MENUJU PERTANIAN ORGANIK

SELAMAT DATANG

Senin, 19 September 2011

TRIDARMA ILMU TANAH : CITA-CITA DAN KENYATAAN


Menerima 'Tridarma' sebagai doktrin yang melandasi segala kegiatan dan corak kehidupan kampus, berarti kita sanggup memenuhi berbagai tuntutan, baik yang mengenai mutu penyelesaian tugas maupun yang berkaitan dengan harkat pribadi. Penghayatan Tridarma secara benar dan utuh menjadi ciri khas insan kampus yang tidak dapat ditawar oleh siapa pun.

Tuntutan mutu penyelesaian tugas dipenuhi dengan jalan:
·         Secara malar (continuous) membina dan memacu pendidikan yang paut (relevant) guna menabur (disseminate) kecendekiaan, ilmu dan kemahiran.
·         Secara malar menjalankan dan menggairahkan penelitian sebaik-baiknya untuk menghidupkan dan membina sumber pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
·         Secara malar memelihara dan meningkatkan keterbukaan kampus terhadap masyarakat untuk memantapkan mekanisme saling tukar, yang pada gilirannya akan melancarkan proses umpan balik yang tertuju kepada penyuburan silang (crossfertilization) antara kampus sebagai penghasil dan masyarakat sebagai pengguna ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tuntutan harkat pribadi dipenuhi dengan jalan:
·         Teguh dalam mempertahankan kebenaran sejati, dari mana pun datangnya, akan tetapi tetap bersikap terbuka dan dapat memaklumi pendapat yang berbeda.
·         Menjauhi sikap ingin maju sendiri dan mendahulukan usaha mengajak orang lain ikut maju.
·         Tidak mementingkan diri sendiri dalam soal waktu, kesempatan dan mengembangkan bakat serta bersedia bekerja keras.
·         Menganut pandangan yang luas, serbacakup (comprehensive) dan terpadu.
·         Memiliki dedikasi untuk memahami lingkungannya.
Di pihak lembaga pendidikan tinggi, Tridarma mengisyaratkan kewajiban memerankan pelopor dan pemimpin dalam membina ilmu. Para pakar dan ahli yang bekerja di lembaga lain adalah hasil tempaan lembaga pendidikan tinggi. Maka kalau negara dan bangsa mengalami keterbelakangan atau kelesuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak ada pihak yang dapat disalahkan kecuali diri kita sendiri yang mengasuh lembaga pendidikan tinggi.

Perspektif Sejarah Ilmu Tanah

Perspektif sejarah berguna untuk (1) membantu mengendapkan dalam pikiran kita tahapan-tahapan rumit yang telah dilalui suatu ilmu, dalam hal ini ilmu tanah, (2) memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kristalisasi pengkajian tanah, dan (3) meramalkan hari depan ilmu tanah.

Manusia secara berangsur mendapatkan pengetahuan sebagai hasil perjuangannya demi kemaujudannya (existence). Inilah sebabnya mengapa kedokteran, botani dan astronomi merupakan disiplin ilmu yang tertua, pengetahuan yang pertama-tama dimiliki manusia. Pengetahuan kedokteran dia perlukan untuk melawan gangguan atau penyakit tubuhnya. Botani berkembang diderita karena minatnya yang mendalam tentang tumbuhan sebagai bahan obat atau pangan. Gejala ruang angkasa yang sukar dipahami, perubahan tetap siang dan malam, peredaran matahari dari timur ke barat, pemunculan bintang menurut musim, dan sebagainya membangkitkan rasa gaib dalam diri manusia. Dengan diawali penyembahan Dewa Matahari oleh bangsa Mesir Kuno, secara bertahap pengetahuan manusia bertambah yang akhimya melahirkan astronomi. Dari sesuatu yang dipandang gaib, dipuja dan disembah, lambat laun berganti menjadi sesuatu yang sangat memikat untuk disingkap rahasianya, untuk dijamah. Manusia mulai menjelajahi ruang angkasa.

Bagaimana mengenai tanah? Tanah berada di bawah telapak kaki manusia. Setiap saat dia menginjaknya, akan tetapi dia justru mendongak ke langit untuk memperoleh pertolongan dan keselamatan dari para Dewa. Selama manusia masih bertempat tinggal di dalam gua-gua atau di bawah tajuk lebat pepohonan, selama dia puas dengan mencari makan secara berburu binatang dan memungut hasil tumbuhan, dan selama dia sudah merasa senang meliliti tubuhnya dengan dedaunan, kulit kayu, atau kulit binatang untuk melindungi badannya dari kedinginan, kehujanan, tusukan duri, dan gigitan serangga, selama itu pula tanah bukan sesuatu yang perlu diperhatikan.

Kelahiran pengetahuan tentang tanah masih harus menunggu waktu lama sampai manusia menjinakkan (domesticate) hewan menjadi ternak dan tumbuhan menjadi tanaman. Mulailah manusia merasa perlu memperhatikan tanah. Keperhatian (concern) manusia yang menempati kawasan beriklim kering tertuju kepada pencarian padang rumput yang subur untuk menggembalakan ternak, dan yang menempati kawasan beriklim basah keperhatiannya tertuju kepada pemilihan tanah hutan yang baik untuk dibuka dan bercocok tanam. Manusia masih bergantung pada alam untuk memulihkan kesuburan perumputan atau kesuburan tanah hutan. Oleh karena pemulihan ini memerlukan waktu lama, manusia hidup sebagai peternak nomad atau petani peladang (swidden cultivators). Penduduk kawasan tropika basah di Afrika, Asia dan Amerika Selatan memahirkan diri dalam berladang.

Proses pengumpulan dan penghimpunan pengalaman mulai berjalan dan makin melaju setelah manusia hidup menetap. Diperlukan pengalaman dan pengetahuan yang lebih banyak dan andal untuk dapat memilih padang rumput atau tanah yang dapat digunakan secara tetap. Lembah-lembah sungai menjadi pilihan pertama untuk mendirikan permukiman dan mengusahakan pertanian secara menetap. Tanah lembah sungai disuburkan kembali secara berkala oleh lumpur banjir. Meskipun pemeliharaan kesuburan tanah masih digantungkan pada alam, akan tetapi oleh karena prosesnya berjalan hanya berselang musim dan tidak berjangka waktu tahunan seperti pada kawasan perladangan, manusia dapat menerapkan sistem pertanian menetap di lembah-lembah sungai. Bermukim sepanjang sungai juga mempertimbangkan kemudahan perhubungan dan perdagangan. Mereka yang kurang beruntung dengan alamnya, penyuburan tanah harus mereka usahakan sendiri.

Orang-orang Mesir Kuno memanfaatkan kedermawanan Bengawan Nil dengan menetap di sepanjang lembahnya. Orang-orang Babilonia yang mengusahakan lembah Sungai Eufrat dan Tigris yang beriklim kering mengembangkan teknik irigasi yang hebat. Akan tetapi teknologi irigasi waktu itu belum terdukung oleh pengetahuan tanah yang memadai. Maka akhimya tanah-tanah beririgasi di lembah Sungai Eufrat dan Tigris menjadi rusak karena salinisasi. Larutan garam di dalam air sungai mengendap dalam tanah karena evaporasi kuat di kawasan beriklim kering. Orang-orang Romawi, Yunani dan Cina mengembangkan kemahiran memupuk tanah dengan abu, sisa tanaman atau kotoran ternak. Orang Cina pada 4000 tahun yang lalu telah menerapkan semacam klasifikasi produktivitas tanah, a.l. untukdasar penetapan pajak bumi (Bennett, 1939; Joffe, 1949; Russell, 1963).

Pengetahuan akan ada kalau ada kebutuhan segera. Macam pengetahuan yang timbul, atau arah perkembangan suatu pengetahuan tertentu, tergantung pada lingkungan atau keadaan tempat yang menimbulkan kebutuhan akan pengetahuan itu. Pengumpulan pengetahuan berdasarkan pengalaman setempat dapat dikerjakan oleh orang awam. Akan tetapi menghimpun pengetahuan yang terpisah-pisah sehingga menjadi suatu sistem pengertian, atau menumbuhkan ilmu pengetahuan, hanya dapat dilaksanakan oleh para pakar atau ahli yang berminat. Oleh karena para cendekiawan sudah jauh lebih dulu menekuni ilmu-ilmu kealaman yang lain maka kemunculan ilmu tanah masih harus menunggu lama lagi sampai ada diversifikasi minat di kalangan para ahli pikir itu.

Saat tersebut akhimya tiba juga pada menjelang akhir abad ke-18. Tanah mendapatkan perhatian dari para cerdik pandai yang biasa berkecimpung dalam bidang kimia, fisiologi tumbuhan, bakteriologi dan geologi beserta bidang ikutannya petrografi dan mineralogi. Terbawa dari latar belakang disiplin ilmu masing-masing, mereka memperlakukan tanah sebagai suatu bahan. Orang geologi menganggap tanah sebagai bahan sisa pelapukan batuan. Mereka mengkaji tanah untuk menyidik kembali batuan asal mulanya menurut mineral dan sibir (fragment) batuan yang tersisa dalam bahan tanah. Orang ilmu kimia dan fisiologi tumbuhan memusatkan perhatian mereka pada unsur penyusunan tanah dan mengaitkannya dengan keharaan tanaman. Orang bakteriologi mementingkan unsur atau senyawa penyusun tanah yang dihasilkan oleh kegiatan biologi, khususnya oleh kegiatan jasad renik.

Berkat kemajuannya yang pesat dan berhasil, ilmu kimia untuk sementara waktu merajai pandangan ilmiah. Ilmu ini memiliki sarana penelitian ampuh berupa pemikiran dan kegiatan analitik. Sumbangan Boussingault di Perancis dan Liebig di Jerman kepada ilmu kimia pertanian dapat dicatat sebagai tonggak sejarah penting bagi perkembangan ilmu tanah. Terutama "teori mineral" dan "hukum minimum" Liebig yang diumumkannya pada tahun 1840 telah menghidupkan ilmu kesuburan tanah, suatu cabang ilmu tanah yang bertumbuh pesat dan menjadi cikal-bakal revolusi hijau yang terjadi pada abad ke-20. Dengan teori dan hukum tersebut Liebig sekaligus menumbangkan "teori humus" Thaer yang diajukan 30 tahun sebelumnya. Dapat dicatat bahwa ilmu kesuburan tanah modern menggabungkan teori humus dan teori mineral menjadi satu kesatuan dan menjabarkan ulang hukum minimum menjadi hukum neraca hara.

Di bawah asuhan ilmu kimia, pengkajian tanah maju dengan pesat. Ilmu tanah berhutang budi kepada kimia atas sumbangannya berupa metode dan tatacara penelitian serta hukum dasar kimia yang diterapkan pada tanah selaku medium produksi pertanaman. Akan tetapi di balik keberuntungan ini terdapat kerugian yang tidak kecil. Pengaruh ilmu kimia yang begitu kuat telah menghambat perkembangan pengkajian tanah menjadi disiplin ilmu yang hakiki dan mandiri. Pengkajian tanah menjadi bawahan ilmu kimia. Dengan konsep kimiawi tanah hanya dapat dipandang sebagai bahan dan tidak dapat dilihat tanah sebagai suatu tubuh alam yang khas. Geologi juga memberikan saham pada kekeliruan konsep ini. Pada waktu menekuni tanah sebagai limbah batuan, seorang pakar geologi tidak mempedulikan hubungan tanah dengan lingkungannya. Tanah dianggapnya hanya berkaitan langsung dengan batuan yang telah dan sedang mengalami pelapukan, dan tidak ada faktor lain di luar batuan dan pelapukan yang ikut serta menghadirkan tanah.

Fisika juga memberikan sumbangan yang sangat berarti kepada kemajuan pengkajian tanah. Berbagai sifat fisik dan mekanik tanah yang penting dapat di diungkapkan dengan teori dan hukum fisika. Akan tetapi sebagaimana ilmu kimia, fisika juga memandang tanah semata-mata sebagai bahan dan bukan sebagai tubuh

Kita tahu sekarang bahwa pengkajian dan penyelesaian persoalan tanah tidak semudah dugaan orang sampai akhir abad ke-l9. Membawa cuplikan (sample) tanah ke laboratorium untuk dianalisis sifat-sifat kimia, fisik, mineralogi dan/atau biologinya belum dapat memecahkan persoalan. Demikian pula halnya membawa tanah ke rumah kaca untuk percobaan pot.

Tonggak sejarah penting berikutnya bagi perkembangan pengkajian tanah datang pada pergantian abad ke-19 ke abad ke-20. Tonggak yang satu dipancangkan di Rusia oleh Dokuchaev dan murid-muridnya pada tahun 1883, dan tonggak yang lain dipancangkan di Amerika Serikat oleh Hilgard pada tahun 1877. Dokuchaev berlatarbelakang pendidikan geologi dan mineralogi, sedang Hilgard di samping berpendidikan geologi juga kemudian menguasai zoologi, botani dan agronomi (Joffe, 1949). Oleh kepeloporan kedua sarjana ini pandangan tentang hakekat tanah berubah dari bahan menjadi tubuh. Konsep tanah sebagai tubuh alam merupakan pembaharuan total atas pandangan sebelumnya. Tanah bukan sekadar bahan kimiawi atau benda fisik yang ditemukan di lapangan, bukan semata-mata substrat yang menghidupkan dan menghidupi tumbuhan, bukan hanya dunia jasad renik yang kaya raya, dan bukan pula sekadar limbah batuan. Tanah adalah suatu kenyataan alam yang mandiri.

Tanah mempunyai asal-usul, diujudkan di bawah kuasa faktor lingkungan tertentu melalui berbagai proses khas dan rumit, serta terdistribusikan di muka daratan dengan pola yang dapat ditakrifkan (distributed with definable patterns). Tanah merupakan suatu sistem terbuka menurut peredaran bahan dan energi. Kemaujudannya bertumpu pada daya tanggap tubuh tanah terhadap kakas (forces) yang bertanggung jawab atas pembentukan tanah. Kesudahan tanggapan ini terekam pada morfologi tubuh tanah (profil tanah) yang terbentuk oleh berbagai proses alihrupa dan alihtempat intemal (internal transformations and translocations).

Pada waktu dikuasai ilmu kimia, pengkajian tanah berkonsep statika. Buah penelitiannya adalah cuplikan tanah dari lapisan perakaran tanaman dan ruang kerjanya adalah laboratorium. Dengan konsep baru, ilmu tanah berurusan dengan dinamika tanah, berarti waktu menjadi faktor penting secara mutlak dalam menghadirkan sifat tanah. Tanah mernpakan perujudan suatu keseimbangan dinamik. Pada tahana tunak keseimbangan dinamik (steady state of dynamic equilibrium), anasir-anasir tanah berada dalam keselarasan timbal balik (mutually adjustment) dan tubuh tanah mencapai taraf matang. Kematangan ini bersifat nisbi. Apabila kelakuan faktor-faktor berubah maka proses penyelarasan timbal-balik antar anasir tanah berulang kembali menuju ke pencapaian keseimbangan dinamik baru. Dengan konsep baru ini buah telaah adalah keseluruhan tubuh tanah dan ruang kerjanya adalah lapangan tempat tubuh tanah itu berada. Cuplikan tanah dan laboratorium menjadi pelengkap penelitian untuk meningkatkan daya sidik dan daya ramal. Semua hasil penetapan laboratorium atas cuplikan tanah dikorelasikan satu dengan yang lain, baik secara vertikal untuk memperoleh rujukan tubuh maupun secara lateral untuk memperoleh rujukan bentangan. Dengan demikian tiap data tanah berada dalam suatu sistem informasi yang bermatra ruang. Dengan menginferensikan ciri-ciri tubuh tanah pada sejarah bentanglahan (landscape) tempat tubuh tanah berada, data tanah memperoleh pula matra waktu.

Setelah berhasil melahirkan konsep khusus tentang hakekat tanah dan berhasil menguraikan hukum yang mengatur faktor pembentuk tanah, barulah pengetahuan tanah menjadi suatu disiplin ilmu yang benar-benar mandiri. Ilmu kealaman yang lain, seperti ilmu kimia, fisika, biologi dan geologi, bukan lagi "bapak angkat" ilmu tanah melainkan alat. Bahkan kini matematika dan statistika sudah menjadi alat penting sekali dan lazim digunakan oleh ilmu tanah, khususnya dalam pengacuan (modelling) reaksi yang berlangsung dalam tanah dan interpolasi batas bentangan jenis tanah di medan (geostatistics).

Ilmu tanah masih muda sekali, boleh dikatakan umurnya kini baru sekitar satu abad. Akan tetapi dengan memiliki konsep baru maka sejak awal abad ke-20 ilmu tanah mengalami kemajuan pesat sekali. Dengan kelincahan dan kemahiran luar biasa, ilmu tanah memanfaatkan setiap kemajuan dalam ilmu kealaman yang lain dan dalam teknik analisis untuk memperkaya pandangan dan mencanggihkan metode penelitiannya. Bahkan kenyataan sosial dan ekonomi secara begitu cerdik dapat diramukan ke dalam ilmu tanah, misalnya yang dikerjakan oleh Profesor Edelman almarhum dalam bukunya "Sociale en Economische Bodemkunde" (1949). Joffe (1949) mengatakan bahwa ilmu tanah berdiri di antara ilmu tentang benda hidup dan tak hidup.

Ilmu tanah memperoleh matra lebih luas setelah klasifikasi dan pemetaan tanah berkembang pesat. Berkat fakta dan bukti yang terkumpul banyak selama penjelajahan medan secara intensif di kawasan dunia yang luas, konsep tanah sebagai sistem alam kemudian memperoleh konteks baru sebagai sumberdaya alam. Dengan ini ilmu tanah tidak saja berada di antara alam biotik dan abiotik, akan tetapi merangkaikan kedua alam tadi, dan bahkan memperoleh gatra sosial dan ekonomi sangat nyata. Dengan klasifikasi dan pemetaan tanah segala informasi tentang tanah memperoleh makna "tempat" dan penyalurannya menjadi lebih efektif karena dapat mengikuti asas ekstrapolasi atau adaptasi.

Hal ini jelas berguna sekali bagi penaburan ilmu dan teknologi tanah. Kebutuhan akan pendirian himpunan ilmu tanah, penerbitan jurnal ilmu tanah, atau penyelenggaraan pertemuan ilmu tanah secara berkala, menjadi bukti nyata tentang kepentingan penyaluran informasi untuk mendorong perkembangan ilmu tanah lebih pesat lagi. Misalnya, pertemuan ilmu tanah yang pertama kali diadakan di Indonesia berlangsung pada tahun 1930 di Yogyakarta. Salah satu jurnal ilmu tanah tertua "Soil Science" yang sekarang menjadi medium penyiaran ilmu tanah yang disegani, mulai terbit pada tahun 1916. Soil Science Society of America berdiri pada tahun 1936. Sebagai catatan, Himpunan Ilmu Tanah Indonesia baru berdiri pada tahun 1961 dan itupun "hidup segan mati tak sudi".

Hakikat Tradisional Ilmu Tanah

Ilmu tanah bermula dari sekumpulan pengalaman sederhana dalam lingkungan masyarakat pedesaan yang serba sederhana pula. Kemudian dia beruntung dipungut dan dipelihara dalam lingkungan elit ilmu pengetahuan yang serba angker dan berwibawa di kota-kota agung Berlin, Paris, London dan Moskwa. Akhirnya ilmu tanah menemukan jatidirinya di alam luas berupa hutan belantara, padang rumput, gurun, rawa, pegunungan tinggi bersalju dan lembah ngarai berair bah. Berbekal kecendekiaan elit, ilmu tanah kembali berbaur dengan masyarakat bawah.

Terbawa dari sejarah pertumbuhannya, secara tradisional ilmu tanah terikat erat pada budidaya tanaman dan ternak. Sampai sekarang pun ilmu tanah menjadi salah satu mata ajaran pokok dalam kurikulum pertanian. Selama tanaman dibudidayakan pada tanah, selama itu pula pertanian memerlukan ilmu tanah. Karena ilmu tanah selalu diasosiasikan dengan pertumbuhan tanaman maka secara tradisional bidang kesuburan tanah menjadi bagian ilmu tanah terpenting dari segi kehidupan masyarakat. Bahkan dalam pengertian orang awam, ilmu tanah adalah ilmu kesuburan tanah. Bagian ilmu tanah yang lain, yang bersifat "murni" seperti fisika tanah, kimia tanah, mineralogi tanah, biologi tanah dan genesis serta klasifikasi tanah, tidak banyak dikenal orang. Orang pada umumnya beranggapan ilmu tanah adalah bagian dari ilmu pertanian. Ilmu tanah hanya perlu bagi petani dan kegiatan yang melibatkan tanaman. Akibatnya, ilmu tanah memperoleh ruang cerapan yang sempit. Cerapan tradisional ini masih melekat pada banyak pihak penggaris kebijakan dan pengambil keputusan.

Prospek Ilmu Tanah

Dari kenyataan yang dihadapi ilmu tanah dan latar belakang sejarahnya, timbul berbagai pertanyaan mendasar tentang hari depan ilmu tanah. Sudahkah ilmu tanah sampai pada akhir perkembangannya? Apakah ilmu tanah sudah menemukan tempat yang sesuai, baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun dalam kehidupan masyarakat? Mungkinkah bidang pelayanan ilmu tanah diperluas, yang tidak saja meliputi bidang pertanian akan tetapi mencakup pula bidang kegiatan lain yang berkenaan dengan penggunaan wilayah? Seberapa siap ilmu tanah mengantisipasi pemunculan kenyataan tadi dan bagaimana konsekuensi pembaharuan pandangan mengenai hakikat tanah dalam kehidupan manusia atas perancangan dan pengelolaan pendidikan dan penelitian ilmu tanah? Sekelompok pakar tanah Amerika Serikat pada tahun 1950-an berupaya menyusun suatu sistem klasifikasi tanah serbacakup (comprehensive) agar bersifat serbaguna dan tidak hanya berguna bagi kepentingan pertanian saja. Dengan kata lain para pakar tersebut menginginkan agar informasi tanah dapat menjangkau berbagai pihak.

