PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertanian di Indonesia berkembang sesuai
dengan pengetahuan masyarakat. Pada awal mulanya, bercocok tanam
dilakukan secara berpindah-pindah (swiden agriculture). Ladang dan hutan
dibuka, lalu ditanami tanaman pokok seperti padi gogo, talas, ubi kayu,
ubi jalar, dan sayuran. Tanaman tersebut belum diberi pupuk kandang
atau pemeliharaan lainnya. Mulanya tanaman tumbuh subur, tetapi semakin
lama, semakin merosot pula kesuburannya. Karena produksi menurun, petani
berpindah ke tempat lain lalu membuka hutan kembali dan menanaminya.
Ladang yang telah ditinggal begitu saja akan menjadi tandus, bahkan
menjadi padang ilalang.
Sistem ladang berpindah tersebut
kemudian berkembang menjadi sistem pertanian tradisional. Disebut
pertanian tradisional karena pengelolaannya masih sederhana. Pengolahan
tanah baru dilakukan saat musim hujan tiba. Sedangkan pada tanah
tegalan, umumnya hanya ditanami satu jenis tanaman secara terus menerus
dalam waktu yang sangat lama, sehingga menimbulkan masalah yang berupa
berkurangnya kesuburan tanah, hasil panen merosot, serta hama dan
penyakit berkembang dengan pesat dan tak terkendali. Pada tanah yang
miring, kesuburannya menjadi cepat merosot dan terjadi banyak erosi
karena tanahnya belum dibuat sistem terassering atau sengkedan.
Sebenarnya pertanian organik merupakan
pertanian yang akrab dengan lingkungannya karena tidak memakai
pestisida. Akan tetapi, produksinya tidak mampu menyaingi atau
mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah. Untuk
mengimbangi kebutuhan pangan tersebut, perlu diupayakan peningkatan
produk yang kemudian berkembang sistem pertanian konvensional atau
pertanian tradisional.
Pertanian organik mulai muncul di
Indonsia pada 1984. Yayasan Bina Sarana Bakti mulai mengembangkannya di
Bogor, tepatnya di Cisarua pada lahan seluas empat hektar. Setelah itu,
sistem pertanian ini berkembang sangat pesat. Jenis tanaman yang ditanam
secara organik pun tidak terbatas pada jenis tanaman sayuran saja,
tetapi juga tanaman buah, walaupun tidak dalam skala seluas tanaman
sayuran, tanaman padi maupun tanaman obat.
B. Permasalahan
Ada dua permasalahan utama yang akan
dibahas dalam makalah ini, yaitu (1) bagaimana gambaran penggunaan pupuk
organik dalam kehidupan masyarakat petani pada khususnya dan masyarakat
lain pada umumnya; (2) apa dampak yang ditimbulkan selama ini dan
bagaiman solusinya? Dari pertanyaan tersebut, penulis tergelitik untuk
mengamati lebih dalam tentang sejauh mana penggunaan pupuk kimia yang
merupakan musuh terbesar bagi pupuk organik.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup makalah ini meliputi pengertian tentang beberapa pertanian
yang telah dikenal masyarakat sejak zaman dahulu kala serta hal-hal
yang berhubungan dengannya. Makalah ini ditulis berdasarkan penelitian
lapangan di Desa Bulak, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal, Jawa
Tengah. Penulis hanya membatasi pada analisis pertanian organik dan
pertanian kimia.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah mendapatkan dua macam data sekaligus,
yaitu data-data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif mengenai tema
penelitian di atas. Hasil yang diperoleh dapat dijadikan sebagai
informasi untuk mengembangkan kualitas pangan di tingkat pusat (jangka
panjang), dasar kebijakan pemerintah daerah (jangka menengah), dan
masyarakat di Kecamatan Rowosari pada khususnya dan Kendal pada umumnya
(jangka pendek). Selain itu, informasi tersebut juga dapat digunakan
sebagai acuan pengambilan kebijakan politis tingkat pusat dan sebagai
landasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bertema kepedulian
lingkungan di Indonesia sebagai cara mengatasi kekurangan pangan di
negeri tercinta ini.
E. Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini adalah
pihak-pihak yang terlibat dengan tema ataupun permasalahan yang diangkat
dalam makalah, antara lain para petani yang bertindak aktif sebagai
pelaku utama; instansi-instansi pemerintah terkait, seperti pemerintahan
desa, kecamatan, dan kabupaten; dinas-dinas terkait, misalnya Dinas
Pengairan dan Dinas Pertanian; dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang bergerak di bidang pertanian.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan penulis selama
melakukan penelitian adalah wawancara untuk mendapatkan data-data yang
bersifat kualitatif. Selain itu, penulis juga menggunakan sumber
tertulis untuk mendapatkan informasi kuantitatif yang tidak mungkin
diperoleh dari lapangan. Ada dua alasan mengapa penulis menerapkan
metode tersebut. Pertama, sekolah penulis tidak memiliki perangkat
laboratorium yang memadai untuk membantu proses penelitian, sehingga
penerapan metode kuantitatif yang didasarkan pada hasil pengamatan
laboratorium tidak mungkin dilakukan. Untuk mengatasinya, penulis
menggali data–data kuantitatif dari para petani dan instansi-instansi
yang berhubungan dengan bidang pertanian, walaupun dalam skala prioritas
yang minim. Kedua, metode kualitatif bagi penulis lebih tepat sasaran,
karena penulis dapat memahami latar belakang, proses, masalah faktual,
dan keunggulan dampak penggunaan pupuk organik berdasarkan subjek yang
terlibat, seperti petani, Dinas Pertanian, Dinas Pengairan, dan
lain-lain. Oleh karena itu, dalam makalah ini metode kuantitatif hanya
dianggap sebagai pelengkap beberapa data yang tidak dapat digambarkan
dengan metode kualitatif.
Karena secara metodologis penelitian
tentang pertanian organik sangat terkait dengan polutan pupuk kimia,
maka penulis juga mengamati dan menghitung secara sederhana kuantitas
pemakaian bahan-bahan pencemar yang dipakai dalam perbaikan mutu tanaman
seperti, insektisida, herbisida, pestisida, dan pupuk anorganik yang
dipakai oleh petani dalam periode satu tahun. Hasil pengamatan yang
didapatkan penulis selanjutnya akan dianalisis berdasarkan informasi
yang penulis kumpulkan dari literatur-literatur. Dengan demikian,
meskipun tanpa didukung uji laboratorium, penulis mampu melakukan
analisis tentang seberapa besar limbah yang telah mencemari air sawah
dan anak sungai di Desa Bulak serta dampak yang telah dan akan
ditimbulkan dari bahan-bahan polutan tersebut.
G. Hipotesis Penelitian
Selama turun ke lapangan, hipotesis yang dijadikan acuan yaitu
penggunaan pupuk organik menuai beberapa keuntungan dibandingkan dengan
insektisida, herbisida, dan pupuk non-organik yang lazim digunakan
petani di Desa Bulak yang tentu saja mengandung zat-zat polutan (tidak
ramah lingkungan), sehingga pemakaian jangka panjang pada bahan kimia
tersebut akan dapat menyebabkan air sungai di sekitar lahan persawahan
tercemar.
H. Literatur Review
Dalam penulisan ini, ada beberapa literatur yang penulis jadikan bahan
analisis. Pertama, artikel yang berjudul “Water Pollution” karya John
Hart. Dari tulisan tersebut, penulis mendapat informasi penting tentang
pengertian pencemaran air, tipe-tipe bahan pencemar (polutan),
sumber-sumber polutan, dan pengawasan negara terhadap kasus pencemaran.
Kedua, buku Kimia Kelas 2, Semester 2, karya Hadi Prabawa. Dari buku
ini, penulis mendapat tambahan beberapa teori tentang syarat–syarat yang
dapat digunakan sebagai parameter untuk mengetahui apakah air di suatu
tempat telah tercemar, terutama oleh bahan-bahan dari kimia dari sawah.
Literatur ini sangat bermanfaat sekali dalam memandu penelitian untuk
membuktikan teori tersebut dalam praktik penelitian. Selain kedua
literatur ini, penulis mendapatkan beberapa informasi penting tentang
pengertian berbagai macam pertanian serta penjelasannya dari buku Cara
Mudah Membuat Kompos karya L Murbandono.
HASIL PENELITIAN DAN BAHASAN
Bulak merupakan salah satu desa di
Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal. Di sebelah selatan, desa ini
berbatasan dengan Desa Bantaran, sebelah timur dengan Desa Kebonsari,
sebelah utara dengan Desa Siwalan, sedangkan di sebelah barat berbatasan
dengan Desa Gempolsewu (Tawang). Menurut data sensus dari Kelurahan
Bulak sendiri, sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai
petani. Hal itu terbukti desa ini dikelilingi oleh berpuluh-puluh atau
mungkin beratus-ratus hektar hamparan sawah yang menghijau. Menurut
salah satu warga desa yang sempat penulis wawancarai, 70-85% tanah itu
ditanami padi, sedangkan sisanya berupa tanaman lain, seperti jagung,
tembakau, dan bawang merah.
Dilihat dari alat-alat dan bahan yang
digunakan, petani di Desa Bulak menggunakan peralatan modern dan
bahan-bahan anorganik yang bersifat kimia. Hal itu terbukti dengan sudah
digunakannya pestisida, herbisida, dan pupuk yang berbahan kimia.
Alasan itu disebabkan luasnya lahan yang dimiliki seorang petani,
sehingga akan memerlukan waktu yang lama bila di-watun . Oleh sebab itu,
mereka memilih produk herbisida yang dapat membunuh gulma-gulma,
seperti rumput-rumputan, eceng gondok, dan sebagainya. Kondisi seperti
itu mengharuskan petani untuk berpindah dari sistem pertanian
tradisional menuju sistem pertanian modern. Hal ini berdampak buruk bagi
kelangsungan hidup organisme yang berada di sawah dan menurunkan
kesuburan lahan yang digunakan sebagai prasarana bercocok tanam serta
meningkatnya resiko pencemaran air di desa tersebut pada masa yang akan
datang.
Untuk meneliti pemasalahan di atas,
penulis melakukan serangkaian wawancara dengan beberapa warga Desa
Bulak. Salah satu dari mereka adalah seorang petani yang menanam padi
terbanyak beberapa tahun terakhir ini. Beliau sehari-hari dipanggil Pak
Ri yang mulai menggunakan bahan–bahan kimia pada pupuknya kurang lebih
satu tahun lalu. Dulunya beliau sempat didatangi oleh salah satu petugas
dari Dinas Pertanian Propinsi Jawa Tengah. Petugas tersebut bermaksud
menganjurkan kepada beliau untuk memakai herbisida sebagai pengganti
untuk mencabuti rumput-rumput yang sebelumnya dengan tangan manusia
(di-watun). Beliau juga mengatakan bahwa bila dibandingkan dengan
penyemprotan memakai herbisida. Cara tradisional itu dapat dikatakan
lebih boros karena membutuhkan biaya lebih banyak.
A. Macam – Macam Jenis Pupuk dan Pengaruhnya Bagi Lingkungan
Herbisida merupakan bahan yang dibuat untuk memberantas gulma sebagai
tanaman pengganggu seperti eceng gondok (monochoria vaginalis), semanggi
(marsilea crenata), rumput teki (fimbristylis miliacea), dan gulma
berdaun lebar lain yang biasanya hidup di air. Menurut pengakuan Pak Ri,
selain membunuh gulma sampai ke akar-akarnya, penggunaan herbisida juga
bemanfaat untuk menggemburkan dan menyuburkan tanah. Hal ini pernah
dibuktikan oleh beliau bersama dengan salah satu petugas dari DPU
Semarang tadi. Ketika itu, mereka berdua meneliti pekembangan tanah yang
ditumbuhi rumput. Waktu itu Pak Ri menyemprot rumput yang terdapat
disela-sela tanaman padi dengan herbisida merek Ally PlusÒ (berbahan
aktif metal metsulfuron 0,7 %,garam, natrium 75%, dan etil klorimuron
0,7%). Sebelumnya, tanah yang terdapat di bawah rumput tersebut sangat
keras, bahkan kalau diinjak dengan kaki tidak menimbulkan bekas.
Setelah beberapa minggu, keduanya
kembali mengamati perbedaan dengan sebelum disemprot dengan herbisida.
Perbedaannya adalah saat sebelum herbisida disemprotkan tanahnya keras
dan tumbuh rumput, tapi setelah disemprot memakai herbisida tanah
menjadi subur dan rumput pun menguning lalu mati. Kemudian Pak Ri
menegaskan bahwa herbisida tidak mengganggu pertumbuhan padi dan
ekosistem, terutama biota di sawah. Hal itu disebabkan karena herbisida
dibuat hanya untuk memusnahkan gulma saja. Penyemprotan dilakukan 2-3
kali, yaitu beberapa minggu setelah padi ditanam sampai hampir panen
dengan dosis pemakaian 320-640 g/ha.
Untuk menghadapi serangan hama, petani
itu menggunakan insektisida sebagai pengendali dan pemusnahnya.
Insektisida merupakan bahan kimia yang dibuat khusus untuk memberantas
insect (serangga) seperti wereng, kutu daun, belalang, dan ulat.
Insektisida menurut Pak Ri dibedakan menjadi dua, yaitu jenis yang hanya
membasmi serangga tanpa mematikan hewan lain seperti ular dan ikan
apabila tercemar oleh air tersebut dan jenis yang bisa mematikan semua
jenis hewan yang ada dalam ekosistem tersebut,tidak terkecuali ikan dan
ular. Namun, menurut Bapak Ri, bahaya itu hanya terjadi pada petani yang
belum mengetahui kesesuaian pestisida dengan hama yang dibasmi
(Wawancara, 6 Maret 2009)
Selain mematikan, pestisida juga
menimbulkan masalah lain yang lebih serius. Seperti ditulis John Hart,
apabila hewan (konsumen tingkat 1) memakan tumbuhan (produsen) yang
terkontaminasi zat kimia non-biodegrable, seperti chlordane (sejenis
senyawa sintetis yang pekat dan beracun yang digunakan sebagai
insektisida dan DDT (diclorodiphenyltrichloroethane), maka akan diserap
ke jaringan otot atau organ binatang yang bersentuhan langsung dengan
zat tersebut. Bila binatang lain (konsumen tingkat 2) memakan binatang
(konsumen tingkat 1) yang terkontaminasi, maka zat tersebut akan
berpindah melalui jenjang rantai makanan yang makin ke atas akan
menyebabkan konsentrasi polutan yang terkontaminasi semakin meningkat.
Sebagai contoh, di tubuh burung pemakan ikan ditemukan tingkat
kontaminasi DDT yang mencapai 10 hingga 50 kali lebih tinggi dari pada
yang terkandung dalam ikan itu sendiri. Kemudian meningkat menjadi 600
kali lebih tinggi dari plankton yang dimakan oleh ikan dan 10 juta kali
lebih tinggi dari pada air tempat ikan dan plankton tersebut hidup. Dari
penelitian itu dapat disimpulkan bahwa binatang yang berada pada puncak
rantai makanan, yaitu manusia, adalah yang paling beresiko menderita
kanker, masalah reproduksi, dan kematian akibat dari konsentrasi DDT
yang menumpuk. (John Hart, 2008 )
Untuk menyuburkan tanah, beliau
menggunakan pupuk. Ada berbagai macam pupuk yang pernah digunakan beliau
serta berbagai keunggulan dan kelemahan dari masing-masing bahan yang
terkandung didalamnya. Di antara pupuk yang beliau gunakan adalah pupuk
kompos, pupuk kimia seperti urea, TSP, ZA, KCl, dan lain-lain. Selain
itu, juga ada pupuk organik dalam bentuk cairan semprot. Pupuk organik
yang beliau kepada penulis adalah merek Tiens Golden HarvestÒ yang
komposisinya adalah sebagai berikut:
1. Lactobasillus sp
2. Azospirillum
3. Azotobacter sp
4. Mikroba pelarut phosphate
5. Mikroba selulotik
6. Pseudomonas
7.unsur – unsur, P = 34,70 ppm; K =1700 ppm;N = 0,04 %;Fe =44,3 ppm;Mn =0,23 ppm;Zn =3,7 ppm ( Hadi Prabawa dkk,1999).
Dua hari dari wawancara yang pertama,
penulis pun mencoba mengamati sekaligus mewawancarai petani lain yang
masih satu desa dengan Pak Ri, yaitu Pak Subi. Ketika penulis mengadakan
pengamatan, beliau sedang berjalan menuju ke sawahnya sambil
menggendong sebuah tabung sebagai tanki larutan insektisida yang
digunakan untuk menyemprot hama. Menurut pengakuan yang penulis
dapatkan, ternyata Pak Subi telah memakai pestisida dan pupuk yang
berbahan kimia sejak dirinya menekuni pekerjaannya sebagai petani.
Beliau menyebutkan beberapa merek herbisida, insektisida, dan pupuk yang
sering beliau gunakan. Di antara merek insektisida yang sering dipakai
adalah PolydorÒ (bahan aktif: Lamda sihalotrin 25 g/ℓ), FuradanÒ 3GR
(bahan aktif: karbufuran 3 %), CrownÒ (bahan aktif: Chypermetrin 113
g/ℓ), DecisÒ (bahan aktif: Deltametrin 25 g/ℓ), ManuverÒ, DestokÒ, dan
RegentÒ (ketiga merek terakhir ini dicampur dengan pupuk). Penyemprotan
dilakukan tergantung pada ada tidaknya hama pada musim tertentu. Dalam
musim yang normal (tidak banyak hujan atau sering panas terik yang
sangat menyengat kulit) dan kuantitas hama normal (tidak terlalu banyak
atau terlalu sedikit hama), penyemprotan dilakukan antara tiga hingga
empat kali per-waktu tanam sampai masa hampir panen dengan dosis sekitar
17 kg/ha. Ini berarti dalam satu tahun, insektisida yang telah
disumbang kurang lebih sebanyak 1,02 – 1,36 kuintal per-satu hektar
sawah.
Beberapa merek pupuk yang sering
digunakan Pak Subi adalah Pusri (berbahan dasar urea) dan Phonska
(berbahan dasar fosfat, natrium, dan kalium). Selain merek-merek
terkenal itu, beliau juga menggunakan racikan antara fosfat dengan pupuk
organik. Adapun penggunaan herbisida yang sering beliau gunakan (yang
katanya juga dianjurkan oleh petugas dari dinas pertanian) yaitu
Roundup, sejenis herbisida yang kemampuan pemusnahnya terhadap gulma
sangat lambat namun hemat bila dibandingkan dengan herbisida merek lain
yang biasanya boros untuk membasmi kuantitas gulma yang sama. Selain
RoundupÒ, beliau menggunakan herbisida lain khusus untuk membunuh
semanggi atau disebut Pak Subi sebagai “semprot semanggi” (Wawancara, 5
Maret 2009). Di antara insektisida dan herbisida tersebut, salah satu
diantaranya merupakan bahan yang bisa diurai kembali (biodegradable) dan
cepat membusuk menjadi unsur-unsur yang tidak berbahaya. Sedangkan
sebagian yang lain berupa bahan yang tidak bisa diurai (non
biodegradable) sehingga tetap mengandung unsur-unsur yang berbahaya
dalam jangka waktu yang lama. Bila terkena gelontoran air hujan atau air
irigasi, maka unsur-unsur berbahaya itu akan terserap ke dalam tanah
(mencemari air tanah) dan akan menuju ke sungai-sungai atau danau-danau
(mencemari air permukaan tanah) (John Hart, 2008).
Dalam sistem pertanian tradisional,
sekarang ini mulai dipergunakan pupuk buatan pabrik, pupuk sintesis,
perangsang tumbuh, antibiotika, dan lain lain yang membuat produksi
pangan bisa meningkat, tetapi di sisi lain, hadirnya produk–produk hasil
pabrik tersebut dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan.
Selain itu, pertanian konvensional banyak tergantung pada bahan kimia
yang harganya mahal, bahkan kadang-kadang langka
dipasaran.Ketergantungan ini menyebabkan produksi merosot dan biaya
produksi menjadi tinggi (tidak sesuai dengan harga beli).
Saat ini dunia pertanian tidak lepas
dari penggunaan bahan kimia, baik untuk pemupukan, pemacu pertumbuhan,
dan perekat, perata, maupun pengendali hama dan penyakit. Namun, apakah
sudah memikirkan akibat dari pemakaian bahan-bahan tersebut? Bahan kimia
umumnya merupakan bahan beracun sehingga bila digunakan dapat meracuni
tanah, tanaman, udara, air, dan lingkungan hidup lainnya. Karena
meracuni lingkungan hidup, maka berpengaruh kepada kesehatan manusia,
misalnya gangguan pada paru-paru, jantung, ginjal, hati, darah, alat
vital, serta timbul penyakit kanker, dan disfungsi seksual.
Selain beracun, harga pupuk dan
pestisida juga semakin mahal. Terlebih apabila subsidi dari pemerintah
dicabut. Keadaan ini menjadi dilema bagi para petani: bila tidak dipupuk
dan disemprot dengan bahan kimia, produksi akan merosot. Sedangkan bila
dipupuk dan disemprot, hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan
biaya produksi. Walhasil, petani pun menjadi rugi. Bagaimana
pemecahannya? Jawabannya sangat sederhana, yaitu dengan sistem pertanian
organik. Permasalahan yang dihadapi dalam pertanian konvensional dapat
diselesaikan dengan mengembangkan sistem pertanian organik. Konsep
pertanian organik berawal dari pemikiran bahwa hutan alam yang terdiri
dari banyak ribuan jenis tumbuhan bisa hidup subur tanpa campur tangan
manusia. Kondisi hutan yang memberi makanan pada tanaman dan
melindunginya dengan temperatur yang cocok untuk binatang besar maupun
kecil, serangga, cendawan, bakteri, dan makhluk hidup lainnya. Kotoran
burung atau binatang lainnya serta mulsa dari daun-daun secara perlahan
akan terurai menjadi makanan (pupuk) bagi tumbuhan. Jika hutan saja bisa
subur dengan cara alami, maka pasti lahan pertanian juga bisa
demikian.. Dengan pemakaian bahan organik, ketergantungan terhadap bahan
kimia dapat dikurangi, karena bahan organik umumnya bisa didapat dari
lingkungan sekitar lahan pertanian. Selain itu, dampak positifnya adalah
lingkungan hidup di pertanian organik lebih bersih, subur, dan sehat
(eco-friendly).
Prinsip pertanian organik pada dasarnya
adalah berteman akrab dengan alam, tidak mencemari dan merusak
lingkungan hidup. Alasan utama penggunaan bahan kimia adalah untuk
menyuburkan tanah dan memberantas hama serta penyakit. Padahal, melalui
sistem pertanian organik, dua masalah itu dapat diatasi. Untuk
menyuburkan tanah, petani bisa memanfaatkan tanaman famili leguminosae,
seperti kacang-kacangan, selain pupuk kandang tentunya. Tanaman jenis
ini mempunyai bintil-bintil akar yang mampu menambat nitrogen yang dapat
diserap oleh tanaman. Sementara sebagai pengganti pestisida, petani
dapat menggunakan antara lain nimba, tembakau, brotowali, awar-awar,
gadung, kelor, mindi, ketepeng kebo, mengkudu, mahoni, tuba teprosia,
papaya, johar, buah lerak, sirsak, srikaya, dan jarak kepya. Pestisida
alami ini dapat dengan mudah dibuat, tidak mencemari udara, tidak
berbahaya, dan tidak meracuni konsumen karena 100% bersifat
bio-degradable. Terlebih lagi, tanaman-tanaman ini mudah diperoleh dan
dibudidayakan (macam-macam pestisida organik dan cara pembuatannya dapat
dilihat di tabel lampiran).
B. BERBAGAI KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PERTANIAN ORGANIK DAN KIMIA
Di bawah ini merupakan kelebihan dan kekurangan dari penggunaan sistem pertanian organik:
1. Kelebihan
1.1 Tidak menggunakan pupuk atau pestisida berbahan kimia, sehingga
tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, baik pencemaran tanah, air,
maupun udara, serta produknya tidak mengandung racun, sehingga aman
dikonsumsi oleh masyarakat
1.2. Tanaman organik mempunyai rasa yang lebih manis dibandingan tanaman non organik
1.3 Produk tanaman organik harganya lebih mahal.
2 Kekurangan
2.1 Kebutuhan tenaga yang diperlukan lebih banyak dibandingkan dengan
pertanian modern, terutama untuk pengendalian hama dan penyakit.
Umumnya, pengendalian hama dan penyakit dalam pertanian organik masih
dilakukan secara manual. Penggunakan pestisida alami membutuhkan waktu
lama karena bahan–bahan tersebut tidak banyak dijual dipasaran.
2.2 Bentuk fisik tanaman organik kurang bagus, seperti berukuran kecil, dan daun berlubang-lubang.
Kebutuhan unsur hara setiap tanaman berbeda-beda. Kebutuhan tersebut
dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu dalam jumlah banyak (makro),
sedang (madya), dan sedikt (mikro). Yang termasuk unsur hara makro
yaitu: Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Karbon (C), Hydrogen (H),
dan Oksigen (O). Sedangkan unsur kimia yang dibutuhkan dalam jumlah
menengah yaitu; Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), dan Belerang (S). Adapun
unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah mikro yaitu besi (Fe), tembaga
(Cu), Seng (Zn), Mangaan (Mn), Boron (Br), Molibdenum (Mo), Klor (Ch),
Kobalt (Co), dan Silisium (Si). Jumlah unsur hara dalam tanah umumnya
sedikit, namun unsur tersebut dapat ditambahkan dengan pemberian pupuk
organik. Penyerapan unsur hara oleh tanaman dari derajat keasaman tanah
(pH–power of hydrogen). Untuk mengetahui atau mengukur derajat pH tanah
dapat digunakan alat yang disebut pH meter.
Pupuk alami yang akrab dengan masyarakat
petani adalah kompos. Kompos merupakan hasil fermentasi atau hasil
dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau limbah organik.
Secara ilmiah, kompos dapat diartikan sebagai partikel tanah yang
bermuatan negatif, sehingga dapat dikoagulasikan oleh kation dan
partikel tanah untuk membentuk granula tanah. Kompos memiliki peranan
yang sangat penting bagi tanah, karena dapat mempertahankan dan
meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat kimia, fisik, dan
biologinya (L. Murbandono, 1982). Penambahan kompos ke dalam tanah dapat
memperbaiki struktur, tekstur, dan lapisan tanah, sehingga akan
memperbaiki keadaan aerasi, drainase, absorbsi panas, kemampuan daya
serap tanah terhadap air, serta mengendalikan erosi tanah. Kompos juga
dapat menggantikan unsur hara tanah yang hilang akibat terbawa oleh
tanaman ketika dipanen atau terbawa aliran air permukaan (erosi).
Dari hasil perhitungan secara nasional
diperoleh bahwa total produksi kompos nasional saat ini baru mencapai
10% dari potensi kebutuhan pertanian dalam negeri diperkirakan mencapai
11 juta ton per tahun. Namun di sisi lain, sejumlah produsen kompos
mendapat kesulitan untuk memasarkan produknya. Keadaan ini disebabkan
karena sebagian petani di Indonesia masih mengandalkan pupuk non-organik
(urea dan TSP) untuk menyuburkan tanah (L. Murbandono, 1982).
Keengganan petani menggunakan pupuk non-organik disebabkan karena
merepotkan, tidak praktis, harus dalam jumlah besar, dan kadang- kadang
menimbulkan bau busuk, serta pengaruh terhadap tanaman tidak terlalu
tampak terlihat. Penerapan pupuk organik memang bersifat jangka panjang.
