Menerima
'Tridarma' sebagai doktrin yang melandasi segala kegiatan dan corak kehidupan
kampus, berarti kita sanggup memenuhi berbagai tuntutan, baik yang mengenai
mutu penyelesaian tugas maupun yang berkaitan dengan harkat pribadi.
Penghayatan Tridarma secara benar dan utuh menjadi ciri khas insan kampus yang
tidak dapat ditawar oleh siapa pun.
Tuntutan
mutu penyelesaian tugas dipenuhi dengan jalan:
·
Secara malar (continuous)
membina dan memacu pendidikan yang paut (relevant) guna menabur (disseminate)
kecendekiaan, ilmu dan kemahiran.
·
Secara malar
menjalankan dan menggairahkan penelitian sebaik-baiknya untuk menghidupkan dan
membina sumber pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
·
Secara malar
memelihara dan meningkatkan keterbukaan kampus terhadap masyarakat untuk
memantapkan mekanisme saling tukar, yang pada gilirannya akan melancarkan
proses umpan balik yang tertuju kepada penyuburan silang (crossfertilization)
antara kampus sebagai penghasil dan masyarakat sebagai pengguna ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Tuntutan
harkat pribadi dipenuhi dengan jalan:
·
Teguh dalam
mempertahankan kebenaran sejati, dari mana pun datangnya, akan tetapi tetap
bersikap terbuka dan dapat memaklumi pendapat yang berbeda.
·
Menjauhi sikap
ingin maju sendiri dan mendahulukan usaha mengajak orang lain ikut maju.
·
Tidak
mementingkan diri sendiri dalam soal waktu, kesempatan dan mengembangkan bakat
serta bersedia bekerja keras.
·
Menganut
pandangan yang luas, serbacakup (comprehensive) dan terpadu.
·
Memiliki dedikasi
untuk memahami lingkungannya.
Di
pihak lembaga pendidikan tinggi, Tridarma mengisyaratkan kewajiban memerankan
pelopor dan pemimpin dalam membina ilmu. Para
pakar dan ahli yang bekerja di lembaga lain adalah hasil tempaan lembaga
pendidikan tinggi. Maka kalau negara dan bangsa mengalami keterbelakangan atau
kelesuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak ada pihak yang dapat disalahkan
kecuali diri kita sendiri yang mengasuh lembaga pendidikan tinggi.
Perspektif
Sejarah Ilmu Tanah
Perspektif
sejarah berguna untuk (1) membantu mengendapkan dalam pikiran kita
tahapan-tahapan rumit yang telah dilalui suatu ilmu, dalam hal ini ilmu tanah,
(2) memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kristalisasi pengkajian tanah, dan
(3) meramalkan hari depan ilmu tanah.
Manusia
secara berangsur mendapatkan pengetahuan sebagai hasil perjuangannya demi
kemaujudannya (existence). Inilah sebabnya mengapa kedokteran, botani
dan astronomi merupakan disiplin ilmu yang tertua, pengetahuan yang
pertama-tama dimiliki manusia. Pengetahuan kedokteran dia perlukan untuk
melawan gangguan atau penyakit tubuhnya. Botani berkembang diderita karena minatnya
yang mendalam tentang tumbuhan sebagai bahan obat atau pangan. Gejala ruang
angkasa yang sukar dipahami, perubahan tetap siang dan malam, peredaran
matahari dari timur ke barat, pemunculan bintang menurut musim, dan sebagainya
membangkitkan rasa gaib dalam diri manusia. Dengan diawali penyembahan Dewa
Matahari oleh bangsa Mesir Kuno, secara bertahap pengetahuan manusia bertambah
yang akhimya melahirkan astronomi. Dari sesuatu yang dipandang gaib, dipuja dan
disembah, lambat laun berganti menjadi sesuatu yang sangat memikat untuk
disingkap rahasianya, untuk dijamah. Manusia mulai menjelajahi ruang angkasa.
Bagaimana
mengenai tanah? Tanah berada di bawah telapak kaki manusia. Setiap saat dia
menginjaknya, akan tetapi dia justru mendongak ke langit untuk memperoleh
pertolongan dan keselamatan dari para Dewa. Selama manusia masih bertempat
tinggal di dalam gua-gua atau di bawah tajuk lebat pepohonan, selama dia puas
dengan mencari makan secara berburu binatang dan memungut hasil tumbuhan, dan
selama dia sudah merasa senang meliliti tubuhnya dengan dedaunan, kulit kayu,
atau kulit binatang untuk melindungi badannya dari kedinginan, kehujanan,
tusukan duri, dan gigitan serangga, selama itu pula tanah bukan sesuatu yang
perlu diperhatikan.
Kelahiran
pengetahuan tentang tanah masih harus menunggu waktu lama sampai manusia
menjinakkan (domesticate) hewan menjadi ternak dan tumbuhan menjadi
tanaman. Mulailah manusia merasa perlu memperhatikan tanah. Keperhatian (concern)
manusia yang menempati kawasan beriklim kering tertuju kepada pencarian padang rumput yang subur
untuk menggembalakan ternak, dan yang menempati kawasan beriklim basah
keperhatiannya tertuju kepada pemilihan tanah hutan yang baik untuk dibuka dan
bercocok tanam. Manusia masih bergantung pada alam untuk memulihkan kesuburan
perumputan atau kesuburan tanah hutan. Oleh karena pemulihan ini memerlukan
waktu lama, manusia hidup sebagai peternak nomad atau petani peladang (swidden
cultivators). Penduduk kawasan tropika basah di Afrika, Asia
dan Amerika Selatan memahirkan diri dalam berladang.
Proses
pengumpulan dan penghimpunan pengalaman mulai berjalan dan makin melaju setelah
manusia hidup menetap. Diperlukan pengalaman dan pengetahuan yang lebih banyak
dan andal untuk dapat memilih padang
rumput atau tanah yang dapat digunakan secara tetap. Lembah-lembah sungai
menjadi pilihan pertama untuk mendirikan permukiman dan mengusahakan pertanian
secara menetap. Tanah lembah sungai disuburkan kembali secara berkala oleh
lumpur banjir. Meskipun pemeliharaan kesuburan tanah masih digantungkan pada
alam, akan tetapi oleh karena prosesnya berjalan hanya berselang musim dan
tidak berjangka waktu tahunan seperti pada kawasan perladangan, manusia dapat
menerapkan sistem pertanian menetap di lembah-lembah sungai. Bermukim sepanjang
sungai juga mempertimbangkan kemudahan perhubungan dan perdagangan. Mereka yang
kurang beruntung dengan alamnya, penyuburan tanah harus mereka usahakan
sendiri.
Orang-orang
Mesir Kuno memanfaatkan kedermawanan Bengawan Nil dengan menetap di sepanjang
lembahnya. Orang-orang Babilonia yang mengusahakan lembah Sungai Eufrat dan Tigris yang beriklim kering mengembangkan teknik irigasi
yang hebat. Akan tetapi teknologi irigasi waktu itu belum terdukung oleh
pengetahuan tanah yang memadai. Maka akhimya tanah-tanah beririgasi di lembah
Sungai Eufrat dan Tigris menjadi rusak karena
salinisasi. Larutan garam di dalam air sungai mengendap dalam tanah karena
evaporasi kuat di kawasan beriklim kering. Orang-orang Romawi, Yunani dan Cina
mengembangkan kemahiran memupuk tanah dengan abu, sisa tanaman atau kotoran
ternak. Orang Cina pada 4000 tahun yang lalu telah menerapkan semacam
klasifikasi produktivitas tanah, a.l. untukdasar penetapan pajak bumi (Bennett,
1939; Joffe, 1949; Russell, 1963).
Pengetahuan
akan ada kalau ada kebutuhan segera. Macam pengetahuan yang timbul, atau arah
perkembangan suatu pengetahuan tertentu, tergantung pada lingkungan atau
keadaan tempat yang menimbulkan kebutuhan akan pengetahuan itu. Pengumpulan
pengetahuan berdasarkan pengalaman setempat dapat dikerjakan oleh orang awam.
Akan tetapi menghimpun pengetahuan yang terpisah-pisah sehingga menjadi suatu
sistem pengertian, atau menumbuhkan ilmu pengetahuan, hanya dapat dilaksanakan
oleh para pakar atau ahli yang berminat. Oleh karena para cendekiawan sudah
jauh lebih dulu menekuni ilmu-ilmu kealaman yang lain maka kemunculan ilmu
tanah masih harus menunggu lama lagi sampai ada diversifikasi minat di kalangan
para ahli pikir itu.
Saat
tersebut akhimya tiba juga pada menjelang akhir abad ke-18. Tanah mendapatkan
perhatian dari para cerdik pandai yang biasa berkecimpung dalam bidang kimia,
fisiologi tumbuhan, bakteriologi dan geologi beserta bidang ikutannya
petrografi dan mineralogi. Terbawa dari latar belakang disiplin ilmu
masing-masing, mereka memperlakukan tanah sebagai suatu bahan. Orang geologi
menganggap tanah sebagai bahan sisa pelapukan batuan. Mereka mengkaji tanah
untuk menyidik kembali batuan asal mulanya menurut mineral dan sibir (fragment)
batuan yang tersisa dalam bahan tanah. Orang ilmu kimia dan fisiologi tumbuhan
memusatkan perhatian mereka pada unsur penyusunan tanah dan mengaitkannya
dengan keharaan tanaman. Orang bakteriologi mementingkan unsur atau senyawa
penyusun tanah yang dihasilkan oleh kegiatan biologi, khususnya oleh kegiatan
jasad renik.
Berkat
kemajuannya yang pesat dan berhasil, ilmu kimia untuk sementara waktu merajai
pandangan ilmiah. Ilmu ini memiliki sarana penelitian ampuh berupa pemikiran
dan kegiatan analitik. Sumbangan Boussingault di Perancis dan Liebig di Jerman
kepada ilmu kimia pertanian dapat dicatat sebagai tonggak sejarah penting bagi
perkembangan ilmu tanah. Terutama "teori mineral" dan "hukum
minimum" Liebig yang diumumkannya pada tahun 1840 telah menghidupkan ilmu
kesuburan tanah, suatu cabang ilmu tanah yang bertumbuh pesat dan menjadi
cikal-bakal revolusi hijau yang terjadi pada abad ke-20. Dengan teori dan hukum
tersebut Liebig sekaligus menumbangkan "teori humus" Thaer yang
diajukan 30 tahun sebelumnya. Dapat dicatat bahwa ilmu kesuburan tanah modern
menggabungkan teori humus dan teori mineral menjadi satu kesatuan dan
menjabarkan ulang hukum minimum menjadi hukum neraca hara.
Di
bawah asuhan ilmu kimia, pengkajian tanah maju dengan pesat. Ilmu tanah
berhutang budi kepada kimia atas sumbangannya berupa metode dan tatacara
penelitian serta hukum dasar kimia yang diterapkan pada tanah selaku medium
produksi pertanaman. Akan tetapi di balik keberuntungan ini terdapat kerugian
yang tidak kecil. Pengaruh ilmu kimia yang begitu kuat telah menghambat
perkembangan pengkajian tanah menjadi disiplin ilmu yang hakiki dan mandiri.
Pengkajian tanah menjadi bawahan ilmu kimia. Dengan konsep kimiawi tanah hanya
dapat dipandang sebagai bahan dan tidak dapat dilihat tanah sebagai suatu tubuh
alam yang khas. Geologi juga memberikan saham pada kekeliruan konsep ini. Pada
waktu menekuni tanah sebagai limbah batuan, seorang pakar geologi tidak
mempedulikan hubungan tanah dengan lingkungannya. Tanah dianggapnya hanya
berkaitan langsung dengan batuan yang telah dan sedang mengalami pelapukan, dan
tidak ada faktor lain di luar batuan dan pelapukan yang ikut serta menghadirkan
tanah.
Fisika
juga memberikan sumbangan yang sangat berarti kepada kemajuan pengkajian tanah.
Berbagai sifat fisik dan mekanik tanah yang penting dapat di diungkapkan dengan
teori dan hukum fisika. Akan tetapi sebagaimana ilmu kimia, fisika juga
memandang tanah semata-mata sebagai bahan dan bukan sebagai tubuh
Kita
tahu sekarang bahwa pengkajian dan penyelesaian persoalan tanah tidak semudah
dugaan orang sampai akhir abad ke-l9. Membawa cuplikan (sample) tanah ke
laboratorium untuk dianalisis sifat-sifat kimia, fisik, mineralogi dan/atau
biologinya belum dapat memecahkan persoalan. Demikian pula halnya membawa tanah
ke rumah kaca untuk percobaan pot.
Tonggak
sejarah penting berikutnya bagi perkembangan pengkajian tanah datang pada
pergantian abad ke-19 ke abad ke-20. Tonggak yang satu dipancangkan di Rusia
oleh Dokuchaev dan murid-muridnya pada tahun 1883, dan tonggak yang lain
dipancangkan di Amerika Serikat oleh Hilgard pada tahun 1877. Dokuchaev
berlatarbelakang pendidikan geologi dan mineralogi, sedang Hilgard di samping
berpendidikan geologi juga kemudian menguasai zoologi, botani dan agronomi
(Joffe, 1949). Oleh kepeloporan kedua sarjana ini pandangan tentang hakekat
tanah berubah dari bahan menjadi tubuh. Konsep tanah sebagai tubuh alam
merupakan pembaharuan total atas pandangan sebelumnya. Tanah bukan sekadar
bahan kimiawi atau benda fisik yang ditemukan di lapangan, bukan semata-mata
substrat yang menghidupkan dan menghidupi tumbuhan, bukan hanya dunia jasad
renik yang kaya raya, dan bukan pula sekadar limbah batuan. Tanah adalah suatu
kenyataan alam yang mandiri.
Tanah
mempunyai asal-usul, diujudkan di bawah kuasa faktor lingkungan tertentu
melalui berbagai proses khas dan rumit, serta terdistribusikan di muka daratan
dengan pola yang dapat ditakrifkan (distributed with definable patterns).
Tanah merupakan suatu sistem terbuka menurut peredaran bahan dan energi. Kemaujudannya
bertumpu pada daya tanggap tubuh tanah terhadap kakas (forces) yang bertanggung
jawab atas pembentukan tanah. Kesudahan tanggapan ini terekam pada morfologi
tubuh tanah (profil tanah) yang terbentuk oleh berbagai proses alihrupa dan
alihtempat intemal (internal transformations and translocations).
Pada
waktu dikuasai ilmu kimia, pengkajian tanah berkonsep statika. Buah
penelitiannya adalah cuplikan tanah dari lapisan perakaran tanaman dan ruang
kerjanya adalah laboratorium. Dengan konsep baru, ilmu tanah berurusan dengan
dinamika tanah, berarti waktu menjadi faktor penting secara mutlak dalam
menghadirkan sifat tanah. Tanah mernpakan perujudan suatu keseimbangan dinamik.
Pada tahana tunak keseimbangan dinamik (steady state of dynamic equilibrium),
anasir-anasir tanah berada dalam keselarasan timbal balik (mutually
adjustment) dan tubuh tanah mencapai taraf matang. Kematangan ini bersifat
nisbi. Apabila kelakuan faktor-faktor berubah maka proses penyelarasan
timbal-balik antar anasir tanah berulang kembali menuju ke pencapaian
keseimbangan dinamik baru. Dengan konsep baru ini buah telaah adalah
keseluruhan tubuh tanah dan ruang kerjanya adalah lapangan tempat tubuh tanah
itu berada. Cuplikan tanah dan laboratorium menjadi pelengkap penelitian untuk
meningkatkan daya sidik dan daya ramal. Semua hasil penetapan laboratorium atas
cuplikan tanah dikorelasikan satu dengan yang lain, baik secara vertikal untuk
memperoleh rujukan tubuh maupun secara lateral untuk memperoleh rujukan
bentangan. Dengan demikian tiap data tanah berada dalam suatu sistem informasi
yang bermatra ruang. Dengan menginferensikan ciri-ciri tubuh tanah pada sejarah
bentanglahan (landscape) tempat tubuh tanah berada, data tanah
memperoleh pula matra waktu.
Setelah
berhasil melahirkan konsep khusus tentang hakekat tanah dan berhasil
menguraikan hukum yang mengatur faktor pembentuk tanah, barulah pengetahuan
tanah menjadi suatu disiplin ilmu yang benar-benar mandiri. Ilmu kealaman yang
lain, seperti ilmu kimia, fisika, biologi dan geologi, bukan lagi "bapak
angkat" ilmu tanah melainkan alat. Bahkan kini matematika dan statistika
sudah menjadi alat penting sekali dan lazim digunakan oleh ilmu tanah,
khususnya dalam pengacuan (modelling) reaksi yang berlangsung dalam
tanah dan interpolasi batas bentangan jenis tanah di medan (geostatistics).
Ilmu
tanah masih muda sekali, boleh dikatakan umurnya kini baru sekitar satu abad.
Akan tetapi dengan memiliki konsep baru maka sejak awal abad ke-20 ilmu tanah
mengalami kemajuan pesat sekali. Dengan kelincahan dan kemahiran luar biasa,
ilmu tanah memanfaatkan setiap kemajuan dalam ilmu kealaman yang lain dan dalam
teknik analisis untuk memperkaya pandangan dan mencanggihkan metode
penelitiannya. Bahkan kenyataan sosial dan ekonomi secara begitu cerdik dapat
diramukan ke dalam ilmu tanah, misalnya yang dikerjakan oleh Profesor Edelman
almarhum dalam bukunya "Sociale en Economische Bodemkunde" (1949).
Joffe (1949) mengatakan bahwa ilmu tanah berdiri di antara ilmu tentang benda
hidup dan tak hidup.
Ilmu
tanah memperoleh matra lebih luas setelah klasifikasi dan pemetaan tanah
berkembang pesat. Berkat fakta dan bukti yang terkumpul banyak selama
penjelajahan medan
secara intensif di kawasan dunia yang luas, konsep tanah sebagai sistem alam
kemudian memperoleh konteks baru sebagai sumberdaya alam. Dengan ini ilmu tanah
tidak saja berada di antara alam biotik dan abiotik, akan tetapi merangkaikan
kedua alam tadi, dan bahkan memperoleh gatra sosial dan ekonomi sangat nyata.
Dengan klasifikasi dan pemetaan tanah segala informasi tentang tanah memperoleh
makna "tempat" dan penyalurannya menjadi lebih efektif karena dapat
mengikuti asas ekstrapolasi atau adaptasi.
Hal
ini jelas berguna sekali bagi penaburan ilmu dan teknologi tanah. Kebutuhan
akan pendirian himpunan ilmu tanah, penerbitan jurnal ilmu tanah, atau
penyelenggaraan pertemuan ilmu tanah secara berkala, menjadi bukti nyata
tentang kepentingan penyaluran informasi untuk mendorong perkembangan ilmu
tanah lebih pesat lagi. Misalnya, pertemuan ilmu tanah yang pertama kali
diadakan di Indonesia
berlangsung pada tahun 1930 di Yogyakarta.
Salah satu jurnal ilmu tanah tertua "Soil Science" yang sekarang
menjadi medium penyiaran ilmu tanah yang disegani, mulai terbit pada tahun
1916. Soil Science Society of America berdiri pada tahun 1936. Sebagai catatan,
Himpunan Ilmu Tanah Indonesia
baru berdiri pada tahun 1961 dan itupun "hidup segan mati tak sudi".
Hakikat
Tradisional Ilmu Tanah
Ilmu
tanah bermula dari sekumpulan pengalaman sederhana dalam lingkungan masyarakat
pedesaan yang serba sederhana pula. Kemudian dia beruntung dipungut dan
dipelihara dalam lingkungan elit ilmu pengetahuan yang serba angker dan
berwibawa di kota-kota agung Berlin, Paris, London
dan Moskwa. Akhirnya ilmu tanah menemukan jatidirinya di alam luas berupa hutan
belantara, padang
rumput, gurun, rawa, pegunungan tinggi bersalju dan lembah ngarai berair bah.
Berbekal kecendekiaan elit, ilmu tanah kembali berbaur dengan masyarakat bawah.
Terbawa
dari sejarah pertumbuhannya, secara tradisional ilmu tanah terikat erat pada
budidaya tanaman dan ternak. Sampai sekarang pun ilmu tanah menjadi salah satu
mata ajaran pokok dalam kurikulum pertanian. Selama tanaman dibudidayakan pada
tanah, selama itu pula pertanian memerlukan ilmu tanah. Karena ilmu tanah
selalu diasosiasikan dengan pertumbuhan tanaman maka secara tradisional bidang
kesuburan tanah menjadi bagian ilmu tanah terpenting dari segi kehidupan
masyarakat. Bahkan dalam pengertian orang awam, ilmu tanah adalah ilmu
kesuburan tanah. Bagian ilmu tanah yang lain, yang bersifat "murni"
seperti fisika tanah, kimia tanah, mineralogi tanah, biologi tanah dan genesis
serta klasifikasi tanah, tidak banyak dikenal orang. Orang pada umumnya
beranggapan ilmu tanah adalah bagian dari ilmu pertanian. Ilmu tanah hanya
perlu bagi petani dan kegiatan yang melibatkan tanaman. Akibatnya, ilmu tanah
memperoleh ruang cerapan yang sempit. Cerapan tradisional ini masih melekat
pada banyak pihak penggaris kebijakan dan pengambil keputusan.
Prospek
Ilmu Tanah
Dari
kenyataan yang dihadapi ilmu tanah dan latar belakang sejarahnya, timbul
berbagai pertanyaan mendasar tentang hari depan ilmu tanah. Sudahkah ilmu tanah
sampai pada akhir perkembangannya? Apakah ilmu tanah sudah menemukan tempat
yang sesuai, baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun dalam kehidupan
masyarakat? Mungkinkah bidang pelayanan ilmu tanah diperluas, yang tidak saja
meliputi bidang pertanian akan tetapi mencakup pula bidang kegiatan lain yang
berkenaan dengan penggunaan wilayah? Seberapa siap ilmu tanah mengantisipasi
pemunculan kenyataan tadi dan bagaimana konsekuensi pembaharuan pandangan
mengenai hakikat tanah dalam kehidupan manusia atas perancangan dan pengelolaan
pendidikan dan penelitian ilmu tanah? Sekelompok pakar tanah Amerika Serikat
pada tahun 1950-an berupaya menyusun suatu sistem klasifikasi tanah serbacakup
(comprehensive) agar bersifat serbaguna dan tidak hanya berguna bagi
kepentingan pertanian saja. Dengan kata lain para pakar tersebut menginginkan
agar informasi tanah dapat menjangkau berbagai pihak.
Setelah
meliwati banyak tahap ujicoba (approximations) dengan kerjasama internasional
luas, akhirnya pada tahun 1975 terbit buku Soil Taxonomy yang dinyatakan
sebagai "a basic system of soil classification for making and interpreting
soil surveys". Buku ini sampai sekarang masih mengalami perbaikan dan
penambahan agar dapat menampung semua fakta tanah yang ditemukan di semua
bagian dunia dan dapat melayani secara lebih baik kepentingan-kepentingan lain
di luar pertanian. Soil Taxonomy disusun oleh Soil Survey dari Soil
Conservation Service USDA dan diterbitkan sebagai Agriculture Handbook No. 436.
Pada tahun 1966 Soil Science Society of America bersama dengan American Society
of Agronomy menerbitkan buku Soil Surveys and Land Use Planning. Buku ini
menyajikan secara jelas kepentingan informasi tanah berupa peta tanah bagi
perencanaan permasyarakatan (community planning) yang menyangkut pembangunan
wilayah pedesaan yang ditempati penduduk bukan petani, wilayah perkotaan,
kawasan rekreasi, taman, dan jaringan jalan utama (highways). Informasi tanah
juga diperlukan untuk penyeragaman penaksiran pajak bumi. Dengan memperhatikan
keadaan tanah, pembangunan sektor bukan pertanian dapat mencapai efisiensi
tinggi dan bersamaan dengan itu memperoleh wawasan lingkungan (Bartelli et al,
1966). Informasi tanah yang diperlukan sama dengan yang diperlukan pertanian,
akan tetapi penafsirannya tentu berbeda (Kellogg, 1966).
Penerbitan
kedua buku tadi pada paro ke dua abad ke-20 menandai terbitnya jaman
pembaharuan makna ilmu tanah. Pelayanan ilmu tanah diharapkan dapat meluas dan
menjangkau berbagai gatra kehidupan masyarakat. Ilmu tanah ingin dihayati
kemaujudannya oleh seluruh masyarakat, tidak hanya oleh masyarakat ketanian
saja.
Pada
suatu tahap perkembangannya, ilmu tanah pernah dibina oleh geologi. Dalam
pengkajian geologi kuarter diperlukan masukan dari telaah pedogenesis. Fakta
ini diungkapkan dalam tulisan-tulisan Tedrow (1973), Jackson et al. (1973),
Yaalon dan Ganor (1973), Mulcahy dan Churchward (1973), Wada dan Aomine (1973),
El/Attar dan Jackson (1973), Gerasimov (1973), Zonn (1973), Ugolini dan
Schlichte (1973), Pons dan van der Molen (1973), van Zindern Bekker dan Butzer
(1973), Birklkeland (1974), Notohadiprawiro (1980), dan Gerrard (1981).
Dalam
kurun waktu 25 tahun terakhir terjadi perluasan besar dalam bidang penerapan
ilmu tanah, mencakup arkeologi, ekologi, rekayasa, proyek-proyek pembangunan
wilayah, dan tata ruang (Steur, 1967; Limbrey, 1975; Western, 1978; Buringh,
1978; Jenny, 1980; Soil management Support Service, 1981). Akibat pembaharuan
cerapan mengenai ilmu tanah kemudian melanda pula bidang kajian tradisional
ilmu tanah. Greenland (1981) misalnya,
berpendapat bahwa pengkajian tanah untuk produksi pertanaman perlu
dilatarbelakangi klasifikasi dan geografi tanah. Dengan latar belakang tersebut
kesuburan tanah dapat ditaksir secara baik menurut kriterium kapabilitas
bermatra waktu dan ruang, yang menyiratkan keterlanjutan penggunaan dan
efektifitas kegunaannya. Buku Greenland bersama dengan buku pendahulunya,
antara lain yang ditulis oleh Sanchez (1976), Theng (1980) dan Uehara dan
Gillman(1981), menempatkan kajian tanah untuk pertanian dalam sorotan baru.
Dalam sorotan itu kajian tanah tidak dikerjakan untuk memenuhi permintaan
pertanian, akan tetapi dikerjakan untuk menyediakan informasi yang diperlukan
pertanian sebagai salah satu pengguna tanah. Jadi, kajian tanah untuk pertanian
ialah kajian tanah menurut metodologi ilmu tanah dengan diberi tafsir pertanian.
Tergantung pada pengguna yang dilayani, kajian tanah yang sama dapat diberi
tafsir teknik sipil, ekologi, geologi, arkeologi, dan sebagainya Maka ilmu
tanah bukan bagian dari pertaniam
Baru-baru
ini penempatan ilmu tanah di bawah naungan pertanian dipertanyakan secara tajam
oleh Presiden Soil Science Society of America, Fredd P. Miller (1991). Maka
keanggotaan dalam SSSA pun harus melalui keanggotaan dalam American Sosiety of
Agronomy (ASA). Dipertanyakannya apakah ilmu tanah tidak perlu mencari paradigma
baru. Kita terbiasa menjatidirikan lembaga menurut asal usul. Memang benar
bahwa pada awalnya ilmu tanah ditangani oleh para pakar yang terdidik dan
terlatih dalam ilmu kimia, fisika, biologi dan geologi, yang menerapkan asas
dan alat mereka pada pengkajian tanah. Disiplin ilmu tanah mewarisi banyak
pandangan dan tata kerja mereka. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya
ilmu tanah diasuh dan menjadi dewasa di bawah pembinaan dan kelembagaan
pertanian. Dengan demikian ilmu tanah, pakarnya dan himpunannya berkarya dengan
paradigma ketanian. Dengan meluasnya bidang dan bertambahnya keberbagaian
persoalan yang dapat ditangani ilmu tanah dewasa ini, muncul gagasan yang makin
meluas dan menguat mengenai memilih di antara dua pilihan. Pilihan itu ialah tetap
setia kepada paradigma ketanian yang telah menjadikan ilmu tanah kokoh dan
terhormat namun tetap saja dipandang sebagai anak asuh pertanian, ataukah
mencari paradigma baru yang membuat ilmu tanah berjatidiri dan berkemandirian
secara utuh. Pembaharuan paradigma dapat berupa mengafiliasikan ilmu tanah
dengan ilmu kebumian (earth sciences).
Ilmu
tanah sendiri tidak luput dari pengaruh berbagai peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat. Pengaruh terpenting datang dari gerakan pengetatan
penggunaan energi fosil atau energi komersial dan keprihatinan yang terus
meningkat mengenai degradasi lingkungan hidup. Sehubungan dengan kedua hal tadi
ilmu tanah terdorong meninjau ulang konsep dan tafsir faktanya. Kegiatan yang
memakan energi fosil banyak ialah pemupukan dan pembenahan tanah (soil
amendment) dengan bahan kimia buatan, irigasi dan pengatusan dengan bangunan
bersistem gravitasi dan terutama dengan sistem pompa, pengolahan tanah dengan
mesin, dan pemberantasan hama
dan penyakit asal tanah (soil borne) secara kimiawi. Di samping itu pupuk dan
pembenahan tanah buatan serta pestisida berdaya cemar kuat atas perairan.
Persoalan
energi fosil berkenaan dengan pemupukan, pembenahan dan pengolahan tanah
menghadapkan ilmu tanah pada empat pilihan. Pilihan pertama ialah tetap
menggunakan masukan energi fosil bertakaran tinggi seperti sekarang, akan
tetapi bersama dengan itu meningkatkan efisiensi penggunaan berdasarkan
kreterium nisbah keluaran/masukan energi yang meningkat. Pilihan kedua ialah
mengurangi kebutuhan total energi fosil dengan menganekaragamkan pertanaman,
menyelaraskan sistem pembudidayaan pertanaman, atau pewilayahan pertanaman
menurut asas agroekosistem. Pilihan ketiga ialah menyulih sebagian atau seluruh
kebutuhan energi fosil dengan energi hayati yang terbarukan dan lebih murah.
Pilihan keempat ialah gabungan antara berbagai pilihan tersebut.
Pilihan
pertama dalam kaitannya dengan tanah mengupayakan perbaikan efesiensi
penyerapan hara pupuk oleh perakaran tanaman dengan jalan (1) memilih bahan
pupuk yang lebih lambat melepaskan hara, sehingga laju penyediaan hara setaraf
dengan laju penyerapannya dan dengan demikian tidak ada kelebihan yang
terbuang, (2) memasok hara secara berimbang untuk memperoleh tingkat konversi
hara menjadi biomassa berguna yang tinggi, (3) menerapkan teknik pemupukan yang
sesuai dengan sifat tanah untuk mengefektifkan penggunaan hara pupuk, dan/atau
(4) mengelola tanah untuk memperbaiki interaksi antara pupuk dan tanah. Upaya
ini perlu dilengkapi dengan upaya agronomi berupa meningkatkan daya tanaman
mengkonversi masukan energi komersial menjadi keluaran energi hayati berguna
dengan jalan (1) menanam varietas tanaman berhasil panen tinggi, dan (2)
menjadwalkan pemupukan menurut fase-fase fisiologi yang bertanggapan paling
menguntungkan.
Segi
tanah dari pilihan kedua berkenaan dengan menghemat pupuk yang diupayakan
dengan jalan (1) memanfaatkan pupuk yang tersisa dari pertanaman terdahulu
untuk pertanaman berikutnya, (2) menyusun pola pergiliran pertanaman yang kebutuhan
pupuk total lebih rendah dari kebutuhan semula dengan budidaya tunggal, (3)
melaksanakan sistem pertanaman yang memanfaatkan sebaik-baiknya potensi tanah
memugar sendiri produktivitasnya, dan/atau (4) memilih tanah yang keadaan
alaminya sesuai dengan kebutuhan suatu macam pertanaman tertentu, berarti
perwilayahan budidaya tanaman menurut kemampuan tanah. Dalam hal pengelolahan
tanah dikerjakan dengan mesin, jalan ketiga juga menghemat energi fosil yang
digunakan untuk mengolah tanah. Energi untuk mengolah tanah juga dapat dihemat
dengan menggunakan bahan pembenah tanah (soil amendment). Dengan mempertahankan
struktur dan konsistensi tanah yang baik, dapat diterapkan asas pengolahan
tanah minimum (minimum tillage), bahkan asas tanpa pengolahan tanah (zero
tillage).
Peranan
ilmu tanah dalam pilihan ketiga ialah menemukan alternatif pembekalan hara
dalam tanah. Suatu alternatif yang sekarang yang sedang giat dikembangkan ialah
memapankan di dalam tanah suatu mekanisme hayati pembekalan hara dengan bioteknologi
tanah. Upaya ini dikenal dengan budidaya organik (organic farming). Budidaya
organik merupakan suatu sistem produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang
hara secara hayati (Papendick dan Elliott, 1984). Masukan yang digunakan dalam
budidaya organik ialah pupuk organik dan pupuk hayati (biofertilizer). Pupuk
hayati ialah sediaan organik yang peran ameliorasinya berasal dari kandungan
jasad renik aktif. Yang termasuk pupuk hayati antara lain inokulum Rhizobium,
inokulum mikorisa, biakan jasad renik pelarut fosfat, dan biakan jasad renik
pengurai bahan organik.
Salah
satu upaya yang termasuk pilihan keempat ialah sistem gizi tanaman terpadu
(intergrated plant nutrition system, IPNS). Dalam IPNS sebagian kebutuhan
masukan energi fosil berupa pupuk buatan kimia disulih dengan masukan energi
hayati terbarukan berupa pupuk organik dan/atau pupuk hayati. Di dalam IPNS
mekanisme hayati dibangkitkan untuk membentuk sistem bekalan hara di dalam
tanah yang efektif dan mantap. Pembentukan ini memerlukan waktu panjang.
Sementara itu digunakan pupuk buatan kimia untuk memasok hara sebelum sistem
bekalan hara hayati dapat berfungsi secara berkelanjutan. Di bawah binaan FAO
(1991) IPNS tengah digalakkan di kawasan Asia
dan Pasifik. Jadi, IPNS menggabungkan pilihan pertama dengan ketiga. Upaya lain
ialah menggabungkan pilihan kedua dan ketiga, atau menggabungkan pilihan
pertama, kedua dan ketiga.
Kepentingan
mendesak akan penggunaan energi baru dan terbarukan yang diprioritaskan pada
energi pedesaan, dicetuskan dalam "Nairobi Programme of Action".
Program ini kemudian didukung FAO dalam sidangnya yang ke-21 di Roma dalam
bulan November 1981 dan dipertegas kembali dalam Sidang Regional FAO untuk Asia dan Pasifik ke-16 di Jakarta dalam bulan Juni 1982.
Sifat energi terbarukan selalu berkaitan, baik langsung maupun tidak, dengan
alam hayati masa kini. Program Nairobi
merupakan awal pengembangan budidaya organik.
Beberapa
tahun sebelumnya East-West Center di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat, telah mengaji dan
mengembangkan suatu sistem merasionalkan pemupukan yang berintikan penghematan
penggunaan pupuk buatan kimia yang berkadar energi fosil tinggi. Upaya ini
dikerjakan bersama dengan sejumlah negara Asia dan Pasifik, termasuk Indonesia
(Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UGM). Kegiatan ini dijalankan dengan
proyek I.N.P.U.T.S. (Increasing Productivity Under Tight Supplies), yang
dimulai pada tahun 1974 dan berakhir pada tahun 1979.
Dalam
gambarannya mengenai pertanian pada abad ke-21, Wittwer (1983) meramalkan bahwa
teknologi produksi pangan akan bergeser dari teknologi bermekanisasi berat yang
menggunakan lahan, air dan energi secara intensif ke teknologi yang lebih
berdasarkan biologi dan berkiblat ilmiah, yang menghemat sumberdaya lahan, air
dan energi. Teknologi tersebut pertama, yang sekarang diterapkan terutama di
Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Brasil dan Argentina,
mempunyai keunggulan dalam hal keluaran tiap pekerja usahatani tertinggi di
dunia. Teknologi tersebut kedua, yang dewasa ini pada umumnya dilaksanakan di
Jepang, Taiwan, Cina dan Eropa Barat, mempunyai keunggulan dalam hal hasil
panen lebih tinggi tiap satuan luas lahan dan sering juga disertai dengan
indeks pertanaman (cropping index) yang lebih tinggi. Memang produktivitasnya
per pekerja usahatani tidak setinggi teknologi pertama. Dengan kata lain, dunia
kita akan berpindah dari ekonomi yang digerakkan oleh permintaan dengan
pandangan ketidakterbatasan sumberdaya ke suatu ekonomi yang berwawasan
keterbatasan sumberdaya.
Dalam
kaitannya dengan tanah, gambaran pertanian abad ke-21 mengisyaratkan upaya
menyidik kebutuhan keharaan optimum berbagai spesies tanaman dan merunut
sumbangan flora dan fauna tanah kepada penyediaan hara yang bersumber dalam
atmosfer dan tanah. Mekanisme sistem hayati yang berkomponen ganda dan
kompetitif perlu ditelaah mendalam untuk mencapai produktivitas optimum. Hal
ini tidak lain daripada upaya mengembangkan budidaya organik atau IPNS dengan
pupuk organik dan pupuk hayati . Penggunaan jasad renik penambat nitrogen
udara, baik yang hidup bebas maupun yang hidup bersimbiosis dengan tanaman
tingkat tinggi (legum), terbukti dapat mengurangi banyak kebutuhan pupuk
nitrogen buatan. Pendauran ulang sisa atau limbah hayati, baik melalui
pencernaan ternak yang menghasilkan kotoran ternak atau pupuk kandang, melalui
pengomposan yang menghasilkan kompos, maupun melalui perombakan biologi
langsung dalam tanah yang merupakan pupuk hijau, tidak sedikit mengurangi
kebutuhan pupuk buatan, khususnya pupuk N dan P.
Inokulasi
mikorisa pada tanaman sangat meningkatkan daya akar menyerap hara, terutama P,
dan air, sehingga penggunaan hara dan air menjadi lebih hemat. Diperkirakan
perlumbuhan mikorisa yang baik memperluas permukaan serapan akar sampai 1000
kali. Dengan biakan jasad renik pelarut fosfat, pupuk fosfat buatan yang mahal
(TSP) dapat disulih dengan pupuk fosfat alam yang murah dan awet dalam tanah.
Menyulih TSP dengan fosfat alam di tanah yang kaya akan oksida dan hidroksida
Fe dan Al (tanah merah tropika) meningkatkan efektivitas pemupukan P.
Penggunaan
pupuk organik atau mulsa menjadi prasyarat bagi penerapan pengolahan tanah
terbatas atau nihil. Bahan-bahan tersebut juga berperan penting dalam
konservasi tanah dan air. Konservasi air dalam tanah berarti mengurangi
kebutuhan akan air irigasi, dan hal ini pada gilirannya membatasi keperluan
membangun bendung (weir) atau waduk, atau memasang pompa untuk menaikkan air
sungai atau air tanah. Sistem konservasi air yang baik, yang menyatu dengan
sistem budidaya pertanaman, akan mendorong perkembangan pertanian tadah hujan.
Pertanian
tadah hujan memanfaatkan energi alam gravitasi untuk menyampaikan air dari
atmosfer langsung kepada petak pertanaman. Ada dua keuntungan yang dapat diperoleh dari
sistem pertanian tadah hujan. Keuntungan pertama ialah tidak ada kehilangan
lahan produksi karena ditempati oleh waduk dan jaringan saluran penyalur dan
pembagi air sebagaimana halnya pada sistem pertanian beririgasi. Fakta di
Indonesia menunjukkan bahwa untuk mengairi lahan sawah seluas 20-25 ribu ha
diperlukan lahan seluas tidak kurang daripada 10 ribu ha yang harus dikorbankan
untuk menempatkan waduk dan jaringan saluran penyalur dan pembagi air mulai
dari tingkat primer sampai dengan tingkat kuarter. Keuntungan kedua ialah tidak
ada kerugian air yang hilang dalam simpanan di dalam waduk karena penguapan
yang dipacu oleh bentangan permukaan air bebas yang luas dan diam yang
menyebabkan suhu air dapat naik lebih tinggi, dan tidak ada air yang hilang
merembes liwat dinding dan dasar saluran penyalur dan pembagi air. Kehilangan
air sebanyak 30% boleh dibilang umum terjadi di jaringan saluran tersier pada
lahan pantai di Jawa.
Hujan
merupakan sumber air paling murah. Di daerah dengan curah hujan tahunan purata
di atas 1200 mm dapat diusahakan pertanaman semusim tadah hujan dengan potensi
produksi setaraf dengan yang beririgasi (Roy & Arora, 1973). Masalahnya
ialah bagaimana menangkap air hujan sebaik-baiknya, mengalihrupakannya secara
efektif menjadi lengas tanah yang berguna bagi tanaman, mengawetkan lengas
tanah sehingga dapat memenuhi kebutuhan tanaman sampai hujan berikutnya jatuh,
dan bilamana perlu membuang kelebihan air secara aman tanpa menimbulkan erosi
tanah dan pelindian hara (leaching of nutrients) yang melampui batas
terbolehkan (permissible limit). Di sinilah peranan ilmu tanah menonjol. Ilmu
tanah tidak pernah menganjurkan irigasi penuh, kecuali di daerah-daerah yang
beriklim terlalu kering selama seluruh musim tanam. Penggunaan sumber air
permukaan dan air tanah untuk irigasi suplemental adalah cara pengelolaan
sumber terbaik. Dalam cara itu sudah dipertimbangkan pengawetan sumber air dan
pemerataan beban penggunaan antar berbagai sumber air.
Kalau
diperlukan irigasi atau pengatusan, penggunaan energi gravitasi jauh lebih baik
daripada menggunakan pompa yang memakan banyak energi komersial. Apalagi kalau
pompa dijalankan dengan energi listrik yang dikonversikan dari energi fosil
minyak. Efisiensi konversinya pada lazimnya tidak lebih daripada 35%. Kebutuhan
energi komersial untuk irigasi atau pengatusan dapat ditekan serendah-rendahnya
apabila listrik yang digunakan menjalankan pompa berasal dari PLTA atau yang
dibangkitkan secara fotovoltaik.
Irigasi
di daerah langka hujan perlu disertai kewaspadaan terhadap kemungkinan
penggaraman tanah. Karena penguapan kuat, lambat laun terjadi pemekatan garam
yang terlarut dalam air, yang kemudian mengendap dan melonggok dalam tanah.
Tanah yang semula normal berubah menjadi tanah garaman. Apabila pelonggokan
garam mencapai kadar gawat, tidak ada lagi tanaman yang dapat tumbuh, kecuali
yang sangat tahan garam, misalnya pohon korma, bayam dan kapas, atau tumbuhan
halofita liar. Makin kering iklimnya, berarti makin besar evaporasinya daripada
curah hujannya, makin tinggi kadar garam terlarutkan dalam air irigasi,
dan/atau makin lambat permeabilitas tubuh tanah, bahaya penggalarnan tanah
karena irigasi makin besar. Kejadian semacam inilah yang telah menghancurkan
pertanian yang semula sangat subur di lembah sungai Eufrat - Tigris pada jaman
kerajaan Mesopotamia yang sekarang menjadi
negara Irak. Pengetahuan tentang kimiawi air irigasi, laju evaporasi, reaksi
pertukaran ion antara larutan tanah dan kompleks jerapan tanah, serta laju
perkolasi air sepanjang tubuh tanah, diperlukan secara mutlak bagi perencanaan
irigasi di daerah iklim kering.
Ilmu
tanah berkepentingan dengan peningkatan efektivitas penggunaan energi pancar
matahari untuk fotosintesis sehubungan dengan peningkatan penghasilan biomassa
nabati. Peningkatan produksi biomassa nabati diperlukan untuk memperbanyak sisa
pertanaman yang dapat didaurkan ulang sebagai pupuk organik atau mulsa untuk
memperbaiki produktivitas tanah, atau mempertahankan kebaikannya, dan
menyehatkan ekosistem tanah. Menyehatkan ekosistem tanah, disamping diperlukan
sehubungan dengan memantapkan produktivitas tanah dan meningkatkan efektivitas
pupuk, juga berguna menekan penyakit lewat tanah (soil-borne diseases) yang
menyerang akar dan pangkal batang tanaman (Lynch, 1983; Christensen, 1987). Maka
ilmu tanah dapat berbicara banyak dalam merancang pola tanam dan sistem
pertanaman dengan agronomi. Dengan konsep penyehatan tanah, ilmu tanah dapat
membantu upaya menghemat pestisida, yang berarti menghemat energi fosil atau
energi komersial dan menekan bahaya pencemaran atas perairan.
Dengan
sifat-sifat fisik, kimia dan biologinya, suatu hamparan tanah dapat digunakan
membersihkan limbah industri dan permukiman dari bahan atau zat pencemar.
Dengan struktur yang dimilikinya, tanah dapat menyaring bahan pencemar yang
tersuspensi dalam limbah cair. Dengan kemampuan menukar ion pada mineral
lempung dan bahan humus yang dikandungnya, tanah dapat menyerap zat pencemar
berupa ion yang terlarut dalam limbah cair. Dengan populasi jasad renik
pengurai yang hidup di dalamnya, tanah dapat menguraikan senyawa organik
pencemar menjadi senyawa organik sederhana atau senyawa mineral yang tidak
berbahaya. Dengan demikian ilmu tanah dapat menyumbang kepada rekayasa sanitasi
lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar