PENDAHULUAN
Pada tanaman perkebunan sering dijumpai berbagai jenis serangga.
Tidak semua jenis serangga tersebut berstatus hama. Beberapa jenis di
antaranya justru merupakan serangga berguna, misalnya penyerbuk dan
musuh alami (parasitoid dan predatcr). Ada juga jenis serangga berstatus
tidak jelas karena hanya berasosiasi saja di pertanaman.
Ada ratusan jenis serangga berstatus hama pada tanaman perkebunan.
Kehadiran serangga tersebut tidak selalu merugikan, sehingga tidak
diperlukan pengendalian. Meskipun demikian, pertumbuhan populasinya
harus diwaspadai agar tidak terjadi lonjakan yang mengarah ke eksplosi.
Tidak terjadinya gangguan hama pada pertanaman karena populasinya
terkendali secara alami, baik oleh faktor abiotis, misalnya iklim yang
tidak mendukung, maupun oleh faktor biotis, misalnya tidak tersedianya
sumber pakan dan berlimpahnya populasi musuh alami.
Di antara serangga-serangga hama, ada yang dikelompokkan sebagai hama
utama karena memiliki potensi biotik (daya reproduksi, daya makan atau
daya rusak, dan daya adaptasi) yang tinggi. Hama tersebut selalu
mengakibatkan kehilangan hasil panen yang relatif tinggi sepanjang
tahun, bahkan sering dilaporkan mengalami eksplosi, apabila kondisi
lingkungan mendukung. Untuk mengendalikannya, petani pada umumnya
menggunakan pestisida (kimiawi) yang diaplikasikan secara terjadual
dengan frekuensi tinggi, tanpa memperhatikan keadaan populasi di lapang.
Penggunaan insektisida menjadi berlebihan sehingga seringkali tidak
mengenai sasaran, bahkan dapat menimbulkan dampak negatif baik terhadap
pendapatan petani, maupun lingkungan, seperti musnahnya serangga berguna
dan munculnya gejala resurgensi dan resistensi hama. Cara tersebut
dilakukan karena belum tersedia cara pengendalian lain yang efektif dan
tidak berdampak negatif di tingkat petani.
Mengingat dampak negatif penggunaan pestisida, pemerintah telah
mengeluarkan kebijaksanaan tentang sistem Pengendalian Hama Terpadu
(PHT). Pelaksanaannya dengan menciptakan dan menerapkan teknologi
pengendalian hama yang berwawasan lingkungan, antara lain dengan
memanfaatkan musuh alami. Di dalam makalah ini dikemukakan beberapa
jenis hama utama tanaman teh, kopi dan kelapa, dan cara pengendaliannya
dengan memanfaatkan musuh alami berdasarkan pola pelaksanaan SLPHT.
KONSEP DAN STRATEGI PHT
PHT merupakan konsep sekaligus strategi penanggulangan hama dengan
pendekatan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan
agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang terlanjutkan. Ini berarti
bahwa pengendalian hama harus terkait dengan pengelolaan ekosistem
secara keseluruhan. Pengelolaan ekosistem dimaksudkan agar tanaman dapat
tumbuh sehat sehingga memiliki ketahanan ekologis yang tinggi terhadap
hama. Untuk itu, petani harus melakukan pemantauan lapang secara rutin.
Dengan demikian, perkembangan populasi dan faktor-faktor penghambat
lainnya dapat diatasi/diantisipasi dan faktor-faktor pendukung dapat
dikembangkan. Apabila dengan pengelolaan ekosistem tersebut masih
terjadi peningkatan populasi dan serangan hama, langkah selanjutnya
adalah tindakan pengendalian.
Sasaran PHT adalah: 1) produktivitas pertanian mantap tinggi, 2)
penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) populasi hama dan
kerusakan tanaman karena serangannya tetap berada pada tingkatan yang
secara ekonomis tidak merugikan, dan 4) pengurangan resiko pencemaran
lingkungan akibat penggunaan pestisida.
Strategi PHT adalah memadukan secara kompatibel semua taktik atau
metode pengendalian hama. Taktik PHT, terutama adalah: 1) Pemanfaatan
prosss pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat
merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami, 2) Pengelolaan
ekosisem melalui usaha bercocok tanam, yang bertujuan untuk membuat
lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi perikehidupan hama serta
mendorong berfungsinya agensia pengendali hayati, 3) Pengendalian fisik
dan mekanis yang bertujuan untuk mengurangi populasi hama, mengganggu
aktivitas fisiologis hama yang normal, serta mengubah lingkungan fisik
menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama, dan 4)
Penggunaan pestisida secara selektif untuk mengembalikan populasi hama
pada tingkat keseimbangannya. Selektivitas pestisida didasarkan atas
sifat fisiologis, ekologis, dan cara aplikasi. Penggunaan pestisida
diputuskan setelah dilakukan analisis ekosistem terhadap hasil
pengamatan dan ketetapan ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus
yang efektif dan direkomendasikan. Ada empat prinsip yang harus
dilaksanakan dalam penerapan PHT, yaitu pembudidayaan tanaman sehat,
pelestarian musuh alami, pemantauan secara rutin, dan pengambiian
keputusan pengendalian oleh petani.
Budidaya tanaman sehat
Pengelolaan ekosistem melalui budidaya tanaman sehat bertujuan untuk
membuat lingkungan pertanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan,
pertumbuhan, dan perkembangbiakan hama, serta mendorong berfungsinya
agensia pengendalian hayati. Tujuan akhirnya adalah tingkat produksi
yang maksimal dan aman dari gangguan hama. Oleh karena itu, budidaya
tanaman sehat menjadi bagian penting dalam program pengendalian hama.
Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologis yang tinggi terhadap
gangguan hama. Beberapa macam teknik budidaya tanaman yang dianjurkan
adalah:
a. Penanaman varietas tahan
Penanaman varietas tahan sebagai salah satu komponen sistem PHT
berfungsi sebagai cara pengendalian utama dan juga sebagai tambahan
terhadap cara pengendalian lain. Penggunaan varietas tahan memiliki
keunggulan, antara lain bersifat spesifik, kumulatif, persisten, murah,
dan kompatibel dengan cara pengendalian lain, khususnya pengendalian
hayati. Kelemahan penggunaan varietas tahan adalah kemungkinan
terjadinya perkembangan biotipe serangga yang mampu menyerang varietas
tahan.
b. Penanaman benih/bibit sehat
Benih/bibit yang akan ditanam dipilih berdasarkan kriteria:
bersertifikat dan/atau sehat, unggul, dan tahan hama. Benih/bibit yang
sehat apabila ditanam akan tumbuh lebih cepat dan lebih tahan terhadap
gangguan hama. Untuk itu, jangan menggunakan benih/bibit yang berasal
dari pertanaman yang terserang hama.
c. Sanitasi
Sisa-sisa tanaman, gulma, dan tanaman inang lainnya di sekitar
pertanaman merupakan tempat bertahan hidup hama. Oleh karena itu,
pemusnahannya perlu dilakukan untuk memperkecil sumber inokulum awal.
Pelestarian musuh alami
Di dalam ekosistem pertanian terdapat kelompok makhluk hidup yang
tergolong predator, parasitoid, dan patogen. Ketiga kelompok yang
disebut musuh alami tersebut mampu mengendalikan populasi hama. Tanpa
bekerjanya musuh alami, hama akan memperbanyak diri dengan cepat
sehingga dapat merusak tanaman.
Predator merupakan kelompok musuh alami yang sepanjang hidupnya
memakan mangsanya. Predator memiliki bentuk tubuh yang relatif besar
sehingga mudah dilihat. Contoh predator penting adalah tungau
Amblyseius deleoni yang memangsa tungau jingga,
Brevipalpus phoenicis pada teh.
Parasitoid memiliki inang yang spesifik berukuran relatif kecil,
sehingga sulit dilihat. Umumnya, parasitoid hanya memerlukan seekor
serangga inang. Parasitoid meletakkan telurnya secara berkelompok atau
individual di dalam atau di sebelah luar tubuh inangnya. Bila sebutir
telur parasitoid menetas dan berkembang menjadi dewasa, maka inangnya
akan segera mati. Parasitoid dapat menyerang telur, larva, nimfa, pupa
atau imago inang. Contoh parasitoid penting adalah lebah
Cephalonomia stephanoderis yang memparasit kumbang penggerek buah kopi,
Hypothenemus hampei.
Berbagai jenis patogen serangga dapat menyebabkan infeksi pada
inangnya. Kelompok patogen serangga utama adalah cendawan, virus, dan
bakteri. Contoh patogen serangga penting adalah cendawan
Beauveria bassiana yang menginfeksi kumbang penggerek buah kopi, vrrus
Baculovirus oryctes yang menginfeksi kumbang nyiur,
Oryctes rhinoceros, dan bakteri
Bacillus thuringiensis.
Patogen serangga dapat diproduksi secara massal dengan biaya relatif
murah dalam bentuk cairan atau tepung yang dalam pelaksanaannya di
lapang dapat disemprotkan seperti halnya dengan pestisida.
Usaha melestarikan musuh alami dapat dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain: 1) Pendayagunaan teknik budidaya tanaman sehat yang
mendorong berperannya musuh alami, misalnya penanaman varietas tahan,
sanitasi selektif dan penanaman dengan sistem tumpangsari, 2)
Pengumpulan dan pemeliharaan kelompok telur. Parasitoid telur yang
muncul dibiarkan lepas ke pertanaman, sedangkan telur yang menetas
menjadi ulat, dimusnahkan, 3) Penggunaan pestisida secara bijaksana.
Pestisida digunakan secara selektif, sebagai pilihan terakhir apabila
populasi hama tidak dapat dikendalikan dengan cara lain dan apabila
berdasarkan hasil pemantauan, populasi hama telah melampaui ambang
kendali.
Pemantauan ekosistem
Masalah hama biasanya timbul karena hasil kerja kombinasi unsur-unsur
lingkungan yang sesuai, baik biotik (tanaman atau makanan) maupun
abiotik (iklim, cuaca, dan tanah), serta campur tangan manusia yang
dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan populasi hama. Oleh karena
itu, pemantauan ekosistem pertanaman yang intensif secara rutin oleh
petani merupakan dasar analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan
dan melakukan tindakan yang diperlukan.
Kegiatan pemantauan populasi hama ditujukan untuk menentukan apakah
populasi hama tersebut telah melampaui tingkat kerusakan ekonomis. Hal
tersebut dimaksudkan agar populasi hama tidak terlambat dikendalikan.
Dalam kegiatan tersebut tingkat populasi hama tidak ditentukan dengan
menghitung banyaknya individu hama secara keseluruhan di lapang, tetapi
dengan menduga populasi hama berdasarkan teknik penarikan contoh.
Pemantauan populasi pada pertanaman dianjurkan seminggu sekali, mulai
awal pertumbuhan tanaman hingga menjelang panen. Banyaknya individu
hama di lapang dihitung dengan unit contoh berupa tanaman tunggal atau
sejumlah tanaman per unit area. Dalam hal ini perlu diingat bahwa unit
contoh kecil yang berjumlah banyak memberikan data lebih dipercaya
daripada unit contoh besar yang berjumlah sedikit. Kegiatan pemantauan
juga dilakukan terhadap jenis dan populasi musuh alami, dan keadaan
tanaman.
Metode pemantauan umumnya dilakukan secara (a) acak menggunakan tabel
nomor acak pada beberapa unit habitat, (b) acak berstrata, yaitu dengan
membagi lahan menjadi beberapa strata yang tidak tumpang-tindih
kemudian banyaknya unit contoh dibagi secara proporsional untuk tiap
stratum dan ditempatkan secara acak, (3) acak diagonal, yaitu dengan
mengambil contoh secara acak pada bidang diagonal lahan, dan 4)
sistematik, yaitu dengan mengambil contoh pada selang ruang atau waktu
tertentu. Pemilihan terhadap metode pemantauan umumnya didasarkan atas
ketentuan yang berhubungan dengan tingkat kepercayaan dan biaya
penarikan contoh.
Pengambilan Keputusan Pengendalian
Petani sebagai pengambil keputusan di lahannya sendiri hendaknya
memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menganalisis ekosistem serta
mampu menetapkan keputusan pengendalian hama secara tepat sesuai dengan
prinsip-prinsip PHT. Contoh pengambilan keputusan pengendalian hama
berdasarkan hasil pemantauan ekosistem adalah sebagai berikut:
1. Apabila ada bagian tanaman yang menunjukkan gejala terserang
penyakit, maka bagian tanaman terserang dipangkas dan dimusnahkan dengan
jalan dibakar.
2. Apabila ditemukan kelompok telur, segera dilakukan pengumpulan dan
memeliharanya. Parasitoid telur yang muncul dibiarkan lepas ke
pertanaman. Pengumpulan kelompok telur dilakukan setelah terlihat
penerbangan imago, dengan selang waktu paling lambat 4 hari sekaii,
sehingga telur belum sempat menetas.
3. Dilakukan pengumpulan dan mematikan individu hama yang ditemukan di pertanaman.
4. Apabila ditemukan liang-liang aktif tikus dan tanda-tanda
keberadaan populasi tikus di lahan maka dilakukan gropyokan, sanitasi
lingkungan, pemasangan bubu perangkap tikus, dan pengumpanan beracun
menggunakan rodentisida antikoagulan.
5. Apabila populasi hama melampaui ambang kendali dan populasi musuh
alami relatif berlimpah, maka jangan dilakukan pengendalian. Tetapi
apabila populasi musuh alami relatif sedikit, maka dilakukan
pengendalian dengan insekisida efektif.
HAMA UTAMA DAN MUSUH ALAMI PADA TANAMAN TEH, KOPI, DAN KELAPA
1. Tungau jingga tanaman teh
Tungau jingga,
Brevipalpus phoenicis (Geijskes) (Acaeina,
Tenuipalpidae) berukuran 0,2 mm dan berwarna jingga-kemerahan. Tungau
merusak daun teh tua, khususnya pada permukaan bawah daun dan ptiolus.
Tungau membentuk koloni pada pangkal daun di sekitar ptiolus. Serangan
awal ditandai oleh becak-becak kecil pada pangkal daun. Serangan lanjut
ditandai oleh daun yang berubah warna menjadi kemerahan kemudian kering
dan akhirnya rontok. Serangan berat mengakibatkan tanaman teh tidak
berdaun sama sekali. Nilai ambang kendali hama ini 24 ekor/daun teh tua
atau gejala serangan 50%.
Amblyseius deleoni Muma et Denmark (Parasitiformes, Phytoseiidae) merupakan tungau predator penting yang memangsa tungau jingga.
2. Kepik pengisap pucuk daun teh
Imago kepik pengisap pucuk daun teh,
Helopeltis theivora Watt. dan
H. antonii
Sign. (Hemiptera, Miridae) berukuran 6,5-7,5 mm dan mempunyai tonjolan
seperti jarum pentol pada bagian punggung. Imago jantan dengan toraks
berwarna hitam kemerahan dan abdomen berwarna hijau tua. Imago betina
dengan toraks berwarna hijau kebiruan dan abdomen berwarna hijau muda.
Stadia imago dapat hidup lebih dari 50 hari. Telur berukuran 1-1,5 mm
dan berbentuk kapsul dengan 2 helai benang yang tidak sama panjang yang
menyembul ke luar pada bagian ujungnya. Telur mula-mula jernih kemudian
putih. Telur diletakkan secara berkelompok (5-8 butir/kelompok) pada
bagian internodus atau tulang daun. Stadia telur 7-14 hari. Nimfa baru
berukuran panjang 5-6,5 mm, berwarna kuning jernih kemudian berubah
menjadi kehijauan/coklat-kemerahan. Nimfa baru berbulu, belum memiliki
tonjolan pada toraks. Tonjolan mulai terlihat setelah nimfa berganti
kulit pertama. Stadia nimfa 14-24 hari. Nimfa dan imago menusuk daun
muda dan pucuk/tunas dengan stiletnya untuk mengisap cairan sel. Gejala
serangannya berupa becak-becak pada jaringan tanaman akibat sekresi
ludah yang ditusukkan ke jaringan sewaktu serangga mengisap tanaman.
Bila tusukan berdekatan, becak akan berwarna coklat. Organ tanaman yang
terserang berat akan mengering.
Musuh alami hama ini, antara lain jenis parasitoid,
Euphorus helopeltidis Ferr. (Hymenoptera, Braconidae) dan Erythmelus helopeltidis Gah. (Hymenoptera, Mymaridae), jenis predator,
Cosmolestes picticeps Stal.,
Isyndros heros (F.),
Sycanus annulicornis Dohrn.,
S. leucomesus Wlk. (Hemiptera, Reduviidae), semut hitam,
Dolichodorus thoracicus (Hymenoptera, Formicidae), dan jamur patogen,
Spicaria javanica.
3. Ulat jengkal tanaman teh
Larva ulat jengkal,
Hyposidra talaca (Walker) berwarna hitam
atau coklat bergaris putih, menyerang daun muda, pucuk dan daun tua.
Serangan meningkat pada musim kemarau. Gejala serangan berupa gerekan
atau lobang pada daun. Serangan berat mengakibatkan tanaman gundul,
hanya ranting saja yang tertinggal. Larva berpupasi di dalam tanah di
bawah perdu teh. Produksi telur 400-900 butir/ekor. Telur diletakkan
secara berkelompok (50-200 butir/kelompok) pada celah kulit pohon
pelindung. Telur ditutupi bulu seperti kapas dan berukuran 0,4-0,7 mm.
Telur baru berwarna kehijauan dan sebelum menetas berwarna agak
keabu-abuan. Siklus hidupnya 57-70 hari; telur 8-9 hari, larva 28-35
hari, pupa 17-21 hari, dan imago 3-5 hari.
4. Ulat penggulung daun teh
Imago ulat penggulung daun teh,
Homona coffearia (Nietner)
meletakkan telurnya dalam satu kelompok (100-150 butir/kelompok) pada
bagian atas daun tua. Larva dengan kepala berwarna hitam atau coklat
tua. Larva instar V berukuran 2,5 cm. Larva membuat sarang dengan cara
menggulung dan menyatukan beberapa helai daun muda atau tua dengan
benang-benang sutera. Pupa dapat ditemukan pada gulungan daun. Siklus
hidupnya 5-8 minggu; telur 6-11 hari; larva 5-6 hari, pupa 7-10 hari.
Serangan meningkat pada musim kemarau. Serangan berat mengakibatkan
tanaman gundul.
Musuh alaminya, antara lain parasitoid
Macrocentrus homonae Nix. (Hymenoptera, Braconidae) dan
Elasmus homonae. Parasitoid
M. homonae
pemah di ekspor, antara lain ke Srilanka pada tahun 1935/1936 dan
berhasil menanggulangi hama yang sama. Serangga ini juga diekspor ke
Australia pada tahun 1991/1992 untuk menanggulangi
Homona sporbiotis penggulung daun alpukat. Siklus hidupnya 3 minggu.
5. Wereng Empoasca
Wereng teh,
Empoasca (Sundapteryx) biguttula (Ishida)
(Homoptera, Cicadellidae) menyerang pucuk dan daun muda. Populasi
serangga ini meningkat pada musim kemarau. Gejala serangan dikelompokkan
berdasarkan sifat serangan. Serangan ringan bila daun memperlihatkan
gejala klorosis (perubahan warna menjadi coklat tua) pada tulang daun,
serangan sedang bila bagian pinggiran daun sebagian besar mengeriting,
dan serangan berat bila sebagian besar daun muda berwarna kuning kusam,
mengeriting dan sebagian terjadi kematian pinggiran daun.
Imago berukuran panjang 2,3-2,7 mm, berwarna hijau-kekuningan dengan
warna sayap hijau-pucat dan warna tarsal hijau. Imago jantan berumur 8
hari dan yang betina 6 hari. Produksi telur 200-300 butir/ekor. Telur
disisipkan secara tunggal pada jaringan tanaman bagian urat daun, ketiak
daun, atau tangkai daun. Telur berwarna keputihan, berukuran panjang
0,55 mm dan diameter 0,15 mm. Telur menetas setelah 6-7 hari. Nimfa
berumur 5-15 hari, hidup pada permukaan daun bagian bawah. Instar V
berwarna hijau-pucat panjang 2,2 mm dan lebar 0,6 mm. Cara berjalan
serangga ini khas, yaitu berjalan serong (menyamping) dan meloncat jika
pindah tempat. Siklus hidupnya 18-25 hari. Musuh alaminya, antara lain
Curinus coeruleus Mulsant (Coleoptera, Coccinellidae), yaitu jenis kumbang predator yang umum diketahui memangsa kutu loncat pada lamtoro.
6. Kumbang penggerek buah kopi
Imago (kumbang) penggerek buah kopi,
Hypothenemus hampei
Ferrari (Coleoptera: Scolytidae) berwarna hitam coklat aiau hitam
mengkilap. Tubuhnya ditumbuhi rambut-rambut, berukuran panjang 1,2-1,7
mm dan lebar 0,6-0,7 mm. Imago betina yang siap bertelur terbang pada
sore dan petang hari, sedang yang jantan tetap berada di dalam biji
kopi. Lama hidup imago betina 87-102 hari, sedang yang jantan 110-135
hari. Telur diletakkan dalam lobang gerekan. Telur berwarna putih bening
dan berbentuk bulat panjang. Stadium larva hidup dalam lobang gerekan,
terdiri dari 2 instar untuk jantan dan 3 instar untuk betina. Larva muda
berwarna putih, sedangkan yang tua berwarna kecoklatan dengan panjang
tubuh ± 1,5 mm. Lama stadium larva 10-21 hari dengan masa istirahat
sebelum menjadi papa (prapupa) selama 2 hari. Pupa berwarna putih dan
berukuran 1 mm. Stadium pupa 4-6 hari, kadang-kadang sampai 8 hari. Daur
hidup dari telur sampai dewasa 25-35 hari. Bila buah kopi tersedia
sepanjang tahun, dapat terjadi 8-10 generasi.
Kumbang menyerang buah kopi pada saat biji mulai mengeras (umur
sekitar 3 bulan) sampai panen. Gejala serangannya berupa bekas lobang
gerekan pada ujung buah. Pada buah kopi baru, kumbang betina membuat
lobang kemudian masuk ke dalam biji untuk meletakkan telur. Telur
menetas dan berkembang hingga menjadi imago dalam buah kopi. Serangan
terhadap buah muda menyebabkan buah tidak dapat berkembang kemudian
busuk dan gugur.
Musuh alaminya, antara lain empat jenis parasitoid, yaitu
Heterospilus coffeicola Schm. (Hymenoptera, Braconidae),
Cephalonomia stephanoderis Betr. (Hymenoptera, Bethylidae),
Prorops nasuta Wat. (Hymenoptera, Bethylidae),
Crematogaster difformis Sm. (Hymenoptera, Formicidae), satu jenis predator, yaitu
Dindymus rubiginosus (Heteroptera, Pyrrhocoridae), dan tiga jenis cendawan
Botrytis stephanoderes, Beauveria bassiana, dan
Spicaria javanica.
7. Kutu putih atau kutu dompolan kopi
lmago kutu putih atau kutu dompolan kopi,
Planococcus citri
Risso (Homoptera, Pseudococcidae) berukuran 3,5 X 2 mm dan berwarna
kuning muda dengan bagian punggung yang ditutupi lilin. Imago jantan
bersayap tembus pandang sedangkan yang betina tidak bersayap. Produksi
telur 200-400 butir/ekor. Telur berbentuk lonjong, berukuran 0,1-0,4 mm,
berwarna kuning muda, dan diletakkan secara berkelompok dan diselimuti
oleh benang-benang halus. Lama stadia telur 3-5 hari. Stadium nimfa
terdiri dari 4 instar untuk betina dan 3 instar untuk jantan. Nimfa
berbentuk hampir sama dengan imago, berukuran 0,5 mm, dan membentuk
koloni. Lama hidup instar I 6-10 hari, instar II 10-14 hari, instar III
14 hari. Siklus hidup hama ini 34-43 hari. Nimfa dan imago mengisap
kuncup bunga, tunas, dan cabang. Pada populasi tinggi, organ-organ
tanaman yang terserang menjadi kering, sedangkan pada populasi sedang
menyebabkan sebagian besar permukaan daun ditutupi oleh cendawan embun
jelaga. Pemencaran populasi secara cepat dibantu oleh semut gramang,
Anoplolepis longipes.
Hama ini memiliki beberapa jenis predator, antara lain
Scymus roepkei de Fl.,
S. apiciflavus Motsch.,
Brumoides (Brumus) suturalis F.),
Curinus coeruleus Mulsant (Coleoptera, Coccinellidae),
Coccidiplosis smithi (Felt) (Diptera, Cecidomyiidae), dan beberapa jenis parasitoid, antara lain
Coccidiplosis smithi (Felt) (Diptera, Cecidomyiidae),
Anagyrus greeni How. (Hymenoptera, Encyrtidae), dan
Leptomastix trilongifasciatus Gir. (Hymenoptera, Encyrtidae).
8. Kutu hijau tanaman kopi
Imago kutu hijau
Coccus viridis (Green) (Homoptera,
Coccidae) berwarna hijau muda sampai hijau tua. Bentuk tubuh bulat
telur, pipih, panjang 2,5-3,3 mm dan lebar 1,5-2 mm bersifat immobil.
Tubuh dilengkapi dengan dua mata tunggal berwarna hitam, operkulum (dua
bangunan segitiga berwarna coklat yang bersatu dan menutupi anusnya),
dan sebuah stilet yang panjangnya kurang lebih sama dengan panjang
badannya. Produksi telur 600 butir/ekor. Telur berkembang di dalam tubuh
induknya. Nimfa yang baru muncul untuk sementara waktu berada di dekat
tubuh induknya. Siklus hidupnya 45-65 hari.
Kutu hijau berkelompo pada permukaan bawah daun dan tulang daun. Kutu
mengisap cairan pada bagian tanaman yang muda, seperti daun, tunas,
tangkai bunga, dompolan muda, dan ujung dahan. Warna hijau dari bagian
tanaman yang diisap berubah menjadi kuning. Daun yang terserang berat
akan mengering dan gugur. Serangan kutu hijau pada tanaman muda
mengakibatkan tehambatnya pertumbuhan tanaman, sehingga menjadi kerdil.
Serangan pada tanaman fase generatif mengakibatkan turunnya hasil panen.
Kehadiran kutu hijau dibantu oleh kehadiran semut, terutama semut
gramang.
Beberapa janis musuh alami hama ini, antara lain predator
Chilocorus melanophthalmus Muls. dan
Orcus janthinus Muls. (Coleoptera, Coccinellidae), dan parasitoid Coccophagus bogoriensis Kngb. (Hymenoptera, Encyrtidae)
9. Penggerek cabang hitam dan coklat tanaman kopi
Penggerek cabang hitam,
Xylosandrus compactus Eichhoff dan penggerek cabang coklat,
X. morigerus
Blandford menyerang kopi sejak pembibitan sampai tanaman dewasa. Pada
bibit, kumbang menggerek batang dekat dengan permukaan tanah. Gerekan
diperluas ke arah atas dan bawah pada jaringan empulur, sehingga
mengakibatkan daun layu dan akhirnya bibit mati. Serangan pada tanaman
muda menghambat pertumbuhan dan pada tanaman produktif mengakibatkan
keringnya cabang.
Telur diletakkan 7-8 hari setelah serangga betina masuk ke dalam
cabang. Tiap serangga betina mampu meletakkan 30-50 butir telur dalam
satu lobang gerekan. Lama stadium telur 4-5 hari, larva 11 hari, pupa 7
hari. Stadium larva terdiri dari 2-3 instar. Perkawinan terjadi di dalam
liang gerekan. Perbandingan antara serangga betina dan jantan 7:1.
Serangga jantan tetap berada di dalam liang gerekan, sedangkan yang
betina, setelah dibuahi akan terbang menggerek cabang baru untuk
meletakkan telurnya.
10. Penggerek batang merah tanaman kopi
Imago penggerek batang merah,
Zeuzera coffeae Nietner dan
Z. roricyanea
Walk. (Lepidoptera: Cossidae) mampu berproduksi telur sebanyak 500-1000
butir. Telur berukuran panjang 1 mm dan lebar 0,5 mm, berwarna
kuning-kemerahan, dan berumur 10-11 hari. Telur diletakkan pada
celah-celah kulit pohon. Larva berwarna merah cerah sampai ungu
sawo-matang dan panjangnya 3-5 mm. Stadium larva 81-151 hari. Pupa
berada di dalam “kamar pupa” pada liang gerek. Panjang kamar pupa 7-12
cm. Bagian atas dan bawah kamar pupa disumbat oleh sisa-sisa gerekan.
Larva menggerek batang muda (± 3 tahun) dan cabang berdiameter 3 cm.
Liang gerekan berukuran panjang 40-50 cm dan diameter 1-1,2 cm yang
melingkari batang dalam kulit sekunder, sehingga bagian atas cabang itu
mati dan mudah patah. Serangan pada cabang muda hanya menyebabkan
hambatan pertumbuhan, sehingga batang dapat tumbuh normal kembali.
Serangan hama ini juga ditandai oleh kotoran larva yang berbentuk
silindris dan berwarna merah sawo-matang yang dikeluarkan melalui liang
gerek.
Musuh alami hama ini, antara lain jenis parasitoid,
Bracon zeuzerae (Hymenoptera, Braconidae),
Carcelia (Senometopia) kockiana Towns., dan
lsosturmia chatterjeeana (Cam.) (Diptera, Tachinidae). Kedua jenis Tachinidae mempunyai hiperparasit, yaitu
Brachymeria punctiventris
(Cam.) (Hymenoptera, Chalcididae). Selain dengan serangga musuh alami,
hama ini dapat juga dikendalikan dengan jamur patogen serangga,
Beauveria bassiana.
11. Kumbang nyiur
Kumbang nyiur,
Oryctes rhinoceros L. pada stadia telur,
larva dan pupa hidup pada sarang berupa bahan-bahan organik di tanah,
khususnya sisa batang kelapa yang membusuk, limbah penggergajian kayu,
limbah penggilingan padi, sampah pasar, dan kotoran ternak. Imago muda
juga berada pada sarang, sedangkan yang dewasa terbang menyerang pucuk
kelapa dan melangsungkan perkawinan kemudian kembali ke sarang untuk
bertelur. Imago berwarna hitam, bagian bawah badan berwarna coklat
kemerahan, panjang 40 mm dan lebar 20 mm. Cula imago jantan lebih
panjang daripada yang betina. Imago berumur 3-5 bulan dan produksi
telurnya 35-70 butir/ekor. Telur berwarna putih, panjang 3-4 mm, lebar
2-3 mm dan berumur 9-10 hari. Larva muda berwarna putih, bagian mulut
merah-kecoklatan, panjang 7-8 mm, kepala dan tungkai berwarna coklat.
Larva tua panjang 60-105 mm, lebar 25 mm, bentuk membengkok, ujung
abdomen berbentuk kantong, dan ditumbuhi rambut-rambut pendek. Stadium
larva 2,5-4 bulan. Pupa berwarna coklat, panjang 45-50 mm, lebar 22 mm.
Bakal alat mulut, sayap, tungkai, dan cula terlihat jelas. Pupa berada
dalam kokon yang terbuat dari tanah atau sisa-sisa serat tanaman.
Stadium pupa 17-22 hari.
Kumbang (imago) menyerang pucuk pohon dan pangkal daun muda.
Kerusakan baru pada tanaman terlihat setelah daun membuka 1-2 bulan
kemudian, berupa gambaran guntingan-guntingan segitiga seperti huruf V.
Kalau titik tumbuh yang terserang, pohon akan mati. Sifat memakan ini
selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Stadium imago
3-5 bulan. Karena umur yang panjang dan sifat memakan yang selalu
berpindah-pindah menyebabkan daerah serangannya luas dan tingkat
serangannya berat. Musuh alami
Oryctes, antara lain parasitoid larva,
Scolia arcytophaga (Hymenoptera, Scoliidae), jamur patogen,
Metarrhizium anisoliae, dan virus patogen,
Baculovirus oryctes.
12. Kumbang jamur
Kumbang janur,
Brontispa longissima Gestro memiliki telur
berbentuk pipih, lonjong, panjang 1,4 mm dan lebar 0,5 mm. Telur
diletakkan secara berkelompok 2-7 butir/kelompok pada lipatan janur.
Stadium telur 4-7 hari. Lana baru panjangnya 2 mm dan larva tua 8-10 mm.
Stadium larva 23-43 hari. Pupa berwarna putih-kekuningan kemudian
menjadi merah kecoklatan, panjangnya 8-10 mm dan lebar 2 mm. Stadium
pupa 4-5 hari. Imago panjangnya 7,5-10 mm dan lebar 1,5-2 mnr, bentuknya
pipih panjang. Stadium imago 75-90 hari. Stadia larva dan imago
merupakan stadia aktif karena di dalam lipatan janur melakukan kegiatan
mengetam atau menggerigiti dan memakan kulit janur secara memanjang.
Setelah daun membuka, tampak jaringan becak-becak memanjang dan daun
menjadi keriput kemudian kering dan berwarna coklat.
Musuh alami hama ini, antara lain parasitoid telur,
Haeckeliana brontispae F. dan
Ooencyrtus padontiae Bah., parasitoid larva tua dan pupa
Tetrastichodes brontispae Ferr., dan jamur patogen
Metarrhizium anisopliae Str.
Brontispae. Parasitoid
T. brontispae
berwarna hitam, panjang 1,5-2 mm. Parasitoid jantan dengan ujung
abdomen tumpul, sedang yang betina runcing. Imago meletakkan telur pada
tubuh larva tua atau pupa baru. Setelah 4-6 hari, pupa yang terserang
menjadi tegang dan tidak bergerak kemudian mati. Dalam satu individu
pupa dapat keluar 18-20 ekor parasitoid.
13. Ulat mayang kelapa
Larva ulat majang kelapa,
Batrachedra arenosella Wlk.
(Lepidoptera, Cosmopterigidae) merupakan stadium yang aktif merusak.
Larva merusak bunga jantan dan bunga betina yang terdapat di dalam
mayang-1 dan mayang-2. Imago bertelur pada alur kulit seludang secara
terpisah atau berkelompok. Telur berwarna putih-kekuningan, lonjong, dan
berumur 4 hari. Larva segera menggerek seludang menuju bunga-bunga
jantan. Larva berwarna putih dengan kepala berwarna coklat-kehitaman.
Panjang larva tua 0,8 cm, ruas tubuhnya dilingkari oleh gelang-gelang
berwarna hijau-kecoklatan. Stadium larva 1-2 minggu. Larva berpupa pada
pangkal tangkai bunga. Stadium pupa 10 hari. Ketika seludang membuka,
imago telah terjadi.
Musuh alami
Batrochedra, antara lain parasitoid telur
Trichogramma sp, (Hymenoptera, Trichogrammatidae),
Meteorus sp,
Apanteles sp. dan
Chetonus sp. (Hymenoptera, Braconidae). Di antara keempat jenis parasitoid tersebut,
Chetonus sp. dapat dikembangbiakkan dengan inang penggantinya, yaitu telur ulat penggerek umbi kentang,
Phthorimaes operculella
Zell. Di lapang, dalam pupa inang hanya ditemukan seekor parasitoid,
jantan atau betina. Sepasang parasitoid mampu menurunkan keturunannya 14
ekor. Masa inkubasi parasitoid di dalam tubuh inang penggantinya 26-27
hari. Parasitoid bersifat arenothoky.
14. Belalang pedang
Belalang pedang
Sexava sp. memiiiki siklus hidup 243 hari, telur 45 hari, nimfa 108 hari, dan imago 90 hari. Musuh alami
Sexava, antara lain parasitoid telur
Leefmansia bicolor,
Doirania leefmansia Waterson (Hymenoptera, Trichogrammatidae),
Tetrastichoides dubius, dan
Prosapegus atrellus. Di antara keempat jenis parasitoid tersebut, yang dapat dikembangbiakkan adalah
Leefmansia bicolor.
15. Kutu perisai
Kutu perisai,
Aspidiotus destructor Sign. berkembang pada
musim kemarau dan merusak daun kelapa agak tua. Daun yang terserang
tampak menguning pada permukaan daun bagian atas. Kutu perisai hidup
berkoloni di bawah perisai dan berkembangbiak secara partenogenesis.
Tiap kutu dapat memproduksi 50 butir telur yang diltakkan di sekeliling
tubuhnya, di bawah perisai. Dalam 2-3 hari, telur menetas menjadi nimfa.
Setelah 3 minggu, nimfa menjadi imago. Siklus hidupnya 1 bulan.
Musuh alami kutu perisai, antara lain tiga jenis parasitoid, yaitu
Aphytis (Aphelinus) chrysomphali (Merc.),
Aspidiotiphagus citrinus Craw., dan
Spanioterus crucifer Gah. (Hymenoptera,
Encyrtidae), dan iima jenis predator, yaitu
Chilocorus melanophthalmus Muls.,
Cryptolaemus sp.,
Scymnus severini (Coleoptera, Coccinellidae).
Ancylopteryx sp, dan
Chrysopa sp. Imago
Chilocorus berwarna kuning merah dengan diameter tubuh 4 mm, sedangkan larva agak kehitaman. Larva
Cryptolaemus berwarna putih dengan duri-duri berlapis lilin tebal yang tidak kaku dengan panjang tubuh 5-6 mm. Imago
Scymnus berdiameter 2 mm dan panjang 2,5 mm. Larva berwarna kuning pucat dengan panjang tubuh 3-4 mm.
16. Artona catoxantha
Artona catoxantha Hamps. memiliki telur berwarna hijau
bening kekuningan, lonjong, panjangnya 1 mm dan diletakkan borkelompok
pada permukaan bawah anak daun. Telur berumur 4-5 hari. Larva muda
berwarna kuning cerah. Larva tua dilengkapi dengan garis-garis memanjang
berwarna hitam semu ungu pada punggung dan kepala berwarna
kuning-kemerahan. Panjang larva 12 mm. Larva muda menggerogoti permukaan
bawah anak daun, sedangkan larva tua memakan anak daun sampai ke
permukaan atas. Anak daun yang terserang akan mengering dan terlihat
seperti terbakar. Anak daun setengah tua paling disukai. Umur larva
16-23 hari. Serangan
Artona tidak akan mematikan kelapa.
Serangan ringan berupa gejala titik pada permukaan bawah daun. Lama
kelamaan menjadi gejala garis, dan akhirnya menjadi gejala tepi.
Serangan berat mengakibatkan hampir semua anak daun kering, tetapi
karena bagian pucuk tidak terserang, kelanjutan hidup kelapa dapat
dipertahankan.
Pupa muda berwarna kekuningan, berada di bawah kokon yang berbentuk
lonjong dengan warna merah sawo yang tersebar di sepanjaag lidi dan
permukaan bawah anak daun. Bakal sayap dan mata berwarna hitam. Umur
pupa 10 hari. Imago berwarna hitam semu merah-kecoklatan, tengkuk dan
pinggir sayap depan dan bagian bawah badan berwarna kuning. Imago biasa
ditemukan berjejer di ujung anak daun dengan posisi membentuk huruf V
dengan permukaan hinggapnya. Siklus hidupnya 35 hari.
Musuh alami
Artona, antara lain tiga jenis tabuhan parasioid larva, yaitu
Apanteles artonae,
Goryphus inferus, dan
Neoplectus bicarinatus, tiga jenis lalat parasitoid larva, yaitu
Ptychomyia remota, Euplectomorpha viridiceps, dan
Cadursia leefmansi, satu jenis predator, yaitu
Eucanthecona sp., dan satu jenis patogen, yaitu
Beauveria sp.
Pengendalian
Artona terdiri dari tiga tahapan, yaitu
pengamatan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan pengadalian.
Pengamatan dilakukan dengan pengambilan contoh terhadap 20 pohon secara
acak per satu satuan wilayah yang luasnya 25 ha setiap bulan. Tiap pohon
contoh diambil satu pelepah daun yang telah membuka sempurna. Jumlah
larva sehat dan larva terparasit dihitung. Pengendalian tidak dilakukan
apabila rata-rata populasi larva <5 ekor/contoh atau berkisar antara
5-10 ekor/contoh dan tingkat parasitasinya >40%. Pengendalian
dilakukan apabila rata-rata populasi larva >5 ekor/contoh dan tingkat
parasitasinya <40%. Tindakan pengendalian dapat berupa pemangkasan
dan pembakaran pelepah apabila populasi larva telah memasuki instar
terakhir atau pupa. Tujuannya untuk membasmi sumber infestasi dan
mencegah perluasan serangan hama. Akan tetapi, apabila populasi larva
mencapai instar awal, aplikasi insektisida dapat dilakukan (infus akar,
injeksi batang, penyemprotan dari bawah tajuk, atau penyemprstan dari
udara).
TEKNIK PRODUKSI MUSUH ALAMI
1. Parasitoid Cephalonomia stephanoderis
C. stephanoderis merupakan lebah parasitoid yang menyerang kumbang penggerek buah kopi,
Hypothenemus hampei.
Larva hidup sebagai ektoparasit pada larva instar terakhir dan prapupa
inang. Imago betina berukuran panjang 1,6-2 mm, sedangkan yang jantan
1,4 mm. Imago meletakkan telur pada prapupa inang bagian ventral dan
pada pupa inang bagian dorso-abdominal. Imago memakan telur, larva,
pupa, dan imago inang. Telur parasitoid berukuran 0,4 x 0,2 mm. Larva
berwarna putih, berukuran panjang 2,1 mm, bentuk tubuh bengkok dan
meruncing ke bagian ekor, tidak berkaki dan berbulu. Pupa berada di
dalam kokon berwarna putih, pupa memiliki tipe bebas (liberal),
mula-mula berwarna putih kemudian berubah menjadi coklat.
Untuk mendapatkan kumbang penggerek buah kopi, buah kopi yang
terserang penggerek dimasukkan ke dalam stoples. Imago yang terjadi
dipasangkan dengan perbandingan jumlah betina dan jantan 1:2 dalam
tempat sejenis dan diberi pakan buah kopi segar. Larva dan pupa yang
dihasilkan digunakan untuk pembiakan parasitoid. Larva atau pupa
penggerek sebanyak 10 ekor dimasukkan ke dalam tabung gelas, sebagai
inang parasitoid. Imago parasitoid dipasangkan dalam tabung dengan
perbandingan jumlah betina dan jantan 2:1. Pemindahan parasitoid ke
tabung lain yang berisi inang segar dilakukan 2 hari sekali sampai hari
ke 10.
2. Parasitoid Tetrastichoides brontispae
T. brontispae merupakan parasitoid untuk kumbang janur,
Brontispa longissima. Ada tiga metode pembiakan parasitoid
T. brontispae, yaitu metode tabung gelas, metode stoples, dan metode kotak. Metode tabung geias dilakukan sebagai berikut. Pupa
Brontispa
terparasit dimasukkan ke dalam tabung gelas berukuran diameter 1,5 cm
dan panjang 15 cm. Setelah parasitoid keluar dari pupa, ke dalam tabung
dimasukkan pupa segar berumur 1-2 hari secara bertahap 1-3 ekor per
hari. Pupa yang telah terserang parasitoid dipelihara hingga muncul
parasitoid baru. Agar suhu stabil tabung disisipkan ke dalam potongen
pelepah daun pisang yang masih segar. Untuk pakan parasitoid, ke dalam
tabung dimasukkan larutan madu 10% pada kapas.
Metade stoples dilakukan sebagai berikut. Pupa
Brontispa
terparasit dimasukkan ke dalam tabung yang dibungkus dengan pelepah daun
pisang. Tabung dimasukkan ke dalam stoples berukuran diameter 8 cm dan
tinggi 10 cm. bersama-sama dengan larva tua
Brontispa pada lipatan janur dan larutan madu 10%.
Metode kotak dilakukan sebagai berikut. Disiapkan kotak kayu
berukuran 20 X 15 X 7,5 cm. Pada sisi kotak bagian depan dan belakang
dibuat tiga buah lobang yang berjajar harizontal dan bergaris tengah
sama dengan tabung gelas. Tabung berguna untuk mengetahui apakah sudah
terjadi parasitasi pada pupa. Pupa
Brontispa terparasit
dimasukkan ke dalam tabung yang dibungkus dengan pelepah daun pisang.
Parasitoid yang muncul dimasukkan ke dalam kotak melalui lobang. Secara
bertahap, pupa segar dimasukkan ke dalam tabung kemudian disisipkan pada
lobang untuk berlangsungnya parasitasi.
Untuk mendapatkan pupa
Brontispa, 50-100 pasang imago hasil
koleksi dari lapang atau hasil pembiakan secara terus-menerus dipelihara
dalam wadah berukuran 2000 ml dan diberi pakan junur. Telur-telur yang
dihasilkan akan menetas dalam 3-7 hari. Larva diberi pakan yang sama
hingga menjadi pupa.
Pelepasan parasitoid di lapang dilakukan dengan cara sebagai berikut.
Pupa terparasit sebanyak 4 ekor dibungkus dengan kain kasa. Kain kasa
dijepitkan pada koker atau potongan bambu berukuran diameter 3-5 cm dan
panjang 5-7 cm. Koker diikat dengan tali dan digantungkan pada daun
kelapa pada bagian pucuk. Untuk setiap ha tanaman terserang diperlukan 4
buah koker, masing-masing berisi 4 ekor pupa
Brontispa terparasit. Pelepasan dilakukan 3-6 bulan sekeli.
3. Parasitoid Chelonus sp.
Chelonus sp. menrpakan salah satu parasitoid untuk ulat mayang kelapa,
Batrachedra arenosella. Pembiakan parasitoid ini diawali dengan mengkoleksi
Chelonus sp. pada seludang dari lapang. Pupa
Betrachedra
terparasit yang terdapat pada seludang diambil tanpa menyentuh pupanya
kemudian pupa dipelihara dalam tabung hingga muncul parasitoid.
Parasitoid diperbanyak dengan inang pengganti, yaitu telur ulat penggerek umbi kentang.
Phthorimaes operculella. Inang diperbanyak dengan cara sebagai berikut: umbi kentang diambil dari lapang. Larva, pupa, dan imago
P. operculella
yang dijumpai dipelihara dalam stoples berisi larutan gula kelapa 10%
pada kapas sebagai pakan imago. Stoples ditutup dengan kain katun
berwarna hijau sebagai tempat imago meletakkan telur. Pakan dan kain
katun diganti setiap hari. Kain berisi telur dibungkuskan pada kentang
segar yang telah ditusuk-tusuk kemudian dimasukkan ke dalam stoples yang
berisi pasir. Setelah semua larva masuk ke dalam kentang, kain
pembungkus dibuka. Jika kentang membusuh larva di dalam kentang
dipindahkan ke kentang segar. Pupasi berlangsung di dalam dan di luar
kentang. Imago yang muncul dimasukkan ke dalam stoples lain untuk
memperoleh telur.
Parasitoid
Chelonus sp. dipasangkan selama 2 hari 2 malam dalam tabung. Tabung dilengkapi dengan kain katun berisi telur inang
P. operculella.
Telur inang yang telah diparasitasi dibungkuskan ke kentang segar.
Larva masuk ke dalam kentang kemudian berpupasi. Pupa terparasit
berwarna putih siap dikirim ke tempat lain yang jauh. Parasitoid yang
muncul dipasangkan di dalam tabung gelas untuk persiapan pelepasan di
daerah serangan
Batrachedra. Tabung berisi 5 ekor parasitoid
betina yang telah dipasangkan dibungkus dengan pelepah daun pisang
kemudian dilepas di atas pohon. Pelepasan dilakukan pada siang hari, 3
bulan sekali sebanyak 5 ekor/ha.
4. Parasitoid Leefmansia bicolor
Leefmansia merupakan salah satu parasitoid untuk hama
Sexava. Selama hidupnya,
Leefmansia berada dalam telur
Sexava.
Perkembangan parasitoid mulai telur diletakkan hingga menjadi imago
berlangsung selama 35 hari. Pembiakan parasitoid ini diawali dengan
pembiakan
Sexava.
Sexava dikoleksi dari lapang kemudian dipelihara dalam
kurungan kasa berukuran 75 X 50 X 50 cm sebanyak 50 ekor dengan
perbandingan betina dan jantan 4:1. Pakan yang digunakan berupa campuran
daun pisang dan daun kelapa. Kurungan berisi pasir untuk tempat
meletakkan telur. Telur
Sexava dimasukkan ke dalam tabung, 10
butir/tabung kemudian dimasukkan 15 ekor parasitoid dengan perbandingan
betina dan jatan 4:1. Sebagai pakan, diberikan larutan madu 10% pada
kapas. Telur
Sexava terparasit (2-3 hari kemudian), disimpan
dalam potongan bambu yang berisi pasir dengan cara dibenamkan dengan
posisi tegak pada permukaan pasir.
Pelepasan parasitoid berpedomankan sebagai berikut. Apabila populasi
Sexava
1-2 ekor/pelepah dan persentase parasitasi <20%, 20-40%, atau
>40%, telur terparasit yang dilepas, berturut-turut sebanyak 75, 50
dan 25 butir/ha. Cara pelepasannya dengan memasukkan 5-10 butir telur
Sexava terparasit ke dalam kotak gabus. Kotak digantungkan setinggi 50-75 cm pada tongkat kayu dan diletakkan pada tempat teduh.
Evaluasi dilakukan dengan mengambil 1 pohon contoh yang mewakili 1000
pohon. Pengamatan populasi nimfa dan imago dilakukan dengan cara
menurunkan satu pelepah daun kelapa yang masih utuh secara acak dari
pohon contoh. Pengamatan telur dilakukan pada permukaan tanah sampai
kedalaman 10-20 cm di sekitar batang kelapa dengan radius 50 cm dari
batang pohon contoh. Berdasarkan hasil pengamatan tingkat populasi
Sexava dan parasitasi
Leefmansia, maka dapat ditentukan perlu-tidaknya pelepasan parasitoid.
5. Predator Amblyseius deleoni
A. deleoni merupakan tungau predator penting yang memangsa tungau jingga,
B. phoenicis.
Ukuran tubuh tungau predator lebih besar daripada tungau jingga.
Tubuhnya berukuran panjang 390 µm dan berwarna bening transparan atau
tembus cahaya. Warna tabuh berubah menjadi jingga sesuai dengan warna
tungau yang dimangsanya. Bentuk tubuh agak rata, tetapi akan sedikit
kembung jika telah memangsa tungau hama. Pergerakannya lebih cepat
daripada tungau jingga. Tungkai depan lebih panjang daripada tungkai
depan dan berguna untuk menangkap mangsanya. Pada bagian kepaia terdapat
stylet yang berbentuk jarum dan berguna untuk menusuk bagian tubuh dan
mengisap cairan sel tubuh mangsanya. Telur tungau predator berbentuk
oval, berwarna putih atau transparan, dan ukurannya lebih besar daripada
telur mangsanya. Larva berwarna transparan dan kakinya tiga pasang.
Bentuk pronimfa, deutonimfa, dan imago hampir sama. Perbedaannya hanya
dalam ukuran; makin bertambah umur, makin besar tubuhnya. Jumlah kaki
stadia pronimfa, deutonimfa dan imago empat pasang. Siklus hidup
parasitoid ini 28-31 hari.
Pembiakan
A. deleoni diawali dengan penyiapan media biakan.
Spon dimasukkan ke dalam kotak plastik berisi air. Di atas spon
diletakkan plastik hitam kemudian ditekan agar air meresap ke dalam
spon.Lipatan tisu dicelupkan ke dalam air kemudian diletakkan di atas
plastik hitam hingga sisa tisu berkeliling dgn tidak putus-putus. Di
atas plastik hitam diberi sedikit kapas selanjutnya ditutup dengan cover
glass. Predator dikoleksi dari perdu teh yang terserang tungau jingga.
Predator sebanyak 5-10 ekor diambil dengan kuas kemudian dipindahkan ke
kultur biakan. Predator diberi pakan telur tungau jingga, telur tungau
Tetranichus urticae, atau polen tanaman teh. Telur tungau inang diperoleh dengan cara membiakkan
T. urticae
ke tanaman kacang merah berumur 2-3 minggu. Predator dilepas di lapang
sebanyak 20-30 ekor/perdu teh/aplikasi sebelum populasi tungau jingga
mencapai ambang kendali.
6. Predator Curinus coeruleus
C. coeruleus merupakan salah satu jenis kumbang predator penting untuk kutu putih atau kutu dompolan,
Planococcus citri pada tanaman kopi. Kumbang ini mudah dibiakkan dengan mangsa kutu loncat
Heteropsylla cubana Crawford (Homoptera, Psyllidae). Caranya, pertama-tama, tanaman lamtoro (
Leucaena glauca)
ditumbuhkan dalam pot plastik. Setelah lamtoro berumur lebih dari
sebulan, imago kutu loncat diinfestasikan ke tanaman kemudian tanaman
disungkup dengan kurungan. Setelah telur diproduksi, kumbang predator
dipasangkan ke dalam kurungan. Imago
C. coeruleus menyukai
telur, nimfa, dan imago kutu loncat, tetapi larvanya hanya menyukai
telur dan nimfa dan tidak menyukai imago kutu loncat.
7. Predator Chilocorus sp.
Chilocorus merupakan predator untuk kutu perisai,
Aspidiotus destructor
pada kelapa. Pembiakan predator dimulai dengan mengkoleksi kutu perisai
dari daun kelapa yang terserang kemudian dipelihara dengan pakan buah
waluh tua. Sebuah waluh diinfestasi dengan 40 ekor imago kutu. Infestasi
dilakukan dengan cara menempelkan potongan daun kelapa yang ada kutunya
ke waluh. Setelah populasi kutu cukup banpk, buah waluh dimasukkan ke
dalam kurungan kasa kemudian dilepaskan kumbang predator
Chilocorus. Daya mangsa kumbang ini 80-130 ekor kutu/hari.
8. Jamur Beauveria bassiana
Jamur ini bersifat patogen pada berbagai jenis serangga, antara lain ulat penggerek batang merah (
Zeuzera coffeae), kumbang penggerek batang kopi (
Lophoboris piperis), dan kumbang penggerek buah kopi (
Hypothenemus hampei).
B. bassiana
mempunyai hifa ramping, hialin, dan berukuran 1,5-2 µm. Konidium bersel
satu, hialin, berbentuk bulat sampai bulat telur. Konidiofor berbentuk
botol dengan bagian ujung yang ramping. Pada saat pembentukan konidium,
ujung konidiofor tetap tumbuh pada sisi yang berbeda sehingga berbentuk
zig-zag. Larva yang terinfeksi
B. bassiana ditandai oleh
munculnya hifa pada permukaan tubuh yang lunak atau pada antar segmen.
Pada tubuh larva yang telah mati menjadi mumi muncul miselium berupa
serbuk seperti kapur berwarna putih.
Selain pada serangga,
B. bassiana dapat diperbanyak pada
media buatan, baik yang berupa media padat maupun cair. Perbanyakan pada
media padat diiakukan sebagai berikut. Jagung giling dimasak dengan
perbandingan berat jagung dan air 1:1 sampai setengah matang dan air
tepat habis. Setelah dingin, jagung dimasukkan ke dalam kantong plastik
kemudian disterilisasikan ke dalam autoklaf pada suhu 12
0 C dan tekanan 1 atm selama 30 menit. Setelah dingin, media diinokulasi dengan biakan murni
B. bassiana.
Kantong diberi lobang aerasi berupa pipa dengan diameter 2 cm yang
berisi kapas. Media diinkubasikan pada suhu kamar dengan sinar difus
selama 10 hari atau sampai terjadi sporulasi penuh. Untuk persiapan
aplikasi, 1 kg biakan
B. bassiana diremas-remas kemudian
dicampurkan ke dalam 1 l air. Suspensi spora disaring dengan kain kasa
kemudian diencerkan menjadi 200-400 l air. Suspensi siap digunakan untuk
penyemprotan 1 ha tanaman.
Perbanyakan pada media cair dilakukan sebagai berikut. Media cair
dibuat menurut metode Samsinakova (1966) yang dimodifikasi dengan
komposisi: kentang 200 g, NaCl 0,5%, CaCO
3 0,2% dan Yeast
0,2% dalam 1 l air. Potongan kentang direbus dalam 700 ml air sampai
cairan agak kental kemudian disaring. Bahan-bahan lain dilarutkan dalam
250 ml air kemudian dimasukkan ke dalam larutan kentang. Larutan media
dimasukkan ke dalam fermentor dan disterilkan dalam autoklaf. Setelah
dingin, media diinokulasi dengan biakan murni
B. bassiana. Untuk persiapan aplikasi, biakan
B. Bassiana berumur
5 hari disaring dengan kain kasa kemudian diencerkan 5000 kali. 1 l
biakan murni dapat digunakan untuk penyemprotan 1 ha tanaman.
9. Jamur Spicaria javanica
S. javanica merupakan salah satu jamur patogen yang menginfeksi kepik pengisap pucuk daun teh dan buah kakao (
Helopeltis theivora dan
H. antonii), dan kumbang penggerek buah kopi (
Hypothenemus hampei). Gejala serangga terinfeksi jamur
S. javanica berupa tubuh kaku dan keras dan permukaan tubuhnya ditumbuhi jamur berwarna putih.
Jamur patogen ini diperbanyak dengan cara sebagai berikut. Serangga yang terinfeksi
S. javanica disterilkan dengan desinfektan kemudian dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam petridis yang berisi media PDA (
potato dextrose agar).
Koloni yang terbentuk dimurnikan dengan cara menumbuhkannya ke media
baru secara berulang. Jagung giling dimasak sampai setengah matang.
Setelah dingin, jagung dimasukkan ke dalam kantong plastik kemudian
disterilisasikan kedalam autoklaf. Setelah dingin, media diinokulasi
dengan biakan murni
S. javanica menggunakan jarum oce steril.
Kantong diberi lobang aerasi kemudian diinkubasi pada suhu kamar salama
seminggu sampai terjadi sporulasi penuh kemudian diremas-remas. Hasil
biakan ini digunakan sebagai starter. Perbanyakan massal
S. javanica
dilakukan dengan cara yang sama dengan perbanyakan untuk starter.
Bedanya, bahan inokulannya bukan biakan murni, tetapi starter dengan
perbandingan berat starter dan medium 1:25.
Untuk persiapan aplikasi, 200 g starter berumur 2 minggu dilarutkan
dalam 1 l air kemudian diremas-remas dan disaring. Larutan cendawan
ditambahkan air hingga menjadi 10 l. Larutan siap diaplikasikan dengan
dosis 2 kg/ha.
10. Jamur patogen Metarrhizium anisopliae
M. anisopliae merupakan salah satu jamur patogen yang menginfeksi kumbang nyiur,
Oryctes rhinoceros. Larva (lundi) yang terinfeksi
Metarrhizium
mula-mula tampak bintik coklat pada permukaan tubuh. Lima hari
kemudian, permukaan tubuh ditumbuhi oleh hifa berwarna putih,
selanjutnya berubah warna menjadi hijau olive.
Pembiakan
Oryctes dilakukan sebagai berikut. Larva instar
III sehat dikoleksi dari lapang kemudian dipelihara dengan media
campuran serbuk gergaji dan kotoran hewan yang sudah melapuk dengan
perbandingan 1:1. Media disterilisasi dengan cara dikukus selama 2 X 90
menit dengan interval 24 jam kemudian didinginkan. Media dibasahi dengan
air hingga lembab. Kumbang yang terjadi dipasangkan dengan perbandingan
betina dan jantan 4:1 dalam baskom yang berisi media dan diberi pakan
potongan tebu. Panen telur dilakukan setiap minggu. Telur ditetaskan
dalam baskom kecil berisi media. Telur disusun dalam kelompok kecil
kemudian ditutup dengan petridis. Setiap baskom berisi 50 butir telur.
Setelah menetas, larva dibiarkan selama 40 hari kemudian dipindahkan ke
wadah yang lebih besar.
Perbanyakan
Metarrhizium diawali dengan mengkoleksi larva
Oryctes yang mati terinfeksi
Metarrhizium.
Jamur pada larva mati terinfeksi dimurnikan dengan media PDA. Media PDA
dibuat dengan cara sebagai berikut. Kentang yang telah dikupas (200 g)
diiris-iris kemudian direbus dengan aquades sampai lunak, saring dan
ambil kaldunya. Agar (20 g) dan dextrose (20 g) dimasukkan ke dalam
kaldu kentang (tambahkan aquades bila kurang dari 1000 ml), masak dalam
penangas sampai hemogen. Larutan dimasukkan ke dalam petridis atau
tabung gelas. Petridis dibungkus dengan kertas payung, sedangkan tabung
gelas ditutup dengan kapas kemudian disterilkan dalam autoclave pada
suhu 120
0 C dan tekanan 15 lbs selama 30 menit. Biarkan agak
dingin (tetapi belum membeku) kemudian diangkat. Tabung gelas
dimiringkan untuk memperoleh agar miring.
Perbanyakan masal pada media jagung. Jagung pecah giling dimasak
sampai setengah matang kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer (1/3
nya), selanjutnya ditutup dengan kapas dan dilapisi dengan kertas timah.
Sterilkan dalam autoclave pada suhu 120
0 C dan tekanan 15 lbs selama 30 menit. Media jagung yang telah dingin digunakan untuk perbanyakan
Metarrhizium.
Spora jamur dari biakan murni (dalam petridis/tabung gelas) diencerkan
dengan aquades kemudian dituangkan beberapa tetes dengan pipet ke dalam
media jagung kemudian ditutup lagi dengan kapas dan dilapisi dengan
kertas timah. Media digojok secara hati-hati agar spora jamur merata.
Jamur mulai tumbuh pada hari ke 3 atau 4 dan akan penuh setelah 10 hari.
Inkubasi dilakukan pada suhu kamar. Bila jamur telah merata menutupi
permukaan media, maka dapat digunakan langsung atau sebagai sumber
inokulum baru. Jagung berjamur ditaburkan ke dalam media sterii dengan
perbandingan 1:20 dalam kotak isolasi. Seminggu kemudian, media
ditumbuhi jamur. Hasil ini dapat dikeringkan dan disimpan sebagai
bioinsektisida. Biakan jamur yang teiah tumbuh sempurna
dikering-anginkan selama 4 hari. Jamur kering dapat disimpan dalam
kantong plastik atau botol tertutup. Jamur ini dapat disimpan 1-2 tahun
dalam suhu kamar atau 2-3 tahun dalam refrigerator pada suhu 5-10
0 C.
Metode perbanyakan secara sederhana. Larva instar III sehat
dimasukkan ke dalam ember 20-30 l yang berisi media kira-kira
setengahnya dan ditutup. Setiap 1 media dapat menampung 3 ekor larva.
Sebanyak 2-3 ekor larva mati terinfeksi jamur dipotong-potong kemudian
dicampurkan ke dalam ember. Larva yang mati dikoleksi 2 kali seminggu.
Larva mati dimasukkan ke dalam kantong plastik dan siap disebar di
lapang. Sasaran jamur ini adalah larva dan pupa dalam sarang. Biakan
jamur pada media jagung dapat disebarkan dalam keadaan basah atau
kering. Inokulum dicampur dengan media serbuk gergaji sampai rata
kemudian taburkan di bawah permukaan (5 cm) sarang. Penaburan dilakukan 6
bulan sekali. Jumlah inokulum yang ditaburkan 20 g jamur kering per m
2
sarang. Apabila cuaca kering, perlu dilakukan penyiraman pada sore hari
setiap 3 hari sekali. Evaluasi dilakukan 1-2 bulan setelah penyebaran
pada daerah sasaran.
11. Perbanyakan Baculovirus oryctes
B. oryctes merupakan salah satu virus patogen yang menginfeksi kumbang nyiur,
Oryctes rhinoceros.
Larva yang terserang virus tubuhnya lemas, berwarna lebih transparan,
bila mati akan berwarna krem atau coklat muda, kadang-kadang pada anus
keluar usus. Larva yang telah mati berbau busuk. Larva yang baru mati
berwarna putih transparan merupakan bahan virus yang baik untuk
dibekukan.
Perbanyakan virus dimulai dengan pembiakan
Oryctes. Media
berupa serbuk gergaji halus dibasahi air secukupnya, selanjutnya diaduk
merata di dalam ember. Media disterilkan dengan cara dikukus selama 1
jam. Setelah dingin, media dimasukkan pada botol bening yang sudah
disterilkan dengan alkohol. Setiap botol diisi media setengahnya. Larva
instar III (mendekati prapupa) dikoleksi dari lapang kemudian dicuci
dengan air mengalir menggunakan ayakan. Larva dimasukkan ke dalam botol
yang berisi media. Kumbang yang muncul diberi pakan tebu.
Perbanyakan virus dengan larva. Seekor larva yang terinfeksi virus
dipotong-potong, dicampur dengan media kemudian dimasukkan ke dalam
botol yang berisi media dan dimasukkan pula 2 ekor larva sehat. Setelah
1-6 minggu larva terinfeksi. Larva mati disimpan dalam refrigerator.
Perbanyakan virus dengan kumbang. Kumbang mati terinfeksi virus
dibedah. Bagian ususnya berwarna putih, membengkak dan bila dipotong
akan mengeluakan cairan putih kental. Usus dari 4-5 ekor kumbang
dicampur dengan sedikit gula pasir lalu dihancurkan sampai lumat dan
ditambahkan 1 sendok aquades. Larutan ini cukup untuk menginfeksi 30
ekor kumbang sehat dengaa cara meneteskannya (2-3 tetes) ke mulut
kumbang. Stelah 2-3 minggu, kumbang siap dilepas di lapang.
Kumbang terinfeksi virus diletakkan pada pangkal pelepah muda atau
tempat terlindung pada sore hari. Jumlah kumbang yang dilepas sebanyak
10 ekor/ha. Evaluasi dilakukan 1 tahun setelah pelepasan dengan cara
mengkoleksi kumbang di lapang. Bangkai kumbang dipotong-potong kemudian
dicampur dengan media steril. Setelah itu, dimasukkan ke dalam botol
yang berisi 2 ekor larva sehat. Bila lundi mati, berarti pelepasan
berhasil.
Daerah sasaran virus adalah kumbang di pertanaman kelapa. Sebanyak 4
ekor larva mati ditambah 1 l air kemudian diblender. Campuran disaring
dan suspansinya digunakan untuk merendam kumbaag yang akan diiepas ke
pertanaman kelapa yang terserang. Sebanyak 1 l suspensi dapat digunakan
untuk merendam 100 ekor kumbang selama 5-7 menit. Kumbang dimasukkan ke
dalam botol dan dipuasakan sehari, kemudian dilepas. Sebelum dilepas,
kumbang dipelihara dulu selama 4 hari dan diberi pakan tebu. Kumbang
dilepas pada sore atau malam hari sebanyak 10-12 ekor/ha. Evaluasi
dilakukan 1-3 bulan setelah penyebaran.
KENDALA DAN PROSPEK PEMANFAATAN MUSUH ALAMI
Peranan Musuh Alami
Peranan musuh alami dalam mengatur populasi hama sering kurang
dimengerti secara baik oleh petani. Sebagai konsekuensinya, banyak
program pengelolaan hama tidak mempertimbangkannya sebagai sesuatu yang
penting. Akan tetapi setelah terjadi gejolak populasi hama akibat
gangguan terhadap musuh alami karena penggunaan pestisida yang tidak
bijaksana, barulah petani menyadari peranan musuh alami tersebut.
Apabila peranan musuh alami dimengerti secara baik, petani akan
melakukan usaha memanipulasi lingkungan dan memanfaatkan musuh alami
sedemikian rupa, sehingga musuh alami merupakan suutu komponen nyata
dalam strategi pengelolaan hama yang efektif dan praktis. Dalam
mengembangkan srtategi pengelolaan hama, satu unsur dasar yang harus
dipertimbangkan adalah pengenalan musuh alami yang ada di pertanaman dan
penentuan dampaknya dalam pengaturan populasi hama.
Kendala Pemanfaatan Musuh Alami
Pemanfaatan musuh alami dalam kaitannya dengan pengendalian hama
tanaman perkebunan dihadapkan kepada beberapa kendala, antara lain
kondisi agroekosistem dan kebergantungan kepada pestisida.
Kondisi Agroekosistem
Kondisi biotis dan abiotis ekosistem tananan perkebunan relatif
tetap, kecuali pada beberapa tanaman semusim misalnya kapas yang
ekosistemnya selalu berubah-ubah menurut pola tanam setempat. Kondisi
agroekosistem yang selalu berubah-ubah tersebut tidak menguntungkan bagi
musuh alami untuk menetap (
establish). Hanya beberapa jenis musuh alami yang memiliki inang pada komoditas berbeda yang mempunyai peluang lebih besar untuk menetap.
Kebergantungan terhadap Pestisida
Kecenderungan petani mengendalikan hama dengan menggunakan pestisida
secara berlebihah akan menurunkan populasi musuh alami, sehingga musuh
alami tidak mampu mengatur populasi hama. Kebergantungan petani terhadap
pestisida umumnya karena dibayangi oleh risiko kegagalan panen. Oleh
karena itu, untuk mangurangi kebergantungan petani terhadap pestisida,
teknologi pengelolaan ekosistem yang telah tersedia perlu diinformasikan
ke petani. Petani harus diberi penyuluhan tentang manfaat musuh alami
sebagai komponen pengendalian hama. Apabila ekosislem dapat terkelola
dengan baik, musuh alami diharapkan mampu mengendalikan dan mengatur
populasi hama pada tingkat yang tidak merugikan secara ekonomis.
Prospek Pemanfaatan Musuh Alami
Populasi musuh alami pada tanaman perkebunan bervariasi menurut
lokasi, waktu/musim, tipe lahan, dan teknik budidaya. Beberapa jenis di
antaranya dijumpai berlimpah, terutama pada daerah yang tidak pernah
atau jarang diaplikasikan pestisida. Dalam keadaan demikian, musuh alami
dapat berperanan cukup besar sebagai faktor pengendali populasi hama.
Beberapa jenis musuh alami telah diketahui potensinya, di antaranya
memiliki kemampuan mencari inang, memangsa, berkembang biak, dan
beradaptasi yang tinggi, sehingga mudah menetap/berkoloni, dan memiliki
inang yang spesifik untuk tingkat spesies atau genus. Apabila musuh
alami, baik yang bersifat indigenous maupun exotic apabila berhasil
dibiakkan/diperbanyak secara massal, maka potensi musuh alami tersebut
dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hama sasaran.
STRATEGI PEMANFAATAN MUSUH ALAMI
Ada empat strategi yang dikembangkan dalam pemanfaatan agens
pengendalian hayati, yakni: 1) manipulasi lingkungan, 2) konservasi, 3)
augmentasi, dan 4) introduksi agens pengendalian hayati.
Manipulasi Lingkungan
Sejumlah musuh alami indigenoas mungkin dapat ditingkatkan peranannya
dengan memanipulasi lingkungan. Usaha memanipulasi lingkungan mencakup
berbagai teknik antara lain menambahkan sejumlah individu hama sebagai
inang alternatif menggunakan senyawa penarik (
attractant) atau pakan tambahan dan memodifikasi teknik budidaya yang menguntungkan musuh alami.
Musuh alami, terutama parasitoid dan patogen, umumnya bersifat
spesifik terhadap jenis inang dan tahap perkembangan inang. Apabila
keberadaan musuh alami tidak sesuai dengan keberadaan inangnya, maka
musuh alami tersebut tidak dapat bertahan hidup. Terjadinya eksplosi
suatu jenis hama mungkin disebabkan oleh ketidaksesuaian antara musuh
alami dan inangnya pada kondisi lingkungan tertentu. Oleh karena itu,
tersedianya inang alternatif dan pakan inang lainnya, misalnya nektar,
tepungsari, dan embun madu sangat menentukan kehidupan musuh alami.
Tumbuhan liar di luar pertanaman perlu dikelola sebaik-baiknya, selain
untuk tempat berlindung, juga tempat hidup inang alternatif, dan sumber
pakan musuh alami. Lebih lanjut, jumlah musuh alami di lapang dapat
ditingkatkan dengan melepas serangga yang dipelihara di laboratorium.
Usaha tersebut dapat membuktikan bahwa pengendalian hayati memberikan
keuntungan karena murah, tahan lama dan menjamin keberhasilan
pengendalian hama.
Kegiatan modifikasi teknik budidaya dilakukan, antara lain dengan mengefisiensikan
penggunaan pupuk nitrogen, tidak menggunakan varietas rentan, dan
mengurangi atau bahkan tidak menggunakan pestisida. Demikian juga usaha
tumpangsari tanaman dapat membuat kondisi lingkungan yang menguntungkan
bagi musuh alami. Hal tersebut telah dibuktikan oleh beberapa peneliti
bahwa tumpangsari tanaman antara kapas dan kacang-kacangan dapat
meningkatkan kepadatan populasi predator (coccinellids dan syrphids)
secara bertahap hingga tanaman relatif terhindar dari serangan hama.
Konservasi Musuh Alami
Konservasi musuh alami dapat dilakukan melalui pengembangan teknik
pengelolaan ekosistem yang tidak berdampak negatif terhadap musuh alami.
Hal ini berkaitan erat dengan sistem PHT yang merupakan penjabaran dari
strategi pembangunan berwawasan lingkungan.
Berbagai hasil penelitian konservasi musuh alami umumnya menunjukkan
pentingnya arti pengelolaan pestisida dalam pengendalian hama. Apabila
aplikasinya tidak bijaksana, terutama pestisida yang berspekrum lebar,
tingkat populasi musuh alami akan menurun, sehingga tidak dapat berperan
sebagai pengatur populasi hama. Sebagai contoh, praktek pengelolaan
dengan fungisida berpengaruh negatif terhadap keefekifan jamur patogen
serangga, sehingga penggunaannya dapat mencegah atau melambatkan
terjadinya opizootik. Oleh karena itu, kalau pun diperlukan, aplikasi
pestisida hendaklah berpedoman kepada data pemantauan dan analisis
ekosistem dengan catatan populasi hama telah mencapai ambang ekonomi dan
populasi musuh alami sangat rendah atau tidak mampu
menurunkan/mempertahankan populasi hama di bawah ambang ekonomi. Selain
itu, jenis pestisida dan waktu aplikasinya harus dipilih secara tepat
agar pengaruh yang merugikan dari pestisida dapat dibatasi.
Augmentasi Musuh Alami
Augmentasi atau penglepasan musuh alami dapat dilakukan sekaligus dalam waktu tertentu untuk segera mengendalikan hama sasaran (
innoculation) dan dapat pula secara bertahap agar musuh alami dapat berkembang biak yang kemudian mampu mengendalikan hama sasaran (
innundation).
Kegiatan augmentasi musuh alami pada pertanaman perkebunan relatif
berhasil bila dibandingkan dengan tanaman semusim karena tidak
terbatasnya perkembangan populasi dan permanennya musuh alami di
ekosistem perkebunan. Kalaupun kurang berhasil, hal tersebut mungkin
terkait erat dengan masih terbatasnya pengetahuan biologi, teknik
pembiakan massal, fasilitas produksi, dan sistem penglepasan musuh
alami. Dengan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang menangani
musuh alami, permasalahan tersebut dapat diatasi.
Beberapa jenis musuh alami baru yang telah berhasil dibiakkan dan
diaugmentasikan di balai penelitian dan perguruan tinggi perlu diadopsi
teknologinya di Laboratorium Lapang. Jenis musuh alami tersebut, antara
lain: a) predator
A. deleoni untuk tungau jingga,
B. phoenicis pada teh, dan (b) predator
C. coeruleus untuk kutu lancat,
H. cubana, tetapi mungkin dapat pula untuk kutu dompolan kopi,
P. citri.
Demikian juga, beberapa jenis musuh alami yang telah berhasil dibiakkan
dan diaugmentasikan di suatu Laboratorium Lapang perlu ditingkatkan
kualitasrya dan diadopsikan teknologinya di Laboratorim Lapang lainnya.
Musuh alami tersebut, terutama patogen, mungkin dapat digunakan untuk
mengendalikan hama lainnya. Beberapa jenis musuh alami tersebut, antara
lain: a) parasitoid
C. stephanoderis untuk kumbang penggerek buah kopi,
H. hampei, (b) jamur
B. bassiana untuk ulat penggerek batang merah,
Zeuzera spp., kumbang penggerek batang kopi,
L. piperis, dan kumbang penggerek buah kopi,
H. hampei, (c) jamur
S. javaxica untuk pengisap pucuk daun teh,
Helopeltis spp., dan kumbang penggerek buah kopi,
H. hampei.
Introduksi Musuh Alami
Pengendalian hayati melalui introduksi dan kolonisasi musuh alami
merupakan pengendalian hayati klasik. Suatu jenis musuh alami
diintroduksikan dari suatu daerah atau negara asal ke daerah atau negara
lain dengan harapan dapat menetap dan menyelenggarakan pengendalian
hama sasaran dalam jangka panjang. Strategi pengendalian hayati ini
telah berkali-kali diterapkan di tanaman perkebunan.
Sebagai contoh, pada bulan Agustus 1986 telah diintroduksikan ke Indonesia, predator
C. coeruleus dari Hawaii untuk mengendalikan kutu loncat,
H. cubana
pada tanaman lamtoro yang merupakan tanaman pelindung tanaman kopi, di
samping fungsinya sebagai pakan ternak dan tanaman penghijauan. Kumbang
predator tersebut berhasil dibiakkan di laboratorium dan mampu menetap.
Diharapkan, kumbang predator ini dapat dimanfaatkan untuk mengendaiikan
kutu dompolan kopi,
P. citri. Pada tahun 1989, parasitoid
Cephalonomia stephanoderis
juga diintroduksikan ke Indonesia dari Tongo dan Kenya. Parasitoid ini
berhasil dikembang-biakkan di beberapa daerah penghasil kopi di Lampung
dan Jatim untuk mengendalikan kumbang penggerek buah kopi,
H. hampei.
Introduksi musuh alami tidak selalu berhasil. Sebagai contoh, parasitoid
Heterospilus coffeicola Schm. (Hymenoptera, Braconidae) yang diintroduksikan dari Afrika dan parasitoid
Prorops nasuta Wat.
(Hymenoptera, Bethylidae) yang diintroduksikan dua kali dari Uganda
pada 1923 dan 1989. Kegagalan tersebut karena tidak mampu menetap.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Ekosistem perkebunan yang pada *mumnya relatif stabil merupakan
faktor menguntungkan bagi pemanfaatan musuh alami. Kestabilan ekosistem
ini selayaknya dipertahankan melalui pengeloaan yang bijaksana.
2. Musuh alami berperanan penting dalam ekosistem perkebunan karena
dapat mengendalikan dan mengatur populasi hama. Keberadaannya dalam
ekasistem perlu dilestarikan melalui usaha konservasi dan peningkatan
efektivitas musuh alami.
3. Beberapa jenis musuh alami telah berhasil diidentifikasi dan
diproduksi secara massal di banyak laboratorium lingkup Direktorat
Jendral Tanaman Perkebunan. Metode produksi yang efisien dan kualitasnya
perlu ditingkatkan, teknologi pemanfaatannya perlu disebarluaskan ke
petani, dan sumberdaya manusia yang menanganinya perlu ditingkatkan.
4. Beberapa jenis musuh alami baru yang potensial dan terbukti efektif perlu ditentukan prioritas pengembangannya.