Setelah meliwati banyak tahap ujicoba (approximations) dengan kerjasama internasional luas, akhirnya pada tahun 1975 terbit buku Soil Taxonomy yang dinyatakan sebagai "a basic system of soil classification for making and interpreting soil surveys". Buku ini sampai sekarang masih mengalami perbaikan dan penambahan agar dapat menampung semua fakta tanah yang ditemukan di semua bagian dunia dan dapat melayani secara lebih baik kepentingan-kepentingan lain di luar pertanian. Soil Taxonomy disusun oleh Soil Survey dari Soil Conservation Service USDA dan diterbitkan sebagai Agriculture Handbook No. 436. Pada tahun 1966 Soil Science Society of America bersama dengan American Society of Agronomy menerbitkan buku Soil Surveys and Land Use Planning. Buku ini menyajikan secara jelas kepentingan informasi tanah berupa peta tanah bagi perencanaan permasyarakatan (community planning) yang menyangkut pembangunan wilayah pedesaan yang ditempati penduduk bukan petani, wilayah perkotaan, kawasan rekreasi, taman, dan jaringan jalan utama (highways). Informasi tanah juga diperlukan untuk penyeragaman penaksiran pajak bumi. Dengan memperhatikan keadaan tanah, pembangunan sektor bukan pertanian dapat mencapai efisiensi tinggi dan bersamaan dengan itu memperoleh wawasan lingkungan (Bartelli et al, 1966). Informasi tanah yang diperlukan sama dengan yang diperlukan pertanian, akan tetapi penafsirannya tentu berbeda (Kellogg, 1966).
Penerbitan kedua buku tadi pada paro ke dua abad ke-20 menandai terbitnya jaman pembaharuan makna ilmu tanah. Pelayanan ilmu tanah diharapkan dapat meluas dan menjangkau berbagai gatra kehidupan masyarakat. Ilmu tanah ingin dihayati kemaujudannya oleh seluruh masyarakat, tidak hanya oleh masyarakat ketanian saja.

Pada suatu tahap perkembangannya, ilmu tanah pernah dibina oleh geologi. Dalam pengkajian geologi kuarter diperlukan masukan dari telaah pedogenesis. Fakta ini diungkapkan dalam tulisan-tulisan Tedrow (1973), Jackson et al. (1973), Yaalon dan Ganor (1973), Mulcahy dan Churchward (1973), Wada dan Aomine (1973), El/Attar dan Jackson (1973), Gerasimov (1973), Zonn (1973), Ugolini dan Schlichte (1973), Pons dan van der Molen (1973), van Zindern Bekker dan Butzer (1973), Birklkeland (1974), Notohadiprawiro (1980), dan Gerrard (1981).

Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir terjadi perluasan besar dalam bidang penerapan ilmu tanah, mencakup arkeologi, ekologi, rekayasa, proyek-proyek pembangunan wilayah, dan tata ruang (Steur, 1967; Limbrey, 1975; Western, 1978; Buringh, 1978; Jenny, 1980; Soil management Support Service, 1981). Akibat pembaharuan cerapan mengenai ilmu tanah kemudian melanda pula bidang kajian tradisional ilmu tanah. Greenland (1981) misalnya, berpendapat bahwa pengkajian tanah untuk produksi pertanaman perlu dilatarbelakangi klasifikasi dan geografi tanah. Dengan latar belakang tersebut kesuburan tanah dapat ditaksir secara baik menurut kriterium kapabilitas bermatra waktu dan ruang, yang menyiratkan keterlanjutan penggunaan dan efektifitas kegunaannya. Buku Greenland bersama dengan buku pendahulunya, antara lain yang ditulis oleh Sanchez (1976), Theng (1980) dan Uehara dan Gillman(1981), menempatkan kajian tanah untuk pertanian dalam sorotan baru. Dalam sorotan itu kajian tanah tidak dikerjakan untuk memenuhi permintaan pertanian, akan tetapi dikerjakan untuk menyediakan informasi yang diperlukan pertanian sebagai salah satu pengguna tanah. Jadi, kajian tanah untuk pertanian ialah kajian tanah menurut metodologi ilmu tanah dengan diberi tafsir pertanian. Tergantung pada pengguna yang dilayani, kajian tanah yang sama dapat diberi tafsir teknik sipil, ekologi, geologi, arkeologi, dan sebagainya Maka ilmu tanah bukan bagian dari pertaniam

Baru-baru ini penempatan ilmu tanah di bawah naungan pertanian dipertanyakan secara tajam oleh Presiden Soil Science Society of America, Fredd P. Miller (1991). Maka keanggotaan dalam SSSA pun harus melalui keanggotaan dalam American Sosiety of Agronomy (ASA). Dipertanyakannya apakah ilmu tanah tidak perlu mencari paradigma baru. Kita terbiasa menjatidirikan lembaga menurut asal usul. Memang benar bahwa pada awalnya ilmu tanah ditangani oleh para pakar yang terdidik dan terlatih dalam ilmu kimia, fisika, biologi dan geologi, yang menerapkan asas dan alat mereka pada pengkajian tanah. Disiplin ilmu tanah mewarisi banyak pandangan dan tata kerja mereka. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya ilmu tanah diasuh dan menjadi dewasa di bawah pembinaan dan kelembagaan pertanian. Dengan demikian ilmu tanah, pakarnya dan himpunannya berkarya dengan paradigma ketanian. Dengan meluasnya bidang dan bertambahnya keberbagaian persoalan yang dapat ditangani ilmu tanah dewasa ini, muncul gagasan yang makin meluas dan menguat mengenai memilih di antara dua pilihan. Pilihan itu ialah tetap setia kepada paradigma ketanian yang telah menjadikan ilmu tanah kokoh dan terhormat namun tetap saja dipandang sebagai anak asuh pertanian, ataukah mencari paradigma baru yang membuat ilmu tanah berjatidiri dan berkemandirian secara utuh. Pembaharuan paradigma dapat berupa mengafiliasikan ilmu tanah dengan ilmu kebumian (earth sciences).

