.

Mahoni
Pestisida, ramuan Kelompok Tani Sidomulyo, Jember
Untuk membasmi serangga pembuat lobang pada jeruk siam, daun mahoni ditumbuk sama daun tembaku, daun jarak, dilarutkan dengan air kemudian disemprotkan.



Pewarnaan
Untuk mendapat warna coklat kemerahan, daun/akar/batang mahoni ditumbuk, campur dengan air dengan perbandingan 1:2, lalu direbus hingga airnya kurang separoh.

Mangga
Pewarnaan
Untuk mendapat warna kuning kehijauan, akar/batang mangga ditumbuk, lalu direbus sama air 1:2, hingga airnya kurang separoh.



Mangkokan
Jamu
Untuk mempersehat, memperhitamkan rambut, daun mangkokan dikeringkan, kemudian dicampur dengan minyak kelapa.

Manisah (labu siam)
Penanaman
Ambil buah manisah yang sudah tua keras di batang, lalu disimpan di tempat dingin gelap. Setelah akar sudah tumbuh, dapat ditanam kembali.
Pestisida
Yang dipakai, daunnya… lihat ramuan pestisida Bu Hendrastuti (mindi).
Sayur manisah, Bu Sumi, Kemulan
Buah manisah dipotong kecil, dicuci sama garam, lalu diremas-remas. Bumbunya… bawang merah, bawang putih, kemiri yang telah digoreng, lombok merah diuleg sama garam, gula. Daun bawang yang telah dipotong kecil digoreng sama bumbu yang tadi diuleg. Kasih manisah, laos. Kalau sudah agak masak santan dimasukkan.

Mengkudu
Jamu
Untuk yang kurang nafsu makan buah mengkududitumbuk sama lengkuas, diperas, airnya diambil, lalu dicampur sama air secukuonya, madu, asam sedikit.
Pewarnaan
Untuk mendapat warna merah, akar/batang ditumbuk, lalu direbus sama air 1:2, hingga airnya kurang separoh.
Ganti sabun
Untuk mencuci kain merah/batik, buah tua ditumbuk halus, lalu akan berbusa.

Mindi
Pestisida, ramuan Bu Hendrastuti, Kulon Progo
Untuk mengendalikan Walangsangit dan Wereng, dibuat ramuan dari daun mindi 2kg, gadung 2kg, daun bengle 2kg, daun koro pait 2kg, buah lamtoro 5kg, daun kleresede 2kg, labu siam 2kg, daun mahoni 2kg, daun ketepeng 2kg, daun kenikir 2kg, gamping kapur 2kg, daun eceng-eceng 2kg, pupuk kandang 5kg. Semua bahan dihaluskan dan dimasukkan karung, lalu direndam dalam drum berisi setengahnya selama dua minggu. Setelah itu disaring lalu ditambah urine sapi. Dosis penggunaannya 0.5 liter ramuan dicampur dengan satu liter air, siap disemprotkan.

Moris (sirsat)
Pestisida
Untuk mengendalikan ulat grayak dan wereng, daun moris yang masih segar ditumbuk halus, dicampur dengan air sedikit, lalu disaring. Saat menggunakan, air moris dicampur air dengan perbandingannya 1:20. Siap disemprotkan.
Jus sirsat, Nurvani, Kebonsari
Buah sirsat dikupas, bijinya dibuang, lalu diblender sama es, susu manis kental sedikit, sirup gula, pewarna merah.

Nanas
Penanaman
Buah nanas, daun atasnya dapat dipotong, ditanam kembali.
Pewarnaan
Buah muda ditumbuk, diperas, lalu airnya diambil dan direbus untuk mendapat warna merah.

Nila (tarum)
Tumbuh di pinggir-pinggir jalan, pada saat musim kemarau.
Pembenihan
Benih yang sudah kering di batang, diambil lalu dijemur pada pagi hari (8-10am, jangan sampai siang, akan kepanasan), selama seminggu. Biji-biji coklat, kecil. Kulit benih berbentuk sabit.
Pewarnaan
Untuk mendapat warna biru indigo, daunnya (banyak!) direndam semalam, lalu atasnya yang berwarna  biru/hijau diambil. Proses ini diulangi berkali-kali. Cairan nila direbus, lalu dijemur.

Pacar
Pewarna kuku
Daun pacar ditumbuk sama air kapur, air jeruk nipis, lalu kukunya ditutupi dengan ramuan ini. Setelah sudah kering, tangannya dicuci. Kukunya akan merah.

Paitan
Penanaman
Batangnya dipotong berukuran kurang lebih 30cm, ditanam akan tumbuh kembali.
Pestisida
Daun paitan yang masih segar dimasukkan ke dalam kolam rendaman (atau ember) selama seminggu (atau hingga sudah busuk), airnya diambil, siap disiramkan.
Bokashi, Mas Yun, Cincing
Bahannya… daun paitan 4 kwintal, kotoran kambing kurang lebih 7 kwintal, bakteri 1 liter, air 5 liter. Pertama-tama membuat lubang berukuran 2×4m sedalam 1m. Daun paitan dihancurkan atau dirajang, lalu dimasukkan sedikit demi sedikit bersama kotoran kambing dengan disiram air yang telah dicampur bakteri (lihat cara pembuatan di bawah ini). Penyiraman harus merata. Setelah sekalian dimasuk, lubang ditutup plastik dan pinggir plastik ditimbun tanah. Selang 15 hari tutup atau plastik dibuka dan diaduk-aduk setiap minggu sekali. Setelah 30 hari, bokashi yang sudah jadi dikeluarkan dari lubang dan dikeringkan selama satu minggu. Dimasukkan ke dalam karung, siap untuk digunakan.
Cara pembuatan bakteri… rumen kambing, kotoran didalamnya dikeluarkan, dimasukkan ke dalam kain, kemudian diperas hingga tinggal ampasnya. Air perasannya ditempatkan di dalam wadah. Kemudian merebus air sebanyak 2 liter hingga mendidih. Masukkan terasi 1½on yang sudah dihaluskan sama gula 2on sambil diaduk-aduk, kemudian juga masukkan bekatul ¾kg secara perlahan-lahan. Dinginkan. Setelah campuran sudah dingin masukkan ke wadah cairan rumen, lalu diaduk merata. Ditutup dengan plastik pakai karet dan ditaruh di tempat yang teduh. Kemudian setelah 24 jam dibuka dan diaduk dan ditutup lagi. Setiap dua hari dibuka, diaduk, ditutup lagi. Setelah 7-10 hari bakteri seharusnya sudah jadi. Tanda-tanda bakteri sudah jadi ialah; pertama akan tercium bau seperti aroma tape; kedua bekatul yang tercampur itu akan mengapung dan keluar gelumbung-gelumbung gas.

Pakis
Tumbuhan liar       
Pakis, Bu Sumi, Kemulan
Daun yang lebar, halus, cernih dipotong-potong lalu dijemur sebentar hingga sudah layu. Dicuci, diremas-remas. Bumbunya… bawang merah, bawang putih, kemiri, laos, lombok digoreng lalu diuleg sama garam, gula. Pakis digoreng, minyak sedikit, sama daun brambang dan bumbu yang tadi diuleg. Campur merata, lalu kasih santan secukupnya. Tahu, tempe juga bisa.

Pandan wangi
Jenang (bubur), Bu Musmini, Pulungan
Air 2 cangkir, direbus sama daun pandan satu lembar yang diikat, hingga mendidih. Masukkan tepung beras ½ cangkir yang telah dicampur, diaduk-aduk sama santan, garam sedikit. Diaduk terus sampai kental, cernih. Makan sama sirup gula… gula merah dilarutkan dengan air sedikit, direbus.

Pandan betawi
Pewarnaan
Pandan betawi ditumbuk sama kunyit sedikit, air sedikit. Diperas, airnya diambil.
Klepon, Ribut, Tumpang
Daun pandan warna (5 lembar) ditumbuk, lalu diperas sama air sedikit. Air pandan dicampur sama tepung ketan (1 cangkir). Diadon tepung sama air mendidih secukupnya (sekitar ½ cangkir), hingga adonan menjadi lembut. Kemudian membentukkan bulat kecil, melekukkan dalamnya pakai jari jempol. Mengisi lekukan dengan gula merah dan menutup lagi. Diulangi sampai adonon habis. Masukkan bulat-bulat ke air mendidih. Saat sudah naik ke atas, diangkat, langsung masukkan air dingin sebentar (supaya tidak kumpul menjadi satu). Campur sama kelapa parut hingga merata.





Pecut kuda
Tumbuhan liar
Jamu
Untuk menurun darah tinggi, daun pecut kuda sama daun apokat (3-5 lembar masing-masing… jangan banyak-banyak, penurunnya sangat tajam), direbus, airnya diambil, diminum.

Perlas
Tumbuhan liar
Ambril kayu
Waktu masih kecil Bu Napsiyah pernah menghaluskan penggaris bambu bikinan sendiri dengan menggunakan daun perlas.

Pinang (jambi)
Mengendalikan tikus
Untuk mengendalikan hama tikus, liangnya ditutup dengan pucuk daun pinang muda, sehingga tikus menjadi mabuk bila memakannya.
Jamu
Saat menyiangi padi, getah biji pinang dioleskan pada kulit supaya tidak kegatalan.
Pewarnaan
Biji buah muda ditumbuk, direbus sama air hingga kental, lalu disaring.

Pule
Jamu
Untuk yang menderita diabet atau kulit gatal, kulit pohon pule direbus, airnya diminum.

Pupuk ragi kusno
Pak Saroso, Gunung Timur, Simo
Ragi tape (Rp 3.000) digerus sampai halus. Pupuk kandang (8 keranjang), bekatul (5kg) dan kapur (10kg) dicampur dan diaduk sampai rata kemudian ditaburi dengan ragi tape. Garam (1kg) dan gula pasir (5kg) dilarutkan dalam air secukupnya lalu disiramkan sedikit demi sedikit pada bahan-bahan pupuk sambil diaduk-aduk. Setelah tercampur secara merata, kemudian dibuat gundukan dan ditutup dengan bagor rapat-rapat. Setelah satu hari satu malam dibuka, dan diaduk lagi sampai rata, kemudian ditutup lagi. Kurang lebih selama 2 hari pupuk sudah jadi dan siap untuk digunakan.

Randu (kapok)
Pestisida
Daun randu direndam selama seminggu, lalu airnya diambil, siap disemprotkan atau disiramkan.

Remekjun (keji beling)
Jamu
Untuk orang laki-laki yang menderita kencing batu, daun remekjun (hanya 3-5 lembar, obat ini manjur sekali) direbus, lalu airnya diminum.
Salam
Pewarnaan
Batang pohon salam ditumbuk, direbus, lalu disaring untuk mendapat warna coklat.

Seledri
Sop sayur, resep Nurvani, Kebonsari
Bumbunya… merica, brambang, bawang, kunyit diuleg sama garam, gula. Kasih pala parut sedikit lalu digoreng hingga wangi. Jahe, daun serai, daun jeruk dimasukkan langsung sama air secukupnya. Sayurnya terserah… kentang, kubis, polong, wortel, kacang panjang, buncis. Saat sayur sudah masak kasih daun seledri sama daun bawang dipotong kecil.

Semanggi
Tumbuhan liar
Bumbu pecel, resep Bu Napsiyah, Pulungan
Kacang tanah digoreng hingga enak. Lombok, kencur, bawang juga digoreng lalu diuleg sama daun jeruk, asam sedikit, gula, garam. Kasih kacang yang tadi digoreng dan diuleg lagi. Setelah sudah halus kasih air sedikit, diuleg lagi. Siap dimakan sama nasi, sama sayur semanggi, cemondelan, kenikir, junggul, tempuyung (yang telah direbus), ketimun, tauge, tempe goreng, krupuk.

Sengon
Pewarnaan
Batang pohon sengon ditumbuk, direbus lalu disaring untuk mendapat warna coklat.

Serai
Penanaman
Setelah tumbuhan serai sudah besar bisa dibagi-bagi, ditanam kembali.
Pestisida, ramuan Kelompok Tani Sidomulyo, Jember
Untuk mengendalikan ulat pada tanaman sayur, daun serai ditumbuk sama daun tembaku dan jahe, direndam, airnya diambil kemudian disemprotkan atau disiramkan pada saat pagi hari.
Sayur Lodeh, resep Bu Gondo, Yogyakarta
Bumbunya… ketumbar (1 sendok makan), bawang merah (10), bawang putih (6) diuleg sama garam. Dimasak sama santan, daun serai (2 batang), lengkuas (2 jari), jahe (2 jari), daun salam, lombok merah (2), lombok hijau (3… lomboknya dipotong besar). Sayurnya terserah… rebung (yang telah direbus berkali-kali, setiap kali airnya dibuang hingga tidak lagi pahit), kentang, wortel, kacang panjang, manisah, terong.

Simbuan
Botok, resep Bu Sumi, Kemulan
Bumbunya… lombok merah besar, ketumbar, daun jeruk, kencur, laos, brambang, bawang diuleg sama garam, gula. Kasih kelapa parut, diuleg lagi. Kemudian bumbunya dicampur sama daun simbuan (dipotong-potong kecil, lalu diremas hingga lunak), jamur (dibersihkan dulu), tempe atau tahu (yang telah dipotong kecil, dikukus), biji toro. Dibungkus dalam daun pisang, dikukus kurang lebih 20 minit.

Singkong
Penanaman
Batangnya dipotong berukuran kurang lebih 30cm, ditanam akan tumbuh kembali.
Lodeh daun singkong, resep Bu Sumi, Kemulan
Brambang, bawang, laos, kencur, daun jeruk, kemiri (yang telah digoreng) diuleg sama garam, gula. Daun singkong (seperti daun kates, juga penambah darah) direbus, setelah sudah masak diambil, diperas, dibuang airnya, dipotong-potong. Campur bumbunya tadi sama santan, masukkan daun singkong, lalu masak lagi.

Soga
Pewarnaan
Untuk mendapat warna kuning, akar/batang soga ditumbuk, direbus, lalu disaring.

Soga secang
Pewarnaan
Kayu/batang soga secang diiris-iris, direbus lalu disaring untuk mendapat warna merah.

Somba keling
Pewarnaan
Biji somba keling ditumbuk, direbus kemudian disaring untuk mendapat warna coklat kuning.

Sono kembang
Jamu
Untuk membuat syampu, daun sono kembang dibakar sama pelepah padi. Abunya disaring, dikasih air sedikit, siap digunakan.

Talas
Penanaman
Akar bertunas bisa dibagi-bagi, lalu tunasnya ditanam lagi.
Pupuk cair, Pak Sukono, Banjarnegara
Daun talas beserta pelepahnya (10kg) dipotong-potong. Air kencing sapi (20 liter), daun talas, dan kotoran ayam (45kg), dimasukkan ke dalam drum, kemudian diaduk hingga merata. Kemudian drum ditutup rapat menggunakan plastik dan diikat. Diaduk lagi setiap 3 hari sekali. Setelah 10 hari adonan telah menjadi pupuk dengan tanda-tanda permukaan adonan tidak naik. Pupuk cair dicampur air dengan perbandingan 1:1, siap disiramkan pada tanaman.
Talas goreng, Bu Napsiyah, Pulungan
Akar menggebung dikupas, dipotong besar, dikukus lalu digoreng. Kalau kasih bumbu bawang, garam duluhan tambah enak.

Tembaku
Pestisida, Pak Sutomo, Purworejo
Untuk mengendalikan ulat, masukkan daunnya (puntung rokok juga bisa) dalam air (kolam rendaman atau ember). Biarkan selama seminggu. Saringlah agar diperoleh air larutan yang bersih. Menyempotkan pada pagi dan sore hari.

Tempuyung
Tumbuhan liar
Jamu
Untuk mengurangi darah tinggi, daun tempuyung direbus, airnya diminum.
Sayur
Tuba (jenu)
Pestisida
Untuk mengendalikan walangsangit, kumbang helm, sensuruk dan ulat pada tanaman, akar tuba diparut, lalu diperas, airnya diambil. Dicampur air dengan perbandingan 1:10, siap disemprotkan.

Waru
Jamu
Getahnya bisa dipakai sebagai obat luka.
Pelindung pematang
Dengan penanaman pohon waru di pematang lahan akan menhindari kejadian longsur.
Tampar sapi
Kulitnya direndam, lalu dibelit untuk membuat lulup atau tampar sapi.

Wedusan
Tumbuhan liar
Jamu
Daun wedusan yang telah diremas-remas, bisa dipakai sebagai obat luka.




