MENUJU PERTANIAN ORGANIK

SELAMAT DATANG

Kamis, 22 Desember 2011

JENIS – JENIS TANAH

Indonesia adalah negara kepulauan dengan daratan yang luas dengan jenis tanah yang berbeda-beda. Berikut ini adalah macam-macam / jenis-jenis tanah yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1. Tanah Humus
Tanah humus adalah tanah yang sangat subur terbentuk dari lapukan daun dan batang pohon di hutan hujan tropis yang lebat.
2. Tanah Pasir
Tanah pasir adalah tanah yang bersifat kurang baik bagi pertanian yang terbentuk dari batuan beku serta batuan sedimen yang memiliki butir kasar dan berkerikil.
3. Tanah Alluvial / Tanah Endapan
Tanah aluvial adalah tanah yang dibentuk dari lumpur sungai yang mengendap di dataran rendah yang memiliki sifat tanah yang subur dan cocok untuk lahan pertanian.
4. Tanah Podzolit
Tanah podzolit adalah tanah subur yang umumnya berada di pegunungan dengan curah hujan yang tinggi dan bersuhu rendah / dingin.
5. Tanah Vulkanik / Tanah Gunung Berapi
Tanah vulkanis adalah tanah yang terbentuk dari lapukan materi letusan gunung berapi yang subur mengandung zat hara yang tinggi. Jenis tanah vulkanik dapat dijumpai di sekitar lereng gunung berapi.
6. Tanah Laterit
Tanah laterit adalah tanah tidak subur yang tadinya subur dan kaya akan unsur hara, namun unsur hara tersebut hilang karena larut dibawa oleh air hujan yang tinggi. Contoh : Kalimantan Barat dan Lampung.
7. Tanah Mediteran / Tanah Kapur
Tanah mediteran adalah tanah sifatnya tidak subur yang terbentuk dari pelapukan batuan yang kapur. Contoh : Nusa Tenggara, Maluku, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
8. Tanah Gambut / Tanah Organosol
Tanah organosol adalah jenis tanah yang kurang subur untuk bercocok tanam yang merupakan hasil bentukan pelapukan tumbuhan rawa. Contoh : rawa Kalimantan, Papua dan Sumatera.

Konsep Daerah Aliran Sungai (DAS)


 
DAS     dianggap     sebagai     suatu     sistem,     maka     dalam pengembangannyapun,  DAS  harus  diperlakukan  sebagai  suatu  sistem.  Dengan memperlakukan  sebagai  suatu  sistem  dan  pengembangannya  bertujuan  untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan, maka sasaran pengembangan DASakan menciptaka ciri-ciri yang baik sebagai berikut :
  1. Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi. Setiap bidang lahan harus   memberikan   produktivitas   yang   cukup   tinggi   sehingga   dapat mendukung kehidupan yang layak bagi petani yang mengusahakannnya;
  2. Mampu mewujudkan, pemerataan produktivitas di seluruh DAS;
  3. Dapat menjamin kelestarian sumberdaya air. (Agus, dkk., 2007)
Salah  satu  fungsi  utama  dari  DAS  adalah  sebagai  pemasok  air  dengan kuantitas  dan  kualitas  yang  baik  terutama  bagi  orang  di  daerah  hilir.  Alih  guna lahan  hutan  menjadi  lahan  pertanian  akan  mempengaruhi  kuantitas  dan  kualitas tata  air  pada  DAS  yang  akan  lebih  dirasakan  oleh  masyarakat  di  daerah  hilir.
 
Persepsi  umum  yang  berkembang  pada  saat  ini,  konversi  hutan  menjadi  lahan pertanian  mengakibatkan  penurunan  fungsi  hutan  dalam  mengatur  tata  air, mencegah  banjir,  longsor  dan  erosi  pada  DAS  tersebut.  Hutan  selalu  dikaitkan dengan  fungsi  positif  terhadap  tata  air  dalam  ekosistem  DAS  (Noordwijk  dan Farida, 2004).

Fungsi  hutan  dalam  ekosistem  DAS  perlu  dipandang  dari  tiga  aspek berbeda,  yaitu  pohon,  tanah  dan  lansekap  (landscape).  Vegetasi  hutan  berfungsi mengintersepsi  air  hujan,  namun  laju  transpirasi  yang  tinggi  mengakibatkan perbandingan  dengan  jenis  vegetasi  non-irigasi lainnya.  Tanah  hutan  memiliki lapisan  seresah  yang  tebal,  kandungan  bahan  organik  tanah,  dan  jumlah  makro porositas yang cukup tinggi sehingga laju infiltrasi air lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pertanian. Dari sisi lansekap, hutan tidak peka terhadap erosi karena memiliki filter berupa seresah pada lapisan tanahnya. Hutan dengan karakteristik tersebut di atas sering disebut mampu meredam tingginya debit sungai pada saat musim  hujan  dan  menjaga  kestabilan  aliran  air  pada  musim  kemarau.  Namun prasyarat  penting  untuk  memiliki  sifat  tersebut  adalah  jika  tanah  hutan  cukup dalam  (e-3m).  Dalam  kondisi  ini  hutan  akan  mampu  berpengaruh  secara  efektif terhadap berbagai aspek tata air  (Noordwijk dan Farida, 2004). 

Daerah resapan air berperan sebagai penyaring air tanah. Ketika air masuk ke daerah resapan maka akan terjadi proses penyaringan air dari partikel-partikel yang  terlarut  di  dalamnya.  Hal  ini  dimungkinkan  karena  perjalanan  air  dalam tanah  sangat  lambat  dan  oleh  karenanya memerlukan  waktu  yang  relatif  lama.
Pada  keadaan  normal, aliran air tanah langsung masuk ke  sungai yang terdekat (Asdak, 1995).
Berkurangnya infiltrasi air ke dalam tanah yang mengalami erosi di bagian hulu DAS menyebabkan pengisian kembali (recharge) air di bawah tanah (ground water) juga berkurang  yang  mengakibatkan  kekeringan  di  musim  kemarau.

Dengan  demikian  terlihat  bahwa  peristiwa  banjir  dan  kekeringan  merupakan fenomena  ikutan  yang  tidak  terpisahkan  dari  peristiwa  erosi.  Bersama  dengan sedimen, unsur-unsur hara terutama N dan P serta bahan organikpun banyak yang ikut terbawa masuk ke dalam waduk atau danau (Agus, dkk., 2007).
 

Infiltrasi
 
Infiltrasi  dapat  diartikan  sebagai  proses  masuknya  air  ke  dalam  tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan air ke   arah   vertikal).   Setelah   keadaan   jenuh   pada   lapisan   tanah   bagian   atas terlampaui, sebagian dari air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam sebagai akibat  gaya  gravitasi  bumi  dan  dikenal  dengan  proses  perkolasi.  Laju  maksimal gerakan  air  masuk  ke  dalam  tanah  dinamakan  kapasitas  infiltrasi.  Kapasitas infiltrasi   terjadi   ketika   intensitas   hujan   melebihi   kemampuan tanah dalam menyerap kelembaban tanah. Sebaliknya, apabila intensitas hujan lebih kecil dari pada  kapasitas infiltrasi,  maka  laju  infiltrasi  sama  dengan  laju  curah  hujan (Asdak,1995). 

Kondisi  permukaan,  seperti  sifat  pori  dan  kadar  air  rendah,  sangat menentukan  jumlah  air  hujan  yang  diinfiltrasikan  dan  jumlah  runoff.  Jadi,  laju infiltrasi yang tinggi tidak hanya meningkatkan jumlah air yang tersimpan dalam tanah  untuk  pertumbuhan  tanaman,  tetapi  juga  mengurangi  besarnya  banjir  dan erosi yang diaktifkan oleh runoff. Pukulan butir-butir hujan pada permukaan tanah yang   terbuka menghancurkan dan mendispersikan aggregat tanah yang mengakibatkan penyumbatan pori tanah di permukaan. Hal ini akan menurunkan laju infiltrasi. Penurunan laju infiltrasi juga dapat terjadi karena overgrazing, dan pemadatan tanah akibat penggunaan alat-alat berat  (Hakim, dkk., 1986).

Pengaruh   tanaman   diatas   permukaan   tanah   ada   2   yaitu   berfungsi menghambat  aliran  air  dipermukaan  sehingga  kesempatan  berinfiltrasi  besar, sedangkan  yang  kedua  sistem  akar-akaran  yang  dapat  lebih  menggemburkan tanah. Sehingga makin baik penutupan tanah, maka laju infiltrasi cenderung lebih tinggi (Harto, 1993).  

Proses  infiltrasi  adalah  bagian  yang  sangat  penting  dalam  daur  hidrologi maupun  dalam  proses  pengalihragaman  hujan  menjadi  aliran  di  sungai.  Dengan adanya  proses  infiltrasi,  maka  dapat  mengurangi  terjadinya  banjir,  mengurangi terjadinya  erosi  tanah.  Selain  itu  kegunaan  dari  infiltrasi  adalah  memenuhi kebutuhan  tanaman  dan  vegetasi  akan  air,  mengisi  kembali  reservoir  tanah  dan menyediakan aliran sungai pada saat musim kemarau (Scyhan, 1990).
Kapasitas   infiltrasi   adalah   kemampuan   tanah   dalam   merembeskan banyaknya  air  ke  dalam  tanah.  Besarnya  kapasitas  infiltrasi  dapat  memperkecil berlangsungnya  aliran  permukaan  tanah.  Berkurangnya  pori-pori  tanah  yang umumnya disebabkan oleh pemadatan tanah, menyebabkan menurunnya infiltrasi (Sutedjo dan Kartasapoetra, 1991). 

Di  dalam  tanah,  air  berada  di  dalam  ruang  pori  di  antara  padatan  tanah, jika  tanah  dalam  keadaan  jenuh  air,  ruang  pori  tanah  terisi  oleh  air.  Dalam keadaan  ini  disebut  “kapasitas  penyimpanan  air  masimum”.  Selanjutnya,  jika tanah  dibiarkan   mengalami  pengeringan  sebagian  lainnya  terisi  air.  Dalam keadaan ini tanah dikatakan jenuh (Islami dan Wani, 1995).
Kapasitas  infiltrasi  rata-rata  berkorelasi  dengan  sifat-sifat  fisik  tanah.
Korelasi  bersifat  positif  terhadap  porositas  tanah  dan  kandungan  bahan  organik, beberapa  kapasitas  infiltrasi  khas  untuk  berbagai  tekstur  tanah.  Pemadatan  oleh hujan,  hewan  ataupun  peralatan  yang  berat  secara  drastis  dapat  mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air dengan tertutupnya pori-pori tanah (Lee, 1990).

Kapasitas menahan air berhubungan dengan luas permukaan adsorpsi dan volume  ruang  pori,  sehingga  ia  ditentukan  baik  oleh  tekstur  maupun  struktur tanah.  Tanah  bertekstur  halus  mempunyai  kapasitas  total  menahan  air  tertinggi, tetapi  jika air tersedia tertinggi dipunyai oleh tanah  bertekstur sedang. Pengaruh bahan  organik  bukan  semata-mata  disebabkan  oleh  kemampuan  bahan  organik menahan  air,  tetapi  juga  peranannya  dalam  pembentukan  struktur  dan  porositas tanah (Hakim, dkk., 1986).
Kandungan    air    tanah    berkaitan    dengan    kelembaban    tanah    yang berpengaruh  terhadap  laju  infiltrasi.  Laju  infiltrasi  terbesar  terjadi  pada  tanah dengan  kandungan  air  rendah  dan  sedang,  tetapi  makin  tinggi  kadar  air  sampai keadaan  jenuh  air,  laju  infiltrasi  menurun  hingga  mencapai  minimum  sehingga menyebabkan laju permeabilitas yang rendah (Asdak, 1995). 
 

Proses Terjadinya Infitrasi
 
Ketika  air  hujan  menyentuh  permukaan  tanah,  sebagian  atau  seluruh  air hujan tersebut masuk ke dalam tanah  melalui pori-pori permukaan tanah. Proses masuknya  air  hujan  ke  dalam  tanah  disebabkan  oleh  tarikan  gaya  gravitasi  dan gaya kapiler tanah. Laju air infiltrasi yang dipengaruhi oeh gaya gravitasi dibatasi oleh  besarnya  diameter  pori-pori  tanah.  Dibawah  pengaruh  gaya  gravitasi,  air hujan  mengalir  tegak  lurus  ke  dalam  tanah  melalui  profil  tanah.  Pada  sisi  yang
lain,  gaya  kapiler  bersifat  mengalirkan  air  tersebut  tegak  lurus  ke  atas,  ke bawah dan ke arah horizontal. Gaya kapiler   tanah  ini  bekerja nyata  pada   tanah dengan pori-pori yang relatif kecil (USDA NRCS, 1998).  

Dapat  dikatakan  bahwa,  proses  infiltrasi  melibatkan  tiga  proses  yang saling  tidak  tergantung  satu  sama  lain,  yaitu  (1)  proses  masuknya  air  hujan melalui pori-pori permukaan tanah, (2) tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah,  (3)  proses  mengalirnya  air  tersebut  ke  tempat  lain  (bawah,  samping,  dan atas).  Meskipun  tidak  saling  tergantung,  ketiga  proses  tersebut  saling  terkait.
Besarnya  laju  infiltrasi  pada  tanah  tidak  bervegetasi  tidak  akan  pernah  melebihi laju intensitas hujan (Asdak, 1995).
 

Hubungan Infiltrasi dengan Tata guna Lahan 
  
Vegetasi  dan  lapisan  serasah  melindungi  permukaan  tanah  dari  pukulan langsung  tetesan  air  hujan  yang  dapat  menghancurkan  agregat  tanah,  sehingga terjadi    pemadatan    tanah.    Hancuran    partikel    tanah    dapat    menyebabkan penyumbatan  pori  tanah    makro  sehingga  menghambat  infiltrasi  air  tanah, akibatnya  limpasan  permukaan  akan  meningkat.  Peran  lapisan  serasah  dalam melindungi  permukaan  tanah  sangat  dipengaruhi  oleh  ketahanannya  terhadap pelapukan. Serasah berkualitas tinggi (mengandung hara, terutama N tinggi) akan 
mudah  melapuk  sehingga  fungsi  penutup  permukaan  tanah  tidak  bertahan  lama         
(Asikin, 2006).

Vegetasi pada permukaan tanah  itu  pada umumnya dapat mencegah atau mengurangi  berlangsungnya  erosi,  akan  tetapi  karena  tanaman  itu  berjenis-jenis maka  pengaruh  dan  hasilnyapun  berbeda-beda  pula.  Rumput-rumputan  atau tanaman   rimbun   yang   tumbuh   rapat   mempunyai   kemampuan   mencegah berlangsungnya erosi  yang  lebih  besar dibanding  dengan tanaman-tanaman  yang tumbuh jarang serta tidak berdaun lebat  (Sutedjo dan Kartasapoetra, 1991).

Kerapatan pohon akan mempengaruhi hambatan terhadap air hujan dalam luas yang lebih besar, sehingga populasi tanaman yang jarang akan menimbulkan erosi  yang  lebih  besar.  Populasi  yang  jarang  ini  terutama  disebabkan  oleh penebangan  yang  liar,  pembakaran  dan  pengusahaan  tanah  garapan  lainnya (Sarief, 1985).  
 

Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Infiltrasi Tanah
  
1. Tekstur 
 
Tekstur  tanah  adalah  perbandingan  kandungan  partikel-partikel  tanah primer berupa fraksi liat, debu dan pasir dalam suatu tanah. Partikel-partikel tanah itu mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda dan dapat digolongkan ke dalam  tiga  fraksi  seperti  tersebut  di  atas.  Ada  yang  berdiameter  besar  sehingga dengan   mudah  dapat  dilihat  dengan   mata  telanjang,  tetapi  ada   juga   yang sedemikian  halusnya,  seperti  koloidal,  sehingga  tidak  dapat  dilihat  dengan  mata
telanjang  (Sarief, 1986).  

Partikel  pasir  ukurannya  jauh  lebih  besar  dan  memiliki  luas  permukaan yang  kecil  dibandingkan  dengan  partikel  debu  dan  liat.  Oleh  karena  itu,  maka peranan  partikel  pasir  dalam  ikut  mengatur  sifat-sifat  kimia  tanah  adalah  kecil sekali,  tetapi  fungsi  utamanya  adalah  sebagai  penyokong  tanah  dalam  mana disekelilingnya  terdapat  partikel-partikel  liat  dan  debu  yang  lebih  aktif.  Tanah tanah  yang  memiliki  kemampuan  besar  dalam  memegang  air  adalah  fraksi  liat.

Sedangkan tanah-tanah yang mengandung debu yang tinggi dapat memegang air tersedia untuk tanaman (Hakim, dkk., 1986). 
Tanah  yang  bertekstur  kasar  mempunyai  kapasitas  infiltrasi  yang  tinggi, sedangkan tanah yang bertekstur tanah halus mempunyai kapasitas infiltrasi kecil, sehingga dengan curah hujan yang cukup rendah pun akan menimbulkan limpasan permukaan (Utomo, 1989). 

Tanah  berpasir  mempunyai  kemampuan  infiltrasi  dan  hantaran  hidrolik tinggi serta daya menahan air rendah, sehingga pergerakan air jenuh lebih mudah dan  cepat.  Sebaliknya,  tanah  yang  bertekstur  halus  mempunyai  kapasitas  total menahan  air  tertinggi,  tetapi  jumlah  air  tersedia  tertinggi  dipunyai  oleh  tanah bertekstur  sedang.  Pengaruh  bahan  organik  bukan  semata-mata  disebabkan  oleh kemampuan   bahan   organik   menahan   air,   tetapi   juga   peranannya   dalam pembentukan struktur dan porositas tanah. Selain itu tanah yang bertekstur halus umumnya  mempunyai  perkolasi  air  rendah,  karena  penyumbatan  pori  oleh
pembengkakan koloid tanah, serta adanya udara yang terjepit (Hakim, dkk., 1986).

Tekstur  tanah  turut  menentukan  tata  air  dalam  tanah,  yaitu  berupa kecepatan infiltrasi, penetrasi dan kemampuan pengikatan air oleh tanah. Terjadi  tidaknya aliran permukaan, tergantung kepada dua sifat yang dipunyai oleh tanah tersebut, yaitu :
  1. Kapasitas infiltrasi, yaitu kemampuan tanah untuk meresapkan air, diukur dalam mm setiap satuan waktu.
  2. Permeabilitas  dari  lapisan  tanah  yang  berlainan,  yaitu  kemampuan  tanah untuk meluluskan air atau udara ke lapisan bawah profil tanah (Suripin, 2004).

Tanah-tanah  yang  bertekstur  kasar  seperti  pasir  dan  pasir  berkerikil mempunyai  kapasitas  infiltrasi  yang  tinggi  dan  jika  tanah  tersebut  dalam,  maka erosi dapat diabaikan. Tanah bertekstur halus juga mempunyai kapasitas infiltrasi yang cukup tinggi, akan tetapi jika terjadi aliran permukaan maka butir-butir halus akan  mudah  terangkut.  Tanah-tanah  yang  mengandung  liat  dalam  jumlah  yang tinggi dapat tersuspensi oleh  butir-butir hujan  yang  jatuh  menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat. Hal ini menyebabkan terjadinya aliran permukaan dan erosi yang hebat (Harahap, 2007).

Besar  dari  pori  tanah  tergantung  dari  ukuran  partikel  tanah.  Tanah  yang liatnya  tinggi  memiliki  pori-pori  tanah  yang  sempit.  Sedangkan  tanah  yang mengandung banyak pasir memiliki pori-pori yang kecil, tetapi luas atau banyak.

Air  akan  mengalir  deras  pada  tanah  yang  memiliki  pasir  yang  tinggi  dan  ini disebut dengan macropori. Pori-pori yang kecil atau yang  sering disebut sebagai micropori  mampu  untuk  menahan  air.  Kedua  ukuran  pori  tanah  tersebut  sangat penting, dimana untuk menahan air dibutuhkan tanah  yang  mikropori dan untuk makropori untuk menahan udara (Plaster, 1992). 
Tipe-tipe  partikel  tanah  (pasir,  liat,  dan  debu)  dapat  mengontrol  laju infiltrasi. Sebagai contoh, permukaan tanah yang berpasir secara umum memiliki laju   infiltrasi   yang   tinggi   dari   pada   tanah   yang   permukaannya   liat.   Dan kenyataannya  juga  pada  beberapa  pengamatan  memang  kapasitas  infiltrasi  pada fraksi  pasir  adalah  lebih  besar  dibandingkan  dengan  fraksi  liat,  hal  ini  memang dipengaruhi  oleh  karena  liat  kaya  akan  pori  yang  halus  tetapi  miskin  akan  pori yang besar. Sebaliknya pasir miskin akan pori halus, namun kaya akan pori yang
besar (Kartasapoetra, 1989).

Air bergerak lebih cepat melalui pori-pori dan ruang pori yang besar pada tanah  berpasir  dari  pada  melalui  pori-pori  yang  kecil  pada  tanah  liat.  Ketika kandungan  bahan  organik  tanah  rendah,  akan  berpengaruh  signifikan  dalam  hal kerentanan terhadap pengerasan fisik tanah (Soil Quality Institute et.al, 2001).
 
2. Struktur Tanah

Struktur tanah  adalah  susunan  agregat-agregat  primer  tanah  secara  alami menjadi bentuk tertentu yang dibatasi oleh bidang-bidang. Struktur tanah dapat di nilai dari stabilitas agregat, kerapatan lindak, dan porositas tanah. Struktur tanah ditentukan  oleh  tiga  group  yaitu  mineral-mineral  liat,  oksida-oksida  besi,  dan mangan,  serta  bahan  organik  koloidal  gum  yang  dihasilkan  oleh  jasad  renik (Muhdi, 2004).

Tanah-tanah  yang  memiliki  kekuatan  agregat  tanah  yang  kuat  menjadi granular  atau  struktur  tanah  yang  memiliki  laju  infiltrasi  yang  tinggi  dari  pada tanah  yang  mempunyai agregat  yang  lemah,  massive atau  struktur plate. Tanah-tanah yang memiliki ukuran struktur yang lebih kecil memiliki laju infiltrasi yang  lebih   tinggi   dari   pada   tanah-tanah   yang   ukuran   agregat   tanahnya   besar (Plaster, 1992).

Bentuk struktur tanah yang membulat (granular dan remah) menghasilkan tanah  dengan  daya  serap  tinggi  sehingga  air  mudah  meresap  ke  dalam  tanah.
Struktur tanah remah (tidak mantap), sangat mudah hancur oleh pukulan air hujan menjadi  butir-butir  halus,  sehingga  menutupi  pori-pori  tanah.  Akibatnya  air infiltrasi terhambat dan aliran permukaan meningkat (Giancinta, 2006). 

Kerusakan  struktur  tanah  diawali  dengan  penurunan  kestabilan  agregat tanah  sebagai  akibat  dari  pukulan  air  hujan  dan  kekuatan  limpasan  permukaan.
Penurunan kestabilan agregat tanah akan berkaitan dengan penurunan kandungan bahan  organik  tanah,  aktivitas  perakaran  tanaman  dan  mikroorganisme  tanah.

Penurunan  ketiga  agen  pengikat  agregat  tanah  tersebut  selain  menyebabkan agregat  tanah  relatif  mudah  pecah  sehingga  menjadi  agregat  atau  partikel  yang lebih  kecil  juga  menyebabkan  terbentuknya  kerak  di  permukaan  tanah  (soil crusting) yang mempunyai sifat padat dan keras bila kering. Agregat atau partikel-partikel yang halus akan terbawa aliran air ke dalam tanah sehingga menyebabkan penyumbatan   pori   tanah.   Pada   saat   hujan   turun   kerak   yang   terbentuk   di permukaan  tanah  juga  menyebabkan  penyumbatan  pori  tanah.  Akibat  proses penyumbatan pori tanah ini porositas tanah, distribusi pori tanah, dan kemampuan
tanah untuk mengalirkan air mengalami penurunan dan limpasan permukaan akan meningkat (Suprayogo, 2002).

Agregat-agregat  dalam  tanah  selalu  dalam  tingkatan  perubahan  yang kontinu.  Pembasahan,  pengeringan,  pengolahan  tanah  dan  aktifitas  biologis, semuanya berperan dalam pengrusakan dan pembangunan agregat-agregat tanah.

Struktur lapisan olah dipengaruhi oleh pengelolaan praktis dan dimana aerasi dan drainase membatasi  pertumbuhan  tanaman,  sistem  pertanaman  yang  mampu menjaga  kemantapan  agregasi  tanah  akan  memberikan  hasil  yang  tertinggi  bagi produksi pertanian (Hakim, dkk., 1986). 
 
3. Bulk Density (BD)

Bulk  density  merupakan  petunjuk  kepadatan  tanah.  Makin  padat  suatu tanah  makin  tinggi  bulk  density,  yang  berarti  makin  sulit  meneruskan  air  atau ditembus  akar  tanaman. Pada umumnya  bulk density  berkisar dari 1,1 - 1,6 g/cc (Hardjowigeno, 2003).     

Tanah-tanah  yang  berstruktur  granular  lebih  terbuka  untuk  menyerap  air lebih cepat dari pada tanah yang berstruktur dengan susunan butir-butir primernya lebih rapat. Dengan adanya aktivitas perakaran dan suplai bahan organik struktur ini  dapat  lebih  gembur  dan  meningkatkan  kapasitas  infiltrasi  dan  kemampuan tanah menahan air contohnya pada lapisan permukaan. Oleh karena itu tanah yang berstruktur denga susunan butir-butir primernya lebih rapat memiliki bulk density yang tinggi dan menyulitkan akar tanaman berkembang, terutama tanaman kayu-kayuan  (Harahap, 2007).

Tanah  yang  mempunyai  zone  kepadatan  tinggi  dapat  menurunkan  laju pergerakan  air  di  dalam  tanah  sehingga  aerasi  tanah  menjadi  rendah.  Pada pemadatan  tanah  terus-menerus  dapat  meningkatkan  penetrasi  tanah,  sehingga perkembangan akar tanaman terganggu  (Muhdi, 2004).

Semakin  tinggi  kepadatan  tanah,  maka  infiltrasi  akan  semakin  kecil. Kepadatan  tanah  ini  dapat  disebabkan  oleh  adanya  pengaruh  benturan-benturan hujan pada permukaan tanah (Serief, 1989). 

Kerapatan  isi adalah  berat persatuan volume tanah kering  oven, biasanya ditetapkan  sebagai  gr/cm 3 .  Kerapatan  isi  lapisan  olah  berstruktur  halus  biasanya berkisar antara 1,0 -1,3.  Sedangkan jika tekstur tanah itu kasar, maka kisaran itu selalu  diantara 1,3  – 1,8. Semakin  berkembang  struktur tanah  lapisan olah  yang bertekstur  biasanya  memiliki  nilai  berat  jenis  palsu  yang  rendah,  dibandingkan pada tanah-tanah berpasir
                                                Berat Kering Oven (gr) 
                 Kerapatan isi     =    ------------------------------------
                                                Volume Tanah (Cm 3 )
 (Hakim, dkk., 1986).  

4. Total Ruang Pori (TRP) 

Porositas  adalah  proporsi  ruang  pori  total  (ruang  kosong)  yang  terdapat dalam  satuan  volume  tanah  yang  dapat  ditempati  oleh  air  dan  udara,  sehingga merupakan indikator kondisi drainase dan aerasi tanah. Tanah yang poreus berarti tanah yang cukup mempunyai ruang pori untuk pergerakan air dan udara masuk-keluar   tanah   secara   leluasa,   sebaliknya   jika   tanah   tidak   poreus.   Porositas mencerminkan   tingkat   kesarangan   tanah   untuk    dilalui   airan    massa   air (permeabilitas,  jarak  per waktu) atau  kecepatan aliran air untuk  melewati  massa tanah (perkolasi, waktu per jarak)  (Hanafiah, 2005). 

Pada  umumnya  dalam  tanah  ada  dua  macam  pori,  pori  makro  dan  pori mikro.  Meskipun  tidak  ada  garis  batas  yang  jelas,  namun  pori-pori  makro  mempunyai  ciri  menunjukkan  lalu  lintas  udara  dan  memudahkan  perkolasi  air. Sebaliknya pori-pori mikro sangat menghambat lalu lintas udara sedang gerak air sangat  dibatasi  menjadi  gerak  kapiler  yang  lambat.  Jadi  dalam  tanah  pasir   meskipun jumlah ruang pori rendah, lalu lintas udara dan air sangat lancar karena
pori-pori makro yang menguasai tanah tersebut  (Buckman and Brady, 1982). 

Ruang pori-pori total pada tanah berpasir semakin rendah, tetapi sebagian besar dari pori-pori itu terdiri dar pori-pori yang  besar dan sangat effisien dalam lalu  lintas  air  maupun  udara.  Persentase  volume  yang  ditempati  oleh  pori-pori kecil,   dalam   tanah   berpasir   adalah   rendah,   yang   menunjukkan   kapasitas memegang  air  yang  rendah.  Sebaliknya,  pada  pada  top-soil  bertekstur  halus, memiliki lebih banyak ruang pori total yang sebagian besar terdiri dari pori-pori kecil  (Hakim, 1986). 

Laju masuknya hujan ke dalam tanah dtentukan, terutama oleh ukuran dan susunan  pori-pori  besar.  Pori  yang  demikian  itu  dinamai  porositas  aerasi,  oleh karena pori-pori mempunyai diameter yang cukup besar (0,06 milimeter dan lebih besar) yang memungkinkan air keluar dengan cepat sehingga tanah beraerasi baik. Pori-pori tersebut juga memungkinkan udara keluar dari tanah sehingga air dapat masuk (Arsyad, 1989).

Tanah   mineral   mempunyai   particle   density   =   2,65   g/cm 3 . Dengan mengetahui  besarnya  bulk  density  dan  particle  density  maka  dapat  dihitung banyaknya (%) pori-pori total tanah sebagai berikut :

Bulk density
----------------------------  x 100% = % bahan padat tanah
Particle density

% pori-pori total tanah  =  100% - % bahan padat tanah.

Dengan rumus :          
                                                       Bulk density
Ruang pori total (%)  =  ( 1 -   -----------------------------------------  ) x 100%
                                                    Particle density
(Hardjowigeno, 2003).       

5. Bahan Organik (BO) 

Jika  permukaan  tanah  tertutup  oleh  pohon-pohon  dan  rumput-rumputan maka infiltrasi dapat dipercepat. Pada tanah yang bercampur lempung yang tidak tertutup  dengan tumbuh-tumbuhan, lapisan teratas akan dimampatkan oleh curah hujan,  penyumbatan  dengan  bahan-bahan  halus.  Tetapi  jika  tanah  itu  ditutupi dengan  lapisan  daun-daunan  yang  jatuh,  maka  lapisan  itu  mengembang  dan menjadi sangat permeabel. Kapasitas infiltrasinya adalah beberapa kali lebih besar dari pada effek jenis tanah  (Sosrodarsono dan Takeda, 1987).

Bahan  organik  tanah  merupakan  penimbunan,  terdiri  sebagian  dari  sisa dan  sebagian  dari  pembentukan  dari  sisa  tumbuhan  dan  hewan.  Bahan  organik yang dikandung oleh tanah  hanya  sedikit, kurang  lebih  hanya 3 sampai 5% dari berat tanah dalam topsoil tanah  mineral  yang  mewakili. Bahan organik berperan sebagai pembentuk butir (granulator) dari butir-butir mineral, yang menyebabkan terjadinya  keadaan  gembur  pada  tanah  produktif.  Bahan  ini  biasanya  berwarna
hitam atau coklat bersifat koloida. Daya menahan air dan ion-ion hara jauh lebih besar daripada lempung (Buckman and Brady, 1982).   

Kandungan  bahan  organik  tanah  menentukan  kepekaan  tanah  terhadap erosi.    Tanah-tanah    yang    cukup    mengandung    bahan    organik    umumnya menyebabkan  struktur  tanah  menjadi  mantap  sehingga  tahan  terhadap  erosi.
Tanah dengan kandungan bahan organik kurang dari 2% umumnya peka terhadap erosi (Asikin, 2006).

Bahan  organik  yang  telah  mengalami  pelapukan  mempunyai  emampuan menyerap dan menahan air yang tinggi. Bahan organik dapat menyerap air sebesar dua sampai tiga kali beratnya, akan tetapi kemampuan ini hanya merupakan faktor  kecil  dalam  pengaruhnya  terhadap  aliran  permukaan.  Pengaruh  bahan  organik dalam   mengurangi   aliran   permukaan   terutama   berupa   perlambatan   aliran permukaan, peningkatan infiltrasi dan pemantapan agregat tanah (Harahap, 2007).

Masuknya  bahan  organik  ke  dalam  tanah  yang  terus-menerus  dari  daun-daun, cabang dan ranting yang berguguran sebagai serasah, dan dari akar tanaman serta  hewan  yang  telah  mati  dapat  meningkatkan  laju  infiltrasi  air  tanah  dan penyerapan   air   oleh   tumbuhan   hutan,   maka   terjadi   pengurangan   limpasan permukaan, bahaya banjir, dan pencemaran air tanah (Widianto, 2003).

Tidak  adanya  penambahan  bahan  organik  dari  hasil  pemangkasan  akan menyebabkan bahan organik tanah akan menurun. Dengan penurunan kandungan bahan  organik,  maka  berakibat  kurang  terikatnya  butir-butir  primer  menjadi agregat  oleh   bahan   organik   sehingga   porositas   tanah   menurun,   penurunan porositas dapat berakibat pada penurunan laju infiltrasi (Muhdi, 2004).

Bahan  organik  adalah  bahan  pemantap  agregat  tanah.  Bahan  organik merupaka  salah  satu  bahan  yang  penting  dalam  menciptakan  kesuburan  tanah, baik  secara  fisika,  kimia  maupun  dari  segi  biologi  tanah.  Sumber  primer  bahan organik  adalah  jaringan  tanaman  setelah mengalami  dekomposisi  dan  akan terangkut ke lapisan bawah berupa akar, batang, ranting, daun, bunga, dan buah, dan juga bahan organik. Peranan bahan organik tanah bagi ciri fisik tanah adalah
kemampuan  tanah  menahan  air  meningkat  dengan  cara  meningkatkan  porositas tanah  dan  merangsang  kekuatan  agregat  tanah  untuk  saling  mengikat  apabila tanah memiliki bahan organik yang besar (Hakim, dkk., 1986).  
  

Infiltrometer

Ring  infiltrometer  merupakan  alat  pengukur  infiltrasi  di  lapang.  Pada umumnya   pengukuran   infiltrasi   dengan   ring   ada   beberapa   kelemahan   jika dibandingkan    rain-stimulator: (1) tidak    memperhitungkan    pengaruh    hujan sebenarnya  (2) area  penyelidikan  sangat  kecil,  hambatan  lebih  kecil   hal  ini mengakibatkan  nilai  infiltrasi  lebih  besar  (3) Struktur  tanah  akan  berubah  pada saat memasuk- kan pipa ke dalam tanah (Anonimous, 2005).

Infiltrometer  merupakan  suatu  tabung  baja  selindris  pendek,  berdiameter basar  (suatu  batas  kedap  air  lainnya)  yang  mengitari  suatu  daerah  dalam  tanah. Infiltrometer  konsentrik  yang  merupakan  tipe  biasa,  terdiri  dari  dua  cincin konsentrik  yang  ditekan  ke  dalam  permukaan  tanah.  Keduan  cincin  tersebut digenangi  (karena  itu  disebut  infiltrometer  tipe  genang)  secara  terus-menerus untuk  mempertahankan  tinggi  yang  konstan.  Masing-masing  penambahan  untuk mempertahankan  tinggi  yang  konstan  ini  hanya  diukur  (waktu  dan  jumlah)pada cincin  bagian  dalam.  Bagian  luar  digunakan  untuk  mengurangi  pengaruh  batas dari  tanah  sekitarnya  yang  lebih  kering.  Kalau  tidak  air  yang  berinfiltrasi  yang dapat menyebar secara lateral di bawah permukaan tanah (Subagyo, 1990).
 


Gambar 1. Infiltrometer (Double ring)        
 

Tata Guna Lahan
 
Kebun Campuran

Kebun  campuran  adalah  kebun  yang  terdiri  atas  campuran  yang  tidak teratur antara tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan dan sayuran serta tanaman   semusim   yang   terletak   di  sekitar  rumah.  Tumbuhan   yang   umum didapatkan termasuk pohon-pohonan, tanaman merambat, sayuran dan herba yang menghasilkan  dan  menyediakan  karbohidrat,  protein,  vitamin,  dan  mineral  serta obat-obatan  sepanjang  tahun.  Terdapat  variasi  yang  besar  dalam  jenis  tanaman dan intensitas penanaman yang sangat ditentukan oleh jenis tanah, iklim, fluktuasi
permukaan air bawah tanah (Arsyad, 1989). 
Penanaman  secara  kontur  yaitu  melakukan  penanaman  tanaman  yang searah   dengan   garis   kontur   dengan   tujuan   menghambat   kecepatan   aliran permukaan,  memperbesar  peresapan  air  ke  dalam  tanah,  dan  menghemat  biaya, tenaga  dan  waktu.  Penanaman  secara  kontur  sangat  baik  dilakukan  pada  tanah-tanah dengan kemiringan lereng 3% - 8%   (Sutedjo dan Kartasapoetra, 1991).

Selasa, 20 Desember 2011

Pembuatan Mikroorganisme Cair (MOC) dari Limbah Sayuran.

Peralatan :
  • Drum plastik ukuran 200 liter
  • Plastik transparan 1 m2
Bahan :
  • 100 Kg Limbah Sayuran Hijauan (Kol, Cesin, Vetsay, Mentimun, Bayam, Kangkung dll),
  • Garam 5 % dari berat bahan ( ~5 Kg),
  • Gula merah 2 % dari cairan setelah diproses selama 24 hari.
Cara pembuatan :
  1. Limbah sayuran hijauan diiris-iris hingga menjadi potongan-potongan kecil dan masukan kedalam drum plastik, setiap lapisan setebal 20 cm taburkan garam sampai rata, lanjutkan dengan berlapis-lapis seperti diatas sampai kedua bahan habis.
  2. Tambahkan air cucian beras sebanyak 10 liter,
  3. Drum ditutup rapat dengan plastik dan diatasnya diberi air sehingga tampak plastik cekung terisi air.
  4. Setelah 3-4 minggu baru dibuka, akan tampak cairan berwarna kuning kecoklatan, baunya segar dan jika diukur PH nya 3- 5 .
  5. Tambahkan gula sebanyak 2 ons dan diaduk hingga rata.
Cara penggunaan : 
  1. Pengomposan, yaitu digunakan untuk mempercepat penghancuran Bahan Organik, dengan cara campurkan 1 liter cairan ditambah 10 liter air tawar tambahkan gula 2 0ns dan cairan siap di siramkan pada bahan organik yang akan dikomposkan.
  2. Penyemprotan pada tanaman, yaitu dengan cara campurkan 400 cc cairan MOC dengan 14 liter air tawar (1 tangki semprotan) dan diaduk rata, semprotkan pada pagi atau sore hari (hindari sengatan cahaya matahari pada siang hari) pada berbagai jenis tanaman, jika tanaman padi disemprotkan pada umur 10, 20, 30 dan 40 hari setelah tanam
Catatan :
  • Penggunaan pada tanaman lain pada prinsipnya sama karena bahan mikroorganisme cair ini berfungsi sebagai dekomposer dan stimulator bahan organik pada media tanam. Efek langsung pada tanaman adalah fungsinya sebagai zat pengautr tumbuhan sebagai hasil proses biokimia fermentasi bahan.
  • Pembuatan dapat dilakukan pada skala kecil untuk keperluan rumahtangga, seperti apotek hidup, sayuran pekarangan, ataupun tanaman hias. Dalam hal ini, perbandingan volume bahan seperti yang dijelaskan diatas.
  • Untuk jenis tanaman yang peka seperti sayuran dan tanaman hias, sebaiknya dicoba pada kosentrasi larutan yang lebih encer untuk menghindari proses plasmolisis jaringan daun. Apabila terjadi gejala kekeringan pad ujung daun, konsentrasi larutan dapat lebih diencerkan.


Menuju Sistem Pertanian Organik

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertanian di Indonesia berkembang sesuai dengan pengetahuan masyarakat. Pada awal mulanya, bercocok tanam dilakukan secara berpindah-pindah (swiden agriculture). Ladang dan hutan dibuka, lalu ditanami tanaman pokok seperti padi gogo, talas, ubi kayu, ubi jalar, dan sayuran. Tanaman tersebut belum diberi pupuk kandang atau pemeliharaan lainnya. Mulanya tanaman tumbuh subur, tetapi semakin lama, semakin merosot pula kesuburannya. Karena produksi menurun, petani berpindah ke tempat lain lalu membuka hutan kembali dan menanaminya. Ladang yang telah ditinggal begitu saja akan menjadi tandus, bahkan menjadi padang ilalang.
Sistem ladang berpindah tersebut kemudian berkembang menjadi sistem pertanian tradisional. Disebut pertanian tradisional karena pengelolaannya masih sederhana. Pengolahan tanah baru dilakukan saat musim hujan tiba. Sedangkan pada tanah tegalan, umumnya hanya ditanami satu jenis tanaman secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama, sehingga menimbulkan masalah yang berupa berkurangnya kesuburan tanah, hasil panen merosot, serta hama dan penyakit berkembang dengan pesat dan tak terkendali. Pada tanah yang miring, kesuburannya menjadi cepat merosot dan terjadi banyak erosi karena tanahnya belum dibuat sistem terassering atau sengkedan.
Sebenarnya pertanian organik merupakan pertanian yang akrab dengan lingkungannya karena tidak memakai pestisida. Akan tetapi, produksinya tidak mampu menyaingi atau mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah. Untuk mengimbangi kebutuhan pangan tersebut, perlu diupayakan peningkatan produk yang kemudian berkembang sistem pertanian konvensional atau pertanian tradisional.
Pertanian organik mulai muncul di Indonsia pada 1984. Yayasan Bina Sarana Bakti mulai mengembangkannya di Bogor, tepatnya di Cisarua pada lahan seluas empat hektar. Setelah itu, sistem pertanian ini berkembang sangat pesat. Jenis tanaman yang ditanam secara organik pun tidak terbatas pada jenis tanaman sayuran saja, tetapi juga tanaman buah, walaupun tidak dalam skala seluas tanaman sayuran, tanaman padi maupun tanaman obat.
B. Permasalahan
Ada dua permasalahan utama yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu (1) bagaimana gambaran penggunaan pupuk organik dalam kehidupan masyarakat petani pada khususnya dan masyarakat lain pada umumnya; (2) apa dampak yang ditimbulkan selama ini dan bagaiman solusinya? Dari pertanyaan tersebut, penulis tergelitik untuk mengamati lebih dalam tentang sejauh mana penggunaan pupuk kimia yang merupakan musuh terbesar bagi pupuk organik.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup makalah ini meliputi pengertian tentang beberapa pertanian yang telah dikenal masyarakat sejak zaman dahulu kala serta hal-hal yang berhubungan dengannya. Makalah ini ditulis berdasarkan penelitian lapangan di Desa Bulak, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Penulis hanya membatasi pada analisis pertanian organik dan pertanian kimia.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah mendapatkan dua macam data sekaligus, yaitu data-data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif mengenai tema penelitian di atas. Hasil yang diperoleh dapat dijadikan sebagai informasi untuk mengembangkan kualitas pangan di tingkat pusat (jangka panjang), dasar kebijakan pemerintah daerah (jangka menengah), dan masyarakat di Kecamatan Rowosari pada khususnya dan Kendal pada umumnya (jangka pendek). Selain itu, informasi tersebut juga dapat digunakan sebagai acuan pengambilan kebijakan politis tingkat pusat dan sebagai landasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bertema kepedulian lingkungan di Indonesia sebagai cara mengatasi kekurangan pangan di negeri tercinta ini.
E. Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini adalah pihak-pihak yang terlibat dengan tema ataupun permasalahan yang diangkat dalam makalah, antara lain para petani yang bertindak aktif sebagai pelaku utama; instansi-instansi pemerintah terkait, seperti pemerintahan desa, kecamatan, dan kabupaten; dinas-dinas terkait, misalnya Dinas Pengairan dan Dinas Pertanian; dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pertanian.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan penulis selama melakukan penelitian adalah wawancara untuk mendapatkan data-data yang bersifat kualitatif. Selain itu, penulis juga menggunakan sumber tertulis untuk mendapatkan informasi kuantitatif yang tidak mungkin diperoleh dari lapangan. Ada dua alasan mengapa penulis menerapkan metode tersebut. Pertama, sekolah penulis tidak memiliki perangkat laboratorium yang memadai untuk membantu proses penelitian, sehingga penerapan metode kuantitatif yang didasarkan pada hasil pengamatan laboratorium tidak mungkin dilakukan. Untuk mengatasinya, penulis menggali data–data kuantitatif dari para petani dan instansi-instansi yang berhubungan dengan bidang pertanian, walaupun dalam skala prioritas yang minim. Kedua, metode kualitatif bagi penulis lebih tepat sasaran, karena penulis dapat memahami latar belakang, proses, masalah faktual, dan keunggulan dampak penggunaan pupuk organik berdasarkan subjek yang terlibat, seperti petani, Dinas Pertanian, Dinas Pengairan, dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam makalah ini metode kuantitatif hanya dianggap sebagai pelengkap beberapa data yang tidak dapat digambarkan dengan metode kualitatif.
Karena secara metodologis penelitian tentang pertanian organik sangat terkait dengan polutan pupuk kimia, maka penulis juga mengamati dan menghitung secara sederhana kuantitas pemakaian bahan-bahan pencemar yang dipakai dalam perbaikan mutu tanaman seperti, insektisida, herbisida, pestisida, dan pupuk anorganik yang dipakai oleh petani dalam periode satu tahun. Hasil pengamatan yang didapatkan penulis selanjutnya akan dianalisis berdasarkan informasi yang penulis kumpulkan dari literatur-literatur. Dengan demikian, meskipun tanpa didukung uji laboratorium, penulis mampu melakukan analisis tentang seberapa besar limbah yang telah mencemari air sawah dan anak sungai di Desa Bulak serta dampak yang telah dan akan ditimbulkan dari bahan-bahan polutan tersebut.
G. Hipotesis Penelitian
Selama turun ke lapangan, hipotesis yang dijadikan acuan yaitu penggunaan pupuk organik menuai beberapa keuntungan dibandingkan dengan insektisida, herbisida, dan pupuk non-organik yang lazim digunakan petani di Desa Bulak yang tentu saja mengandung zat-zat polutan (tidak ramah lingkungan), sehingga pemakaian jangka panjang pada bahan kimia tersebut akan dapat menyebabkan air sungai di sekitar lahan persawahan tercemar.
H. Literatur Review
Dalam penulisan ini, ada beberapa literatur yang penulis jadikan bahan analisis. Pertama, artikel yang berjudul “Water Pollution” karya John Hart. Dari tulisan tersebut, penulis mendapat informasi penting tentang pengertian pencemaran air, tipe-tipe bahan pencemar (polutan), sumber-sumber polutan, dan pengawasan negara terhadap kasus pencemaran. Kedua, buku Kimia Kelas 2, Semester 2, karya Hadi Prabawa. Dari buku ini, penulis mendapat tambahan beberapa teori tentang syarat–syarat yang dapat digunakan sebagai parameter untuk mengetahui apakah air di suatu tempat telah tercemar, terutama oleh bahan-bahan dari kimia dari sawah. Literatur ini sangat bermanfaat sekali dalam memandu penelitian untuk membuktikan teori tersebut dalam praktik penelitian. Selain kedua literatur ini, penulis mendapatkan beberapa informasi penting tentang pengertian berbagai macam pertanian serta penjelasannya dari buku Cara Mudah Membuat Kompos karya L Murbandono.
HASIL PENELITIAN DAN BAHASAN
Bulak merupakan salah satu desa di Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal. Di sebelah selatan, desa ini berbatasan dengan Desa Bantaran, sebelah timur dengan Desa Kebonsari, sebelah utara dengan Desa Siwalan, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Gempolsewu (Tawang). Menurut data sensus dari Kelurahan Bulak sendiri, sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Hal itu terbukti desa ini dikelilingi oleh berpuluh-puluh atau mungkin beratus-ratus hektar hamparan sawah yang menghijau. Menurut salah satu warga desa yang sempat penulis wawancarai, 70-85% tanah itu ditanami padi, sedangkan sisanya berupa tanaman lain, seperti jagung, tembakau, dan bawang merah.
Dilihat dari alat-alat dan bahan yang digunakan, petani di Desa Bulak menggunakan peralatan modern dan bahan-bahan anorganik yang bersifat kimia. Hal itu terbukti dengan sudah digunakannya pestisida, herbisida, dan pupuk yang berbahan kimia. Alasan itu disebabkan luasnya lahan yang dimiliki seorang petani, sehingga akan memerlukan waktu yang lama bila di-watun . Oleh sebab itu, mereka memilih produk herbisida yang dapat membunuh gulma-gulma, seperti rumput-rumputan, eceng gondok, dan sebagainya. Kondisi seperti itu mengharuskan petani untuk berpindah dari sistem pertanian tradisional menuju sistem pertanian modern. Hal ini berdampak buruk bagi kelangsungan hidup organisme yang berada di sawah dan menurunkan kesuburan lahan yang digunakan sebagai prasarana bercocok tanam serta meningkatnya resiko pencemaran air di desa tersebut pada masa yang akan datang.
Untuk meneliti pemasalahan di atas, penulis melakukan serangkaian wawancara dengan beberapa warga Desa Bulak. Salah satu dari mereka adalah seorang petani yang menanam padi terbanyak beberapa tahun terakhir ini. Beliau sehari-hari dipanggil Pak Ri yang mulai menggunakan bahan–bahan kimia pada pupuknya kurang lebih satu tahun lalu. Dulunya beliau sempat didatangi oleh salah satu petugas dari Dinas Pertanian Propinsi Jawa Tengah. Petugas tersebut bermaksud menganjurkan kepada beliau untuk memakai herbisida sebagai pengganti untuk mencabuti rumput-rumput yang sebelumnya dengan tangan manusia (di-watun). Beliau juga mengatakan bahwa bila dibandingkan dengan penyemprotan memakai herbisida. Cara tradisional itu dapat dikatakan lebih boros karena membutuhkan biaya lebih banyak.
A. Macam – Macam Jenis Pupuk dan Pengaruhnya Bagi Lingkungan
Herbisida merupakan bahan yang dibuat untuk memberantas gulma sebagai tanaman pengganggu seperti eceng gondok (monochoria vaginalis), semanggi (marsilea crenata), rumput teki (fimbristylis miliacea), dan gulma berdaun lebar lain yang biasanya hidup di air. Menurut pengakuan Pak Ri, selain membunuh gulma sampai ke akar-akarnya, penggunaan herbisida juga bemanfaat untuk menggemburkan dan menyuburkan tanah. Hal ini pernah dibuktikan oleh beliau bersama dengan salah satu petugas dari DPU Semarang tadi. Ketika itu, mereka berdua meneliti pekembangan tanah yang ditumbuhi rumput. Waktu itu Pak Ri menyemprot rumput yang terdapat disela-sela tanaman padi dengan herbisida merek Ally PlusÒ (berbahan aktif metal metsulfuron 0,7 %,garam, natrium 75%, dan etil klorimuron 0,7%). Sebelumnya, tanah yang terdapat di bawah rumput tersebut sangat keras, bahkan kalau diinjak dengan kaki tidak menimbulkan bekas.
Setelah beberapa minggu, keduanya kembali mengamati perbedaan dengan sebelum disemprot dengan herbisida. Perbedaannya adalah saat sebelum herbisida disemprotkan tanahnya keras dan tumbuh rumput, tapi setelah disemprot memakai herbisida tanah menjadi subur dan rumput pun menguning lalu mati. Kemudian Pak Ri menegaskan bahwa herbisida tidak mengganggu pertumbuhan padi dan ekosistem, terutama biota di sawah. Hal itu disebabkan karena herbisida dibuat hanya untuk memusnahkan gulma saja. Penyemprotan dilakukan 2-3 kali, yaitu beberapa minggu setelah padi ditanam sampai hampir panen dengan dosis pemakaian 320-640 g/ha.
Untuk menghadapi serangan hama, petani itu menggunakan insektisida sebagai pengendali dan pemusnahnya. Insektisida merupakan bahan kimia yang dibuat khusus untuk memberantas insect (serangga) seperti wereng, kutu daun, belalang, dan ulat. Insektisida menurut Pak Ri dibedakan menjadi dua, yaitu jenis yang hanya membasmi serangga tanpa mematikan hewan lain seperti ular dan ikan apabila tercemar oleh air tersebut dan jenis yang bisa mematikan semua jenis hewan yang ada dalam ekosistem tersebut,tidak terkecuali ikan dan ular. Namun, menurut Bapak Ri, bahaya itu hanya terjadi pada petani yang belum mengetahui kesesuaian pestisida dengan hama yang dibasmi (Wawancara, 6 Maret 2009)
Selain mematikan, pestisida juga menimbulkan masalah lain yang lebih serius. Seperti ditulis John Hart, apabila hewan (konsumen tingkat 1) memakan tumbuhan (produsen) yang terkontaminasi zat kimia non-biodegrable, seperti chlordane (sejenis senyawa sintetis yang pekat dan beracun yang digunakan sebagai insektisida dan DDT (diclorodiphenyltrichloroethane), maka akan diserap ke jaringan otot atau organ binatang yang bersentuhan langsung dengan zat tersebut. Bila binatang lain (konsumen tingkat 2) memakan binatang (konsumen tingkat 1) yang terkontaminasi, maka zat tersebut akan berpindah melalui jenjang rantai makanan yang makin ke atas akan menyebabkan konsentrasi polutan yang terkontaminasi semakin meningkat. Sebagai contoh, di tubuh burung pemakan ikan ditemukan tingkat kontaminasi DDT yang mencapai 10 hingga 50 kali lebih tinggi dari pada yang terkandung dalam ikan itu sendiri. Kemudian meningkat menjadi 600 kali lebih tinggi dari plankton yang dimakan oleh ikan dan 10 juta kali lebih tinggi dari pada air tempat ikan dan plankton tersebut hidup. Dari penelitian itu dapat disimpulkan bahwa binatang yang berada pada puncak rantai makanan, yaitu manusia, adalah yang paling beresiko menderita kanker, masalah reproduksi, dan kematian akibat dari konsentrasi DDT yang menumpuk. (John Hart, 2008 )
Untuk menyuburkan tanah, beliau menggunakan pupuk. Ada berbagai macam pupuk yang pernah digunakan beliau serta berbagai keunggulan dan kelemahan dari masing-masing bahan yang terkandung didalamnya. Di antara pupuk yang beliau gunakan adalah pupuk kompos, pupuk kimia seperti urea, TSP, ZA, KCl, dan lain-lain. Selain itu, juga ada pupuk organik dalam bentuk cairan semprot. Pupuk organik yang beliau kepada penulis adalah merek Tiens Golden HarvestÒ yang komposisinya adalah sebagai berikut:
1. Lactobasillus sp
2. Azospirillum
3. Azotobacter sp
4. Mikroba pelarut phosphate
5. Mikroba selulotik
6. Pseudomonas
7.unsur – unsur, P = 34,70 ppm; K =1700 ppm;N = 0,04 %;Fe =44,3 ppm;Mn =0,23 ppm;Zn =3,7 ppm ( Hadi Prabawa dkk,1999).
Dua hari dari wawancara yang pertama, penulis pun mencoba mengamati sekaligus mewawancarai petani lain yang masih satu desa dengan Pak Ri, yaitu Pak Subi. Ketika penulis mengadakan pengamatan, beliau sedang berjalan menuju ke sawahnya sambil menggendong sebuah tabung sebagai tanki larutan insektisida yang digunakan untuk menyemprot hama. Menurut pengakuan yang penulis dapatkan, ternyata Pak Subi telah memakai pestisida dan pupuk yang berbahan kimia sejak dirinya menekuni pekerjaannya sebagai petani. Beliau menyebutkan beberapa merek herbisida, insektisida, dan pupuk yang sering beliau gunakan. Di antara merek insektisida yang sering dipakai adalah PolydorÒ (bahan aktif: Lamda sihalotrin 25 g/ℓ), FuradanÒ 3GR (bahan aktif: karbufuran 3 %), CrownÒ (bahan aktif: Chypermetrin 113 g/ℓ), DecisÒ (bahan aktif: Deltametrin 25 g/ℓ), ManuverÒ, DestokÒ, dan RegentÒ (ketiga merek terakhir ini dicampur dengan pupuk). Penyemprotan dilakukan tergantung pada ada tidaknya hama pada musim tertentu. Dalam musim yang normal (tidak banyak hujan atau sering panas terik yang sangat menyengat kulit) dan kuantitas hama normal (tidak terlalu banyak atau terlalu sedikit hama), penyemprotan dilakukan antara tiga hingga empat kali per-waktu tanam sampai masa hampir panen dengan dosis sekitar 17 kg/ha. Ini berarti dalam satu tahun, insektisida yang telah disumbang kurang lebih sebanyak 1,02 – 1,36 kuintal per-satu hektar sawah.
Beberapa merek pupuk yang sering digunakan Pak Subi adalah Pusri (berbahan dasar urea) dan Phonska (berbahan dasar fosfat, natrium, dan kalium). Selain merek-merek terkenal itu, beliau juga menggunakan racikan antara fosfat dengan pupuk organik. Adapun penggunaan herbisida yang sering beliau gunakan (yang katanya juga dianjurkan oleh petugas dari dinas pertanian) yaitu Roundup, sejenis herbisida yang kemampuan pemusnahnya terhadap gulma sangat lambat namun hemat bila dibandingkan dengan herbisida merek lain yang biasanya boros untuk membasmi kuantitas gulma yang sama. Selain RoundupÒ, beliau menggunakan herbisida lain khusus untuk membunuh semanggi atau disebut Pak Subi sebagai “semprot semanggi” (Wawancara, 5 Maret 2009). Di antara insektisida dan herbisida tersebut, salah satu diantaranya merupakan bahan yang bisa diurai kembali (biodegradable) dan cepat membusuk menjadi unsur-unsur yang tidak berbahaya. Sedangkan sebagian yang lain berupa bahan yang tidak bisa diurai (non biodegradable) sehingga tetap mengandung unsur-unsur yang berbahaya dalam jangka waktu yang lama. Bila terkena gelontoran air hujan atau air irigasi, maka unsur-unsur berbahaya itu akan terserap ke dalam tanah (mencemari air tanah) dan akan menuju ke sungai-sungai atau danau-danau (mencemari air permukaan tanah) (John Hart, 2008).
Dalam sistem pertanian tradisional, sekarang ini mulai dipergunakan pupuk buatan pabrik, pupuk sintesis, perangsang tumbuh, antibiotika, dan lain lain yang membuat produksi pangan bisa meningkat, tetapi di sisi lain, hadirnya produk–produk hasil pabrik tersebut dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan. Selain itu, pertanian konvensional banyak tergantung pada bahan kimia yang harganya mahal, bahkan kadang-kadang langka dipasaran.Ketergantungan ini menyebabkan produksi merosot dan biaya produksi menjadi tinggi (tidak sesuai dengan harga beli).
Saat ini dunia pertanian tidak lepas dari penggunaan bahan kimia, baik untuk pemupukan, pemacu pertumbuhan, dan perekat, perata, maupun pengendali hama dan penyakit. Namun, apakah sudah memikirkan akibat dari pemakaian bahan-bahan tersebut? Bahan kimia umumnya merupakan bahan beracun sehingga bila digunakan dapat meracuni tanah, tanaman, udara, air, dan lingkungan hidup lainnya. Karena meracuni lingkungan hidup, maka berpengaruh kepada kesehatan manusia, misalnya gangguan pada paru-paru, jantung, ginjal, hati, darah, alat vital, serta timbul penyakit kanker, dan disfungsi seksual.
Selain beracun, harga pupuk dan pestisida juga semakin mahal. Terlebih apabila subsidi dari pemerintah dicabut. Keadaan ini menjadi dilema bagi para petani: bila tidak dipupuk dan disemprot dengan bahan kimia, produksi akan merosot. Sedangkan bila dipupuk dan disemprot, hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya produksi. Walhasil, petani pun menjadi rugi. Bagaimana pemecahannya? Jawabannya sangat sederhana, yaitu dengan sistem pertanian organik. Permasalahan yang dihadapi dalam pertanian konvensional dapat diselesaikan dengan mengembangkan sistem pertanian organik. Konsep pertanian organik berawal dari pemikiran bahwa hutan alam yang terdiri dari banyak ribuan jenis tumbuhan bisa hidup subur tanpa campur tangan manusia. Kondisi hutan yang memberi makanan pada tanaman dan melindunginya dengan temperatur yang cocok untuk binatang besar maupun kecil, serangga, cendawan, bakteri, dan makhluk hidup lainnya. Kotoran burung atau binatang lainnya serta mulsa dari daun-daun secara perlahan akan terurai menjadi makanan (pupuk) bagi tumbuhan. Jika hutan saja bisa subur dengan cara alami, maka pasti lahan pertanian juga bisa demikian.. Dengan pemakaian bahan organik, ketergantungan terhadap bahan kimia dapat dikurangi, karena bahan organik umumnya bisa didapat dari lingkungan sekitar lahan pertanian. Selain itu, dampak positifnya adalah lingkungan hidup di pertanian organik lebih bersih, subur, dan sehat (eco-friendly).
Prinsip pertanian organik pada dasarnya adalah berteman akrab dengan alam, tidak mencemari dan merusak lingkungan hidup. Alasan utama penggunaan bahan kimia adalah untuk menyuburkan tanah dan memberantas hama serta penyakit. Padahal, melalui sistem pertanian organik, dua masalah itu dapat diatasi. Untuk menyuburkan tanah, petani bisa memanfaatkan tanaman famili leguminosae, seperti kacang-kacangan, selain pupuk kandang tentunya. Tanaman jenis ini mempunyai bintil-bintil akar yang mampu menambat nitrogen yang dapat diserap oleh tanaman. Sementara sebagai pengganti pestisida, petani dapat menggunakan antara lain nimba, tembakau, brotowali, awar-awar, gadung, kelor, mindi, ketepeng kebo, mengkudu, mahoni, tuba teprosia, papaya, johar, buah lerak, sirsak, srikaya, dan jarak kepya. Pestisida alami ini dapat dengan mudah dibuat, tidak mencemari udara, tidak berbahaya, dan tidak meracuni konsumen karena 100% bersifat bio-degradable. Terlebih lagi, tanaman-tanaman ini mudah diperoleh dan dibudidayakan (macam-macam pestisida organik dan cara pembuatannya dapat dilihat di tabel lampiran).
B. BERBAGAI KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PERTANIAN ORGANIK DAN KIMIA
Di bawah ini merupakan kelebihan dan kekurangan dari penggunaan sistem pertanian organik:
1. Kelebihan
1.1 Tidak menggunakan pupuk atau pestisida berbahan kimia, sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, baik pencemaran tanah, air, maupun udara, serta produknya tidak mengandung racun, sehingga aman dikonsumsi oleh masyarakat
1.2. Tanaman organik mempunyai rasa yang lebih manis dibandingan tanaman non organik
1.3 Produk tanaman organik harganya lebih mahal.
2 Kekurangan
2.1 Kebutuhan tenaga yang diperlukan lebih banyak dibandingkan dengan pertanian modern, terutama untuk pengendalian hama dan penyakit. Umumnya, pengendalian hama dan penyakit dalam pertanian organik masih dilakukan secara manual. Penggunakan pestisida alami membutuhkan waktu lama karena bahan–bahan tersebut tidak banyak dijual dipasaran.
2.2 Bentuk fisik tanaman organik kurang bagus, seperti berukuran kecil, dan daun berlubang-lubang.
Kebutuhan unsur hara setiap tanaman berbeda-beda. Kebutuhan tersebut dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu dalam jumlah banyak (makro), sedang (madya), dan sedikt (mikro). Yang termasuk unsur hara makro yaitu: Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Karbon (C), Hydrogen (H), dan Oksigen (O). Sedangkan unsur kimia yang dibutuhkan dalam jumlah menengah yaitu; Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), dan Belerang (S). Adapun unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah mikro yaitu besi (Fe), tembaga (Cu), Seng (Zn), Mangaan (Mn), Boron (Br), Molibdenum (Mo), Klor (Ch), Kobalt (Co), dan Silisium (Si). Jumlah unsur hara dalam tanah umumnya sedikit, namun unsur tersebut dapat ditambahkan dengan pemberian pupuk organik. Penyerapan unsur hara oleh tanaman dari derajat keasaman tanah (pH–power of hydrogen). Untuk mengetahui atau mengukur derajat pH tanah dapat digunakan alat yang disebut pH meter.
Pupuk alami yang akrab dengan masyarakat petani adalah kompos. Kompos merupakan hasil fermentasi atau hasil dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau limbah organik. Secara ilmiah, kompos dapat diartikan sebagai partikel tanah yang bermuatan negatif, sehingga dapat dikoagulasikan oleh kation dan partikel tanah untuk membentuk granula tanah. Kompos memiliki peranan yang sangat penting bagi tanah, karena dapat mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat kimia, fisik, dan biologinya (L. Murbandono, 1982). Penambahan kompos ke dalam tanah dapat memperbaiki struktur, tekstur, dan lapisan tanah, sehingga akan memperbaiki keadaan aerasi, drainase, absorbsi panas, kemampuan daya serap tanah terhadap air, serta mengendalikan erosi tanah. Kompos juga dapat menggantikan unsur hara tanah yang hilang akibat terbawa oleh tanaman ketika dipanen atau terbawa aliran air permukaan (erosi).
Dari hasil perhitungan secara nasional diperoleh bahwa total produksi kompos nasional saat ini baru mencapai 10% dari potensi kebutuhan pertanian dalam negeri diperkirakan mencapai 11 juta ton per tahun. Namun di sisi lain, sejumlah produsen kompos mendapat kesulitan untuk memasarkan produknya. Keadaan ini disebabkan karena sebagian petani di Indonesia masih mengandalkan pupuk non-organik (urea dan TSP) untuk menyuburkan tanah (L. Murbandono, 1982). Keengganan petani menggunakan pupuk non-organik disebabkan karena merepotkan, tidak praktis, harus dalam jumlah besar, dan kadang- kadang menimbulkan bau busuk, serta pengaruh terhadap tanaman tidak terlalu tampak terlihat. Penerapan pupuk organik memang bersifat jangka panjang. Hal inilah yang merupakan kebalikan dari sifat pupuk anorganik yang penggunaannya praktis dan cepat menunjukkan hasil. Selain itu, juga belum ada standarisasi mutu untuk produk kompos.
Setelah diamati dan dicocokkan dengan literatur, ternyata terdapat beberapa perbedaan antara pupuk organik dan anorganik, yaitu:
a. Sifat Kompos
1. Mengandung unsur bahan makro dan mikro yang lengkap walaupun dalam jumlah yang hanya sedikit
2. Dapat memperbaiki struktur tanah dengan cara sebagai berikut:
2.1. Menggemburkan dan meningkatkan ketersediaan bahan organik di dalam tanah
2.2. Meningkatkan daya serap tanah terhadp air dan zat hara
2.3. Memperbaiki kehidupan organisme di dalam tanah dengan cara menyediakan bahan makanan bagi mikroorganisme tersebut
2.4. Memperbesar daya ikat tanah berpasir, sehingga tidak mudah terpencar
2.5. Memperbaiki drainase dan tata udara di dalam tanah
2.6. Membantu pembentukan proses pelapukan bahan mineral
2.7. Memperbaiki tanah dari kerusakan yang disebabkan oleh erosi
2.8. Meningkatkan kapasitas tukar kation.
3. Beberapa jenis tanaman yang menggunakan kompos lebih tahan terhadap serangan penyakit
4. Menurunkan aktifitas organisme tanah yang merugikan.
b. Sifat Pupuk Non-Organik
1. Hanya mengandung satu atau beberapa unsur hara, tetapi dalam jumlah banyak
2. Tidak dapat memperbaiki struktur tanah, tetapi penggunaannya dalam jangka waktu yang panjang dapat membuat tanah menjadi keras
3. Sering membuat tanaman manja sehingga rentan terhadap serangan penyakit (L. Murbandono, 1982).
Pengaruh kompos terhadap sifat fisik tanah ternyata lebih baik dibandingkan dengan pengaruh pupuk kimia. Kompos dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Tanah lempung berat akan menjadi cepat jenuh karena air, sehingga akan menghalangi udara dan air yang masuk. Penambahan kompos pada tanah tersebut akan membantu melonggarkan partikel tanah yang padat. Yaitu dengan cara membuka pori-pori tanah yang merupakan saluran atau jalan udara dan air. Humus yang terdapat di dalam kompos dapat memecah tanah liat menjadi tanah yang lebih remah. Dengan penambahan kompos, struktur tanah liat menjadi lebih remah dan akan terbentuk lapisan tipis air yang sehingga mudah diserap akar.
Perbedaan antara tanah liat dan tanah pasir adalah ukuran partikelnya. Tanah liat terbentuk dari partikel–partikel yang sangat kecil dan saling terkait antara satu dengan yang lain. Sedangkan tanah berpasir terdiri dari partikel–partikel yang cukup besar, sehingga strukturnya berpencar dan tidak dapat mempertahankan kelembaban serta cenderung meloloskan diri terlalu cepat. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan pemberian kompos. Dengan kompos, partikel tanah akan disatukan dalam bentuk yang lebih besar, sehingga dapat menahan air lebih banyak dalam bentuk lapisan permukaan (Hadi Prabawa dkk,1992).
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Setelah mengamati keadaan air serta tanah di Desa Bulak, penulis membuat perhitungan sederhana. Dalam satu tahun, air sawah di desa ini selalu tercemar dengan disumbang oleh sekitar 1,02 – 1,36 kuintal insektisida per satu hektar sawah, 1,28 – 2,56 kg (2 kali penyemprotan) atau 1,92 – 3,84 kg herbisida per satu hektar sawah (3 kali penyemprotan) serta kurang lebih 20 kuintal pupuk organik . Jumlah tersebut mungkin tidak pernah terbayangkan oleh petani, sehingga mereka selalu menggunakannya tanpa ada rasa salah dan berdosa. Padahal di balik semua itu, kehidupan biota sawah semakin terancam. Dengan adanya pencemaran tersebut, ekosistem yang terdapat di sawah juga ikut terkontaminasi. Jika dikonsumsi warga (air, tanaman, ataupun ikan yang hidup di tempat tersebut), maka akan berdampak buruk bagi kondisi kesehatan, terutama meningkatnya resiko penyakit kanker, masalah reproduksi, dan angka kematian yang tinggi. Bagaimanapun, pencemaran air di desa ini harus segera diatasi. Oleh karena itu, penulis menghimbau kepada para petani untuk ikut serta dalam upaya mengurangi frekuensi pencemaran air di sawah mereka.
Bagi penulis, salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi frekuensi pencemaran tanah pertanian oleh zat – zat kimia berbahaya adalah dengan kembali pemakaian pupuk ramah lingkungan yaitu pupuk organik. Selain mengurangi resiko terkena kanker (disebabkan mengkonsumsi bahan makanan yang telah terkontaminasi bahan – bahan kimia pupuk organik), penggunaan pupuk alami juga dapat meningkatkan penghasilan. Menurut informasi yang penulis dapat dari seorang penjual dan pengecer beras di Pasar Bulak Kecamatan Rowosari, Kendal, harga beras organik dibandingkan dengan beras biasa jauh lebih tinggi. Jika harga beras biasa berkisar antara Rp.5000 – Rp.8000 per kilogram, maka harga beras organik bisa mencapai Rp.12.000 per kilogram. Oleh karena itu, alangkah baiknya dari detik ini para petani mulai berpikir realitis, apabila ingin menggunakan bahan-bahan kimia
B. SARAN
Walaupun air merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, namun apabila sumber air tercemar, maka akan terjadi penurunan kualitas dan kuantitas air bersih. Kondisi ini mengharuskan kita untuk tidak mencemari sungai, terutama bagi mereka yang bertempat tinggal di pegunungan agar sebisa mungkin menggunakan air dengan sebaik-baiknya. Karena dampak yang ditimbulkan juga berpengaruh pada wilayah yang ada dibawahnya (terutama daerah perkotaan).
Penulis juga menghimbau kepada Dinas Pertanian untuk lebih ketat dalam mengawasi pemasokan pupuk kepada petani, bukan malah menganjurkan mereka untuk mencoba memakai yang berbahan kimia. Apabila para petani tidak bisa langsung berpindah ke pupuk organik, minimal mereka mengurangi dosis pemakaian pupuk kimia. Walaupun mungkin pupuk organik lebih menghemat biaya, tetapi mereka juga harus berpikir kedepan tentang kelestarian ekosistem yang ada disekitarnya.
Selain itu, pemerintah juga harus ikut membantu dalam hal pengadaan bahan baku kompos. Agar produksi kompos di negara kita dapat mengimbangi jumlah tanaman yang membutuhkannya maka bagi penulis, perlu adanya kebijakan pengurangan subsidi pupuk kimia dan mengalihkan subsidi itu ke pertanian organik. Pemerintah juga harus terus memberi penyuluhan tentang kelebihan penggunaan pupuk organik dan kerugian pemakaian pupuk kimia. Penyebaran berbagai artikel dan selebaran mengenai pupuk organik juga merupakan upaya yang tepat yang dapat dilakukan pemerintah dalam rangka megurangi jumlah frekuensi pencemaran oleh pupuk kimia.
Akan tetapi, walaupun slogan-slogan untuk menggunakan penggunaan pupuk organik telah digembar-gemborkan, revolusi pertanian sulit terwujud apabila para petani yang berperan sebagai subyek dalam masalah tersebut tidak ikut serta atau acuh tak acuh terhadap gerakan menuju sistem pertanian yang ramah lingkungan. Dengan kata lain, sistem bercocok tanam yang mengutamakan kesehatan dan tidak mengandung zat–zat patogenik hanya akan menjadi sebuah angan – angan serta lamunan kosong yang kita sendiri tidak tahu kapan berakhirnya. Oleh karena itu, apabila kita termasuk salah seorang diantara sekian banyak orang yang mengingikan lingkungan yang bersih dari berbagai macam bahan kimia, tentunya pertanian organik merupakan langkah yang wajib dilakukan.
Menurut hemat penulis, cara praktis yang dapat ditempuh agar tujuan di atas dapat tercapai adalah dengan melakukan hal – hal dibawah ini :
  1. Memupuk dengan kompos, pupuk kandang, atau pupuk guano (pupuk yang dibuat dari kotoran kelelawar).
  2. Memupuk dengan pupuk hijau, seperti orok-orok (Crotalaria Juncea), tephrosia candida, tephrosiavogeli, maupun batang, akar, dan daun kacang – kacangan , turi serta gamal.
  3. Memupuk dengan limbah yang berasal dari kandang ternak dan pemotongan hewan.
  4. Mempertahankan dan melestarikan habitat tanaman dengan pola tanam polikultur
DAFTAR PUSTAKA
Hart, John, “Water Pollution”, dalam Encarta Encyclopedia, Microsoft Corporation
Prabawa, Hadi, dkk. 1995. Ilmu Kimia SMU untuk kelas 2 semester 2, Jakarta: Erlangga.
Murbandono, L., 1982. Cara Mudah Membuat Kompos, Jakarta: Penebar Swadaya,1982