Hal inilah yang merupakan kebalikan dari sifat pupuk anorganik yang
penggunaannya praktis dan cepat menunjukkan hasil. Selain itu, juga
belum ada standarisasi mutu untuk produk kompos.
Setelah diamati dan dicocokkan dengan literatur, ternyata terdapat beberapa perbedaan antara pupuk organik dan anorganik, yaitu:
a. Sifat Kompos
1. Mengandung unsur bahan makro dan mikro yang lengkap walaupun dalam jumlah yang hanya sedikit
2. Dapat memperbaiki struktur tanah dengan cara sebagai berikut:
2.1. Menggemburkan dan meningkatkan ketersediaan bahan organik di dalam tanah
2.2. Meningkatkan daya serap tanah terhadp air dan zat hara
2.3. Memperbaiki kehidupan organisme di dalam tanah dengan cara menyediakan bahan makanan bagi mikroorganisme tersebut
2.4. Memperbesar daya ikat tanah berpasir, sehingga tidak mudah terpencar
2.5. Memperbaiki drainase dan tata udara di dalam tanah
2.6. Membantu pembentukan proses pelapukan bahan mineral
2.7. Memperbaiki tanah dari kerusakan yang disebabkan oleh erosi
2.8. Meningkatkan kapasitas tukar kation.
3. Beberapa jenis tanaman yang menggunakan kompos lebih tahan terhadap serangan penyakit
4. Menurunkan aktifitas organisme tanah yang merugikan.
b. Sifat Pupuk Non-Organik
1. Hanya mengandung satu atau beberapa unsur hara, tetapi dalam jumlah banyak
2. Tidak dapat memperbaiki struktur tanah, tetapi penggunaannya dalam
jangka waktu yang panjang dapat membuat tanah menjadi keras
3. Sering membuat tanaman manja sehingga rentan terhadap serangan penyakit (L. Murbandono, 1982).
Pengaruh kompos terhadap sifat fisik tanah ternyata lebih baik
dibandingkan dengan pengaruh pupuk kimia. Kompos dapat memperbaiki sifat
fisik tanah. Tanah lempung berat akan menjadi cepat jenuh karena air,
sehingga akan menghalangi udara dan air yang masuk. Penambahan kompos
pada tanah tersebut akan membantu melonggarkan partikel tanah yang
padat. Yaitu dengan cara membuka pori-pori tanah yang merupakan saluran
atau jalan udara dan air. Humus yang terdapat di dalam kompos dapat
memecah tanah liat menjadi tanah yang lebih remah. Dengan penambahan
kompos, struktur tanah liat menjadi lebih remah dan akan terbentuk
lapisan tipis air yang sehingga mudah diserap akar.
Perbedaan antara tanah liat dan tanah
pasir adalah ukuran partikelnya. Tanah liat terbentuk dari
partikel–partikel yang sangat kecil dan saling terkait antara satu
dengan yang lain. Sedangkan tanah berpasir terdiri dari
partikel–partikel yang cukup besar, sehingga strukturnya berpencar dan
tidak dapat mempertahankan kelembaban serta cenderung meloloskan diri
terlalu cepat. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan pemberian kompos.
Dengan kompos, partikel tanah akan disatukan dalam bentuk yang lebih
besar, sehingga dapat menahan air lebih banyak dalam bentuk lapisan
permukaan (Hadi Prabawa dkk,1992).
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Setelah mengamati keadaan air serta tanah di Desa Bulak, penulis membuat
perhitungan sederhana. Dalam satu tahun, air sawah di desa ini selalu
tercemar dengan disumbang oleh sekitar 1,02 – 1,36 kuintal insektisida
per satu hektar sawah, 1,28 – 2,56 kg (2 kali penyemprotan) atau 1,92 –
3,84 kg herbisida per satu hektar sawah (3 kali penyemprotan) serta
kurang lebih 20 kuintal pupuk organik . Jumlah tersebut mungkin tidak
pernah terbayangkan oleh petani, sehingga mereka selalu menggunakannya
tanpa ada rasa salah dan berdosa. Padahal di balik semua itu, kehidupan
biota sawah semakin terancam. Dengan adanya pencemaran tersebut,
ekosistem yang terdapat di sawah juga ikut terkontaminasi. Jika
dikonsumsi warga (air, tanaman, ataupun ikan yang hidup di tempat
tersebut), maka akan berdampak buruk bagi kondisi kesehatan, terutama
meningkatnya resiko penyakit kanker, masalah reproduksi, dan angka
kematian yang tinggi. Bagaimanapun, pencemaran air di desa ini harus
segera diatasi. Oleh karena itu, penulis menghimbau kepada para petani
untuk ikut serta dalam upaya mengurangi frekuensi pencemaran air di
sawah mereka.
Bagi penulis, salah satu tindakan yang
dapat dilakukan untuk mengurangi frekuensi pencemaran tanah pertanian
oleh zat – zat kimia berbahaya adalah dengan kembali pemakaian pupuk
ramah lingkungan yaitu pupuk organik. Selain mengurangi resiko terkena
kanker (disebabkan mengkonsumsi bahan makanan yang telah terkontaminasi
bahan – bahan kimia pupuk organik), penggunaan pupuk alami juga dapat
meningkatkan penghasilan. Menurut informasi yang penulis dapat dari
seorang penjual dan pengecer beras di Pasar Bulak Kecamatan Rowosari,
Kendal, harga beras organik dibandingkan dengan beras biasa jauh lebih
tinggi. Jika harga beras biasa berkisar antara Rp.5000 – Rp.8000 per
kilogram, maka harga beras organik bisa mencapai Rp.12.000 per kilogram.
Oleh karena itu, alangkah baiknya dari detik ini para petani mulai
berpikir realitis, apabila ingin menggunakan bahan-bahan kimia
B. SARAN
Walaupun air merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat
diperbaharui, namun apabila sumber air tercemar, maka akan terjadi
penurunan kualitas dan kuantitas air bersih. Kondisi ini mengharuskan
kita untuk tidak mencemari sungai, terutama bagi mereka yang bertempat
tinggal di pegunungan agar sebisa mungkin menggunakan air dengan
sebaik-baiknya. Karena dampak yang ditimbulkan juga berpengaruh pada
wilayah yang ada dibawahnya (terutama daerah perkotaan).
Penulis juga menghimbau kepada Dinas
Pertanian untuk lebih ketat dalam mengawasi pemasokan pupuk kepada
petani, bukan malah menganjurkan mereka untuk mencoba memakai yang
berbahan kimia. Apabila para petani tidak bisa langsung berpindah ke
pupuk organik, minimal mereka mengurangi dosis pemakaian pupuk kimia.
Walaupun mungkin pupuk organik lebih menghemat biaya, tetapi mereka juga
harus berpikir kedepan tentang kelestarian ekosistem yang ada
disekitarnya.
Selain itu, pemerintah juga harus ikut
membantu dalam hal pengadaan bahan baku kompos. Agar produksi kompos di
negara kita dapat mengimbangi jumlah tanaman yang membutuhkannya maka
bagi penulis, perlu adanya kebijakan pengurangan subsidi pupuk kimia dan
mengalihkan subsidi itu ke pertanian organik. Pemerintah juga harus
terus memberi penyuluhan tentang kelebihan penggunaan pupuk organik dan
kerugian pemakaian pupuk kimia. Penyebaran berbagai artikel dan
selebaran mengenai pupuk organik juga merupakan upaya yang tepat yang
dapat dilakukan pemerintah dalam rangka megurangi jumlah frekuensi
pencemaran oleh pupuk kimia.
Akan tetapi, walaupun slogan-slogan
untuk menggunakan penggunaan pupuk organik telah digembar-gemborkan,
revolusi pertanian sulit terwujud apabila para petani yang berperan
sebagai subyek dalam masalah tersebut tidak ikut serta atau acuh tak
acuh terhadap gerakan menuju sistem pertanian yang ramah lingkungan.
Dengan kata lain, sistem bercocok tanam yang mengutamakan kesehatan dan
tidak mengandung zat–zat patogenik hanya akan menjadi sebuah angan –
angan serta lamunan kosong yang kita sendiri tidak tahu kapan
berakhirnya. Oleh karena itu, apabila kita termasuk salah seorang
diantara sekian banyak orang yang mengingikan lingkungan yang bersih
dari berbagai macam bahan kimia, tentunya pertanian organik merupakan
langkah yang wajib dilakukan.
Menurut hemat penulis, cara praktis yang
dapat ditempuh agar tujuan di atas dapat tercapai adalah dengan
melakukan hal – hal dibawah ini :
- Memupuk dengan kompos, pupuk kandang, atau pupuk guano (pupuk yang dibuat dari kotoran kelelawar).
- Memupuk dengan pupuk hijau, seperti orok-orok (Crotalaria Juncea),
tephrosia candida, tephrosiavogeli, maupun batang, akar, dan daun kacang
– kacangan , turi serta gamal.
- Memupuk dengan limbah yang berasal dari kandang ternak dan pemotongan hewan.
- Mempertahankan dan melestarikan habitat tanaman dengan pola tanam polikultur
DAFTAR PUSTAKA
Hart, John, “Water Pollution”, dalam Encarta Encyclopedia, Microsoft Corporation
Prabawa, Hadi, dkk. 1995. Ilmu Kimia SMU untuk kelas 2 semester 2, Jakarta: Erlangga.
Murbandono, L., 1982. Cara Mudah Membuat Kompos, Jakarta: Penebar Swadaya,1982