Wewean
Tumbuhan liar
Penyubur sawah
Pada saat menyiangi padi, gulma sekalian dikembaliakn ke dalam lumpur. Kaya nitrogen, kasihan kalau dibuang (Bu Napsiyah).
Sayur
Gulma padi berbunga ungu.

Yudium
Jamu
Getah yudium juga bisa dipakai sebagai obat luka. Dioleskan pada luka, akan mengeringkannya.

Bab Tiga
Tantangan untuk transformasi sosial

Aktivis pertanian organik Thres Sanctyeka menyatakan,

Sistem pertanian organik bukan hanya sebuah sistem pertanian yang hanya memperhatikan kepada produksi tanah maupun lahan sebagai tujuan utamanya, tetapi lebih dari itu sistem organik memiliki spiritualitas kesadaran berperilaku dalam menuju sebuah keseimbangan lingkungan, kelestarian sumber daya alam, penegakan hak-hak petani, partisipasi, kemandirian dan kesetaraan gender. Oleh karena itu sistem ini menjadi sebuah ‘entrypoint’ untuk menggapai sebuah mimpi bagi masyarakat tani khususnya (2001).

Sebagai entrypoint, sebagai alat transformasi sosial, sistem pertanian organik harus ikut berjuang dalam menghadapi tantangan pembaharuan agraria, pemasaran produk petani, kerusakan lingkungan pertanian, ketimpangan gender, globalisasi, serta bioteknologi.


Pembaharuan agraria

Sebagai gerakan ekonomi sosial juga, pertanian organik memang tidak sekedar soal teknologi, dengan membuat orang sadar mengadopsi bibit lokal, mengurangi penggunaan pupuk kimia dan mengendalikan hama secara alami. Lebih daripada itu, pertanian organik juga tidak sekedar soal pemasaran, dengan mencari harga produk organik yang layak bagi petani. Kalau pertanian organik sungguh menjadi gerakan penguatan hak-hak petani, yakni hak untuk menentukan nasib sendiri bagi petani, termasuk hak untuk mengontrol, memilih, dan menyeleksi benih, hak untuk lepas dari jerat industri bibit, racun, dan pupuk kimia, hak untuk berorganisasi dan hak untuk menentukan harga jual atas komoditas yang meraka hasilkan (Wulandari et al, 2003:167), gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari politik pembaharuan agraria. Singkat kata, pertanian organik menjadi gerakan penguatan hak-hak petani hanya kalau ikut berjuang menuju transformasi sistem dan struktur agraria. Sebagai syarat dasar, petani sendiri harus mempersoalkan penguasaan sumber-sumber agraria yang selama revolusi hijau telah direbut dari penguasaan mereka. Sumber agraria bermakna lebih luas dari sekedar tanah atau tanah pertanian, termasuk juga sumber air, iklim, cuaca, dan segala kekayaan genetika atau plasma nutfah (Wahono, 2000:142).

Ketimpangan struktur pemilikan lahan di desa dan struktur kelas (hubungan antara pemilik lahan pertanian dengan petani penggarap dan buruh tani) semakin meluas sebagai akibat masuknya teknologi intensifikasi ke pedesaan. Noer Fauzi menyatakan, hanya 20 hingga 30 persen rumah tangga di pedesaan diuntungkan dengan revolusi hijau. Mereka berhasil menjadi kaya yang bercukupan. Mereka bukanlah petani-petani yang independen, melainkan bergantung pada subsidi negara dan perlindungan ekstra-ekonomi negara. Mereka mengkonsentrasikan sejumlah tanah dan menggunakan sejumlah teknologi baru dalam proses produksinya. Konsekuensinya, lambat laun mereka menjadi kapitalis-kapitalis pertanian, yang mempekerjakan buruh tani untuk tanah-tanahnya yang cukup luas (1999:166). Apa yang terjadi, seiring dengan intensifikasi produksi ialah intensifikasi stratifikasi masyarakat desa. Dalam struktur kelas di pedesaan, pemilik tanah secara dominan memiliki kuasa mengambil keputusan. Si pemilik  yang menentukan pemilihan benih, jenis pupuk dan juga pendekatan pengendalian hama. Meskipun seringkali petani penggarap, yakni petani yang menyewa dan mengerjakan tanah milik orang lain, yang harus membayar biaya-biaya input produksi tersebut, dan kalau ia tidak mempunyai modal sendiri, harus meminjam uang dari penguasa tanah. Seringkali, pemilik lahan hanya  berkewajiban membayar pajak atas tanahnya. Dalam hal ini, ujar Wulandari dan Rahardjo, terlihat jelas petani penggarap paling berisiko jika panen gagal (2003:163). Selanjutnya, sebagian besar antara kaum petani, yakni buruh tani – petani yang diupah untuk melakukan pekerjaan, misalnya membajak, menyangkul, menanam, menyiangi, memanen – sama sekali tidak mempunyai hak atas penggunaan tanah.[14]

Kebijakan pemerintahan Orde Baru, menghamba kepada hukum akumulasi kapital, mengakibatkan tanah berubah dari alat produksi subsistensi rakyat menjadi alat produksi bagi organisasi produksi kapitalis. Maka, kebijakan itu justru memberi kemudahan bagi dirinya dan modal besar untuk merampaskan tanah untuk perusahaan-perusahaan kapitalis dan pembangunan infrastruktur mereka. Menggunakan manipulasi dan kekerasan, tanah-tanah produktif yang telah digarap rakyat petani terkonversi menjadi lahan non-pertanian, terutama industri. Menurut data yang dikemukaan Kompas (13 Juli 1995), sekitar 900 000 ha tanah pertanian, berarti tanah yang memungkinkan kehidupan rakyat petani, di Pulau Jawa telah dirampaskan dan terkonversi menjadi alat produksi modal (dlm Fauzi, 1999:7). Kadang kita menangis, karena ini semua sejarah penjajahan yang berulang (Wahono, 2000:138).

Dari tanah yang semakin sempit atau lahan yang bukan miliknya, kaum petani menggantungkan kelangsungan hidup keluarganya. Tidak heran bila petani-petani berlahan sempit, buruh tani dan petani penggarap lebih berorientasi ke hasil. Dalam jangka pendek, semakin banyak hasil produksi yang bisa dipanen maka semakin besar kemampuannya menyediakan stok pangan untuk keluarganya (Wulandari et al, 2003:163). Dalam menulis tentang pengalaman Sekolah Lapang, Wulandari dan Rahardjo menjelaskan mengenai pertentangan antara semangat dan tujuan Sekolah Lapang, yakni menjaga kelestarian dan keberlanjutan pertanian serta memberdayakan kalangan kelas petani penggarap dan buruh tani, dengan kondisi struktur agraria yang timpang. Konflik dasar ini, justru yang menghalangi perkembangan gerakan organik. Para petani penggarap dan buruh tani didorong untuk mampu melakukan rehabilitasi kualitas lahan-lahan pertanian serta menjaga lestarinya ekosistem sawah di atas tanah yang bukan miliknya, yang sewaktu-waktu bisa diambil kembali atau ditarik begitu saja darinya. Sementara tuan tanah yang mungkin tidak pernah bekerja di lahan berlumpur, akan memetik keuntungan jangka panjang atas upaya susah-payah para petani kecil, bahkan mungkin tanpa ongkos keluar dari kantungnya (2003:163). Dalam kerangka agraria kapitalis, para buruh tani dan petani penggarap dijadikan barang dagangan, dibeli dengan upah yang diberikan penguasa tanah.[15] Tanggung jawab dan pengambilan keputusan produksi, akumulasi dan investasi terletak sepenuhnya di tangan si penguasa (Fauzi, 1999:10). Lebih sering daripada tidak, orientasi si pemilik ialah orientasi bisnis, bukan keberkelanjutan. Dalam corak produksi pertanian yang mengutamakan keuntungan jangka pendek di atas kelestarian ekosistem jangka panjang, berbudidaya secara ekologis, yang memerlukan tenaga lebih intensif, tersingkirkan. Kemandirian masyarakat lokal? Untuk segelintir masyarakat yang menguasai tanah luas, ia kurang peduli. Sebaliknya, dari perspektif buruh tani atau petani penggarap, ‘untuk apa saya harus memperbaiki kesuburan tanah yang dimiliki seorang lain?’ Tutur Mbah Suko, yang memandu dan memfasilitasi program Sekolah Lapang di Mangunsari, Magelang, banyak penggarap tidak mau ikut Sekolah Lapang. Katanya bikin pusing pikiran dan buang-buang waktu. Menurutnya, lestari atau tidaknya alat produksi bertani bukan menjadi persoalan mereka (dlm Wulandari et al, 2003:163). Sesungguhpun ada keinginan penggarap untuk mengembalikan teknologi lokal, usahanya sering ditolak oleh pemilik tanah. Wening Sasono, aktivis dari LSM JARNOPP (Jaringan Ornop Pendamping Petani) di Klaten, menceritakan tentang salah seorang petani penggarap yang ingin menanam benih lokal, namun pemilik memaksakan penanaman benih hibrida. Lagi pula, untuk kalangan petani terbesar di Indonesia, yakni buruh tani, suaranya sama sekali tidak terdengar.

Kenaikan terus-menerus dari jumlah petani yang tidak mempunyai tanah, penjualan tanah kepada pemilik luar pertanian dan luar desa, dan konsentrasi tanah pada tangan segelintir masyarakat merupakan ancaman serius terhadap kesejahteraan dan kelangsungan hidup rakyat petani. Dengan struktur pemilikan tanah yang tidak seimbang inti tentu semakin jelas bahwa program revolusi hijau yang menghasilkan swasembada pangan masih belum mampu mengangkat nasib petani (Fauzi, 1999:167). Ironisnya, dalam dasaran Undang-Undang Indonesia, rakyat petani mempunyai kekuatan hukum untuk memperjuangkan haknya atas tanah, melakukan pembagian hasil yang adil dan mengolah tanahnya demi kemakmuran, yakni Undang-undang No.5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, disingkat UUPA (Fauzi, 1999:vii). Melalui UUPA, dan program politik agraria populis, pemerintah dan masyarakat pasca kolonial bertujuan untuk melaksanakan rekonstruksi bangunan politik agraria yang ditinggalkan penjajah Belanda. Yakni, menjamin hak rakyat petani atas sumber daya agraria (bumi, air, ruang-ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) dan mengatur perolehan hasilnya agar rakyat menjadi makmur. Salah satu prinsip dasar dari UUPA ialah pelaksanaan redistribusi lahan. Subyek redistribusi lahan diutamakan kepada mereka yang paling membutuhkan dan menggantungkan mata pencahariannya dari bertani (yaitu kalangan kelas penggarap serta buruh tani), dan memiliki hubungan yang erat dengan tanah digarapnya. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat petani, yakni tanah, ditetapkan batas minimum luas tanah yang harus dimiliki seorang petani supaya dapat mencukupi secara layak bagi diri sendiri dan keluarga.[16] Selanjutnya, diselenggarakan batas maksimum luas tanah dengan tujuan untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, sistem kepemilikan yang telah berabad-abad memeras dan merugikan kepada rakyat petani kecil.[17] Noer Fauzi menjelaskan mengenai prinsip-prinsip inti dari UUPA, yakni pemegang hak atas tanah diwajibkan untuk meningkatkan produktivitas dari tanah, menjaga kelestariannya agar tidak rusak, dan dilarang menguasai tanah melebihi batas yang ditetapkan, karena hal itu akan menciptakan kembali tuan-tuan tanah yang menciptakan hubungan pemerasan dengan petani-petani gurem ataupun tanpa tanah (1999:78).

Namun kenyataanya, petani tidak pernah memperoleh hak sesuai dengan UUPA itu.[18] Dengan berubahnya penguasa politik terjadinya berubah pula politik agraria. Pemerintahan Orde Baru sama sekali tidak mewariskan kepentingan ideologis dan politis terhadap politik agraria populis (Fauzi, 1999:151). Walaupun tidak pernah dihapuskan, Undang-Undang Pokok Agraria telah dimanipulasi dan dikhianati secara besar-besaran oleh pemerintahan rejim Suharto. Kemakmuran rakyat kecil terpinggirkan oleh kepentingan modal besar. Rakyat petani yang telah bertahun-tahun menguasai tanah-tanah secara produktif sama sekali tidak memperoleh jaminan kepastian hukum. Sebaliknya, yang telah dibuktikan, kebijakan pemerintah justru memberi kemudahan luar biasa bagi dirinya dan pemodal besar untuk merampaskan sumberdaya penghidupan rakyat petani.

Kemunculan sengketa tanah dibungkam dengan mekanisme manipulasi dan kekerasaan. Bentuk-bentuk manipulasi yang disaksikan oleh petani-petani, di antaranya berupa; klaim telah berdasar musyawarah, menyuap pimpinan dari petani/penduduk, pemalsuan tanda tangan, pencapan (stigmatisasi) PKI-Mbalelo-Anti Pembangunan terhadap petani/penduduk dan lain-lain. Sedangkan yang terbentuk kekerasan berupa; intimidasi, teror, penyiksaan, penggunaan mekanisme hukum acara pidana, pembakaran hingga penggunaan senjata yang mengakibatkan korban (Fauzi, 1994). Hak asasi manusia rakyat petani dikorbankan atas nama ‘pembangunan’.

Sebagai gerakan politik hidup dan perjuangan, pertanian organik tidak cukup dengan menimbulkan kesadaran atas teknologi berbudidaya lokal, tidak cukup dengan mencari pemasaran produk petani yang layak. Krusialnya, gerakan organik mempersoalkan bangunan sosial pedesaan yang timpang. Kalau tidak aktif bergerak dalam menuntut redistribusi lahan agar setipa petani kecukupan, pertanian organik tidak akan mampu mengangkat nasib petani (akan gagal, gaya revolusi hijau). Hak-hak petani – terutama hak untuk mentukan nasib mereka sendiri – akan terus digerogoti oleh agenda politik-bisnis elit.
Kebijakan harga dan pemasaran produk petani

Yang sudah dibuktikan, proyek Revolusi Hijau didasarkan atas asumsi yang pada dasarnya palsu, yakni dengan meningkatkan produksi pertanian akan membawa peningkatan pendapatan, dan selanjutnya kesejahteraan petani. Selama ini, pemasaran produk petani sama sekali tidak mencerminkan keadilan bagi petani, sama sekali tidak sebanding dengan upaya yang mereka habiskan atau resiko yang mereka tanggung. Kalau biaya produksi lebih tinggi dibandingkan dengan harga gabah ketentuan pemerintah, petani tidak bisa berbuat apa-apa. Tuturkan Supri - anak Bu Napsiyah dan mahasiswa jurusan pertanian, UniBraw - petani yang tidak mempunyai modal sendiri meminjam uang dari pedagang untuk membeli pupuk, bibit dan asupan lainnya. Pada saat musim panen, mereka terpaksa menjual panenannya kepada pedagang itu dengan harga rendah. Terperangkap pada siklus hutang dan ketergantungan, petani kecil sangat tidak mampu tawar-menawar. Selanjutnya, sudah lama kemampuan petani untuk menyimpan produk hasil pertanian sendiri dalam lumbung diambilalih oleh pemerintah melalui BULOG (Badan Urusan Logistik).[19] Maka, ketika musim panen tiba harga jual pasti jatuh, namun panennya tetap harus dijual karena petani tidak punya lagi tempat untuk menyimpannya (Saragih, 2003:vii). Pada saat terjadi krisis pangan di kota, pemerintah membuat kebijakan impor beras yang lagi merugikan petani (Wulandari, 2003:168). Politik impor beras justru memanfaatkan pedagang-pedagang besar beserta kepentingan pejabat pemerintah, bukan kesejahteraan masyarakat. Pak Umar, PPL dari Pasuruan, menyatakan bahwa pada tingkat konsumen harga beras tidak disubsidi, tetap harga pasar. Menurutnya, keuntungan yang diambil pejabat BULOG serta pihak swasta yang berhak mengimpor betul sangat besar. Ironisnya di Jawa, berabad-abad sebagai pusat memproduksi beras, saat ini beras impor melebihi produksi beras (pembicaraan, 6 Mei 2004). Atas nama ‘ketahanan pangan’ petani dikorbankan bagi kepentingan ‘stabilitas’, khusunya diperkotaan.

Direktur Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH), Purwokerto, Drs. Arif Wahidin menyatakan, sistem politik dan ekonomi negara belum menguntungkan petani. Sebaliknya, yang diuntungkan ialah kepentingan akulmulasi kapital global. Beras petani kita masih murah, salah satu penyebabnya karena untuk mensuplai konsumsi buruh yang sebagian besar hidup di kota. Bayangkan bila harga beras mahal. Imbasnya bisa berupa tuntutan kenaikan upah dan aksi protes yang lain. Hal ini tidak disukai calon investor asing yang ingin menanamkan modalnya (dlm Sunanto, 2001). Wulandari dan Rahardjo tepat bertanya, Untuk kepentingan siapa sesungguhnya keringat petani dikeluarkan? (2003:168).

Lagi pula, para konsumen semakin tidak sadar bagaimana sebuah produk pertanian atau pangan dihasilkan. Menurut logik kapitalisme para konsumen, secara sengaja, terpisahkan dari para produsen. Akibatnya, konsumen semakin tidak peduli apakah ketika memproduksi telah terjadi eksploitasi manusia dan alam sebesar-besarnya. Namun, konsumen juga merupakan korban, terperangkap dalam situasi tidak bisa memilih, ditempatkan sebagai orang yang mengkonsumsi, dan diblokir secara sistemis seluruh keingintahuanya terhadap proses memproduksi (Saragih, 2003:viii). Untuk sebagian besar dari konsumen, sulit sekali untuk memahami atau bahkan membayangkan kenyataan kehidupan kalangan petani.

Baru sekarang ini telah lahir kesadaran konsumen atas dampak bahaya produk pertanian revolusi hijau terhadap kesehatan. Antara berbagai penelitian yang menujukkan bahwa pemakaian bahan kimia sintesis pertanian (termasuk pupuk, pestisida maupun hormon) berdampak buruk terhadap kesehatan dan lingkungan, WHO (World Health Organisation) melaporkan bahwa setiap tahun sekitar tiga juta orang teracuni pestisida. Seterusnya, kira-kira 200 ribu orang meninggal dunia. Bahan kimia sintesis tersebut ini juga diyakini menjadi faktor utama yang mengakibatkan berkembangnya penyakit-penyakit yang mengganggu fungsi metabolisme seperti ginjal,  lever, paru-paru dan sebagainya (dlm Saragih, 2003:viii).[20] Atas munculnya kesadaran ini konsumen mulai mencari produk pertanian organik.

Namun, ketakutan konsumen atas bahaya bahan kimia, dan kesadarannya atas kesehatan telah dimanfaatkan pemodal-pemodal besar. Para pengusaha besar sudah mulai memproduksikan komoditi organik – pupuk organik, pestisda organik, bibit organik dan sebagainya. Namun, pengembangan ‘pertanian organik kapitalis’ dapat dianggap sebagai tahap kedua dari intensifikasi pertanian, ‘Revolusi Hijau Tahap II’. Kenyataan, tuturkan Anto, seorang aktivis dari MBI (Mitra Bumi Indonesia), Malang, akan memberatkan masyarakat lagi. Yang diutamakan ialah produktivitas, ialah keuntungan, sedangkan kesejahteraan rakyat akan tersingkirkan. Ujar Bu Napsiyah, kalau beli cairan pestisida, bokashi organik, sama aja… tetap tergantung, tetap tercandu. Pertanian organik berarti cari sendiri, buat sendiri, ngangkut sendiri! (30 April). Pertanian organik menyiratkan kemandirian. Kalau petani tetap harus beli pupuk, benih dan asupan lain, prinsip paling dasar ini akan dikhianati. Petani tetap terperangkap ke dalam struktur produksi yang tidak mungkin dia kuasai. Sabastian Saragih menyatakan, di beberapa tempat perusahaan swasta organik justru menakibatkan kerusakan hutan, meneruskan hubungan yang tidak adil antara petani dan konsumen, dan melahirkan perangkap baru. Untuk memenuhi kriteria organik maka hutan dibuka atau humusnya diambil. Terjadi apa yang disebut sebagai ecological dumping. Lagi pula, karena harga produk pertanian organik lebih mahal maka petani menjual produk organiknya, sedangkan membeli produk revolusi hijau untuk konsumsi sendiri, yang disebut social dumping. Petani menjadi ‘hamba’ untuk pemenuhan kesehatan konsumen, mayoritas yang tinggal di kota (2003:viii). Kesenjangan antara rakyat pedesaan dan rakyat perkotaan, antara produsen dan konsumen semakin meluas.

Sebagai gerakan sosial ekonomi yang melawan eksploitasi dalam perdagangan, fair trade, atau perdagangan yang berkeadilan, menawarkan sebuah alternatif pemasaran, yang berpihak kepada produsen kecil. Berarti dalam prinsipnya, setiap tingkat dalam memasarkan produknya ditentukan oleh kelompok petani sendiri, dari proses produksi (pemilihan benih, pupuk, pendekatan pengendalian hama dan sebagainya), distribusi, penyimpanan sampai penentuan harga jual. Selanjutnya, dengan membangkitkan nilai-nilai solidaritas antara produsen dan konsumen, konsumen bersedia menghargai jerih payah produsen yang selama ini tidak pernah diperhitungkan. Dalam memasarkan produk organik, koperasi kelompok tani Sahani di Yogyakarta, MBI di Malang, dan Pasar Tani Alternatif di Boyolali, dibentukkan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai model praktek perdagangan yang transparen dan partisipatif, bertujuan untuk memulihkan hubungan antara produsen dan konsumen yang selama ini terputuskan. MBI, untuk misalnya, pernah mengadakan field day, atau hari lapang, di mana konsumen dari Malang diajak mengunjungi lahan-lahan Bu Napsiyah di Pulungan, diberikan kesempatan untuk langsung bertanya tentang proses memproduksi sayur organik.

Namun bagaimana caranya, agar konsumen sadar, harga beras dan sayuran yang selama ini dikonsumsi tidak mencerminkan keadilan bagi petani, tutur Thres Sanctyeka, aktivis pertanian organik. Harga yang adil dan layak bagi petani ialah harga yang menghitung seluruh komponen biaya produksi, termasuk biaya ekologis, konservasi, pendidikan beserta reinvestasi. Maka harga yang adil ialah harga yang lebih mahal, dan hal ini merupakan tantangan penerimaan produk organik yang besar. Harga jual beras di toko Sahani ialah Rp4.000 per kilogram, harga yang ditentukan petani sendiri dan langsung dikembalikan kepada petani penghasil, dibandingkan dengan harga beras biasa, dijual di pasar untuk Rp2.500-3.000 per kilogram (dan harus dipertanyakan, berapa banyaknya akhirnya diterima oleh produsen?).[21] Akan tetapi, selama ini Sahani baru berhasil memasarkan 5-10 persen produk beras organik yang dihasilkan oleh kelompok tani mitra Sahani. Selisahnya petani terpaksa menjual ke pasar dengan harga yang jauh lebih rendah (harga yang sama sekali tidak layak atau adil). Permintaan pasar untuk beras lokal, misal Rojolele atau Menthik Mangi, selain tidak besar juga tidak stabil. Walaupun biaya produksi lebih rendah, namun waktu tumbuh yang lama dan jalur distribusi belum terbangun. Sementara itu permintaan beras ‘padi unggul’ yang sama sekali tidak unggul itu, stabil dan jelas (Wulandari et al, 2003:168).

Selanjutnya, selama ini pemasaran produk organik terfokus pada pasar perkotaan. Pasar lokal dilangkahi, maka petani terperangkap pada ketergantungan dan kerentanan baru. Dalam pengalaman Bu Napsiyah, sayurnya diambil dua kali seminggu oleh MBI, kemudian dijual kepada konsumen di Malang dengan menggunakan sistem ‘titip jual’.[22] Kalau diambil 3kg, kemudian yang laku cuma 2kg, saya yang nanggung. Berarti, Ibu Napsiyah yang harus menanggung semangatnya atau tidak upaya MBI dalam mencari konsumen. Lagi pula, ujarnya, saya pernah panen banyak-banyak… nga datang sama sekali. Nga dikasihtahu… panenan sudah layu, harus dibawa, dijual di pasar lokal, harga murah-murah.  Saya yang rugi. Pasti ada alasan untuk membelah diri… tapi alasan itu terlambat. Nga dua tiga kali… sering.

Keterpisahan produk organik dari pasar lokal merupakan hambatan sangat besar yang tidak bisa diabaikan. Mencari jalan ke luar dari ketergantungan pada LSM dan pasar perkotaan, Supri ingin mendirikan sebuah pasar tani, dan dengan demikian mengubah arah produksi pangan organik menuju pemenuhan kebutuhan lokal.


Pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan pertanian

Sudah bertahun-tahun, lebih dari 30 tahun, petani Indonesia terperangkap pabrik…  terjebur, telanjur pada kimia (Bu Napsiyah, 2004). Tanahnya menjadi semakin tandus dan keras, menjadi greseng. Akibatnya, saat musim tanam petani terpaksa menaburkan pupuk kimia lebih banyak lagi agar tetap bisa menghasilkan di saat panen. Tutur Bu Napsiyah, seperti orang sakit, sulit mengembalikan kesembuhan. Pertanian organik, yang berupaya menyembuhkan degradasi ekosistem, akibat pemakaian bahan kimia lama dan sistemik, menghadapi kecanduan besar-besaran. Program pengurangan atau bahkan penghilangan input kimia awalnya akan mengakibatkan menurunnya hasil panen, bahkan beresiko gagal panen. Wulandari dan Rahardjo menunjukkan, petani yang telah mengalami kerugian akibat revolusi hijau, kini juga harus menanggung kerugian demi pemulihan lahannya. Dengan demikian, biaya untuk memulihkan kesuburan tanah yang telah dihancurkan oleh revolusi hijau ditanggung dan dibebankan sepenuhnya pada petani. Pemerintah pembuat kebijakan, perusahaan-perusahaan trans-nasional (trans-national corporations, TNCs) dengan industri pupuk dan pestisida kimia, dan para peraup keuntungan lain tidak pernah merasa perlu bertanggung jawab, apalagi mengganti biaya kerusakan lingkungan pertanian yang menjadi hancur dan tergantung terhadap imput-input kimia (2003:167). Tidak mengherankan, mayoritas petani merasa keberatan ketika harus berpindah dari penggunaan input-input kimia ke cara-cara bertani yang ekologis. Dari pengalaman Sekolah Lapan, petani alumni sudah mulai mengurangi dosis pupuk kimia pun mulai mengembalikan kompos dan kotoran ternak (pupuk kandang) sebagai pupuk dasar. Namun, kebanyakan juga masih menggunakan pupuk kimia (komposisi TSP, KCl, Urea, dan Za seperti yang disarankan PPL), dengan alasan terbesar, kalau menghilangkan pupuk kimia sepenuhnya tiba-tiba, petani akan dirugikan. Hal ini adalah kendala serius bagi gerakan pertanian organik. Pendekatan ‘menyalahkan korban’ akan membebankan lagi petani yang telah dikorbankan habis oleh revolusi hijau. Wulandari dan Rahardjo menyarankan, sebai pertanggung-jawaban pihak TNCs, industri pupuk dan pestisida kimia, serta elite-elite pemerintah jika suatu saat Indonesia terpaksa melakukan apa yang disebut pengganti hutang atau debt swap (mengingat negara Indonesia tergantung kepada hutang lebih US$150 milyar), maka ‘tidak membayar hutang’ harus dipakai sebagai salah satu kompensasi untuk rusaknya lingkungan pertanian (2003:168).

Ketimpangan gender
Dari sawah ke dapur ke sawah… belum menghitung kerjaan perempuan – menyusui anak, mencuci, memasak – sudah kesel. Pulang dari sawah kerjaan nga berhenti… terus-menerus… (Bu Napsiyah, 2004).

Seiring dengan proyek revolusi hijau terjadilah marginalisasi pengetahuan dan kedaulatan perempuan di dunia pertanian secara luar biasa. Pada masa yang mendahului revolusi hijau perempuan memiliki peran yang vital dalam hal memutuskan, mengelola, dan mengontrol benih, pengolahan lahan, dan hasil panen. Vandana Shiva membuktikan, dalam hal menghasilkan dan menyiapkan pangan tanaman, perempuan membutuhkan pengetahuan dan keahlian luas.

Untuk memilih benih yang tepat mereka harus mengetahui mengenai persiapan bibit, syarat tumbuh, dan pemilihan jenis tanah. Untuk menabur dan menumbuhkan benih dibutuhkan pengetahuan mengenai musim, iklim, kebutuhan tanaman, kondisi cuaca, faktor iklim mikro, dan penyuburan tanah. Untuk melakukan semua itu juga dibutuhkan kecekatan dan kekuatan. Pemeliharaan tanamanpun memerlukan pengetahuan tentang sifat penyakit tumbuhan, pemangkasan, pemancangan, sumber air, predator, tanaman sisipan, hitungan musim tanam, dan pemeliharaan tanah. Pemanenan membutuhkan pemahaman tentang cuaca, tenaga kerja, tingkat mutu, dan pengetahuan tentang pengawetan, pemanfaatan segera serta perkembangbiakan (2001:129).

Pengetahuan dan keahlian perempuan justru melestarikan keseimbangan ekosistem pertanian. Namun, pengetahuan perempuan tentang kekhasan ekologi lokal tersingkirkan oleh pengetahuan monokultur, yakni rejim benih hibrida dan asupan kimiawi buatan pabrik yang seragam. Pengetahuan perempuan terpinggirkan oleh teknologi yang mengingkari keanekaragaman. Dalam menyalurkan informasi dan teknologi intensifikasi pertanian, partisipasi perempuan juga terpinggirkan. Ketika seorang PPL sempat ‘turun’ ke rakyat pedesaan, cenderungnya dia akan berbicara hanya dengan petani laki-laki.

LSM-LSM yang aktif bergerak dalam memberdayakan masyarakat petani menghadapi tantangan besar ini, yakni ketimpangan gender dalam bangunan sosial pedesaan. Maka, dalam pengalaman Sekolah Lapang, petani perempuan relatif tidak mampu terlibat secara intensif dalam kegiatan pemberdayaannya. Mereka mengaku kesulitan membagi waktu antara pekerjaan rumah dengan kegiatan Sekolah Lapang di desanya. Sangat jelas, kalau melihat jadwal sehari-hari, perempuan memiliki waktu luang sedikit sekali. Yang sudah dinyatakan Bu Napsiyah, kegiatan sehari-hari perempuan – menyediakan makan, mengasuh bayi dan sebagainya – merupakan kegiatan vital yang tidak bisa ditinggalkan. Kalau petani perempuan ingin mengikuti Sekolah Lapang, mereka harus pandai-pandai mengatur waktu, dan seringkali terpaksa harus menunda pekerjaan domestik. Namun pekerjaan tersebut harus tetap dikerjakan saat pulang dari aktivitas Sekolah Lapang. Beban kerja perempuan sudah mengeselkan. Tidak mengherankan, tidak banyak perempuan yang bisa atau mau terlibat dalam Sekolah Lapang (Wulandari dan Rahardjo, 2003:162). 


Kegiatan sehari-hari petani perempuan
05.00-07.00  Masak dan bersih-bersih
07.00-07.30  Memberi makan ayam
07.30-11.00  Ke sawah
11.00-12.00  Mencuci piring dan baju
12.00-13.00  Menyiapkan makan siang
13.00-14.00  Istirahat
14.00-17.00  Ke sawah
17.00-17.30  Memberi makan ternak
17.30-18.00  Memasak makan malam
18.00-18.15  Mandi
18.15-19.00  Makan, mencuci piring
19.00-05.00  Istirahat

Kegiatan sehari-hari petani laki-laki
06.00-07.00  Bangun tidur, ngopi
07.00-11.30  Ke sawah
11.30-12.30  Ngarit
12.30-13.30  Istirahat
13.30-16.30  Ke sawah
16.30-06.00  Santai, tidur
Sumber: Wulandari et al, 2003:162
Globalisasi

Dengan masuknya Indonesia ke dalam rangka pasar global, tantangan bagi petani menjadi semakin berat dan kompleks. Upaya globalisasi perdagangan sektor pertanian menyerahkan sistem pertanian dan nasib petani Indonesia kepada mekanisme pasar bebas, didasarkan atas prinsip free-fight liberalism (liberalisme pertarungan bebas). Siapa yang kuat, dia yang menang. Siapa yang lemah, dia yang kalah. Bonnie Setiawan, salah seorang aktivis dengan Institute for Global Justice di Jakarta, menjelaskan,

Si kuat adalah perusahaan-perusahaan importir; pedagang-pedagang besar; birokrat rente; perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) yang menguasai benih, pupuk, obat-obatan, sarana produksi, mesin-mesin, tanaman transgenik; perusahaan-perusahaan agribisnis besar; dan para penguasa tanah besar dan pejabat-pejabat yang mendapat keuntungan dari MNC. Si lemah adalah mayoritas petani Indonesia dan masyarakat pedesaan yang serba kecil/mikro usahanya, subsistens (pas-pasan) dan miskin, banyaknya petani yang tak bertanah, dan mereka yang selalu dikalahkan dalam banyak kasus agraria (2003:67-8).

Akibat beban hutangnya, maka Indonesia dengan muda diikat kepada kesepakatan-kesepakatan multilateral, yang justru mengutamakan kepentingan si kuat. Dampak berat perdagangan bebas sudah mulai terasa di Indonesia pada tahun 1995, dengan masuknya ke dalam Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture), salah satu alat liberalisasi dibentukkan oleh World Trade Organisation (WTO), polisi dagang dunia yang berpihak pada kepentingan Negara-negara Maju (Wahono, 2001:xiii). Namun, melalui program International Monetary Fund (IMF), yang di Indonesia dikenal sebagai Letter of Intent (LoI), mulai pada tahun 1997 Indonesia terpaksa tunduk kepada proses liberalisasi yang drastis. Pelaksanaan program structural adjustment ini menyaratkan penurunan, bahkan penghilangan tarif atas banyak komoditi, termasuk pangan; penghapusan subsidi; serta pembukaan impor seluas-luasnya bagi produk pertanian luar negeri. Kedaulatan pangan secara sistemik digerogoti oleh mekanisme pasar ‘bebas’. Sementara kesenjangan antara si kuat dan si lemah semakin meluas. Sejak krisis 1998, bahkan tarif bea-masuk pangan pokok – beras, gula, kedelai, jagung, telur dan gandum - sempat menjadi nol persen akibat syaratan IMF. Jutaan petani Indonesia dirugikan. Kemudian sejak 1 Januari 2000, ditetapkan bea-masuk impor beras menjadi 30 persen. Namun, negara seperti Jepang masih mengenakan tarif impor beras jauh di atas 100 persen. Akan tetapi setiap kali upaya menaikkan tarif bea-masuk, dan lalu melindungi rakyat petani Indonesia, selalu ditentang IMF (atau lebih tepat kalau dikatakan, ditentang pihak si kuat). Lagi pula, harga beras dunia telah menurun sampai Rp1.800/kg dibanding harga beras produk Indonesia, Rp2.400/kg. Selisih ini, tanpa tarif bea-masuk yang layak akan membebankan lagi petani Indonesia (Setiawan, 2003:68-9, Wahono, 2000:138). Akibat proyek liberalisasi pertanian, maka total impor komoditas pangan utama Indonesia (yaitu beras, jagung, bungkil kedelai, kacang tanah, gandum), pada tahun 2001 sudah mencapai angka Rp11.8 trilyun. Selanjutnya, Indonesia pernah, pada tahun fiskal 1998/1999, menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia, yaitu 4.8 juta ton beras. Akan tetapi rata-rata perkiraan permintaan per tahunnya adalah hanya 3.2 juta ton beras (Setiawan, 2003:68). Para importir, ‘si kuat’, semakin diuntungkan. Sementara rakyat petani, sekitar 27 juta keluarga yang menggantungkan nasibnya di sektor pertanian, semakin dimiskinkan.

Bioteknologi

Terkait dekat dengan upaya global liberalisasi sektor pertanian ialah rejim pematenan dan hak kekayaan intelektual (HAKI), yang telah muncul atas perkembangan pertanian bioteknologi, yakni perkembangan rekayasa genetika yang menghasilkan tanaman transgenik. Menurut Vandana Shiva, revolusi bioteknologi merupakan gelombang ketiga kolonialisme, kolonialisasi terhadap kehidupan organisme (2001:123). Esensi ‘revolusi’ ini tidak berbeda dengan revolusi hijau, yakni beralih dari teknologi pertanian yang rendah input luar dan berdampak rendah, ke pertanian yang tergantung sepenuhnya pada teknologi dari luar, tergantung pada varietas ‘unggul’ dan asupan kimiawi baru.


Tutur Mbah Suko,

Kini bibit-bibit jenis baru terus bermunculan, tidak hanya padi tetapi juga jagung, dan kedalai. Semuanya dilabel dan dipacking rapi, khas buatan buatan pabrik-pabrik luar negeri seperti Monsanto maupun dalam negeri seperti Sang Hyang Sri. Saya yakin 100% hasil panen pada awal-awalnya akan melimpah. Tapi jangka panjangnya jelas akan seperti dulu. Benih itu pasti mandul, pasti haus pupuk kimia, dan pasti mengundang hama-hama dengan jenis dan watak baru yang tidak pernah ada di ladang dan sawah saya sebelumnya. Dan saya yakin pabrik-pabrik itu dengan licin akan membujuk pemerintah agar membuat kebijakan dan peraturan untuk memaksa kami menggunakannya. Dan petani harus bersiap diri menghadapi terjangan program baru pengganti revolusi hijau, entah nanti apalagi namanya…

Kalangan petani harus bersiap diri menghadapi ancaman ‘teknologi terminator’, di antara lainnya dikembangkan oleh perusahaan raksasa Monsanto dan DuPont, yaitu rantai genetik yang menjamin bahwa benih dari tanaman yang ditanam tidak akan tumbuh.[23] Harus bersiap diri menghadapi bioteknologi yang membuat benih menjadi tidak aktif apabila tidak ada input kimia, sehingga benih tidak bisa mereproduksi dirinya. Melalui teknologi ini, siklus regenerasi dan pembaruan kehidupan digantikan dengan benih mandul, benih yang tidak bisa diperbarui. Selanjutnya, Vandana Shiva menyatakan bahwa penggunaan asupan kimiawi akan meningkat - bertentangan dengan propaganda perusahaan yang mengklaim bioteknologi akan mengurangi kebutuhan atas pupuk dan pestisida – karena selama ini, riset cenderung diarahkan bukan pada tanaman yang bebas pupuk dan hama, tetapi pada varietas tahan herbisida dan pestisida tertentu (2001:141). Sangat jelas dalam pengembangan teknologi rekayasa genetika ada kepentingan sangat kuat dari modal besar dan industri agribisnis. Apakah mungkin bahwa teknologi ini dapat dipromosikan atas nama ketahanan pangan, sebagai jawaban untuk memberi makan penduduk dunia yang lapar? Dalam rangka laba dan keuntungan, perusahaan bioteknologi tidak dapat mengembangkan produk untuk orang yang tidak mampu membayarnya (Bell, 2001:44).

Uji coba benih hasil rekayasa genetika sudah mulai ditawarkan oleh pemerintah Indonesia sebagai intensif dalam mencanangkan program corporate farming.[24] Akan tetapi, Wulandari dan Rahardjo menunjukkan, sungguh tidak mungkin melakukan uji coba penanaman benih rekayasa genetika pada lahan demplot dan membandingkannya dengan demplot lain yang ditanami benih lokal, lalu memutuskan mana yang lebih ‘produktif’, mana yang lebih tahan hama. Karena produk rekayasa genetika mengandung bahaya yang belum diketahui – sekali lepas akan mempengaruhi lingkungan sekitarnya dan mampu mengubah tanaman lain secara genetis. Seperti melakukan uji coba bom atom, sekali dijatuhkan maka daya rusaknya akan dirasakan dalam waktu sangat lama (mungkin sampai akhir dunia!), dan sulit untuk melakukan pemulihan kembali… Akankah menunggu kerusakan terjadi, untuk menolak sebuah hal yang sesungguhnya menjadi kontroversi di kalangan ilmuwan sendiri? (2003:166).

Pengembangan teknologi rekayasa genetika melahirkan penjajahan baru dalam bentuk hak kekayaan intelektual dan paten. Melalui kesepakatan WTO, General Agreement on Tariff and Trade (GATT) secara umum, dan komponen di dalamnya TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights) secara khusus, dibentukkan kerangka hukum yang mendukung perampasan hak masyarakat atas pengetahuan dan keanekaragaman hayati, dipandang industri bioteknologi sebagai ‘bahan mentah’. Tidak mengherankan, komponen TRIPs dalam GATT cenderung menguntungkan perusahaan multinasional (MNC) dan merugikan masyarakat, khususnya petani kecil dan masyarakat adat di Selatan. Padahal dimana-mana masyarakat mempunyai kreativitas dan inovasi. Bahkan kalangan paling miskin seringkali merupakan masyarakat yang paling inovatif karena mereka harus mempertahankan dan menciptakan keberlangsungan hidup yang terancam setiap hari (Shiva, 2001:124). Sistem HAKI yang eksploitatif diperkuatkan oleh ketidakjelasan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati. Pasal 16 mengenai akses dan alih teknologi menyaratkan,

Dalam hal teknologi yang dilindungi paten atau hak kekayaan intelektual lain, akses dan teknologi demikian akan diberikan dengan syarat yang mengakui serta konsisten dengan perlindungan hak kekayaan intelektual yang memadai dan efektif (dlm Bisnis Kehidupan, 2001:83).

Dengan perlindungan yang efektif, harus dipertanyakan, siapa yang menilai keefektifannya? Pada pandangan pihak agribisnis dan modal besar, klaim kepemilikan cipta yang ‘efektif’ berarti melalui prosedur pendaftaran dan pengujian internasional yang mahal. Dengan demikian, perlindungan ‘efektif’ berarti perlindungan pada hak perusahaan, individu dan lembaga riset, bukan pada hak petani atau masyarakat adat, bukan pada hak komunal. Akibatnya, bagi masyarakat petani susah sekali untuk memperoleh klaim cipta dari sebagian besar keanekaragaman hayati – misalnya jenis-induk sagu di Nusa Tenggara atau padi rojolele di Jawa, varietas kunyit dan asam – yang sudah ber-ribu-ribu tahun dipelihara dan dilestarikan sejak dari nenk moyangnya. Menurut interpretasi sempit dari Konvensi Keanekaragaman Hayati, apabila wakil dari perusahaan atau lembaga riset datang beberapa kali, dengan mudah mereka bisa mendapatkan klaim patennya (Wahono, 2001:xii). Ironisnya pihak perampas justru dilindungi oleh kerangka hukum, sementara kalau petani melakukan pertukaran materi genetika, dituduh sebagai pencuri (Shiva, 2001:123).

Keinginan Bu Napsiyah, serta kalangan petani yang mempraktekkan pertanian ekologis, untuk membagi pengalamannya merupakan bentuk perjuangan terhadap rejim HAKI, yang mereduksi semua nilai menjai nilai perdagangan, dan semua inovasi menjadi milik pribadi melalui pematenan.[25] Monopoli dan laba tidak menjadi tujuan dalam corak pertanian ekologis di mana benih dan pengetahuan dipertukarkan secara bebas. Sebaliknya, ada kesadaran bahwa tanah, benih, pengetahuan, dan teknologi petani bukan sekedar warisan dari nenek moyang, tepapi juga adalah titipan dari nenek moyang untuk anak cucu kita (Mbah Suko, 2001:211). Dan petani seperti Bu Napsiyah dan Mbah Suko akan melawan keras upaya-upaya si kuat untuk merampas warisan mereka.

Kesimpulan
Ilmu hidup

Ilmu hidup, yakni kearifan masyarakat  lokal atas benih, tanah, keanekaragaman hayati, teknologi, akan bertahan hidup sebagai warisan untuk anak cucu kita hanya kalau dipraktekkan dalam kehidupan sehari. Memang tidak cukup dengan mengumpulkan daftar nama tumbuhan-tumbuhan, dengan menulis buku-buku mengenai kearifan lokal yang akan diletakkan ke dalam perpustakaan. Ilmu hidup menyiratkan kearifan yang hidup. Seperti kearifan padi lokal yang dilestarikan oleh Mbah Suko,

Saya mengumpulkan beberapa benih padi lokal yang pernah ada di desa saya dan desa-desa lain di Jawa Tengah sejak tahun 1989. Benih yang saya peroleh sangat sedikit jumlahnya namun beragam jenisnya, rata-rata 2-5 malai per jenis. Selama puluhan tahun saya tetap mempertahankan benih-benih tersebut dan saya tanam di petak-petak kecil sawah yang disewakan oleh LSM Mitra Tani yang mendampingi petani di desa saya. Ada 27 jenis padi lokal yang pernah saya tangkarkan tapi hanya 15 yang mampu bertahun, antara lain: Rojo Lele, Buyung, Ketan Kuthuk, Gethok, Leri, Kenongo, Rening, Papah Aren, Saerah, Berlian, Menthik Wangi, Tri Pandung Sari, Serang, Mainai, Wantean, Gropak. Benih-benih tersebut saya bawa ke desa-desa di daerah lain di Jawa. Kelompok tani yang saya ikuti juga mengembangkan beberapa benih lokal ini. Kami bersama-sama mengembangkan benih lokal dengan cara organik dan untuk menambah pendapatan, sawah juga kami sebari ikan, atau mina padi (2001:210).

Secara sistemik, pengetahuan dan teknologi lokal telah dimusnahkan oleh proyek kolonialisasi besar-besaran, yang di Indonesia dikenal sebagai Revolusi Hijau. Maka, kearifan berbudidaya harus direbut kembali oleh masyarakat petani sendiri – kearifan pembenihan, penyuburan tanah, pengelolaan air, pengendalian hama, penanaman, pemanenan, penyimpanan hasil panen, pemasaran secara ekologis, secara mandiri. Dengan mengubah arah produksi pangan menuju pemenuhan kebutuhan lokal, masyarakat petani sempat menemukan jalan keluar dari sistem kapitalis, yang mereduksi semua nilai-nilai menjadi harga pasar dan semua kegiatan manusia menjadi perdagangan (Shiva, 2001:127). Sebagai bentuk perlawanan terhadap penghancuran kreativitas lokal, gerakan pertanian organik harus ikut berjuang dalam mengklaim balik kejernihan, kearifan, kepemilikan, dan kedaulatan petani atas diri sendiri serta alat produksinya. Pertanian organik tidak cukup dengan mengembalikan teknologi lokal, tidak cukup dengan mencari pemasaran produk petani yang layak. Sebagai alat transformasi sosial, pertanian organik harus menyalakan tindakan nyata perjuangan dalam menghadapi penindasan gender, ketimpangan kelas, kerusakan lingkungan pertanian, jeratan globalisasi dan pasar bebas, hingga ancaman benih hasil rekayasa genetika. Dalam singkat gerakan pertanian organik harus ikut berjuang dengan petani seperti Ibu Napsiyah dalam menuntut haknya untuk menentukan nasib mereka sendiri. Berani? Iya, nga mau mundur! (Bu Napsiyah, 2004).



Lampiran

Langkah-langkah pembuatan batik dengan menggunakan pewarnaan alami

Mas Sigit, Sendang, Tulung Agung

Pengolahan kain
Kain dicuci, lalu direbus kurang lebih setengah jam. Direndam selama semalam dalam larutan soda abu, abu padi (batang padi yang dibakar), air kelapa, jeruk nipis (bahan pengolahan kain, segalanya bisa, satunya juga bisa).

Pengeringan

Pemalaman
Dengan menggunakan canting (untuk batik tulis) atau cap (untuk batik cap), menggambar motif malam pada kain.

Pewarnaan
Kain dibasahi, dicelup warna, lalu diaduk-aduk hingga merata. Kemudian direndam, semakin lama, semakin gelap warnanya. Pencelupan (dicelup, digantung, dicelup, digantung…) diulang berkali-kali hingga warnanya setebal seinginnya. Sehari, tiga kali (pagi, siang, sore).

Penirisan
Kain digantung di tempat teduh hingga tidak ada tetesan lagi (kemudian dicelup lagi).

Pengikatan warna
Kalau warnanya sudah segelap seinginnya (mengingat warna akan mengurangi pada saat menghilangkan malam)…
Air tawas (10 sendok makan). Tawas dapat  dibeli dari toko bangunan atau toko jamu. Batunya (250g) dicairkan dengan air (1 liter). Direndam semalam, atau;
Air kapur (1 sendok makan). Kapur dapat dibeli dari toko bangunan. Batunya direndam dalam air akan mendidih, biarkan hingga dingan, lalu air bening diambil, atau;
Cuka (1 sendok makan), atau;
Air jeruk nipis (5 biji).
Dilarutkan dengan air (1 liter). Bahan fiksasi ini juga bisa dicampur. Masukkan kain ke dalam larutan. Diaduk-aduk, disiram, lalu digantung lagi.

Penghilangan malam
Air direbus dengan soda abu, atau tawas, atau tepung kanji, hingga mendidih. Masukkan kain, yang lalu direbus sampai malamnya sudah hilang. Disiram. Digantung. Sudah jadi!