Ilmu tanah sendiri tidak luput dari pengaruh berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Pengaruh terpenting datang dari gerakan pengetatan penggunaan energi fosil atau energi komersial dan keprihatinan yang terus meningkat mengenai degradasi lingkungan hidup. Sehubungan dengan kedua hal tadi ilmu tanah terdorong meninjau ulang konsep dan tafsir faktanya. Kegiatan yang memakan energi fosil banyak ialah pemupukan dan pembenahan tanah (soil amendment) dengan bahan kimia buatan, irigasi dan pengatusan dengan bangunan bersistem gravitasi dan terutama dengan sistem pompa, pengolahan tanah dengan mesin, dan pemberantasan hama dan penyakit asal tanah (soil borne) secara kimiawi. Di samping itu pupuk dan pembenahan tanah buatan serta pestisida berdaya cemar kuat atas perairan.

Persoalan energi fosil berkenaan dengan pemupukan, pembenahan dan pengolahan tanah menghadapkan ilmu tanah pada empat pilihan. Pilihan pertama ialah tetap menggunakan masukan energi fosil bertakaran tinggi seperti sekarang, akan tetapi bersama dengan itu meningkatkan efisiensi penggunaan berdasarkan kreterium nisbah keluaran/masukan energi yang meningkat. Pilihan kedua ialah mengurangi kebutuhan total energi fosil dengan menganekaragamkan pertanaman, menyelaraskan sistem pembudidayaan pertanaman, atau pewilayahan pertanaman menurut asas agroekosistem. Pilihan ketiga ialah menyulih sebagian atau seluruh kebutuhan energi fosil dengan energi hayati yang terbarukan dan lebih murah. Pilihan keempat ialah gabungan antara berbagai pilihan tersebut.

Pilihan pertama dalam kaitannya dengan tanah mengupayakan perbaikan efesiensi penyerapan hara pupuk oleh perakaran tanaman dengan jalan (1) memilih bahan pupuk yang lebih lambat melepaskan hara, sehingga laju penyediaan hara setaraf dengan laju penyerapannya dan dengan demikian tidak ada kelebihan yang terbuang, (2) memasok hara secara berimbang untuk memperoleh tingkat konversi hara menjadi biomassa berguna yang tinggi, (3) menerapkan teknik pemupukan yang sesuai dengan sifat tanah untuk mengefektifkan penggunaan hara pupuk, dan/atau (4) mengelola tanah untuk memperbaiki interaksi antara pupuk dan tanah. Upaya ini perlu dilengkapi dengan upaya agronomi berupa meningkatkan daya tanaman mengkonversi masukan energi komersial menjadi keluaran energi hayati berguna dengan jalan (1) menanam varietas tanaman berhasil panen tinggi, dan (2) menjadwalkan pemupukan menurut fase-fase fisiologi yang bertanggapan paling menguntungkan.

Segi tanah dari pilihan kedua berkenaan dengan menghemat pupuk yang diupayakan dengan jalan (1) memanfaatkan pupuk yang tersisa dari pertanaman terdahulu untuk pertanaman berikutnya, (2) menyusun pola pergiliran pertanaman yang kebutuhan pupuk total lebih rendah dari kebutuhan semula dengan budidaya tunggal, (3) melaksanakan sistem pertanaman yang memanfaatkan sebaik-baiknya potensi tanah memugar sendiri produktivitasnya, dan/atau (4) memilih tanah yang keadaan alaminya sesuai dengan kebutuhan suatu macam pertanaman tertentu, berarti perwilayahan budidaya tanaman menurut kemampuan tanah. Dalam hal pengelolahan tanah dikerjakan dengan mesin, jalan ketiga juga menghemat energi fosil yang digunakan untuk mengolah tanah. Energi untuk mengolah tanah juga dapat dihemat dengan menggunakan bahan pembenah tanah (soil amendment). Dengan mempertahankan struktur dan konsistensi tanah yang baik, dapat diterapkan asas pengolahan tanah minimum (minimum tillage), bahkan asas tanpa pengolahan tanah (zero tillage).

Peranan ilmu tanah dalam pilihan ketiga ialah menemukan alternatif pembekalan hara dalam tanah. Suatu alternatif yang sekarang yang sedang giat dikembangkan ialah memapankan di dalam tanah suatu mekanisme hayati pembekalan hara dengan bioteknologi tanah. Upaya ini dikenal dengan budidaya organik (organic farming). Budidaya organik merupakan suatu sistem produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang hara secara hayati (Papendick dan Elliott, 1984). Masukan yang digunakan dalam budidaya organik ialah pupuk organik dan pupuk hayati (biofertilizer). Pupuk hayati ialah sediaan organik yang peran ameliorasinya berasal dari kandungan jasad renik aktif. Yang termasuk pupuk hayati antara lain inokulum Rhizobium, inokulum mikorisa, biakan jasad renik pelarut fosfat, dan biakan jasad renik pengurai bahan organik.

Salah satu upaya yang termasuk pilihan keempat ialah sistem gizi tanaman terpadu (intergrated plant nutrition system, IPNS). Dalam IPNS sebagian kebutuhan masukan energi fosil berupa pupuk buatan kimia disulih dengan masukan energi hayati terbarukan berupa pupuk organik dan/atau pupuk hayati. Di dalam IPNS mekanisme hayati dibangkitkan untuk membentuk sistem bekalan hara di dalam tanah yang efektif dan mantap. Pembentukan ini memerlukan waktu panjang. Sementara itu digunakan pupuk buatan kimia untuk memasok hara sebelum sistem bekalan hara hayati dapat berfungsi secara berkelanjutan. Di bawah binaan FAO (1991) IPNS tengah digalakkan di kawasan Asia dan Pasifik. Jadi, IPNS menggabungkan pilihan pertama dengan ketiga. Upaya lain ialah menggabungkan pilihan kedua dan ketiga, atau menggabungkan pilihan pertama, kedua dan ketiga.

Kepentingan mendesak akan penggunaan energi baru dan terbarukan yang diprioritaskan pada energi pedesaan, dicetuskan dalam "Nairobi Programme of Action". Program ini kemudian didukung FAO dalam sidangnya yang ke-21 di Roma dalam bulan November 1981 dan dipertegas kembali dalam Sidang Regional FAO untuk Asia dan Pasifik ke-16 di Jakarta dalam bulan Juni 1982. Sifat energi terbarukan selalu berkaitan, baik langsung maupun tidak, dengan alam hayati masa kini. Program Nairobi merupakan awal pengembangan budidaya organik.

Beberapa tahun sebelumnya East-West Center di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat, telah mengaji dan mengembangkan suatu sistem merasionalkan pemupukan yang berintikan penghematan penggunaan pupuk buatan kimia yang berkadar energi fosil tinggi. Upaya ini dikerjakan bersama dengan sejumlah negara Asia dan Pasifik, termasuk Indonesia (Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UGM). Kegiatan ini dijalankan dengan proyek I.N.P.U.T.S. (Increasing Productivity Under Tight Supplies), yang dimulai pada tahun 1974 dan berakhir pada tahun 1979.

Dalam gambarannya mengenai pertanian pada abad ke-21, Wittwer (1983) meramalkan bahwa teknologi produksi pangan akan bergeser dari teknologi bermekanisasi berat yang menggunakan lahan, air dan energi secara intensif ke teknologi yang lebih berdasarkan biologi dan berkiblat ilmiah, yang menghemat sumberdaya lahan, air dan energi. Teknologi tersebut pertama, yang sekarang diterapkan terutama di Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Brasil dan Argentina, mempunyai keunggulan dalam hal keluaran tiap pekerja usahatani tertinggi di dunia. Teknologi tersebut kedua, yang dewasa ini pada umumnya dilaksanakan di Jepang, Taiwan, Cina dan Eropa Barat, mempunyai keunggulan dalam hal hasil panen lebih tinggi tiap satuan luas lahan dan sering juga disertai dengan indeks pertanaman (cropping index) yang lebih tinggi. Memang produktivitasnya per pekerja usahatani tidak setinggi teknologi pertama. Dengan kata lain, dunia kita akan berpindah dari ekonomi yang digerakkan oleh permintaan dengan pandangan ketidakterbatasan sumberdaya ke suatu ekonomi yang berwawasan keterbatasan sumberdaya.

Dalam kaitannya dengan tanah, gambaran pertanian abad ke-21 mengisyaratkan upaya menyidik kebutuhan keharaan optimum berbagai spesies tanaman dan merunut sumbangan flora dan fauna tanah kepada penyediaan hara yang bersumber dalam atmosfer dan tanah. Mekanisme sistem hayati yang berkomponen ganda dan kompetitif perlu ditelaah mendalam untuk mencapai produktivitas optimum. Hal ini tidak lain daripada upaya mengembangkan budidaya organik atau IPNS dengan pupuk organik dan pupuk hayati . Penggunaan jasad renik penambat nitrogen udara, baik yang hidup bebas maupun yang hidup bersimbiosis dengan tanaman tingkat tinggi (legum), terbukti dapat mengurangi banyak kebutuhan pupuk nitrogen buatan. Pendauran ulang sisa atau limbah hayati, baik melalui pencernaan ternak yang menghasilkan kotoran ternak atau pupuk kandang, melalui pengomposan yang menghasilkan kompos, maupun melalui perombakan biologi langsung dalam tanah yang merupakan pupuk hijau, tidak sedikit mengurangi kebutuhan pupuk buatan, khususnya pupuk N dan P.

Inokulasi mikorisa pada tanaman sangat meningkatkan daya akar menyerap hara, terutama P, dan air, sehingga penggunaan hara dan air menjadi lebih hemat. Diperkirakan perlumbuhan mikorisa yang baik memperluas permukaan serapan akar sampai 1000 kali. Dengan biakan jasad renik pelarut fosfat, pupuk fosfat buatan yang mahal (TSP) dapat disulih dengan pupuk fosfat alam yang murah dan awet dalam tanah. Menyulih TSP dengan fosfat alam di tanah yang kaya akan oksida dan hidroksida Fe dan Al (tanah merah tropika) meningkatkan efektivitas pemupukan P.

Penggunaan pupuk organik atau mulsa menjadi prasyarat bagi penerapan pengolahan tanah terbatas atau nihil. Bahan-bahan tersebut juga berperan penting dalam konservasi tanah dan air. Konservasi air dalam tanah berarti mengurangi kebutuhan akan air irigasi, dan hal ini pada gilirannya membatasi keperluan membangun bendung (weir) atau waduk, atau memasang pompa untuk menaikkan air sungai atau air tanah. Sistem konservasi air yang baik, yang menyatu dengan sistem budidaya pertanaman, akan mendorong perkembangan pertanian tadah hujan.

Pertanian tadah hujan memanfaatkan energi alam gravitasi untuk menyampaikan air dari atmosfer langsung kepada petak pertanaman. Ada dua keuntungan yang dapat diperoleh dari sistem pertanian tadah hujan. Keuntungan pertama ialah tidak ada kehilangan lahan produksi karena ditempati oleh waduk dan jaringan saluran penyalur dan pembagi air sebagaimana halnya pada sistem pertanian beririgasi. Fakta di Indonesia menunjukkan bahwa untuk mengairi lahan sawah seluas 20-25 ribu ha diperlukan lahan seluas tidak kurang daripada 10 ribu ha yang harus dikorbankan untuk menempatkan waduk dan jaringan saluran penyalur dan pembagi air mulai dari tingkat primer sampai dengan tingkat kuarter. Keuntungan kedua ialah tidak ada kerugian air yang hilang dalam simpanan di dalam waduk karena penguapan yang dipacu oleh bentangan permukaan air bebas yang luas dan diam yang menyebabkan suhu air dapat naik lebih tinggi, dan tidak ada air yang hilang merembes liwat dinding dan dasar saluran penyalur dan pembagi air. Kehilangan air sebanyak 30% boleh dibilang umum terjadi di jaringan saluran tersier pada lahan pantai di Jawa.

Hujan merupakan sumber air paling murah. Di daerah dengan curah hujan tahunan purata di atas 1200 mm dapat diusahakan pertanaman semusim tadah hujan dengan potensi produksi setaraf dengan yang beririgasi (Roy & Arora, 1973). Masalahnya ialah bagaimana menangkap air hujan sebaik-baiknya, mengalihrupakannya secara efektif menjadi lengas tanah yang berguna bagi tanaman, mengawetkan lengas tanah sehingga dapat memenuhi kebutuhan tanaman sampai hujan berikutnya jatuh, dan bilamana perlu membuang kelebihan air secara aman tanpa menimbulkan erosi tanah dan pelindian hara (leaching of nutrients) yang melampui batas terbolehkan (permissible limit). Di sinilah peranan ilmu tanah menonjol. Ilmu tanah tidak pernah menganjurkan irigasi penuh, kecuali di daerah-daerah yang beriklim terlalu kering selama seluruh musim tanam. Penggunaan sumber air permukaan dan air tanah untuk irigasi suplemental adalah cara pengelolaan sumber terbaik. Dalam cara itu sudah dipertimbangkan pengawetan sumber air dan pemerataan beban penggunaan antar berbagai sumber air.

Kalau diperlukan irigasi atau pengatusan, penggunaan energi gravitasi jauh lebih baik daripada menggunakan pompa yang memakan banyak energi komersial. Apalagi kalau pompa dijalankan dengan energi listrik yang dikonversikan dari energi fosil minyak. Efisiensi konversinya pada lazimnya tidak lebih daripada 35%. Kebutuhan energi komersial untuk irigasi atau pengatusan dapat ditekan serendah-rendahnya apabila listrik yang digunakan menjalankan pompa berasal dari PLTA atau yang dibangkitkan secara fotovoltaik.

Irigasi di daerah langka hujan perlu disertai kewaspadaan terhadap kemungkinan penggaraman tanah. Karena penguapan kuat, lambat laun terjadi pemekatan garam yang terlarut dalam air, yang kemudian mengendap dan melonggok dalam tanah. Tanah yang semula normal berubah menjadi tanah garaman. Apabila pelonggokan garam mencapai kadar gawat, tidak ada lagi tanaman yang dapat tumbuh, kecuali yang sangat tahan garam, misalnya pohon korma, bayam dan kapas, atau tumbuhan halofita liar. Makin kering iklimnya, berarti makin besar evaporasinya daripada curah hujannya, makin tinggi kadar garam terlarutkan dalam air irigasi, dan/atau makin lambat permeabilitas tubuh tanah, bahaya penggalarnan tanah karena irigasi makin besar. Kejadian semacam inilah yang telah menghancurkan pertanian yang semula sangat subur di lembah sungai Eufrat - Tigris pada jaman kerajaan Mesopotamia yang sekarang menjadi negara Irak. Pengetahuan tentang kimiawi air irigasi, laju evaporasi, reaksi pertukaran ion antara larutan tanah dan kompleks jerapan tanah, serta laju perkolasi air sepanjang tubuh tanah, diperlukan secara mutlak bagi perencanaan irigasi di daerah iklim kering.

Ilmu tanah berkepentingan dengan peningkatan efektivitas penggunaan energi pancar matahari untuk fotosintesis sehubungan dengan peningkatan penghasilan biomassa nabati. Peningkatan produksi biomassa nabati diperlukan untuk memperbanyak sisa pertanaman yang dapat didaurkan ulang sebagai pupuk organik atau mulsa untuk memperbaiki produktivitas tanah, atau mempertahankan kebaikannya, dan menyehatkan ekosistem tanah. Menyehatkan ekosistem tanah, disamping diperlukan sehubungan dengan memantapkan produktivitas tanah dan meningkatkan efektivitas pupuk, juga berguna menekan penyakit lewat tanah (soil-borne diseases) yang menyerang akar dan pangkal batang tanaman (Lynch, 1983; Christensen, 1987). Maka ilmu tanah dapat berbicara banyak dalam merancang pola tanam dan sistem pertanaman dengan agronomi. Dengan konsep penyehatan tanah, ilmu tanah dapat membantu upaya menghemat pestisida, yang berarti menghemat energi fosil atau energi komersial dan menekan bahaya pencemaran atas perairan.

Dengan sifat-sifat fisik, kimia dan biologinya, suatu hamparan tanah dapat digunakan membersihkan limbah industri dan permukiman dari bahan atau zat pencemar. Dengan struktur yang dimilikinya, tanah dapat menyaring bahan pencemar yang tersuspensi dalam limbah cair. Dengan kemampuan menukar ion pada mineral lempung dan bahan humus yang dikandungnya, tanah dapat menyerap zat pencemar berupa ion yang terlarut dalam limbah cair. Dengan populasi jasad renik pengurai yang hidup di dalamnya, tanah dapat menguraikan senyawa organik pencemar menjadi senyawa organik sederhana atau senyawa mineral yang tidak berbahaya. Dengan demikian ilmu tanah dapat menyumbang kepada rekayasa sanitasi lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar