Contents
Pendahuluan
|
3
|
Bab Satu
|
8
|
Revolusi Hijau
|
8
|
Benih ‘Ajaib’?
|
8
|
Peningkatan
produksi?
|
12
|
Bantuan
|
14
|
Bab Dua
|
17
|
Kearifan gulma:
Memulihkan budidaya lokal
|
17
|
Bab Tiga
|
35
|
Tantangan untuk
Transformasi Sosial
|
35
|
Pembahawan
Agraria
|
36
|
Kebijakan harga
dan pemasaran produk petani
|
41
|
Pertanggungjawaban
atas Kerusakan Lingkungan Pertanian
|
46
|
Ketimpangan
Gender
|
47
|
Globalisasi
|
49
|
Bioteknologi
|
50
|
Kesimpulan
|
54
|
Ilmu Hidup
|
54
|
Lampiran
|
56
|
Jaringan Gerakan Pertani Ekologis, Jawa
|
57
|
58 Tahun – dijajah Bangsa Sendiri
|
60
|
Daftar Pustaka
|
61
|
Halaman Pengesahan
|
63
|
Pendahuluan
Pertanian
organik sebagai strategi hidup dan perjuangan
Pagi-pagi, pukul 8.00. Matahari pagi sudah
mulai menghangati lahan Bu Napsiyah yang ditanami dengan campuran sayuran yang
beragam – petak-petak kecil sawi, kangkung, kailan, lombok, tomat, daun bawang,
jagung manis, bok choi, bayam merah, bayam hijau. Lepas dari alas kakinya, saya
datang untuk bertanya, untuk belajar mengenai pertanian organik sebagai
strategi hidup dan perlawanan. Dua, tiga kali seminggu, lahan Bu Napsiyah di
desa Pulungan, Tumpang, Malang,
menjadi ruang kuliah saya. Bu Napsiyah menjadi guru saya yang luar biasa.
Keahlian Bu Napsiyah jauh melebihi batasan lahannya untuk meliputi ekosistem
sekitarnya sebagai keseluruhan. Kearifannya atas ekologi lokal, atas
tumbuhan-tumbuhan liar, atas keanekaragaman hayati sangat mengagumkan, luar
biasa dalam luasnya. Berkali-kali saya akan bertanya, buat apa tumbuhan ini? Cara pembenihan, penanaman bagaimana? Dengan
sabar, dia akan membagi pengalaman, pengetahuannya… daun ini bisa dipakai sebagai pestisida… gulma ini, buat sayur bisa…
ini juga, semua bisa dimakan! Kulitnya pohon ini, direbus, diminum buat jamu…
dan kalau daun ini, akan mempersubur lahannya, pupuk hijau ini… ini, mau nanam ini,
batangnya ditanam akan tumbuh. Namun, kearifan lokal, kearifan pembenihan,
penanaman, pengendalian hama
secara ekologis, seimbang dengan siklus regenerasi dan pembaruan, telah
ditinggalkan oleh masyarakat petani. Petani
nga lagi tahu daun buat pestisida, buat pupuk hijau.
Bertahun-tahun, secara perlahan-lahan,
kearifan berbudidaya telah direbut dari tangan petani. Secara sistemik, proyek
kolonialisasi besar-besaran, yakni Revolusi Hijau, program intensifikasi dan
modernisasi dalam corak produksi pertanian, memusnahkan kemandirian petani Indonesia.
Atas nama pertumbuhan produksi, ketahanan pangan dan swasembada beras, petani
dipaksakan untuk memakai benih hibrida, dan pupuk kimia, pestisida dan
herbisida buatan pabrik. Pengetahuan lokal atas cara-cara memproduksi pupuk
sendiri dari bahan asli setempatnya; mengendalikan hama
secara alami, yakni dengan memelihara keseimbangan antara musuh dan hama; bahkan memuliakan
benih sendiri, tersingkirkan. Secara sengaja, kearifan ini dihancurkan oleh
teknologi revolusi hijau. Sudah lama petani hanya menjadi ‘tukang tani’ di
lahannya sendiri. Tukang menyemprotkan pestisida Phonska, tukang menaburkan pupuk urea dan TSP, tukang menanam benih
hibrida jagung yang dikeluarkan dari laboratorium Monsanto. Segalanya harus dibeli, segalanya harus didapatkan dari
luar ekosistem petani (dan sekarang bahkan sumber air terancam akan
diswastakan). Lagi pula, perdagangan segala input-input pertanian ini dikuasai
oleh perusahaan-perusahaan raksasa seperti Monsanto,
Cargill dan sebagainya.[1]
Rakyat petani semakin jauh dari pengetahuan tata-cara bertaninya. Dalam kata
Danarti Wulandari dan Toto Rahardjo, asisten tim penelitian REaD, yang telah
melakukan studi untuk mengidentifikasikan isu-isu dari pelaksanaan program PHT
(Pengendalian Hama Terpadu), petani terjebak
pada situasi penuk ketergantungan, dan dengan mudah dipermainkan oleh
tangan-tangan dalang yang mengontrol input-input pertanian dari balik meja
perusahaan (2003:143). Lebih singkat, ujar Drs. Andrianto, pelaku
pendamping petani di Bantul, Klaten dan Boyolali, profesi paling tua di negeri ini menjadi terpinggirkan (dlm
Sunanto, 2001).
Mulai pada tahun 1967/68, proyek Revolusi
Hijau menjadikan bertani sekedar proses memproduksi komoditas, proses
menghasilkan barang. Seiring dengan pergantian kekuasaan politik di Indonesia,
dari Orde Lama ke Orde Baru, adalah rusaknya nilai-nilai yang berlandaskan pada
kepercayaan terhadap kemulian alam dan penciptanya. Dinyatakan Sabastian
Saragih, aktivis dari Yogyakarta LSM SPTN-HPS, Revolusi Hijau mengakibatkan
hubungan manusia dengan alam maupun dengan sesama manusia lebih berkembang ke
arah eksploitatif (2003:vi). Bertani, berbudidaya sebagai ritual kehidupan
untuk berkreasi dan berkarya disingkirkan, digantikan dengan nilai-nilai pasar
dan kapitalisme.
Selama ribuan tahun, tanah di Indonesia telah ditanami dengan menggunakan
teknologi budidaya ekologis (namun demikian, sejarah politik represif di Indonesia
yang mendahului rejim Orde Baru harus diakui. Sejarah feodalisme dan
kolonialisme sangat membatasi kebebasan masyarakat petani). Pertanian ekologis
didasarkan pada prinsip-prinsip keberlanjutan, yakni keanekaragaman varietas,
kekhasan ekologi lokal dan keseimbangan ekosistem. Vandana Shiva, ahli fisika,
filsuf dan feminis, menunjukkan bahwa pada
tingkat bumi, keanekaragaman menyiratkan koeksistensi dan saling ketergantungan
antara pohon, tanaman pertanian, manusia dan ternak, yang memelihara siklus
kesuburan melalui aliran biomassa (2001:130). Bertani seimbang dengan
hama/predator, siklus air, siklus hara, kesuburan tanah, seimbang dengan siklus
pembenihan, penanaman, pemanenan, bukan sekedar memelihara pembaruan ekosistem,
tetapi lebih dari itu, mempertahankan pembaruan kehidupan, yakni kemandirian
masyarakat petani. Setiap musim tanam, sebagian dari benih yang dipanen musim
sebelumnya ditanamkan kembali oleh petani. Di ladangnya ada keseimbangan alami
antara serangga predator dan hama.
Dan kesuburan lahannya diperkaya dengan pemasukan pupuk kandang, daun-daunan,
sisa panen – segalanya yang didapatkan dari lingkungan sekitarnya. Dengan
demikian ada lingkaran yang lengkap, ada siklus regenerasi yang berkelanjutan.
Sumber daya alam dilestarikan bagi generasi berikutnya sementara kemandirian
masyarakat lokal diseleraskan.
Sebaliknya, corak pertanian yang
diselenggarakan melalui Revolusi Hijau menggantikan siklus regenerasi dengan
arus linear. Vandana Shiva menyatakan, strategi
pemulian tanaman yaitu memelihara keanekaragaman genetik dan mengembangkan
kemampuan tanaman untuk memperbarui diri sendiri digantikan dengan strategi
baru yang didasarkan atas keseragaman dan ketidakberlanjutan (2001:135).
Dalam kata lain, dengan menggunakan teknologi buatan pabrik dan laboratorium –
pupuk kimia, insektisida, pestisida, herbisida, benih ‘unggul’ – alam akan digantikan
dengan lebih baik, dan dengan demikian akan menjadi sarana untuk menghasilkan
pertumbuhan yang tidak dihalangi olek keterbatasan kemampuan alam.
Selama masa Orde Baru yang panjang, rakyat
pedesaan disuluh (lewat program PPL, Petugas Penyuluh Lapang),[2]
diinstruksi, dan dipaksa untuk mengadopsi teknologi input-input pertanian
tersebut, baik melalui propaganda halus dan janji-janji manis mengenai
produktivitas dan pendatangan, maupun dengan cara-cara paksa yang melibatkan
kekuatan militer. Ujar Wulandari dan Rahardjo, bujukan dan paksaan telah menginternalisasi nilai-nilai baru pada
petani, menggusur kejernihan, kearifan, kepemilikan, dan kedaulatan petani atas
diri sendiri serta alat produksinya (2003:145). Ibu Napsiyah mengingat kembali penyelenggaran program
intensifikasi pertanian di Pulungan, PPL
akan datang ke desa… melalui kelompok tani, ngumpulkan di gubug… disuruh pupuk
sekian, pestisida sekian. Sampai sekarang, pestisida, pupuk baru tetap
dipromosikan… dikasih kaos… iya lahannya tandus, uang petani habis dimakan
pabrik, tapi tetap ada kaos pupuk Phonska! (30 April 2004).
Revolusi Hijau dicanangkan di Indonesia
sebagai sarana yang akan meningkatkan produksi pangan, khusunya produksi beras,
secara luar biasa. Dengan demikian, ada asumsi bahwa kelimpahan produksi akan
meningkatkan kesejahteraan rakyat petani. Namun, pengalaman pahit kalangan
petani akibat Revolusi Hijau membuktikan propagandanya pada dasarnya keliru.
Dalam Bab Satu saya mempersoalkan
asumsi-asumsi yang melandaskan penyelenggaraan proyek intensifikasi pertanian,
yakni mengenai benih ‘ajaib’, peningkatan produksi dan ‘bantuan’ dari hibah
internasional. Padi ‘unggul’, atau High
Yielding Varieties (HYVs), dipromosikan sebagai benih ‘ajaib’ – pendek
umur, tinggi hasilnya dan tahan penyakit. Namun, yang disaksikan petani ialah
benih ‘unggul’ yang sama sekali tidak unggul. Padahal, benih hibrida yang
dikeluarkan dari laboratorium pusat riset dan industri ialah benih mandul, yang
tidak bisa ditanam kembali. Yang diselenggarakan oleh agen agri-bisnis dan
penyuluh petani ialah benih yang haus pupuk buatan, pestisida, air, dan asupan
luar. Benih ‘ajaib’ ini melahirkan ketergantungan dan kerentanan baru. Penyuluh
pertanian memperkenalkan petani kepada teknologi revolusi hijau atas asumsi bahwa
teknologi tersebut ini akan meningkatkan produksi, dengan demikian akan
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran petani. Asumsi ini juga dibuktikan
salah. Dari perspektif kesejahteraan petani, peningkatan produksi menjadi tidak
berarti ketika degradasi ekosistem pertanian, perluasan ketimpangan kelas
masyarakat desa, ketika peningkatan ketergantungan dan kerentanan
diperhitungkan. Selanjutnya, peningkatan produksi menjadi tidak berarti ketika
penjajahan baru dalam bentuk ‘bantuan’ dari pinjaman dan hibah internasional
diperhitungkan.
Sebagai bentuk perlawanan terhadap proses
pembodohan sistemik yang telah menghancurkan teknologi dan pengetahuan
masyarakat lokal, dalam Bab Dua saya mengumpulkan sebagian dari kearifan dan
keahlian Bu Napsiyah, beserta petani organik dari Jawa Timur dan Jawa Tengah
(termasuk juga resep-resep masak dari teman saya, serta ramuan pewarnaan alami
yang saya sempat belajar dengan guru batik saya, Mas Sigit dari Tulung Agung).[3]
Dengan mempertahankan ilmu hidup tersebut
ini, Bu Napsiyah bertekad untuk menemukan jalan keluar dari kecanduan,
kerentanan dan keracunan yang diakibatkan oleh Revolusi Hijau.
Akhirnya, dalam Bab Tiga saya menguraikan
enam tantangan yang perlu diperjuangkan oleh gerakan pertanian organik, yakni
pembaharuan agraria; kebijakan harga dan pemasaran produk petani;
pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan pertanian; ketimpangan gender;
globalisasi; dan bioteknologi. Dengan ikut berjuang dalam menuntut hak petani
untuk menentukan nasib mereka sendiri, pertanian organik menjadi sebuah alat
transformasi sosial yang terarah, kuat dan cerdas.
Bab
Satu
Revolusi
Hijau: kecanduan, kerentanan dan keracunan
Petani terperangkap
pabrik… terjebur, telanjur pada kimia (Bu Napsiyah, 2004).
Di Indonesia, khususnya di Jawa, Revolusi
Hijau dipromosikan sebagai strategi yang akan menghasilkan kelimpahan produksi
dalam masyarakat pertanian. Dengan meningkatkan produksi beras secara luar
biasa, ada asumsi akan meningkatkan juga kesejahteraan kelas petani. Namun,
yang disaksikan rakyat petani sebagai akibat proyek intensifikasi dan
modernisasi dalam bidang pertanian ialah bukan kelimpahan, tetapi kelangkaan
baru pada tingkat ekosistem pertanian dan masyarakat desa. Teknologi revolusi
hijau membutuhkan investasi besar dalam pupuk, pestisida, benih hibrida, air,
serta energi. Tiga dekade kemudian, petani kecil Indonesia terperangkap pada siklus
ketergantungan dan kemiskinan, terjerat pada hutang dan terpinggirkan oleh
mekanisme pasar. Asupan pertanian – pupuk, benih, pestisida – yang pada masa
lalu dikuasai petani sendiri, sekarang petani terpaksa terus-menerus
membelinya. Sebagai akibat dari pemakaian bahan kimia yang sistemik dan lama
ialah lahannya semakin tandus, maka setiap musim tanam memerlukan input asupun
luar semakin banyak. Lama-lama tinggal
kimia toh! (Bu Napsiyah, 2004). Memang masyarakat petani telah menyaksikan
kenyataan pahit yang sangat beda dari yang dijanjikan oleh penyuluh pertanian
dan perangkat negara.
Benih ‘ajaib’?
Salah satu kekhianatan yang paling
merugikan pada masyarakat petani ialah propaganda mengenai pemulihan benih padi
‘unggul’. Secara sistemik, ribuan benih lokal dirampaskan dari lahan pertanian,
dari tangan petani Indonesia,
dan berpindah ke IRRI (Internasional Rice Research Institute) di Filipina. Ironisnya
perampasan besar-besaran ini difasilitasi, tidak hanya oleh para perusahaan dan
bisnis, tetapi juga oleh para akademisi pribumi, intelektual bidang pertanian
dan perangkat-perangkat negara, yang
menghamba pada kegemilangan industri, modernisasi dan keuntungan dari
perusahaan-perusahaan raksasa multinasional (Wulandari et al, 2003:143).
Dalam waktu yang luar biasa singkatnya, padi lokal dimusnahkan oleh varietas
baru, varietas ‘unggul’ yang dikeluarkan laboratorium IRRI[4].
Tuturkan Bu Napsiyah, aku ingat, pada
waktu melahirkan anak, waktu itu mengelolah tanah ayah… tahun 75 akhir. Ada PPL
datang, informasikan benih, pupuk… disuruh ganti semua. Tahun 76, jenis lama
itu, padi jawa, sudah habis. Sampai sekarang nga pernah ketemu lagi padi ini (4
Mei 2004).
‘Kultivar primitif’, yakni induk padi yang
dikembangkan dan dilestarikan oleh petani, lalu dikembangkan dalam laboratorium
IRRI serta pusat-pusat riset industri, dikeluarkan sebagai komoditi. Varietas
seragam ini, yang dimodifikasi oleh industri atas plasma nutfah dari lahan
petani, disebut ‘unggul’ atau ‘elit’. Memang, penggunaan bahasa menyiratkan
hirarki yang sangat jelas. Propaganda padi ‘unggul’ atau HYVs (high yielding varieties, di Indonesia
lalu diberi sebutan VUTW, varietas unggul tahan wereng) – pendek umur, tinggi
hasilnya dan tahan penyakit – juga sangat meyakinkan. Akan tetapi, jauh dari
yang dijanjikan, yang disaksikan oleh petani ialah benih ‘unggul’ yang sama
sekali tidak unggul. Pengalaman pahit Mbah Suko, salah seorang buruh tani di
desa Mangunsari, Sawangan, Magelang, telah dialami jutaan petani seluruh
kepuluhan Indonesia.
Menurut informasi PPL (Petugas Penyuluh Lapang) yang datang ke dusun Sabrang,
kalau petani menggunakan bibit padi jenis ‘unggul’ baru keluaran pemerintah
beserta paket pupuk kimia dan pestisida, maka petani akan lebih cepat panen dan
hasilnya lebih banyak. Dalam kenyataan, tutur Mbah Suko,
Setelah sekian lama memakai zat-zat kimia lahan
pertanian menjadi keras dan bantat. Hal ini jelas sangat mempengaruhi tingkat
kesuburan padi yang saya tanam. Bulir-bulir benih buatan pabrik hasilnya memang
lebih banyak, tapi saya tidak bisa membenihkannya kembali. Saya pernah mencoba
menyisakan bulir-bulir yang bernas untuk ditanam kembali, tapi setelah dua-tiga
kali tanam yang muncul adalah tanaman padi yang tidak karuan jenisnya. Ada yang
panjang dan pendek, ada yang cepat menguning dan ada yang mati saat masih
hijau. Waktu panen padi pun menjadi tidak serempak, dan saat itu jutaan hama menyerang lahan. Saya
kira varietas aslinya mulai muncul ketika saya berkali-kali membenihkan dan
menanamnya. Karena itu pada musim tanam selanjutnya saya terpaksa kembali
membeli benih di KUD atau toko-toko pertanian, disertai paket kimia lainnya.
Dan kami harus melakukannya pada musim berikutnya, dan berikutnya lagi… (2001:208).
Pengalaman Bu
Napsiyah bertepatan dengan Mbah Suko, buat
benih, padi IR 64 cuma tiga empat kali nanam, tumbuhan nga bagus lagi… harus
beli lagi. Benih yang mampu memperbarui diri sendiri, benih ‘primitif’,
digantikan dengan benih mandul. Apakah mungkin benih ini bisa disebut ‘unggul’?
Logik reproduksi dan regenerasi digantikan dengan logik produksi dan keuntungan
(namun yang beruntung tentu bukan petani).
Lagi pula, istilah
varietas HYVs dibuat mengelirukan, karena menyiratkan bahwa setiap benih secara
inheren menghasilkan panenan tinggi. Ingrid Palmer, salah seorang ekonom yang
pada awal tahun 1970-an pernah melakukan penelitian lapangan di Indonesia,
menyarankan bahwa penggunaan istilah ‘varietas dengan responsi yang tinggi’ lebih
tepat. Bukan HYVs, bukan ‘yielding’ yang
tinggi, tetapi ‘absorbing’nya yang
tinggi, HAVs (high absorbing varieties).
Yang lebih tinggi ialah tingkat penyedotan atas pupuk buatan, pestisida dan
air. Tanpa tambahan input tersebut ini, hasilnya benih ‘unggul’ dapat lebih
buruk dibandingkan dengan varietas lokal (dlm Wahono, 2001:xiv). Benih padi
yang dikeluarkan dari laboratorium industri (sama dengan benih jagung, kedelai,
tomat, lombok, ketimun yang sudah termasuk hibrida), jelas bukan benih ‘unggul’
tetapi benih yang haus pupuk kimia dan asupan lain yang harus terus-menerus
dibeli.
Selanjutnya, dari
tahun ke tahun, dibandingkan dengan nilai tukar hasil pertanian, harga
input-input pertanian terus-menerus naik. Sabastian Saragih membuktikan bahwa
petani terperangkap ke dalam teknologi yang tidak mampu dia ciptakan. Petani
dijadikan pemakai (‘tukang’) asupan luar, sedangkan nilai tukar dari apa yang
diproduksi terhadap teknologi yang dipakai turun terus. Perbandingan harga
pupuk, pestisida, bibit hibrida dan sebagainya dengan produk pertanian,
misalnya beras atau jagung, sangat tidak seimbang. Kalau dulu harga 1kg beras
sama dengan 5kg urea, maka sekarang harga 1kg beras sama dengan 1kg urea
(2003:vii). Petani semakin dirugikan.[5]
Tutur Pak Saroso,
petani dari dukuh Gunung Timur, kecamatan Simo, Jawa Tengah, untuk lahan
luasnya 1500m², satu kwintal (100kg) dibutuhkan, dengan harganya Rp140.000.
Selama satu musim tanam pupuk urea ini diaplikasi dua kali. Berarti, dalam
kalkulasi biaya produksi, kalau lahan luasnya satu hektar, lebih dari satu ton
pupuk kimia dipakai setiap musim tanam (sekali, sekitar 670kg, jadi per musim
tanam sekitar 1.300kg per hektar) dengan biayanya hampir dua juta rupiah
(kira-kira Rp1.900.000). Padahal, pada tahun 1970an hanya setengah kwintal
pupuk dibutuhkan satu hektar, jadi per musim tanam, kalau diaplikasi dua kali
dibutuhkan satu kwintal. Untuk menghasilkan yang sama, sejak waktu itu,
kebutuhan pupuk naik pergandaan lebih dari tigabelas! (ujar Pak Umar, PPL dari
Pasuruan, Jawa Timur). Mengingat bahwa hasil beras dipanen dari satu hektar
dijual untuk enam sampai dengan tujuh juta rupiah, biaya pupuk buatan merupakan
persentase biaya produksi yang luar biasa tingginya (belum lagi menghitung
biaya ekologis). Dan pada tahun berikutnya, Pak Saroso menuturkan, untuk
mendapat hasil yang sama, pupuk harus ditambah lagi, dan pasti harganya akan
naik. Belum diperhitungkan biaya benih, pestisida dan asupan lain, biaya
menanam, membajak, menyiangi, sewa lahan, belum lagi tenaga petani. Perbandingan
biaya produksi dengan pendatangan petani sangat tidak seimbang.
Peningkatan
produksi?
Pengalaman
petani-petani seperti Pak Saroso membuktikan bahwa Revolusi Hijau didasarkan
atas asumsi yang pada dasasnya salah.[6]
Teknologi intensifikasi pertanian diperkenalkan kepada petani atas janji-janji
penyuluh pertanian, peneliti dan perguruan tinggi, yakni teknologi ini akan
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat petani. Asumsi yang dipakai,
seiring dengan peningkatan produksi maka akan terjadi peningkatan pendapatan,
yang kemudian akan mengakibatkan peningkatan kesejahteraan (Saragih, 2003:vii).
Pak Saroso telah menyaksikan bahwa janji-janji ini padahal sangat mengelirukan.
Dalam kata-kata Vandana Shiva, peningkatan
hasil panen menjadi tidak berarti ketika peningkatan eksternal input (yang
dibutuhkan corak pertanian kimia) dihitung
(2001:136). Lebih jauh lagi, peningkatan hasil panen menjadi tidak berarti
ketika kerugian lingkungan hidup dihitung. Ketika perusakan kesuburan tanah
dihitung - pemiskinan nutrisi mikro untuk tumbuh-tumbuhan; pengasaman dan
kelangkaan air; pengurangan biomassa untuk makanan ternak dan pupuk organik;
ketidakseimbangan nutrisi tanah akibat menurunnya tanam-tanaman penyubur
seperti kacang-kacangan, biji-bijian berminyak, dan polong-polongan. Ketika
pencemaran pestisida pada makanan, air, tanah, manusia dan hewan dihitung.
Tutur Mbah Suko, akibat keracunan pestisda,
...semua serangga mati saat itu juga. Tidak hanya hama,
tapi juga kupu-kupu, capung, laba-laba, kepiting, ikan-ikan, kodok, musnah
beserta telur-telurnya. Suara burung pun mulai jarang terdengar, hanya
sekali-sekali mereka berkicau di pohon tinggi jauh di ladang-ladang… (2001:209).
Ketika erosi
keanekaragaman, sumber daya genetik, dihitung. Sempitnya basis genetika dari
varietas Revolusi Hijau meningkatkan kerentanan terhadap hama dan penyakit. Lagi pula, penanaman
monokultur, yakni jenis yang sama dalam areal yang sangat luas bertahun-tahun,
akan dengan muda diserang hama
(Shiva, 2001:136). Ketika degradasi ekosistem pertanian, akibat perlakuan
kimiawi yang lama dan sistemik, diperhitungkan, peningkatan produksi, dari
perspektif kesejahteraan dan kelangsungan hidup rakyat petani, menjadi tidak
berarti. Siapa mampu bertahan mencangkul
lahan tandus dengan hasil yang semakin tak mampu mencukupi makan sehari-hari? (Wulandari
et al, 2003:143).
Namun, ketika ukuran yang dipakai untuk mengukur
keberhasilan pertanian berubah dari kecukupan pangan dan kesejahteraan petani
menjadi besarnya produksi, proyek Revolusi berhasil (Saragih, 2003:vii).
Dari segi produksi, program intensifikasi pangan di Indonesia menunjukkan hasil yang
luar biasa. Para petani di Jawa menghasilkan padi dua kali lipat dibandingkan
pada masa akhir tahun 1960-an, dan pada tahun 1985 Indonesia mencapai swasembada beras
(impor beras nol persen).[7]
Namun keberhasilan-keberhasilan Revolusi Hijau dalam meningkatkan produksi
beras dilatarbelakangi oleh transformasi secara drastis dalam corak produksi
pertanian. Seiring dengan kebangkitan otoritarianisme di bawah kekuasaan
Suharto, ekonomi produksi untuk subsistensi digantikan dengan ekonomi produksi
untuk komoditi. Sampai perubahan penguasa politik dari Orde Lama ke Orde Baru,
petani Indonesia cenderung berproduksi hanya untuk mencukupi kebutuhan
subsistensinya (keenganan berproduksi hingga surplus untuk pasar diberi istilah
‘involusi kebertanian’ oleh anthrolpologis Clifford Geertz, 1963, dlm Wahono,
2000:132). Untuk apa berproduksi lebih dari kebutuhan sehari-hari? Kapitalisme memang
tidak muncul secara naluriah. Kapitalisme harus diajari, harus dipaksakan.
Sebaliknya, dalam
corak produksi kapitalis, yakni dalam kerangka politik agraria Orde Baru,
pertumbuhan kapitalis adalah syarat wajib untuk ‘pembangunan’. Ekonomi-ekonomi
lokal yang berproduksi hanya untuk subsistensi merupakan suatu hambatan
terhadap jalan ‘pembangunan’ dalam konteks akumulasi kapital. Kalau masyarakat
lokal melestarikan benih sendiri, mengelola dan memelihara kesuburan tanah
sendiri tanpa input-input luar, dan akhirnya panenan dikonsumsi sendiri, proyek
akumulasi kapital, akumulasi keuntungan laba akan gagal. Pemilik modal besar,
pemilik perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik akan rugi. Kapitalisme
mengharuskan kolonialisme. Maka, proyek Revolusi Hijau menjadikan kekayaan alam
sekedar modal dalam ekonomi produksi kapitalis, kaum petani sekedar komoditi
dan bertani sekedar proses menghasilkan barang (Fauzi, 1999:5). Memang, menurut
ukuran memproduksi komoditi, yaitu meningkatkan produksi beras, program
Revolusi Hijau berhasil. Namun, memang juga, peningkatan produksi tersebut ini
didasarkan atas kolonialisme – kolonialisasi atas tanah, alam, kaum petani,
kaum perempuan, teknologi, dan pengetahuan masyarakat lokal. Vandana Shiva
menunjukkan bahwa kolonialisme ialah landasan dasar untuk pertumbuhan
kapitalis. Pembangunan ekonomi di negara
Utara tidak akan pernah terjadi tanpa kolonialisme yang memudahkan akses atas
bahan mentah dan pasar di benua Afrika, Asia
dan Amerika Latin. Kerajaan Belanda pernah menjadi pusat keuangan Eropa
Barat justru atas eksploitasi hasil bumi Indonesia. Berarti, tanpa
penjajahan, akumulasi kapital akan berhenti. Nah, justru seperti Revolusi
Industri mengharuskan perusakan ekonomi dan struktur masyarakat lokal untuk
memungkinkan ekstraksi kekayaan alam (‘bahan mentah’) dari negara selatan, maka
Revolusi Hijau memerlukan kolonialisasi teknologi, budaya, dan ekonomi lokal, disebut
oleh Vandana Shiva sebagai ‘gelombang kedua kolonialisme’ (2001:122).
‘Bantuan’?
Penjajahan baru
dalam bentuk Revolusi Hijau justru memperlebarkan ketimpangan akses antara
negara Utara (Amerika Serikat, Eropa, Australia, Jepang) dan negara Selatan
(Asia, Afrika, Amerika Latin). Untuk melaksanakan kebijakan intensifikasi
pertanian – di antaranya berupa subsidi terhadap harga pupuk; kredit pertanian
melalui Bimas dan Inmas; pengadaan dan perbaikan sarana irigasi; serta
pembelian padi oleh pemerintah melalui BULOG – pemerintahan Orde Baru
memperoleh ‘bantuan’ besar dari pinjaman dan hibah internasional.[8]
Atau, lebih tepat kalau dikatakan, memperoleh hutang besar. Menurut Sabastian
Saragih, hutang luar negeri inilah yang menjadi pendorong terjadinya resesi
ekonomi, sulitnya kebangkitan ekonomi Indonesia, serta tidak mandirinya
pemerintah dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. Kebijakan pemerintah menjadi sangat mudah diintervensi oleh
kepentingan-kepentingan negara/lembaga pemberi hutang (2003:vi). Binny
Buchori menulis dalam Tempo (14 Oktober 2001),
Total hutang Indonesia kurang lebih US$150
milyar atau 100% dari PDB (pendapatan kotor nasional). Data dari Bank Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia harus membayar hutang
sebesar US$7.5 milyar pada tahun 2001 dan tahun-tahun berikutnya sebesar
US$10.97; US$9.32; US$8.3; dan US$8.2 milyar. Melihat begitu besar beban
hutangnya maka Indonesia
pasti tidak mampu membayar hutangnya dan tetap tergantung kepada hutang.
Selanjutnya, Sabastian Saragih menjelaskan
mengenai hubungan antara hutang dan proses penjajahan dengan menggunakan
teknologi revolusi hijau. Pertama, negara penemu teknologi revolusi hijau,
yakni negara Utara, meyakinkan kepada pemerintah bahwa revolusi hijau akan
meningkatkan produksi secara ‘revolusioner’. Kedua, negara pemilik modal itu
menawarkan proyek ‘kerjasama’, agar proses intensifikasi dapat berjalan.[9]
Namun, ‘bantuan’ ini diperoleh dengan biaya yang tinggi. Menurut studi yang
dilakukan Oxfam, dari setiap US$1 ‘bantuan’ yang diberikan, akan diambil lagi
kira-kira sebesar US$2 akibat syarat-syarat yang diberlakukan atas ‘bantuan’
tersebut. Bantuan yang diberikan dalam bentuk peralatan pertanian misalnya,
akan diikuti dengan bentuk konsultasi, training dan monopoli suku cadang oleh
negara pemberi ‘bantuan’, yang nilainya bisa mencapai dua kali lipat dari
jumlah bantuan tersebut. Kegiatan ikutan tersebut harus dibiayi oleh negera
penerima ‘bantuan’. Berarti dibiayi oleh rakyat yang diklaim dibantu.
Proyek ‘kimitraan’, program ‘kerjasama’
tersebut ini, lebih tepat kalau dipandang sebagai proyek penundukan. Francis
Wahono membuktikan, dalam hal kecukupan
pangan, kerjasama sejati tidak didasarkan pada sekedar partisipasi pada program
yang bukan dibuat oleh para petani negara berkembang. Kerjasama itu harus
dilandaskan pada inisiatif pribadi, kemandirian, dan kebebasan dalam membuat
keputusan mengenai program yang petani-petani kecil di negara berkembang susun
bagi diri mereka sendir. Dalam singkat kata, kerjasama sejati
harus didasarkan atas hak masyarakat untuk menentukan nasib mereka sendiri,
yang selama ini terpinggirkan. Tutur Bu Napsiyah,
Orang di atas, pemerintah, politikus… termasuk LSM yang
selalu sibuk keliling-liling, hadir rapat-rapat… nga sempat terjun ke bawah.
Hanya ngomong-ngomong… kata-kata terbang, nga sambung ke bawah. Saat pemilu,
kampanye direbut… pemilu, pemilu, pemilu, bendera-bendera… uang dibuang… dan lima
tahun kemudian sekalian akan diulangi… gaya air tumpah, uang belok sini, belok
sana, sampai bawah nga ada tetesan… tinggal cuma tempatnya, dibuang aja!
Daripada uang dibuang buat pemilu, militer, bensin motor… bagaimana tanya pada
perempuan, ‘mau kerja apa sih?’. Daripada obat, lebih baik dikasih ilmu
kesehatan. Daripada sembako[10]
lebih baik dikasih kerjaan. Itu cuma harapan saya, cuma satu orang saya
sendiri… cuma bicara di dapur sini
Bab
Dua
Kearifan
gulma: memulihkan budidaya lokal
Benih sendiri,
pupuk sendiri… perusahaan akan rugi (Bu Napsiyah, 2004).
Dengan mengembalikan kearifan lokal ke
lahannya, Bu Napsiyah melawan proses pembodohan sistemik yang telah merebut
pengetahuan berbudidaya dari tangan petani. Dengan memuliakan benih sendiri;
melestarikan kesuburan lahannya dengan memproduksi pupuk sendiri dari bahan
daun-daunan, pupuk kandang (kotoron sapi atau kambing)[11],
beserta sisa panen; mengendalikan hama
dengan menyiramkan ramuan daun pahit, dia telah menemukan jalan keluar dari
kecanduan, kerentanan, dan keracunan yang diakibatkan oleh Revolusi Hijau.
Namun, pada saat Bu Napsiyah mulai bertani secara organik dua tahun yang lalu,
dengan menanam benih berbagai macam sayuran dibawa oleh Supri dari MBI, petani
lain dari Pulangan, semua ketawa… nanam
apa sih? Petaknya sekecil itu, kok nanam macam-macam? Diketawain terus, seperti
main-main, seperti nanam bunga aja… sampai saya rasa malu. Pernah, saya
mengagumi keberaniannya. Berani? Iya, nga
mau mundur. Bu Napsiyah menjelaskan, sudah bertahun-tahun rakyat petani
dicandukan, dibodohkan. Pengetahuan berbudidaya secara ekologis, seimbang
dengan hama/predator, siklus air, hara, kesuburan tanah, sudah lama
ditinggalkan, sudah lama dihancurkan. Dari
desa lain mereka datang… mahasiswa, PPL, LSM-LSM semua datang ke sini… lihat,
bertanya, belajar… tapi dari desa ini, diam… nga ada yang ingin tahu. Sawah-sawah
sekitar lahan Bu Napsiyah,[12]
sekalian dikerjakan dengan menggunakan bahan-bahan kimia – pestisida, pupuk
urea, KCl, TSP. Akibatnya, aliran air yang mengaliri lahan Bu Napsiyah dari
lahan ke atas, sudah dijadikan aliran kimia.[13]
Pada saat musim hujan, lahan yang ke atas dari lahan Bu Napsiyah ditanami
dengan monokultur tanaman ketimun, penjara
ketimun. Setiap minggu sekali tumbuhan ketimun disemprotkan dengan
pestisida (kadang juga sampai dua kali seminggu). Sebagian dari pestisida
tersebut ini pasti mengaliri lahan Bu Napsiyah. Lalu, mulai musim kemarau,
sekalian dibongkar, digantikan dengan monokultur tanaman lombok. Pada saat kami
mau pulang lewat lahan lombok ini, terpaksa bernafas udara pestisida yang
menyakitkan betul (apalagi petani yang berkali-kali menyemprotkan pestisida
itu, akan memunculkan penyakit apa pada tahun-tahun berikutnya?). Tidak
mengherankan juga, hama
lebih senang berpindah ke lahan Bu Napsiyah, tumbuhan tanpa pestisida memang
lebih enak!
Untuk mengendalikan serangan hama dari lahan
tetangganya, Bu Napsiyah dan Pak Djalan menyiramkan tumbuhannya dengan ramuan
dibuat dari daun pahit – daun moris, daun paitan, daun tembaku. Pematangnya
ditanami dengan tanaman pelindung, penolak hama seperti kenikir, tembaku dan kemangi.
Selanjutnya, daripada corak pertanian monokultur – penanaman satu jenis yang
sama dengan areal yang luas selama bertahun-tahun, corak yang meningkatkan kerentanan
terhadap hama dan penyakit, lahan Bu Napsiyah ditanami dengan campuran sayuran
yang beragam – bayam merah, bayam hijau, kangkung, kailan, sawi, bok choi,
kubis, lombok, tomat, jagung manis, ketimun, daun bawang.
Tapi sebagian besar
dari petani, nga lagi tahu… nga lagi tahu daun moris, daun randu sebagai
pestisida… nga lagi tahu jarak, kambas, gude, mindi… Pengetahuan dan
keahlian masyarakat lokal yang dimusnahkan revolusi hijau tidak sekedar
pengetahuan pestisida alami dan pupuk hijau, tetapi juga termasuk pengetahuan
obat-obatan, pengetahuan gulma lahan yang kaya bergizi, pengetahuan pewarnaan,
padahal sekalian pengetahuan atas tumbuhan liar juga ditinggalkan. Kearifan
atas keanekaragaman hayati, atau dalam kata-kata Bu Napsiyah, atas ilmu hidup, dihancurkan oleh proyek
keseragaman besar-besaran, yang menyelenggarakan pengetahuan monokultur. Kalau nga diperhatikan, tumbuhan liar
hilang… kok punah semua… pohon liar dibuang aja. Maka, dengan
mempertahankan, dengan memperhatikan kearifan ekologi lokal, Bu Napsiyah
melawan kepunahan keanekaragaman hayati. Pelestarian keanekaragaman hayati
justru merupakan basis untuk keberlanjutan penghidupan petani kecil, untuk
keberlanjutan penghidupan dia sendiri.
Secara perlahan-lahan, Bu Napsiyah sudah
mulai membangunkan kembali kesadaran masyarakat petani atas kearifan
keanekaragaman hayati yang selama ini terpinggirkan. Ketika pulang dari ladang
dengan membawa daun-daunan – moris, lamtoro, paitan - ke lahannya, petani akan
bertanya, buat apa ngendong daun-daun? Dengan
diam-diam, Bu Napsiyah akan mebagi pengalamannya, keahliannya… daun moris ini, sama dengan ini, paitan buat
obatan… paitan, juga bisa pupuk ijo… ini juga, lamtoro… Pengetahuannya
tentang ekologi lokal memang luar biasa dalam luasnya. Saya pernah bertanya, belajar dari siapa? Belajar di mana kearifan
tumbuhan-tumbuhan? Jawabnya, saya nga
pernah belajar ilmu besar, cuma sekolah sampai SD Kelas 6… tapi sudah kecil
saya keliaran di lahan… Untuk Bu Napsiyah, keanekaragaman hayati merupakan
jaringan hubungan yang menjamin keseimbangan dan keberlanjutan. Setiap pohon,
setiap tumbuhan, setiap mahkluk mempunyai nilai intrinsik, mendapatkan
karakteristik dan nilai melalui hubungannya dengan tumbuhan dan mahkluk lain.
Saya beruntung sekali sempat belajar dengan
Bu Napsiyah, teman saya, guru saya. Kumpulan kearifan ‘gulma’ yang berikutnya
merupakan sebagian sangat kecil dari pengetahuan dan keahliannya, dan sebagai
strategi perlawanan terhadap pengetahuan monokultur adalah hanya permulaan.
Termasuk juga ialah resep-resep masakan yang saya sempat belajar, masak, dan
makan dengan teman-teman perempuan saya. Kearifan pangan, pengetahuan tumbuhan
sayur, buah dan bumbu, memang menyiratkan kearifan masakan yang diwarisi kaum
perempuan, secara turun-menurun, dari ibu-ibu dan nenek-neneknya. Akhirnya, ada
tumbuhan yang bisa dimanfaatkan untuk pewarnaan alami, sebuah aliran kearifan
yang saat ini telah tersingkirkan oleh pewarnaan sintetis. Namun, di Tulung
Agung, pengetahuan ini dipertahankan dan dilestarikan oleh Mas Sigit, guru
batik saya. Banyak betul, guru saya selama semester ini!
Semua ada nama,
semua ada kegunaan, semua ada sejarah, semua ada khasiat (Bu Napsiyah, 2004).
Aren
Pewarnaan
Bunganya dipotong, lalu tetesan dari batang (nira) diambil,
dipakai untuk mendapat warna coklat.
Es teler, Bu Gondo, Yogyakarta
Buah aren, dibakar lalu dikupas untuk membuat kolang-kaling.
Campur dengan buah mangga, nangka, melon, kelapa muda yang dipotong kecil.
Bagikan buah campur antara mangkok, kasih santan (yang telah dimasak dengan
garam sedikit), susu kental manis, dan es.
Bawang putih
Pestisda
Ditumbuk, dilarutkan dengan air kemudian disemprot.
Tempe penyet, Nany,
Sampit
Bawang putih diuleg sama garam, kasih air sedikit. Masukkan tempe dipotong tipis, lalu
digoreng hingga emas. Makan sama Sambal Sampit… lombok merah besar dipotong,
digoreng, lalu diuleg sama garam, bawang putih, bawang merah, beberapa tomat.
Sekalian digoreng lagi.
Bayam merah
Pembenihan
Ambil benih yang sudah kering di batang lalu dijemur pada
pagi hari (8-10am, jangan
sampai siang, akan kepanasan), selama seminggu. Tanaman sayuran – bayam,
kailan, kangkung, sawi dan sebagainya – untuk pembenihan seharusnya terpisah
dari tumbuhan yang mau dipanen (tumbuhan yang sudah tua akan mengundang hama, penyakit ke lahannya).
Pewarnaan
Daunnya ditumbuk, direbus, kemudian disaring. Dipakai untuk
mendapat warna merah muda.
Sayur
Brotowali
Jamu
Untuk memperlangsing badan, kayu brotowali direbus, airnya
diambil, dikasih garam, gula jawa, lalu diminum (awas… pahit sekali).
Pengendalian penyakit
keriting pada cabai, Pak Sutomo, Purworejo
Brotowali (batang kayu) 1kg, ditumbuk dengan kapur 10 sendok
makan, dan kunyit 1kg. Airnya diambil, lalu dicampur dengan air 30-50 liter.
Disemprotkan pada tanaman cabai.
Cemondelan
Tumbuhan liar
Sayur Gulma, Bu
Napsiyah, Pulungan
Cemondelan (berbunga ungu), tempuyung, kenikir, junggul
direbus sampai masak (5-10 minit). Campur sama bumbu kelapa, yakni lombok 3,
bawang putih 1, daun jeruk 1, bawang merah 2, kencur sedikit diuleg sama garam.
Kasih kelapa parut, diuleg lagi lalu bumbunya dikukus (dibungkus dalam daun
pisang) 10 minit. Sayur gulma juga enak dimakan sama bumbu pecel.
Cucung galod
Pewarnaan
Daun cucung galod, ditumbuk, direbus, disaring… dipakai
untuk mendapat warna coklat muda.
Eceng-eceng (kacang babi)
Pupuk hijau
Penyubur tanah. Ditanam duluan padi. Sebelum berkembang
dibabat, kemudian sekalian dibajak.
Gadung
Penanaman
Kulitnya, yang dilepas dalam proses pembuatan pestisida,
bertunas kecil. Saat musim hujan tunasnya ditanam, akan tumbuh. Pohonnya
merambat, lalu saat musim kemarau berikutnya akar menggembungnya dapat dipanen.
Pestisida
Gadung 1kg dikupas,
kemudian diparut - pakai sarung tangan
karena gatal sekali. Lalu diperas, airnya diambil, dicampur dengan air 6 liter,
siap disemprotkan. Obat ini kejam
sekali, akan mematikan ulat – dan bagi manusia, memusingkan betul. Selama
proses pembuatan, penyemprotan harus pakai mask.
Genjer
Tumbuhan liar
Sayur
Gulma padi berbunga kuning. Untuk masak enak tumbuhan muda.
Gude
Pupuk hijau
Akarnya juga mengandung zat lemas (sebangsa
kacang-kacangan), akan mempersubur tanah sekitarnya.
Sambal gude, Bu Napsiyah, Pulungan
Biji-biji gude muda diuleg sama
garam, bawang merah, lombok kecil.
Jamu akaran
Penanaman
Akar bertunas yang ditanam akan tumbuh kembali. Tunasnya
harus berarah ke atas dan kalau ada tunas banyak, dipotong tinggal hanya satu.
Senangnya di tempat teduh.
Bengle
Pestisida
Daun bengle… lihat ramuan pestisida Bu Hendrastuti.
Jamu
Untuk perempuan yang baru habis melahirkan rimpang bengle
diparut, diperas (atau diiris-iris, lalu direbus). Airnya diambil, diminum.
Jahe
Jamu
Untuk yang menderita mabuk air, motor atau laut, teh yang
dibuat dari rimpang jahe (ditumbuk, dikasih air panas), diminum sebelum
perjalanan akan mengurangi perasaan mual.
Susu, Telur, Madu,
Jahe
Susu segar yang telah dipanaskan hingga mau mendidih lalu
diangkat dari api, telur ayam kampung, madu sama air jahe (diparut lalu
diperas) diaduk-aduk. Diminum, akan mempersegarkan badannya.
Sari jahe wangi,
kelompok tani perempuan Barokah, Banjarejo, Boyolali
Jahe 2kg, serai 3 batang, pala 5 (yang telah diparut), kayu
manis, ginseng 1 besar… ditumbuk, diperas. Airnya diambil (sekitar 6 gelas),
dicampur dengan pandan wangi 6 lembar diikat, gula pasir 3kg, gula jawa 2on. Sekalian
direbus sampai kental. Cepatlah diangkat dari api, kemudian diaduk-aduk sampai
menjadi pasir. Siap diminum, kasih air hangat.
Terong Bumbu Bali,
Milas, Yogyakarta
Terong dipotong besar, dicuci sama garam lalu digoreng,
minyak sedikit. Bumbunya… bawang putih, bawang merah, kunyit, jahe, lombok
merah digoreng lalu diuleg sama gula, garam, tomat, daun jeruk. Terong sama
bumbunya dicampur sampai rata, dimasak lagi hingga terong menjadi empuk.
Dimakan sama lalapan… ketimun, kemangi.
Kencur
Jamu
Untuk yang menderita menceret, mengoleskan ramuan dari
rimpang kencur, kunci pepet, dan kunyit di perut.
Mendol, Bu Musmini,
Pulungan
Bumbunya… bawang putih, bawang merah, kencur, laos,
daun jeruk, ketumbar, lombok diuleg sama gula, garam. Tempe bisa, tahu juga bisa. Kalau tempe, dihancurkan sama
bumbu. Kalau tahu, diperas dan airnya dibuang, lalu kasih kelapa parut dan
campur sama bumbu. Kasih daun brambang (bawang merah) dipotong kecil.
Membentukkan bulat-bulat dan menggoreng.
Kunci jawa
Kunci pepet
Jamu
Untuk memperlangsing badan, kunci pepet, kencur sama kunyit,
diparut, diperas, airnya diambil, lalu diminum.
Kunyit
Jamu
Pewarnaan
Rimpangnya (akar nenek, yakni yang paling merah besar)
ditumbuk atau diparut, lalu diperas dan airnya diambil. Warna kuning betul.
Nasi Kuning, Bu Sumi,
Kemulan
Kunyit (1 jari), ketumbar (1 sendok makan), jahe (1 jari),
bawang putih (5), pala (separoh biji), kayu manis… diuleg sama garam (1 sendok
makan). Beras 1kg dicuci, dikasih daun jeruk 3, daun serai 2 batang. Bumbunya
tadi diperas sama kelapa parut Rp1000, air secukupnya untuk menututupi beras
(atas beras air seharusnya hingga garis pertama dari jari telunjuk). Masak
sampai airnya hampir habis, lalu berpindah ke sablukan (air di bawanya, daun
pandan wangi 3), dan masak lagi sampai empuk, sekitar 30 minit.
Lengkuas (laos)
Jamu
Untuk yang kurang nafsu makan, rimpang lengkuas diparut sama
buah mengkudu (yang agak muda), diperas, airnya diambil, dicampur sama madu,
asam sedikit, air secukupnya, lalu direbus, diminum.
Kare, Bu Sumi
Bumbunya… brambang, bawang, jahe, ketumbar, lombok merah
besar (bijinya dibuang), merica sedikit, lengkuas diuleg sama garam, gula lalu
digoreng. Campur sama kentang, tahu yang telah digoreng, tempe yang telah dikukus sebentar (5 minit),
beserta santan secukupnya. Daun jeruk sama daun serai masukkan langsung
Lempuyung
Jamu
Untuk memperlancar air susu ibu… lihat ramuan klabangan.
Temu ireng
Jamu
Untuk bayi yang tidak bernafsu makan, atau anak cacingan,
rimpangnya dioleskan di perut. Tutur Bu Napsiyah, baunya ke dalam… besok cacing ke luar. Kalau ayam cacingan, lewat
mulut (tapi kasihan… pahit sekali).
Pestisida
Direndam, airnya diambil lalu disemprotkan.
Temulawak
Pewarnaan
Rimpangnya ditumbuk, diperas (gaya kunyit) untuk mencipta warna coklat
oranye.
Jarak
Pestisida
Buahnya ditumbuk dengan daun-daunan yang pahit. Airnya
diambil, lalu dicampur dengan air (30-50 liter). Siap disemprotkan atau
disiramkan.
Pupuk hijau
Daun jarak.
Jamu
Untuk orang yang menderita gigi bengkak, menceret atau
kencing darah, buahnya (kuning kecil) ditumbuk dengan kunyit, airnya diambil
lalu diminum.
Pewarnaan
Untuk mendapat warna
hijau buahnya ditumbuk, diperas, lalu airnya direbus.
Jati
Pewarnaan
Untuk menciptakan warna coklat merah, daun muda ditumbuk,
diperas, lalu airnya direbus.
Junggul
Tumbuhan liar
Sayur
Lihat resep Bu Napsiyah untuk sayur gulma.
Kacang tanah
Pupuk hijau
Ditanam sebagai penyubur tanah.
Gado-gado, Ibu Titi, Yogyakarta
Kacang digoreng, minyak sedikit. Diuleg halus. Sambalnya…
bawang merah, bawang putih, lombok merah panjang kurus, udang kering (terserah)
diuleg sama garam, lalu digoreng. Kacang halus dan sambal dicampur dengan air
panas, gula jawa dan asam jawa sedikit. Bumbu kacang ini siap dimakan sama
kentang rebus, telur, tauge, kubis, lontong, wortel rebus, bayam, krupuk.
Kambas
Pembenihan
Ambil buah yang sudah tua, kering di batang. Dijemur pada
pagi hari sampai kering betul, di dalamnya ada benih hitam, agak besar (sebesar
benih labu).
Pestisida
Ditumpangsarikan dengan ketimun sebagai pelindung… ulat akan
makan kembas daripada ketimun.
Kates (papaya)
Pembenihan
Benih kates direndam air, dicuci bersih, lalu dijemur pada
pagi hari selama seminggu.
Urap-urap daun kates,
Bu Sumi, Kemulan
Daun kates (penambah darah) direbus, lalu dicampur sama
bumbu kelapa… kencur sedikit, daun jeruk, lombok, bawang putih diuleg sama
garam, gula, kemudian dikukus (dibungkus dalam daun pisang).
Kecubung
Pestisida
Untuk mengendalikan walangsangit, buah kecubung (2 butir)
direbus dengan brotowali (1kg), air satu liter. Ramuan kemudian disaring,
dicampur dengan air dengan perbandingan 1:16. Siap menyemprotkan pada pagi dan
sore hari.
Keduyo
Pestisida
Daun direndam selama seminggu, lalu airnya diambil siap
disemprotkan pada tanaman.
Kelerek
Pestisida
Untuk mengendalikan hama
ulat pada tanaman sayuran… daun tembaku kering (5 lembar), direndam air panas
(1 liter) sama buah kelerek (7 butir dipotong-potong). Diaduk. Setelah ramuan
sudah dingin siap disemprotkan.
Ganti sabun
Untuk kain halus, kain batik, buah ditumbuk halus, lalu akan
berbusa.
Kelorwono
Pupuk hijau
Kemangi
Pembenihan
Ambil benih yang sudah kering di batang, lalu dijemur pada
pagi hari (8-10am, jangan
sampai siang, akan kepanasan), selama seminggu. Biji-biji kecil, hitam.
Pestisida
Ditanam di pematang lahan sebagai penolak hama.
Trancam, Bu Sumi,
Kemulan
Kencur, kemiri (yang sudah digoreng), lombok, bawang putih
diuleg sama garam, gula. Kasih kelapa parut, diuleg lagi. Bumbu kelapa dicampur
sama kemangi, ketimun dipotong kecil, biji toro, tauge, tempe (yang dibakar, arang bisa, elpiji bisa,
lalu diremas).
Dawet kemangi, Bu
Napsiyah, Pulungan
Benih kemangi direndam dalam air hangat selama satu jam.
Akan menjadi semacam dawet, gaya
telur kodok.
Tahu pepes, Bu Gondo, Yogyakarta
Bawang putih, bawang merah, lombok merah, jahe diuleg sama
garam, gula. Masukkan tahu, telur (1), daun kemangi, daun bawang… kemudian
campur sekalian sampai merata. Dibungkus dalam daun pisang, dikukus kurang
lebih 20 minit.
Kenikir
Pembenihan
Cara pembenihan sama seperti kemangi. Benihnya panjang,
kurus.
Pestisida
Ditanam di pematang lahan sebagai pelindung tanaman.
Sayur
Lihat resep Bu Napsiyah untuk sayur gulma.
Klabangan (telapak kuda)
Jamu
Untuk memperlancar air susu ibu, daun klabangan, daun
simbuan, daun luntas, kunyit, kencur, kunci jawa, lempuyung, asam, garam
ditumbuk, diperas, lalu airnya diambil, direbus. Siap diminum.
Koro pait
Pestisida
Daun koro pait dimasukkan ke dalam rendaman. Setelah sudah
busuk, kurang lebih seminggu, airnya diambil, disiramkan pada tumbuhan.
Lamtoro
Pestisida
Buah lamtoro.
Pupuk organik cair,
kampung Silingan
Daun lamtoro serta daun kacang-kacangan yang masih hijau
muda 10kg, dimasukkan ke dalam karung dengan kotoran ternak 10kg, dan diikat
dengan tali. Sekalian dimasukkan ke dalam ember berisi air dengan perbandingan
1:2. Letakkan batu atau kayu agar karung dapat terendam air. Biarkan terendam
selama 2-3 hari. Siap digunakan. Campur pupuk dengan air dengan perbandingan
1:3. Semprotkan atau siramkan pupuk sekitar tanaman, sekali sehari pada musim
kemarau, tiga hari sekali pada musim hujan. Bahan-bahan yang ada di dalam dapat
dionggokkan ke sekitar tanaman, sebagai bumbun di masa musim kemarau.
Loncak
Pewarnaan
Buahnya ditumbuk untuk mendapat warna ungu.
Luntas
Jamu
Untuk menghilangkan bau keringat, daun luntas ditumbuk,
diperas, lalu airnya direbus, diminum. Juga bisa dipakai untuk memperbanyak air
susu, lihat ramuan klabangan.
Mahoni
Pestisida, ramuan
Kelompok Tani Sidomulyo, Jember
Untuk membasmi serangga pembuat lobang pada jeruk siam,
daun mahoni ditumbuk sama daun tembaku, daun jarak, dilarutkan dengan air
kemudian disemprotkan.
Pewarnaan
Untuk mendapat warna coklat kemerahan, daun/akar/batang
mahoni ditumbuk, campur dengan air dengan perbandingan 1:2, lalu direbus hingga
airnya kurang separoh.
Mangga
Pewarnaan
Untuk mendapat warna kuning kehijauan, akar/batang mangga
ditumbuk, lalu direbus sama air 1:2, hingga airnya kurang separoh.
Mangkokan
Jamu
Untuk mempersehat, memperhitamkan rambut, daun mangkokan
dikeringkan, kemudian dicampur dengan minyak kelapa.
Manisah (labu siam)
Penanaman
Ambil buah manisah yang sudah tua keras di batang, lalu
disimpan di tempat dingin gelap. Setelah akar sudah tumbuh, dapat ditanam
kembali.
Pestisida
Yang dipakai, daunnya… lihat ramuan pestisida Bu Hendrastuti
(mindi).
Sayur manisah, Bu
Sumi, Kemulan
Buah manisah dipotong kecil, dicuci sama garam, lalu
diremas-remas. Bumbunya… bawang merah, bawang putih, kemiri yang telah
digoreng, lombok merah diuleg sama garam, gula. Daun bawang yang telah dipotong
kecil digoreng sama bumbu yang tadi diuleg. Kasih manisah, laos. Kalau sudah agak masak santan
dimasukkan.
Mengkudu
Jamu
Untuk yang kurang nafsu makan buah mengkududitumbuk sama
lengkuas, diperas, airnya diambil, lalu dicampur sama air secukuonya, madu,
asam sedikit.
Pewarnaan
Untuk mendapat warna merah, akar/batang ditumbuk, lalu
direbus sama air 1:2, hingga airnya kurang separoh.
Ganti sabun
Untuk mencuci kain merah/batik, buah tua ditumbuk halus,
lalu akan berbusa.
Mindi
Pestisida, ramuan Bu
Hendrastuti, Kulon Progo
Untuk mengendalikan Walangsangit dan Wereng, dibuat ramuan
dari daun mindi 2kg, gadung 2kg, daun bengle 2kg, daun koro pait 2kg, buah
lamtoro 5kg, daun kleresede 2kg, labu siam 2kg, daun mahoni 2kg, daun ketepeng
2kg, daun kenikir 2kg, gamping kapur 2kg, daun eceng-eceng 2kg, pupuk kandang
5kg. Semua bahan dihaluskan dan dimasukkan karung, lalu direndam dalam drum
berisi setengahnya selama dua minggu. Setelah itu disaring lalu ditambah urine
sapi. Dosis penggunaannya 0.5 liter ramuan dicampur dengan satu liter air, siap
disemprotkan.
Moris (sirsat)
Pestisida
Untuk mengendalikan ulat grayak dan wereng, daun moris yang
masih segar ditumbuk halus, dicampur dengan air sedikit, lalu disaring. Saat
menggunakan, air moris dicampur air dengan perbandingannya 1:20. Siap
disemprotkan.
Jus sirsat, Nurvani,
Kebonsari
Buah sirsat dikupas, bijinya dibuang, lalu diblender sama
es, susu manis kental sedikit, sirup gula, pewarna merah.
Nanas
Penanaman
Buah nanas, daun atasnya dapat dipotong, ditanam kembali.
Pewarnaan
Buah muda ditumbuk, diperas, lalu airnya diambil dan direbus
untuk mendapat warna merah.
Nila (tarum)
Tumbuh di pinggir-pinggir jalan, pada saat musim kemarau.
Pembenihan
Benih yang sudah kering di batang, diambil lalu dijemur pada
pagi hari (8-10am, jangan
sampai siang, akan kepanasan), selama seminggu. Biji-biji coklat, kecil. Kulit
benih berbentuk sabit.
Pewarnaan
Untuk mendapat warna biru indigo, daunnya (banyak!) direndam
semalam, lalu atasnya yang berwarna
biru/hijau diambil. Proses ini diulangi berkali-kali. Cairan nila
direbus, lalu dijemur.
Pacar
Pewarna kuku
Daun pacar ditumbuk sama air kapur, air jeruk nipis, lalu
kukunya ditutupi dengan ramuan ini. Setelah sudah kering, tangannya dicuci.
Kukunya akan merah.
Paitan
Penanaman
Batangnya dipotong berukuran kurang lebih 30cm, ditanam akan
tumbuh kembali.
Pestisida
Daun paitan yang masih segar dimasukkan ke dalam kolam
rendaman (atau ember) selama seminggu (atau hingga sudah busuk), airnya
diambil, siap disiramkan.
Bokashi, Mas Yun,
Cincing
Bahannya… daun paitan 4 kwintal, kotoran kambing kurang
lebih 7 kwintal, bakteri 1 liter, air 5 liter. Pertama-tama membuat lubang
berukuran 2×4m sedalam 1m. Daun paitan dihancurkan atau dirajang, lalu
dimasukkan sedikit demi sedikit bersama kotoran kambing dengan disiram air yang
telah dicampur bakteri (lihat cara pembuatan di bawah ini). Penyiraman harus
merata. Setelah sekalian dimasuk, lubang ditutup plastik dan pinggir plastik
ditimbun tanah. Selang 15 hari tutup atau plastik dibuka dan diaduk-aduk setiap
minggu sekali. Setelah 30 hari, bokashi yang sudah jadi dikeluarkan dari lubang
dan dikeringkan selama satu minggu. Dimasukkan ke dalam karung, siap untuk
digunakan.
Cara pembuatan bakteri… rumen kambing, kotoran didalamnya
dikeluarkan, dimasukkan ke dalam kain, kemudian diperas hingga tinggal
ampasnya. Air perasannya ditempatkan di dalam wadah. Kemudian merebus air
sebanyak 2 liter hingga mendidih. Masukkan terasi 1½on yang sudah dihaluskan
sama gula 2on sambil diaduk-aduk, kemudian juga masukkan bekatul ¾kg secara
perlahan-lahan. Dinginkan. Setelah campuran sudah dingin masukkan ke wadah
cairan rumen, lalu diaduk merata. Ditutup dengan plastik pakai karet dan
ditaruh di tempat yang teduh. Kemudian setelah 24 jam dibuka dan diaduk dan
ditutup lagi. Setiap dua hari dibuka, diaduk, ditutup lagi. Setelah 7-10 hari
bakteri seharusnya sudah jadi. Tanda-tanda bakteri sudah jadi ialah; pertama
akan tercium bau seperti aroma tape; kedua bekatul yang tercampur itu akan
mengapung dan keluar gelumbung-gelumbung gas.
Pakis
Tumbuhan liar
Pakis, Bu Sumi,
Kemulan
Daun yang lebar, halus, cernih dipotong-potong lalu dijemur
sebentar hingga sudah layu. Dicuci, diremas-remas. Bumbunya… bawang merah,
bawang putih, kemiri, laos,
lombok digoreng lalu diuleg sama garam, gula. Pakis digoreng, minyak sedikit,
sama daun brambang dan bumbu yang tadi diuleg. Campur merata, lalu kasih santan
secukupnya. Tahu, tempe
juga bisa.
Pandan wangi
Jenang (bubur), Bu
Musmini, Pulungan
Air 2 cangkir, direbus sama daun pandan satu lembar yang
diikat, hingga mendidih. Masukkan tepung beras ½ cangkir yang telah dicampur,
diaduk-aduk sama santan, garam sedikit. Diaduk terus sampai kental, cernih.
Makan sama sirup gula… gula merah dilarutkan dengan air sedikit, direbus.
Pandan betawi
Pewarnaan
Pandan betawi ditumbuk sama kunyit sedikit, air sedikit.
Diperas, airnya diambil.
Klepon, Ribut, Tumpang
Daun pandan warna (5 lembar) ditumbuk, lalu diperas sama air
sedikit. Air pandan dicampur sama tepung ketan (1 cangkir). Diadon tepung sama
air mendidih secukupnya (sekitar ½ cangkir), hingga adonan menjadi lembut.
Kemudian membentukkan bulat kecil, melekukkan dalamnya pakai jari jempol.
Mengisi lekukan dengan gula merah dan menutup lagi. Diulangi sampai adonon
habis. Masukkan bulat-bulat ke air mendidih. Saat sudah naik ke atas, diangkat,
langsung masukkan air dingin sebentar (supaya tidak kumpul menjadi satu).
Campur sama kelapa parut hingga merata.
Pecut kuda
Tumbuhan liar
Jamu
Untuk menurun darah tinggi, daun pecut kuda sama daun apokat
(3-5 lembar masing-masing… jangan banyak-banyak, penurunnya sangat tajam),
direbus, airnya diambil, diminum.
Perlas
Tumbuhan liar
Ambril kayu
Waktu masih kecil Bu Napsiyah pernah menghaluskan penggaris
bambu bikinan sendiri dengan menggunakan daun perlas.
Pinang (jambi)
Mengendalikan tikus
Untuk mengendalikan hama
tikus, liangnya ditutup dengan pucuk daun pinang muda, sehingga tikus menjadi
mabuk bila memakannya.
Jamu
Saat menyiangi padi, getah biji pinang dioleskan pada kulit
supaya tidak kegatalan.
Pewarnaan
Biji buah muda ditumbuk, direbus sama air hingga kental,
lalu disaring.
Pule
Jamu
Untuk yang menderita diabet atau kulit gatal, kulit pohon
pule direbus, airnya diminum.
Pupuk ragi kusno
Pak Saroso, Gunung
Timur, Simo
Ragi tape (Rp 3.000) digerus sampai halus. Pupuk kandang (8
keranjang), bekatul (5kg) dan kapur (10kg) dicampur dan diaduk sampai rata
kemudian ditaburi dengan ragi tape. Garam (1kg) dan gula pasir (5kg) dilarutkan
dalam air secukupnya lalu disiramkan sedikit demi sedikit pada bahan-bahan
pupuk sambil diaduk-aduk. Setelah tercampur secara merata, kemudian dibuat
gundukan dan ditutup dengan bagor rapat-rapat. Setelah satu hari satu malam
dibuka, dan diaduk lagi sampai rata, kemudian ditutup lagi. Kurang lebih selama
2 hari pupuk sudah jadi dan siap untuk digunakan.
Randu (kapok)
Pestisida
Daun randu direndam selama seminggu, lalu airnya diambil,
siap disemprotkan atau disiramkan.
Remekjun (keji beling)
Jamu
Untuk orang laki-laki yang menderita kencing batu, daun
remekjun (hanya 3-5 lembar, obat ini manjur sekali) direbus, lalu airnya
diminum.
Salam
Pewarnaan
Batang pohon salam ditumbuk, direbus, lalu disaring untuk
mendapat warna coklat.
Seledri
Sop sayur, resep
Nurvani, Kebonsari
Bumbunya… merica, brambang, bawang, kunyit diuleg sama
garam, gula. Kasih pala parut sedikit lalu digoreng hingga wangi. Jahe, daun
serai, daun jeruk dimasukkan langsung sama air secukupnya. Sayurnya terserah…
kentang, kubis, polong, wortel, kacang panjang, buncis. Saat sayur sudah masak
kasih daun seledri sama daun bawang dipotong kecil.
Semanggi
Tumbuhan liar
Bumbu pecel, resep Bu
Napsiyah, Pulungan
Kacang tanah digoreng hingga enak. Lombok,
kencur, bawang juga digoreng lalu diuleg sama daun jeruk, asam sedikit, gula,
garam. Kasih kacang yang tadi digoreng dan diuleg lagi. Setelah sudah halus
kasih air sedikit, diuleg lagi. Siap dimakan sama nasi, sama sayur semanggi,
cemondelan, kenikir, junggul, tempuyung (yang telah direbus), ketimun, tauge, tempe goreng, krupuk.
Sengon
Pewarnaan
Batang pohon sengon ditumbuk, direbus lalu disaring untuk
mendapat warna coklat.
Serai
Penanaman
Setelah tumbuhan serai sudah besar bisa dibagi-bagi, ditanam
kembali.
Pestisida, ramuan
Kelompok Tani Sidomulyo, Jember
Untuk mengendalikan ulat pada tanaman sayur, daun serai
ditumbuk sama daun tembaku dan jahe, direndam, airnya diambil kemudian
disemprotkan atau disiramkan pada saat pagi hari.
Sayur Lodeh, resep Bu
Gondo, Yogyakarta
Bumbunya… ketumbar (1 sendok makan), bawang merah (10),
bawang putih (6) diuleg sama garam. Dimasak sama santan, daun serai (2 batang),
lengkuas (2 jari), jahe (2 jari), daun salam, lombok merah (2), lombok hijau
(3… lomboknya dipotong besar). Sayurnya terserah… rebung (yang telah direbus
berkali-kali, setiap kali airnya dibuang hingga tidak lagi pahit), kentang,
wortel, kacang panjang, manisah, terong.
Simbuan
Botok, resep Bu Sumi,
Kemulan
Bumbunya… lombok merah besar, ketumbar, daun jeruk, kencur, laos,
brambang, bawang diuleg sama garam, gula. Kasih kelapa parut, diuleg lagi.
Kemudian bumbunya dicampur sama daun simbuan (dipotong-potong kecil, lalu
diremas hingga lunak), jamur (dibersihkan dulu), tempe atau tahu (yang telah dipotong kecil,
dikukus), biji toro. Dibungkus dalam daun pisang, dikukus kurang lebih 20
minit.
Singkong
Penanaman
Batangnya dipotong berukuran kurang lebih 30cm, ditanam akan
tumbuh kembali.
Lodeh daun singkong,
resep Bu Sumi, Kemulan
Brambang, bawang, laos, kencur, daun jeruk, kemiri
(yang telah digoreng) diuleg sama garam, gula. Daun singkong (seperti daun
kates, juga penambah darah) direbus, setelah sudah masak diambil, diperas,
dibuang airnya, dipotong-potong. Campur bumbunya tadi sama santan, masukkan
daun singkong, lalu masak lagi.
Soga
Pewarnaan
Untuk mendapat warna kuning, akar/batang soga ditumbuk,
direbus, lalu disaring.
Soga secang
Pewarnaan
Kayu/batang soga secang diiris-iris, direbus lalu disaring
untuk mendapat warna merah.
Somba keling
Pewarnaan
Biji somba keling ditumbuk, direbus kemudian disaring untuk
mendapat warna coklat kuning.
Sono kembang
Jamu
Untuk membuat syampu, daun sono kembang dibakar sama pelepah
padi. Abunya disaring, dikasih air sedikit, siap digunakan.
Talas
Penanaman
Akar bertunas bisa dibagi-bagi, lalu tunasnya ditanam lagi.
Pupuk cair, Pak
Sukono, Banjarnegara
Daun talas beserta pelepahnya (10kg) dipotong-potong. Air
kencing sapi (20 liter), daun talas, dan kotoran ayam (45kg), dimasukkan ke
dalam drum, kemudian diaduk hingga merata. Kemudian drum ditutup rapat
menggunakan plastik dan diikat. Diaduk lagi setiap 3 hari sekali. Setelah 10
hari adonan telah menjadi pupuk dengan tanda-tanda permukaan adonan tidak naik.
Pupuk cair dicampur air dengan perbandingan 1:1, siap disiramkan pada tanaman.
Talas goreng, Bu
Napsiyah, Pulungan
Akar menggebung dikupas, dipotong besar, dikukus lalu
digoreng. Kalau kasih bumbu bawang, garam duluhan tambah enak.
Tembaku
Pestisida, Pak Sutomo,
Purworejo
Untuk mengendalikan ulat, masukkan daunnya (puntung rokok
juga bisa) dalam air (kolam rendaman atau ember). Biarkan selama seminggu.
Saringlah agar diperoleh air larutan yang bersih. Menyempotkan pada pagi dan
sore hari.
Tempuyung
Tumbuhan liar
Jamu
Untuk mengurangi darah tinggi, daun tempuyung direbus,
airnya diminum.
Sayur
Tuba (jenu)
Pestisida
Untuk mengendalikan walangsangit, kumbang helm, sensuruk dan
ulat pada tanaman, akar tuba diparut, lalu diperas, airnya diambil. Dicampur
air dengan perbandingan 1:10, siap disemprotkan.
Waru
Jamu
Getahnya bisa dipakai sebagai obat luka.
Pelindung pematang
Dengan penanaman pohon waru di pematang lahan akan
menhindari kejadian longsur.
Tampar sapi
Kulitnya direndam, lalu dibelit untuk membuat lulup atau tampar sapi.
Wedusan
Tumbuhan liar
Jamu
Daun wedusan yang telah diremas-remas, bisa dipakai sebagai
obat luka.
Wewean
Tumbuhan liar
Penyubur sawah
Pada saat menyiangi padi, gulma sekalian dikembaliakn ke
dalam lumpur. Kaya nitrogen, kasihan
kalau dibuang (Bu Napsiyah).
Sayur
Gulma padi berbunga ungu.
Yudium
Jamu
Getah yudium juga bisa dipakai sebagai obat luka. Dioleskan
pada luka, akan mengeringkannya.
Bab
Tiga
Tantangan
untuk transformasi sosial
Aktivis pertanian organik Thres Sanctyeka
menyatakan,
Sistem pertanian organik bukan hanya sebuah sistem
pertanian yang hanya memperhatikan kepada produksi tanah maupun lahan sebagai
tujuan utamanya, tetapi lebih dari itu sistem organik memiliki spiritualitas
kesadaran berperilaku dalam menuju sebuah keseimbangan lingkungan, kelestarian
sumber daya alam, penegakan hak-hak petani, partisipasi, kemandirian dan
kesetaraan gender. Oleh karena itu sistem ini menjadi sebuah ‘entrypoint’ untuk
menggapai sebuah mimpi bagi masyarakat tani khususnya (2001).
Sebagai entrypoint,
sebagai alat transformasi sosial, sistem pertanian organik harus ikut
berjuang dalam menghadapi tantangan pembaharuan agraria, pemasaran produk
petani, kerusakan lingkungan pertanian, ketimpangan gender, globalisasi, serta
bioteknologi.
Pembaharuan
agraria
Sebagai gerakan ekonomi sosial juga,
pertanian organik memang tidak sekedar soal teknologi, dengan membuat orang
sadar mengadopsi bibit lokal, mengurangi penggunaan pupuk kimia dan mengendalikan
hama secara
alami. Lebih daripada itu, pertanian organik juga tidak sekedar soal pemasaran,
dengan mencari harga produk organik yang layak bagi petani. Kalau pertanian
organik sungguh menjadi gerakan penguatan hak-hak petani, yakni hak untuk menentukan nasib sendiri bagi petani,
termasuk hak untuk mengontrol, memilih, dan menyeleksi benih, hak untuk lepas
dari jerat industri bibit, racun, dan pupuk kimia, hak untuk berorganisasi dan
hak untuk menentukan harga jual atas komoditas yang meraka hasilkan (Wulandari
et al, 2003:167), gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari politik pembaharuan
agraria. Singkat kata, pertanian organik menjadi gerakan penguatan hak-hak
petani hanya kalau ikut berjuang menuju transformasi sistem dan struktur
agraria. Sebagai syarat dasar, petani sendiri harus mempersoalkan penguasaan
sumber-sumber agraria yang selama revolusi hijau telah direbut dari penguasaan
mereka. Sumber agraria bermakna lebih luas dari sekedar tanah atau tanah
pertanian, termasuk juga sumber air, iklim, cuaca, dan segala kekayaan genetika
atau plasma nutfah (Wahono, 2000:142).
Ketimpangan struktur pemilikan lahan di
desa dan struktur kelas (hubungan antara pemilik lahan pertanian dengan petani
penggarap dan buruh tani) semakin meluas sebagai akibat masuknya teknologi
intensifikasi ke pedesaan. Noer Fauzi menyatakan, hanya 20 hingga 30 persen rumah tangga di pedesaan diuntungkan dengan
revolusi hijau. Mereka berhasil menjadi kaya yang bercukupan. Mereka bukanlah
petani-petani yang independen, melainkan bergantung pada subsidi negara dan
perlindungan ekstra-ekonomi negara. Mereka mengkonsentrasikan sejumlah tanah
dan menggunakan sejumlah teknologi baru dalam proses produksinya.
Konsekuensinya, lambat laun mereka menjadi kapitalis-kapitalis pertanian, yang
mempekerjakan buruh tani untuk tanah-tanahnya yang cukup luas (1999:166).
Apa yang terjadi, seiring dengan intensifikasi produksi ialah intensifikasi
stratifikasi masyarakat desa. Dalam struktur kelas di pedesaan, pemilik tanah
secara dominan memiliki kuasa mengambil keputusan. Si pemilik yang menentukan pemilihan benih, jenis pupuk
dan juga pendekatan pengendalian hama.
Meskipun seringkali petani penggarap, yakni petani yang menyewa dan mengerjakan
tanah milik orang lain, yang harus membayar biaya-biaya input produksi
tersebut, dan kalau ia tidak mempunyai modal sendiri, harus meminjam uang dari
penguasa tanah. Seringkali, pemilik lahan hanya
berkewajiban membayar pajak atas tanahnya. Dalam hal ini, ujar Wulandari dan Rahardjo, terlihat jelas petani penggarap paling berisiko jika panen gagal (2003:163).
Selanjutnya, sebagian besar antara kaum petani, yakni buruh tani – petani yang
diupah untuk melakukan pekerjaan, misalnya membajak, menyangkul, menanam,
menyiangi, memanen – sama sekali tidak mempunyai hak atas penggunaan tanah.[14]
Kebijakan pemerintahan Orde Baru, menghamba
kepada hukum akumulasi kapital, mengakibatkan tanah berubah dari alat produksi
subsistensi rakyat menjadi alat produksi bagi organisasi produksi kapitalis.
Maka, kebijakan itu justru memberi kemudahan bagi dirinya dan modal besar untuk
merampaskan tanah untuk perusahaan-perusahaan kapitalis dan pembangunan
infrastruktur mereka. Menggunakan manipulasi dan kekerasan, tanah-tanah
produktif yang telah digarap rakyat petani terkonversi menjadi lahan
non-pertanian, terutama industri. Menurut data yang dikemukaan Kompas (13 Juli
1995), sekitar 900 000 ha tanah pertanian, berarti tanah yang memungkinkan
kehidupan rakyat petani, di Pulau Jawa telah dirampaskan dan terkonversi
menjadi alat produksi modal (dlm Fauzi, 1999:7). Kadang kita menangis, karena ini semua sejarah penjajahan yang berulang
(Wahono, 2000:138).
Dari tanah yang semakin sempit atau lahan
yang bukan miliknya, kaum petani menggantungkan kelangsungan hidup keluarganya.
Tidak heran bila petani-petani berlahan
sempit, buruh tani dan petani penggarap lebih berorientasi ke hasil. Dalam
jangka pendek, semakin banyak hasil produksi yang bisa dipanen maka semakin
besar kemampuannya menyediakan stok pangan untuk keluarganya (Wulandari et
al, 2003:163). Dalam menulis tentang pengalaman Sekolah Lapang, Wulandari dan
Rahardjo menjelaskan mengenai
pertentangan antara semangat dan tujuan Sekolah Lapang, yakni menjaga
kelestarian dan keberlanjutan pertanian serta memberdayakan kalangan kelas petani
penggarap dan buruh tani, dengan kondisi struktur agraria yang timpang. Konflik
dasar ini, justru yang menghalangi perkembangan gerakan organik. Para petani penggarap dan buruh tani didorong
untuk mampu melakukan rehabilitasi kualitas lahan-lahan pertanian serta menjaga
lestarinya ekosistem sawah di atas tanah yang bukan miliknya, yang
sewaktu-waktu bisa diambil kembali atau ditarik begitu saja darinya. Sementara
tuan tanah yang mungkin tidak pernah bekerja di lahan berlumpur, akan memetik
keuntungan jangka panjang atas upaya susah-payah para petani kecil, bahkan
mungkin tanpa ongkos keluar dari kantungnya (2003:163). Dalam kerangka
agraria kapitalis, para buruh tani dan petani penggarap dijadikan barang
dagangan, dibeli dengan upah yang diberikan penguasa tanah.[15]
Tanggung jawab dan pengambilan keputusan produksi, akumulasi dan investasi
terletak sepenuhnya di tangan si penguasa (Fauzi, 1999:10). Lebih sering
daripada tidak, orientasi si pemilik ialah orientasi bisnis, bukan
keberkelanjutan. Dalam corak produksi pertanian yang mengutamakan keuntungan
jangka pendek di atas kelestarian ekosistem jangka panjang, berbudidaya secara
ekologis, yang memerlukan tenaga lebih intensif, tersingkirkan. Kemandirian
masyarakat lokal? Untuk segelintir masyarakat yang menguasai tanah luas, ia
kurang peduli. Sebaliknya, dari perspektif buruh tani atau petani penggarap,
‘untuk apa saya harus memperbaiki kesuburan tanah yang dimiliki seorang lain?’
Tutur Mbah Suko, yang memandu dan memfasilitasi program Sekolah Lapang di Mangunsari,
Magelang, banyak penggarap tidak mau ikut
Sekolah Lapang. Katanya bikin pusing pikiran dan buang-buang waktu. Menurutnya,
lestari atau tidaknya alat produksi bertani bukan menjadi persoalan mereka (dlm
Wulandari et al, 2003:163). Sesungguhpun ada keinginan penggarap untuk
mengembalikan teknologi lokal, usahanya sering ditolak oleh pemilik tanah.
Wening Sasono, aktivis dari LSM JARNOPP (Jaringan Ornop Pendamping Petani) di
Klaten, menceritakan tentang salah seorang petani penggarap yang ingin menanam benih
lokal, namun pemilik memaksakan penanaman benih hibrida. Lagi pula, untuk
kalangan petani terbesar di Indonesia,
yakni buruh tani, suaranya sama sekali tidak terdengar.
Kenaikan terus-menerus dari jumlah petani
yang tidak mempunyai tanah, penjualan tanah kepada pemilik luar pertanian dan
luar desa, dan konsentrasi tanah pada tangan segelintir masyarakat merupakan
ancaman serius terhadap kesejahteraan dan kelangsungan hidup rakyat petani. Dengan struktur pemilikan tanah yang tidak
seimbang inti tentu semakin jelas bahwa program revolusi hijau yang
menghasilkan swasembada pangan masih belum mampu mengangkat nasib petani (Fauzi,
1999:167). Ironisnya, dalam dasaran Undang-Undang Indonesia, rakyat petani
mempunyai kekuatan hukum untuk memperjuangkan
haknya atas tanah, melakukan pembagian hasil yang adil dan mengolah tanahnya
demi kemakmuran, yakni Undang-undang No.5 tahun 1960, tentang Peraturan
Dasar Pokok Agraria, disingkat UUPA (Fauzi, 1999:vii). Melalui UUPA, dan
program politik agraria populis, pemerintah dan masyarakat pasca kolonial
bertujuan untuk melaksanakan rekonstruksi bangunan politik agraria yang
ditinggalkan penjajah Belanda. Yakni, menjamin hak rakyat petani atas sumber
daya agraria (bumi, air, ruang-ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya) dan mengatur perolehan hasilnya agar rakyat menjadi makmur. Salah
satu prinsip dasar dari UUPA ialah pelaksanaan redistribusi lahan. Subyek
redistribusi lahan diutamakan kepada mereka yang paling membutuhkan dan
menggantungkan mata pencahariannya dari bertani (yaitu kalangan kelas penggarap
serta buruh tani), dan memiliki hubungan yang erat dengan tanah digarapnya.
Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat petani,
yakni tanah, ditetapkan batas minimum luas tanah yang harus dimiliki seorang
petani supaya dapat mencukupi secara layak bagi diri sendiri dan keluarga.[16]
Selanjutnya, diselenggarakan batas maksimum luas tanah dengan tujuan untuk
mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan tanah secara besar-besaran dengan
tak terbatas, sistem kepemilikan yang telah berabad-abad memeras dan merugikan
kepada rakyat petani kecil.[17]
Noer Fauzi menjelaskan mengenai prinsip-prinsip inti dari UUPA, yakni pemegang hak atas tanah diwajibkan untuk
meningkatkan produktivitas dari tanah, menjaga kelestariannya agar tidak rusak,
dan dilarang menguasai tanah melebihi batas yang ditetapkan, karena hal itu
akan menciptakan kembali tuan-tuan tanah yang menciptakan hubungan pemerasan
dengan petani-petani gurem ataupun tanpa tanah (1999:78).
Namun kenyataanya, petani tidak pernah
memperoleh hak sesuai dengan UUPA itu.[18]
Dengan berubahnya penguasa politik terjadinya berubah pula politik agraria. Pemerintahan Orde Baru sama sekali tidak
mewariskan kepentingan ideologis dan politis terhadap politik agraria populis (Fauzi,
1999:151). Walaupun tidak pernah dihapuskan, Undang-Undang Pokok Agraria telah
dimanipulasi dan dikhianati secara besar-besaran oleh pemerintahan rejim
Suharto. Kemakmuran rakyat kecil terpinggirkan oleh kepentingan modal besar.
Rakyat petani yang telah bertahun-tahun menguasai tanah-tanah secara produktif
sama sekali tidak memperoleh jaminan kepastian hukum. Sebaliknya, yang telah
dibuktikan, kebijakan pemerintah justru memberi kemudahan luar biasa bagi
dirinya dan pemodal besar untuk merampaskan sumberdaya penghidupan rakyat
petani.
Kemunculan sengketa tanah dibungkam dengan
mekanisme manipulasi dan kekerasaan. Bentuk-bentuk manipulasi yang disaksikan
oleh petani-petani, di antaranya berupa; klaim telah berdasar musyawarah, menyuap
pimpinan dari petani/penduduk, pemalsuan tanda tangan, pencapan (stigmatisasi)
PKI-Mbalelo-Anti Pembangunan terhadap petani/penduduk dan lain-lain. Sedangkan
yang terbentuk kekerasan berupa; intimidasi, teror, penyiksaan, penggunaan
mekanisme hukum acara pidana, pembakaran hingga penggunaan senjata yang
mengakibatkan korban (Fauzi, 1994). Hak asasi manusia rakyat petani dikorbankan
atas nama ‘pembangunan’.
Sebagai gerakan politik hidup dan
perjuangan, pertanian organik tidak cukup dengan menimbulkan kesadaran atas
teknologi berbudidaya lokal, tidak cukup dengan mencari pemasaran produk petani
yang layak. Krusialnya, gerakan organik mempersoalkan bangunan sosial pedesaan
yang timpang. Kalau tidak aktif bergerak dalam menuntut redistribusi lahan agar
setipa petani kecukupan, pertanian organik tidak akan mampu mengangkat nasib
petani (akan gagal, gaya
revolusi hijau). Hak-hak petani – terutama hak untuk mentukan nasib mereka
sendiri – akan terus digerogoti oleh agenda politik-bisnis elit.
Kebijakan harga dan pemasaran produk petani
Yang sudah dibuktikan, proyek Revolusi
Hijau didasarkan atas asumsi yang pada dasarnya palsu, yakni dengan
meningkatkan produksi pertanian akan membawa peningkatan pendapatan, dan
selanjutnya kesejahteraan petani. Selama ini, pemasaran produk petani sama
sekali tidak mencerminkan keadilan bagi petani, sama sekali tidak sebanding
dengan upaya yang mereka habiskan atau resiko yang mereka tanggung. Kalau biaya
produksi lebih tinggi dibandingkan dengan harga gabah ketentuan pemerintah,
petani tidak bisa berbuat apa-apa. Tuturkan Supri - anak Bu Napsiyah dan
mahasiswa jurusan pertanian, UniBraw - petani yang tidak mempunyai modal
sendiri meminjam uang dari pedagang untuk membeli pupuk, bibit dan asupan
lainnya. Pada saat musim panen, mereka terpaksa menjual panenannya kepada
pedagang itu dengan harga rendah. Terperangkap pada siklus hutang dan
ketergantungan, petani kecil sangat tidak mampu tawar-menawar. Selanjutnya,
sudah lama kemampuan petani untuk menyimpan produk hasil pertanian sendiri
dalam lumbung diambilalih oleh pemerintah melalui BULOG (Badan Urusan
Logistik).[19]
Maka, ketika musim panen tiba harga jual pasti jatuh, namun panennya tetap
harus dijual karena petani tidak punya lagi tempat untuk menyimpannya (Saragih,
2003:vii). Pada saat terjadi krisis pangan di kota, pemerintah membuat kebijakan impor
beras yang lagi merugikan petani (Wulandari, 2003:168). Politik impor beras
justru memanfaatkan pedagang-pedagang besar beserta kepentingan pejabat
pemerintah, bukan kesejahteraan masyarakat. Pak Umar, PPL dari Pasuruan,
menyatakan bahwa pada tingkat konsumen harga beras tidak disubsidi, tetap harga
pasar. Menurutnya, keuntungan yang diambil pejabat BULOG serta pihak swasta
yang berhak mengimpor betul sangat besar. Ironisnya di Jawa, berabad-abad
sebagai pusat memproduksi beras, saat ini beras impor melebihi produksi beras
(pembicaraan, 6 Mei 2004). Atas nama ‘ketahanan pangan’ petani dikorbankan bagi
kepentingan ‘stabilitas’, khusunya diperkotaan.
Direktur Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH), Purwokerto, Drs. Arif Wahidin menyatakan,
sistem politik dan ekonomi negara belum menguntungkan petani. Sebaliknya, yang
diuntungkan ialah kepentingan akulmulasi kapital global. Beras petani kita masih murah, salah satu penyebabnya karena untuk
mensuplai konsumsi buruh yang sebagian besar hidup di kota. Bayangkan bila harga beras mahal.
Imbasnya bisa berupa tuntutan kenaikan upah dan aksi protes yang lain. Hal ini
tidak disukai calon investor asing yang ingin menanamkan modalnya (dlm
Sunanto, 2001). Wulandari dan Rahardjo tepat bertanya, Untuk kepentingan siapa sesungguhnya keringat petani dikeluarkan? (2003:168).
Lagi pula, para konsumen semakin tidak
sadar bagaimana sebuah produk pertanian atau pangan dihasilkan. Menurut logik
kapitalisme para konsumen, secara sengaja, terpisahkan dari para produsen.
Akibatnya, konsumen semakin tidak peduli apakah ketika memproduksi telah
terjadi eksploitasi manusia dan alam sebesar-besarnya. Namun, konsumen juga
merupakan korban, terperangkap dalam situasi tidak bisa memilih, ditempatkan sebagai orang yang mengkonsumsi,
dan diblokir secara sistemis seluruh keingintahuanya terhadap proses
memproduksi (Saragih, 2003:viii). Untuk sebagian besar dari konsumen, sulit
sekali untuk memahami atau bahkan membayangkan kenyataan kehidupan kalangan
petani.
Baru sekarang ini telah lahir kesadaran
konsumen atas dampak bahaya produk pertanian revolusi hijau terhadap kesehatan.
Antara berbagai penelitian yang menujukkan bahwa pemakaian bahan kimia sintesis
pertanian (termasuk pupuk, pestisida maupun hormon) berdampak buruk terhadap
kesehatan dan lingkungan, WHO (World Health Organisation) melaporkan bahwa
setiap tahun sekitar tiga juta orang teracuni pestisida. Seterusnya, kira-kira
200 ribu orang meninggal dunia. Bahan kimia sintesis tersebut ini juga diyakini
menjadi faktor utama yang mengakibatkan berkembangnya penyakit-penyakit yang
mengganggu fungsi metabolisme seperti ginjal,
lever, paru-paru dan sebagainya (dlm Saragih, 2003:viii).[20]
Atas munculnya kesadaran ini konsumen mulai mencari produk pertanian organik.
Namun, ketakutan konsumen atas bahaya bahan
kimia, dan kesadarannya atas kesehatan telah dimanfaatkan pemodal-pemodal
besar. Para pengusaha besar sudah mulai
memproduksikan komoditi organik – pupuk organik, pestisda organik, bibit
organik dan sebagainya. Namun, pengembangan ‘pertanian organik kapitalis’ dapat
dianggap sebagai tahap kedua dari intensifikasi pertanian, ‘Revolusi Hijau
Tahap II’. Kenyataan, tuturkan Anto,
seorang aktivis dari MBI (Mitra Bumi Indonesia), Malang, akan
memberatkan masyarakat lagi. Yang diutamakan ialah produktivitas, ialah
keuntungan, sedangkan kesejahteraan rakyat akan tersingkirkan. Ujar Bu
Napsiyah, kalau beli cairan pestisida,
bokashi organik, sama aja… tetap tergantung, tetap tercandu. Pertanian organik
berarti cari sendiri, buat sendiri, ngangkut sendiri! (30 April). Pertanian
organik menyiratkan kemandirian. Kalau petani tetap harus beli pupuk, benih dan
asupan lain, prinsip paling dasar ini akan dikhianati. Petani tetap
terperangkap ke dalam struktur produksi yang tidak mungkin dia kuasai.
Sabastian Saragih menyatakan, di beberapa tempat perusahaan swasta organik
justru menakibatkan kerusakan hutan, meneruskan hubungan yang tidak adil antara
petani dan konsumen, dan melahirkan perangkap baru. Untuk memenuhi kriteria
organik maka hutan dibuka atau humusnya diambil. Terjadi apa yang disebut
sebagai ecological dumping. Lagi
pula, karena harga produk pertanian organik lebih mahal maka petani menjual produk
organiknya, sedangkan membeli produk revolusi hijau untuk konsumsi sendiri,
yang disebut social dumping. Petani
menjadi ‘hamba’ untuk pemenuhan kesehatan konsumen, mayoritas yang tinggal
di kota
(2003:viii). Kesenjangan antara rakyat pedesaan dan rakyat perkotaan, antara
produsen dan konsumen semakin meluas.
Sebagai gerakan sosial ekonomi yang melawan
eksploitasi dalam perdagangan, fair
trade, atau perdagangan yang berkeadilan, menawarkan sebuah alternatif
pemasaran, yang berpihak kepada produsen kecil. Berarti dalam prinsipnya,
setiap tingkat dalam memasarkan produknya ditentukan oleh kelompok petani
sendiri, dari proses produksi (pemilihan benih, pupuk, pendekatan pengendalian hama dan sebagainya),
distribusi, penyimpanan sampai penentuan harga jual. Selanjutnya, dengan
membangkitkan nilai-nilai solidaritas antara produsen dan konsumen, konsumen
bersedia menghargai jerih payah produsen yang selama ini tidak pernah diperhitungkan.
Dalam memasarkan produk organik, koperasi kelompok tani Sahani di Yogyakarta,
MBI di Malang, dan Pasar Tani Alternatif di Boyolali, dibentukkan oleh berbagai
lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai model praktek perdagangan yang
transparen dan partisipatif, bertujuan untuk memulihkan hubungan antara
produsen dan konsumen yang selama ini terputuskan. MBI, untuk misalnya, pernah
mengadakan field day, atau hari
lapang, di mana konsumen dari Malang
diajak mengunjungi lahan-lahan Bu Napsiyah di Pulungan, diberikan kesempatan
untuk langsung bertanya tentang proses memproduksi sayur organik.
Namun bagaimana
caranya, agar konsumen sadar, harga beras dan sayuran yang selama ini
dikonsumsi tidak mencerminkan keadilan bagi petani, tutur Thres
Sanctyeka, aktivis pertanian organik. Harga yang adil dan layak bagi petani
ialah harga yang menghitung seluruh komponen biaya produksi, termasuk biaya
ekologis, konservasi, pendidikan beserta reinvestasi. Maka harga yang adil
ialah harga yang lebih mahal, dan hal ini merupakan tantangan penerimaan produk
organik yang besar. Harga jual beras di toko Sahani ialah Rp4.000 per kilogram,
harga yang ditentukan petani sendiri dan langsung dikembalikan kepada petani
penghasil, dibandingkan dengan harga beras biasa, dijual di pasar untuk
Rp2.500-3.000 per kilogram (dan harus dipertanyakan, berapa banyaknya akhirnya
diterima oleh produsen?).[21]
Akan tetapi, selama ini Sahani baru berhasil memasarkan 5-10 persen produk
beras organik yang dihasilkan oleh kelompok tani mitra Sahani. Selisahnya
petani terpaksa menjual ke pasar dengan harga yang jauh lebih rendah (harga
yang sama sekali tidak layak atau adil). Permintaan pasar untuk beras lokal,
misal Rojolele atau Menthik Mangi, selain tidak besar juga tidak stabil.
Walaupun biaya produksi lebih rendah, namun waktu tumbuh yang lama dan jalur
distribusi belum terbangun. Sementara itu permintaan beras ‘padi unggul’ yang
sama sekali tidak unggul itu, stabil dan jelas (Wulandari et al, 2003:168).
Selanjutnya, selama ini pemasaran produk
organik terfokus pada pasar perkotaan. Pasar lokal dilangkahi, maka petani
terperangkap pada ketergantungan dan kerentanan baru. Dalam pengalaman Bu
Napsiyah, sayurnya diambil dua kali seminggu oleh MBI, kemudian dijual kepada
konsumen di Malang dengan menggunakan sistem ‘titip jual’.[22] Kalau diambil 3kg, kemudian yang laku cuma
2kg, saya yang nanggung. Berarti, Ibu Napsiyah yang harus menanggung
semangatnya atau tidak upaya MBI dalam mencari konsumen. Lagi pula, ujarnya, saya pernah panen banyak-banyak… nga datang
sama sekali. Nga dikasihtahu… panenan sudah layu, harus dibawa, dijual di pasar
lokal, harga murah-murah. Saya yang
rugi. Pasti ada alasan untuk membelah diri… tapi alasan itu terlambat. Nga dua
tiga kali… sering.
Keterpisahan produk organik dari pasar
lokal merupakan hambatan sangat besar yang tidak bisa diabaikan. Mencari jalan
ke luar dari ketergantungan pada LSM dan pasar perkotaan, Supri ingin
mendirikan sebuah pasar tani, dan dengan demikian mengubah arah produksi pangan
organik menuju pemenuhan kebutuhan lokal.
Pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan
pertanian
Sudah bertahun-tahun, lebih dari 30 tahun,
petani Indonesia
terperangkap pabrik… terjebur, telanjur pada kimia (Bu
Napsiyah, 2004). Tanahnya menjadi
semakin tandus dan keras, menjadi greseng.
Akibatnya, saat musim tanam petani terpaksa menaburkan pupuk kimia lebih
banyak lagi agar tetap bisa menghasilkan di saat panen. Tutur Bu Napsiyah, seperti orang sakit, sulit mengembalikan
kesembuhan. Pertanian organik, yang berupaya menyembuhkan degradasi
ekosistem, akibat pemakaian bahan kimia lama dan sistemik, menghadapi kecanduan
besar-besaran. Program pengurangan atau bahkan penghilangan input kimia awalnya
akan mengakibatkan menurunnya hasil panen, bahkan beresiko gagal panen.
Wulandari dan Rahardjo menunjukkan, petani
yang telah mengalami kerugian akibat revolusi hijau, kini juga harus menanggung
kerugian demi pemulihan lahannya. Dengan demikian, biaya untuk memulihkan
kesuburan tanah yang telah dihancurkan oleh revolusi hijau ditanggung dan
dibebankan sepenuhnya pada petani. Pemerintah
pembuat kebijakan, perusahaan-perusahaan trans-nasional (trans-national
corporations, TNCs) dengan industri pupuk dan pestisida kimia, dan para peraup
keuntungan lain tidak pernah merasa perlu bertanggung jawab, apalagi mengganti
biaya kerusakan lingkungan pertanian yang menjadi hancur dan tergantung
terhadap imput-input kimia (2003:167). Tidak mengherankan, mayoritas petani
merasa keberatan ketika harus berpindah dari penggunaan input-input kimia ke
cara-cara bertani yang ekologis. Dari pengalaman Sekolah Lapan, petani alumni
sudah mulai mengurangi dosis pupuk kimia pun mulai mengembalikan kompos dan
kotoran ternak (pupuk kandang) sebagai pupuk dasar. Namun, kebanyakan juga
masih menggunakan pupuk kimia (komposisi TSP, KCl, Urea, dan Za seperti yang
disarankan PPL), dengan alasan terbesar, kalau menghilangkan pupuk kimia
sepenuhnya tiba-tiba, petani akan dirugikan. Hal ini adalah kendala serius bagi
gerakan pertanian organik. Pendekatan ‘menyalahkan korban’ akan membebankan
lagi petani yang telah dikorbankan habis oleh revolusi hijau. Wulandari dan
Rahardjo menyarankan, sebai pertanggung-jawaban pihak TNCs, industri pupuk dan
pestisida kimia, serta elite-elite pemerintah jika suatu saat Indonesia
terpaksa melakukan apa yang disebut pengganti hutang atau debt swap (mengingat negara Indonesia tergantung kepada hutang
lebih US$150 milyar), maka ‘tidak membayar hutang’ harus dipakai sebagai salah
satu kompensasi untuk rusaknya lingkungan pertanian (2003:168).
Ketimpangan gender
Dari sawah ke dapur
ke sawah… belum menghitung kerjaan perempuan – menyusui anak, mencuci, memasak
– sudah kesel. Pulang dari sawah kerjaan nga berhenti… terus-menerus… (Bu Napsiyah,
2004).
Seiring dengan proyek revolusi hijau
terjadilah marginalisasi pengetahuan dan kedaulatan perempuan di dunia
pertanian secara luar biasa. Pada masa yang mendahului revolusi hijau perempuan
memiliki peran yang vital dalam hal memutuskan, mengelola, dan mengontrol
benih, pengolahan lahan, dan hasil panen. Vandana Shiva membuktikan, dalam hal
menghasilkan dan menyiapkan pangan tanaman, perempuan membutuhkan pengetahuan
dan keahlian luas.
Untuk memilih benih yang tepat mereka harus mengetahui
mengenai persiapan bibit, syarat tumbuh, dan pemilihan jenis tanah. Untuk
menabur dan menumbuhkan benih dibutuhkan pengetahuan mengenai musim, iklim,
kebutuhan tanaman, kondisi cuaca, faktor iklim mikro, dan penyuburan tanah.
Untuk melakukan semua itu juga dibutuhkan kecekatan dan kekuatan. Pemeliharaan
tanamanpun memerlukan pengetahuan tentang sifat penyakit tumbuhan, pemangkasan,
pemancangan, sumber air, predator, tanaman sisipan, hitungan musim tanam, dan
pemeliharaan tanah. Pemanenan membutuhkan pemahaman tentang cuaca, tenaga
kerja, tingkat mutu, dan pengetahuan tentang pengawetan, pemanfaatan segera
serta perkembangbiakan (2001:129).
Pengetahuan dan keahlian perempuan justru
melestarikan keseimbangan ekosistem pertanian. Namun, pengetahuan perempuan
tentang kekhasan ekologi lokal tersingkirkan oleh pengetahuan monokultur, yakni
rejim benih hibrida dan asupan kimiawi buatan pabrik yang seragam. Pengetahuan
perempuan terpinggirkan oleh teknologi yang mengingkari keanekaragaman. Dalam
menyalurkan informasi dan teknologi intensifikasi pertanian, partisipasi
perempuan juga terpinggirkan. Ketika seorang PPL sempat ‘turun’ ke rakyat
pedesaan, cenderungnya dia akan berbicara hanya dengan petani laki-laki.
LSM-LSM yang aktif bergerak dalam memberdayakan
masyarakat petani menghadapi tantangan besar ini, yakni ketimpangan gender
dalam bangunan sosial pedesaan. Maka, dalam pengalaman Sekolah Lapang, petani
perempuan relatif tidak mampu terlibat secara intensif dalam kegiatan
pemberdayaannya. Mereka mengaku kesulitan membagi waktu antara pekerjaan rumah
dengan kegiatan Sekolah Lapang di desanya. Sangat jelas, kalau melihat jadwal
sehari-hari, perempuan memiliki waktu luang sedikit sekali. Yang sudah
dinyatakan Bu Napsiyah, kegiatan sehari-hari perempuan – menyediakan makan,
mengasuh bayi dan sebagainya – merupakan kegiatan vital yang tidak bisa
ditinggalkan. Kalau petani perempuan ingin mengikuti Sekolah Lapang, mereka
harus pandai-pandai mengatur waktu, dan seringkali terpaksa harus menunda
pekerjaan domestik. Namun pekerjaan tersebut harus tetap dikerjakan saat pulang
dari aktivitas Sekolah Lapang. Beban kerja perempuan sudah mengeselkan. Tidak
mengherankan, tidak banyak perempuan yang bisa atau mau terlibat dalam Sekolah
Lapang (Wulandari dan Rahardjo, 2003:162).
Kegiatan
sehari-hari petani perempuan
05.00-07.00 Masak dan bersih-bersih
07.00-07.30 Memberi makan ayam
07.30-11.00 Ke sawah
11.00-12.00 Mencuci piring dan baju
12.00-13.00 Menyiapkan makan siang
13.00-14.00 Istirahat
14.00-17.00 Ke sawah
17.00-17.30 Memberi makan ternak
17.30-18.00 Memasak makan malam
18.00-18.15 Mandi
18.15-19.00 Makan, mencuci piring
19.00-05.00 Istirahat
|
Kegiatan
sehari-hari petani laki-laki
06.00-07.00 Bangun tidur, ngopi
07.00-11.30 Ke sawah
11.30-12.30 Ngarit
12.30-13.30 Istirahat
13.30-16.30 Ke sawah
16.30-06.00 Santai, tidur
|
Sumber: Wulandari et al, 2003:162
Globalisasi
Dengan masuknya Indonesia ke dalam rangka pasar
global, tantangan bagi petani menjadi semakin berat dan kompleks. Upaya
globalisasi perdagangan sektor pertanian menyerahkan sistem pertanian dan nasib
petani Indonesia
kepada mekanisme pasar bebas, didasarkan atas prinsip free-fight liberalism (liberalisme pertarungan bebas). Siapa yang
kuat, dia yang menang. Siapa yang lemah, dia yang kalah. Bonnie Setiawan, salah
seorang aktivis dengan Institute for Global Justice di Jakarta, menjelaskan,
Si kuat adalah perusahaan-perusahaan importir; pedagang-pedagang
besar; birokrat rente; perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) yang menguasai
benih, pupuk, obat-obatan, sarana produksi, mesin-mesin, tanaman transgenik;
perusahaan-perusahaan agribisnis besar; dan para penguasa tanah besar dan
pejabat-pejabat yang mendapat keuntungan dari MNC. Si lemah adalah mayoritas
petani Indonesia
dan masyarakat pedesaan yang serba kecil/mikro usahanya, subsistens (pas-pasan)
dan miskin, banyaknya petani yang tak bertanah, dan mereka yang selalu
dikalahkan dalam banyak kasus agraria (2003:67-8).
Akibat beban hutangnya, maka Indonesia
dengan muda diikat kepada kesepakatan-kesepakatan multilateral, yang justru
mengutamakan kepentingan si kuat. Dampak berat perdagangan bebas sudah mulai
terasa di Indonesia pada tahun 1995, dengan masuknya ke dalam Perjanjian
Pertanian (Agreement on Agriculture), salah
satu alat liberalisasi dibentukkan oleh World Trade Organisation (WTO), polisi dagang dunia yang berpihak pada
kepentingan Negara-negara Maju (Wahono, 2001:xiii). Namun, melalui program
International Monetary Fund (IMF), yang di Indonesia dikenal sebagai Letter of Intent (LoI), mulai pada tahun
1997 Indonesia
terpaksa tunduk kepada proses liberalisasi yang drastis. Pelaksanaan program structural adjustment ini menyaratkan penurunan,
bahkan penghilangan tarif atas banyak komoditi, termasuk pangan; penghapusan
subsidi; serta pembukaan impor seluas-luasnya bagi produk pertanian luar
negeri. Kedaulatan pangan secara sistemik digerogoti oleh mekanisme pasar
‘bebas’. Sementara kesenjangan antara si kuat dan si lemah semakin meluas.
Sejak krisis 1998, bahkan tarif bea-masuk pangan pokok – beras, gula, kedelai,
jagung, telur dan gandum - sempat menjadi nol persen akibat syaratan IMF.
Jutaan petani Indonesia
dirugikan. Kemudian sejak 1 Januari 2000, ditetapkan bea-masuk impor beras
menjadi 30 persen. Namun, negara seperti Jepang masih mengenakan tarif impor
beras jauh di atas 100 persen. Akan tetapi setiap kali upaya menaikkan tarif
bea-masuk, dan lalu melindungi rakyat petani Indonesia, selalu ditentang IMF
(atau lebih tepat kalau dikatakan, ditentang pihak si kuat). Lagi pula, harga
beras dunia telah menurun sampai Rp1.800/kg dibanding harga beras produk Indonesia,
Rp2.400/kg. Selisih ini, tanpa tarif bea-masuk yang layak akan membebankan lagi
petani Indonesia
(Setiawan, 2003:68-9, Wahono, 2000:138). Akibat proyek liberalisasi pertanian,
maka total impor komoditas pangan utama Indonesia (yaitu beras, jagung,
bungkil kedelai, kacang tanah, gandum), pada tahun 2001 sudah mencapai angka Rp11.8
trilyun. Selanjutnya, Indonesia pernah, pada tahun fiskal
1998/1999, menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia, yaitu 4.8 juta ton
beras. Akan tetapi rata-rata perkiraan permintaan per tahunnya adalah hanya 3.2
juta ton beras (Setiawan, 2003:68). Para
importir, ‘si kuat’, semakin diuntungkan. Sementara rakyat petani, sekitar 27
juta keluarga yang menggantungkan nasibnya di sektor pertanian, semakin
dimiskinkan.
Bioteknologi
Terkait dekat dengan upaya global
liberalisasi sektor pertanian ialah rejim pematenan dan hak kekayaan
intelektual (HAKI), yang telah muncul atas perkembangan pertanian bioteknologi,
yakni perkembangan rekayasa genetika yang menghasilkan tanaman transgenik.
Menurut Vandana Shiva, revolusi bioteknologi merupakan gelombang ketiga
kolonialisme, kolonialisasi terhadap
kehidupan organisme (2001:123). Esensi ‘revolusi’ ini tidak berbeda dengan
revolusi hijau, yakni beralih dari teknologi pertanian yang rendah input luar
dan berdampak rendah, ke pertanian yang tergantung sepenuhnya pada teknologi
dari luar, tergantung pada varietas ‘unggul’ dan asupan kimiawi baru.
Tutur Mbah Suko,
Kini bibit-bibit jenis baru terus bermunculan, tidak
hanya padi tetapi juga jagung, dan kedalai. Semuanya dilabel dan dipacking
rapi, khas buatan buatan pabrik-pabrik luar negeri seperti Monsanto maupun
dalam negeri seperti Sang Hyang Sri. Saya yakin 100% hasil panen pada
awal-awalnya akan melimpah. Tapi jangka panjangnya jelas akan seperti dulu.
Benih itu pasti mandul, pasti haus pupuk kimia, dan pasti mengundang hama-hama
dengan jenis dan watak baru yang tidak pernah ada di ladang dan sawah saya
sebelumnya. Dan saya yakin pabrik-pabrik itu dengan licin akan membujuk
pemerintah agar membuat kebijakan dan peraturan untuk memaksa kami
menggunakannya. Dan petani harus bersiap diri menghadapi terjangan program baru
pengganti revolusi hijau, entah nanti apalagi namanya…
Kalangan petani harus bersiap diri
menghadapi ancaman ‘teknologi terminator’, di antara lainnya dikembangkan oleh
perusahaan raksasa Monsanto dan DuPont, yaitu rantai genetik yang menjamin
bahwa benih dari tanaman yang ditanam tidak akan tumbuh.[23]
Harus bersiap diri menghadapi bioteknologi yang membuat benih menjadi tidak
aktif apabila tidak ada input kimia, sehingga benih tidak bisa mereproduksi
dirinya. Melalui teknologi ini, siklus regenerasi dan pembaruan kehidupan
digantikan dengan benih mandul, benih yang tidak bisa diperbarui. Selanjutnya,
Vandana Shiva menyatakan bahwa penggunaan asupan kimiawi akan meningkat -
bertentangan dengan propaganda perusahaan yang mengklaim bioteknologi akan
mengurangi kebutuhan atas pupuk dan pestisida – karena selama ini, riset
cenderung diarahkan bukan pada tanaman yang bebas pupuk dan hama, tetapi pada
varietas tahan herbisida dan pestisida tertentu (2001:141). Sangat jelas dalam
pengembangan teknologi rekayasa genetika ada kepentingan sangat kuat dari modal
besar dan industri agribisnis. Apakah mungkin bahwa teknologi ini dapat
dipromosikan atas nama ketahanan pangan, sebagai jawaban untuk memberi makan
penduduk dunia yang lapar? Dalam rangka laba dan keuntungan, perusahaan bioteknologi tidak dapat
mengembangkan produk untuk orang yang tidak mampu membayarnya (Bell, 2001:44).
Uji coba benih hasil rekayasa genetika
sudah mulai ditawarkan oleh pemerintah Indonesia sebagai intensif dalam
mencanangkan program corporate farming.[24] Akan tetapi, Wulandari dan Rahardjo
menunjukkan, sungguh tidak mungkin melakukan uji coba penanaman benih rekayasa
genetika pada lahan demplot dan membandingkannya dengan demplot lain yang
ditanami benih lokal, lalu memutuskan mana yang lebih ‘produktif’, mana yang
lebih tahan hama. Karena produk rekayasa genetika mengandung bahaya yang belum
diketahui – sekali lepas akan mempengaruhi lingkungan sekitarnya dan mampu
mengubah tanaman lain secara genetis. Seperti
melakukan uji coba bom atom, sekali dijatuhkan maka daya rusaknya akan
dirasakan dalam waktu sangat lama (mungkin sampai akhir dunia!), dan sulit
untuk melakukan pemulihan kembali… Akankah menunggu kerusakan terjadi, untuk
menolak sebuah hal yang sesungguhnya menjadi kontroversi di kalangan ilmuwan
sendiri? (2003:166).
Pengembangan teknologi rekayasa genetika
melahirkan penjajahan baru dalam bentuk hak kekayaan intelektual dan paten.
Melalui kesepakatan WTO, General
Agreement on Tariff and Trade (GATT) secara umum, dan komponen di dalamnya
TRIPs (Trade Related Intellectual Property
Rights) secara khusus, dibentukkan kerangka hukum yang mendukung perampasan
hak masyarakat atas pengetahuan dan keanekaragaman hayati, dipandang industri bioteknologi
sebagai ‘bahan mentah’. Tidak mengherankan, komponen TRIPs dalam GATT cenderung
menguntungkan perusahaan multinasional (MNC) dan merugikan masyarakat,
khususnya petani kecil dan masyarakat adat di Selatan. Padahal dimana-mana masyarakat mempunyai kreativitas dan inovasi.
Bahkan kalangan paling miskin seringkali merupakan masyarakat yang paling
inovatif karena mereka harus mempertahankan dan menciptakan keberlangsungan
hidup yang terancam setiap hari (Shiva, 2001:124). Sistem HAKI yang
eksploitatif diperkuatkan oleh ketidakjelasan dalam Konvensi Keanekaragaman
Hayati. Pasal 16 mengenai akses dan alih teknologi menyaratkan,
Dalam hal teknologi yang dilindungi paten atau hak
kekayaan intelektual lain, akses dan teknologi demikian akan diberikan dengan
syarat yang mengakui serta konsisten dengan perlindungan hak kekayaan
intelektual yang memadai dan efektif (dlm Bisnis
Kehidupan, 2001:83).
Dengan perlindungan yang efektif, harus
dipertanyakan, siapa yang menilai keefektifannya? Pada pandangan pihak
agribisnis dan modal besar, klaim kepemilikan cipta yang ‘efektif’ berarti
melalui prosedur pendaftaran dan pengujian internasional yang mahal. Dengan
demikian, perlindungan ‘efektif’ berarti perlindungan pada hak perusahaan,
individu dan lembaga riset, bukan pada hak petani atau masyarakat adat, bukan
pada hak komunal. Akibatnya, bagi masyarakat petani susah sekali untuk
memperoleh klaim cipta dari sebagian besar keanekaragaman hayati – misalnya
jenis-induk sagu di Nusa Tenggara atau padi rojolele di Jawa, varietas kunyit
dan asam – yang sudah ber-ribu-ribu tahun dipelihara dan dilestarikan sejak
dari nenk moyangnya. Menurut interpretasi sempit dari Konvensi Keanekaragaman
Hayati, apabila wakil dari perusahaan atau lembaga riset datang beberapa kali,
dengan mudah mereka bisa mendapatkan klaim patennya (Wahono, 2001:xii).
Ironisnya pihak perampas justru dilindungi oleh kerangka hukum, sementara kalau
petani melakukan pertukaran materi genetika, dituduh sebagai pencuri (Shiva,
2001:123).
Keinginan Bu Napsiyah, serta kalangan
petani yang mempraktekkan pertanian ekologis, untuk membagi pengalamannya
merupakan bentuk perjuangan terhadap rejim HAKI, yang mereduksi semua nilai
menjai nilai perdagangan, dan semua inovasi menjadi milik pribadi melalui
pematenan.[25]
Monopoli dan laba tidak menjadi tujuan dalam corak pertanian ekologis di mana
benih dan pengetahuan dipertukarkan secara bebas. Sebaliknya, ada kesadaran
bahwa tanah, benih, pengetahuan, dan
teknologi petani bukan sekedar warisan dari nenek moyang, tepapi juga adalah
titipan dari nenek moyang untuk anak cucu kita (Mbah Suko, 2001:211). Dan
petani seperti Bu Napsiyah dan Mbah Suko akan melawan keras upaya-upaya si kuat
untuk merampas warisan mereka.
Kesimpulan
Ilmu
hidup
Ilmu hidup, yakni kearifan
masyarakat lokal atas benih, tanah,
keanekaragaman hayati, teknologi, akan bertahan hidup sebagai warisan untuk
anak cucu kita hanya kalau dipraktekkan dalam kehidupan sehari. Memang tidak
cukup dengan mengumpulkan daftar nama tumbuhan-tumbuhan, dengan menulis buku-buku
mengenai kearifan lokal yang akan diletakkan ke dalam perpustakaan. Ilmu hidup
menyiratkan kearifan yang hidup. Seperti kearifan padi lokal yang dilestarikan
oleh Mbah Suko,
Saya mengumpulkan beberapa benih padi lokal yang pernah
ada di desa saya dan desa-desa lain di Jawa Tengah sejak tahun 1989. Benih yang
saya peroleh sangat sedikit jumlahnya namun beragam jenisnya, rata-rata 2-5
malai per jenis. Selama puluhan tahun saya tetap mempertahankan benih-benih
tersebut dan saya tanam di petak-petak kecil sawah yang disewakan oleh LSM
Mitra Tani yang mendampingi petani di desa saya. Ada 27 jenis padi lokal yang
pernah saya tangkarkan tapi hanya 15 yang mampu bertahun, antara lain: Rojo
Lele, Buyung, Ketan Kuthuk, Gethok, Leri, Kenongo, Rening, Papah Aren, Saerah,
Berlian, Menthik Wangi, Tri Pandung Sari, Serang, Mainai, Wantean, Gropak.
Benih-benih tersebut saya bawa ke desa-desa di daerah lain di Jawa. Kelompok
tani yang saya ikuti juga mengembangkan beberapa benih lokal ini. Kami
bersama-sama mengembangkan benih lokal dengan cara organik dan untuk menambah
pendapatan, sawah juga kami sebari ikan, atau mina padi (2001:210).
Secara sistemik, pengetahuan dan teknologi
lokal telah dimusnahkan oleh proyek kolonialisasi besar-besaran, yang di Indonesia dikenal
sebagai Revolusi Hijau. Maka, kearifan berbudidaya harus direbut kembali oleh
masyarakat petani sendiri – kearifan pembenihan, penyuburan tanah, pengelolaan
air, pengendalian hama, penanaman, pemanenan, penyimpanan hasil panen,
pemasaran secara ekologis, secara mandiri. Dengan mengubah arah produksi pangan
menuju pemenuhan kebutuhan lokal, masyarakat petani sempat menemukan jalan
keluar dari sistem kapitalis, yang mereduksi
semua nilai-nilai menjadi harga pasar dan semua kegiatan manusia menjadi
perdagangan (Shiva, 2001:127). Sebagai bentuk perlawanan terhadap
penghancuran kreativitas lokal, gerakan pertanian organik harus ikut berjuang
dalam mengklaim balik kejernihan, kearifan, kepemilikan, dan kedaulatan petani
atas diri sendiri serta alat produksinya. Pertanian organik tidak cukup dengan
mengembalikan teknologi lokal, tidak cukup dengan mencari pemasaran produk
petani yang layak. Sebagai alat transformasi sosial, pertanian organik harus
menyalakan tindakan nyata perjuangan dalam menghadapi penindasan gender,
ketimpangan kelas, kerusakan lingkungan pertanian, jeratan globalisasi dan
pasar bebas, hingga ancaman benih hasil rekayasa genetika. Dalam singkat
gerakan pertanian organik harus ikut berjuang dengan petani seperti Ibu
Napsiyah dalam menuntut haknya untuk menentukan nasib mereka sendiri. Berani? Iya, nga mau mundur! (Bu
Napsiyah, 2004).
Lampiran
Langkah-langkah pembuatan
batik dengan menggunakan pewarnaan alami
Mas Sigit, Sendang, Tulung Agung
Pengolahan kain
Kain dicuci, lalu direbus kurang lebih setengah jam.
Direndam selama semalam dalam larutan soda abu, abu padi (batang padi yang
dibakar), air kelapa, jeruk nipis (bahan pengolahan kain, segalanya bisa,
satunya juga bisa).
Pengeringan
Pemalaman
Dengan menggunakan canting (untuk batik tulis) atau cap
(untuk batik cap), menggambar motif malam pada kain.
Pewarnaan
Kain dibasahi, dicelup warna, lalu diaduk-aduk hingga
merata. Kemudian direndam, semakin lama, semakin gelap warnanya. Pencelupan
(dicelup, digantung, dicelup, digantung…) diulang berkali-kali hingga warnanya
setebal seinginnya. Sehari, tiga kali (pagi, siang, sore).
Penirisan
Kain digantung di tempat teduh hingga tidak ada tetesan lagi
(kemudian dicelup lagi).
Pengikatan warna
Kalau warnanya sudah segelap seinginnya (mengingat warna
akan mengurangi pada saat menghilangkan malam)…
Air tawas (10 sendok makan). Tawas dapat dibeli dari toko bangunan atau toko jamu.
Batunya (250g) dicairkan dengan air (1 liter). Direndam semalam, atau;
Air kapur (1 sendok makan). Kapur dapat dibeli
dari toko bangunan. Batunya direndam dalam air akan mendidih, biarkan hingga
dingan, lalu air bening diambil, atau;
Cuka (1 sendok makan), atau;
Air jeruk nipis (5 biji).
Dilarutkan dengan air (1 liter). Bahan fiksasi ini juga bisa
dicampur. Masukkan kain ke dalam larutan. Diaduk-aduk, disiram, lalu digantung
lagi.
Penghilangan malam
Air direbus dengan soda abu, atau tawas, atau tepung kanji,
hingga mendidih. Masukkan kain, yang lalu direbus sampai malamnya sudah hilang.
Disiram. Digantung. Sudah jadi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar