MENUJU PERTANIAN ORGANIK

SELAMAT DATANG

Minggu, 16 Oktober 2011

Mengusir Burung dengan Ekstrak Buah Serut

Sumber Kompas
Bisa dikatakan tidak ada yang paling memusingkan para petani di Nusa Tenggara Barat selain burung pipit, gelatik, dan kecial, terutama ketika tanaman padi yang mereka rawat tengah masak susuk. Tanaman padi yang tengah berbulir itu menjadi santapan paling lezat dan gampang didapat oleh kawanan unggas tersebut.
Pada masa menjelang panen padi itu, petani biasanya menggunakan bunyi-bunyian dan boneka yang digantung di tengah sawah guna mengusir “hama” kawanan burung pengganggu hasil kerja mereka. Namun, cara “tradisional” itu agaknya kurang jitu karena burung-burung kembali datang dan melahap butiran padi yang siap panen.
Rahma (41) mengamati hal itu selama bertahun-tahun. Dia lalu tergerak mencoba membuat sesuatu untuk mengusir dan membuat jera kawanan burung yang memakan bulir padi mereka. Perempuan yang bekerja sebagai petugas pengamat hama dan penyakit pada Dinas Pertanian Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu berusaha menemukan strategi untuk menghalau unggas.
“Saya ingin sekali meringankan kerugian para petani akibat serbuan kawanan burung itu. Mereka harus bisa menikmati hasil kerja kerasnya. Jangan sampai diganggu oleh burung sekalipun,” kata Rahma.
Istri Lalu Ahmad Junaidi itu kemudian mencoba menggunakan pestisida nabati berupa buah serut. Buah serut dicuci bersih, ditumbuk sampai halus, dan direndam dalam air sekitar 24 jam, dengan perbandingan 3 kilogram buah serut dan 10 liter air. Buah serut itu disaring dengan kain kasa. Guna menjaga keasamannya, ekstrak itu dicampur dengan jenis kayu-kayuan dan kapur sirih sebanyak 3-6 sendok makan.
Formula itu lalu disemprotkan pada tanaman padi. Tiap 20-25 mililiter ekstrak lebih dulu dicampur dengan satu liter air. Dengan alat semprot berkapasitas 15 liter dibutuhkan 280-350 mililiter ekstrak. Satu hektar tanaman padi membutuhkan 400-500 liter, yang 10 liter di antaranya adalah ekstrak buah serut.
Penyemprotan dilakukan saat padi berumur 85 hari hingga menjelang panen, dengan frekuensi dua kali seminggu. Masa-masa itu (April-Juli setiap tahun) atau masa tanam padi kedua, pakan burung di hutan dan kawasan pegunungan cenderung berkurang sehingga kawanan burung mencari makanan ke sawah.
Takaran bahan pestisida alami itu diketahuinya lewat uji coba pada 1994-1996, setelah Rahma mengikuti Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu di Desa Semongkat Sampar, Kecamatan Batu Lanteh. Ia mencoba pada areal sawah seluas 0,50 hektar yang ditanami padi IR-66.
“Semula dosis buah serut yang saya pakai hanya 5-10 cc. Eh, burung pipit masih saja datang makan bulir padi. Kemudian saya tambah dosisnya sedikit demi sedikit, sampai saya temukan dosis yang pas, yakni 20-30 cc ekstrak. Burung-burung enggan menghampiri bulir padi karena tidak tahan mencium bau ekstrak,” ucap Rahma yang pernah menjadi tenaga honorer selama tiga bulan pada Dinas Pertanian Kabupaten Sumbawa.
Dari petani
Rahma bercerita, ide menggunakan buah serut untuk mengusir burung dari bulir padi justru dia peroleh dari para petani. Ketika dia ngobrol dengan petani sebagai bagian dari penyuluhan, Rahma sering mendengar ucapan petani yang menyebutkan buah serut sebagai “obat” pengusir burung yang digunakan nenek moyang.
Namun, setiap kali dia bertanya lebih lanjut, para petani itu tak tahu bagaimana caranya. Sebab, mereka hanya mengetahuinya lewat cerita dari mulut ke mulut. Meski itu hanya cerita lisan, Rahma justru tertarik mendalami manfaat buah serut.
“Cerita mereka (petani) membuat rasa ingin tahu saya pada buah serut semakin kuat. Saya pikir tak ada salahnya dicoba meski para petani mengaku sudah lama sekali tak menggunakan buah serut. Saya penasaran,” ceritanya.
Dari rasa ingin tahu itulah, Rahma mencoba membuat ekstrak buah serut untuk mengusir kawanan burung. Dia lalu mencobakan ekstrak itu bersama-sama petani. Maka, ketika dosis yang pas dari ekstrak itu ditemukan, petani langsung percaya pada kekuatannya sebagai pengusir burung dari bulir padi.
“Mereka, kan, melihat sendiri bagaimana saya mencobanya. Uji coba ini saya lakukan bersama petani. Jadi, mereka bisa langsung tahu takaran ekstrak yang dipakai dan cara penggunaannya,” kata Rahma.
Rahma ingin mematenkan temuannya itu. Sayangnya, meskipun syarat yang diminta sudah dikirimkan lewat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) NTB, sampai saat ini belum berhasil.
Berkurang
Dari kajian ekonomis, kata pegawai golongan IIIB itu, petani yang semula kehilangan 20-30 persen hasil panen akibat burung, jumlah kehilangannya berkurang menjadi 5 persen jika mereka memakai pestisida teknologi tepat guna itu. Kalau mereka menggunakan pestisida kimia diperlukan biaya Rp 180.000, sedangkan dengan ekstrak buah serut hanya Rp 10.000.
“Menghindari efek samping penggunaan bahan kimia yang merusak lingkungan maupun kesehatan adalah kelebihan lain pemakaian pestisida nabati,” tuturnya. Kelebihan dan hasil konkret itu membuat petani tertarik. Kini sudah ada lima desa di Kabupaten Sumbawa yang mengaplikasikan teknologi sederhana itu.
Atas temuannya tersebut, anak keempat dari lima bersaudara pasangan Abdullah dan Sadiah itu mendapatkan penghargaan dari Bappeda NTB untuk kategori Perintis pada 2004.
Pestisida alami
Menurut Rahma, ada sekitar 100 jenis pestisida alami pengusir hama pengganggu tanaman (padi dan palawija). Bahan baku pestisida organik itu tengah dikaji manfaatnya. Selama ini pestisida alami yang digunakan petani adalah ekstrak daun tembakau dan sirsak. Ekstrak itu berkhasiat mengusir walang sangit yang mengganggu tanaman padi.
“Ilmu pengetahuan itu ada di alam, dari pupuk hingga pestisida. Hanya saja, kita sering maunya serba instan. Cari gampangnya,” kata ibu dari dua anak ini.
Perubahan tuntutan dan pola hidup manusia malah mengakibatkan bahan baku pestisida nabati itu mulai berkurang. Untuk mendapatkan buah serut, misalnya, ia perlu sedikit usaha karena tanaman itu tumbuh liar di hutan. Untuk kepentingan penelitian, ia membudidayakan beberapa biji buah serut di rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar