Implikasinya
(Paradigm on The Development of Coming Indonesian Agriculture: Scenarios, Strategies and Its Implications)
ABSTRACT The development of agricultural system through a complementary technofarming and eco-farming (so
called as eco-technofarming) approach is considered to be a plausible scenario to achieve agricultural development
which pursuing the vision of a knowledge and resources-based sustainable agriculture. At macro-policy level, as
expected to be a prime mover to strongly competitive national economy at global level, such vision of agricultural
development challenges the coming government to re-organize high level state institutions which is instrumental to
create a sound policy on food, agriculture and rural development that relate to transmigration program. Such steering
state institution is suggested to be a Ministry or Department of Food, Agriculture and Rural Community Development
(FAR-ComDev), instead of a committee like The Committee of Agriculture, Fishery, and Forestry Revitalization (Komite
Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan) as under The United Indonesian Cabinet), in which subsectors of
crop, livestock and fresh water fishery being re-organized in such a way that policy on agricultural development considers
the wholeness of terrestrial (including tidal swamp) ecosystem, especially at rural areas. At implementation level, the
government is suggested to promote the establishment of model cooperation between herself (as policy maker),
research institution and university (as R and D contributor), entrepreneur or bank (as capital owner), and farmer (as
agricultural practitioner). Key words: Techno-ecofarming, Ministry or Department of Food, Agriculture, and Rural
Community Development, steering
ABSTRAK Pembangunan sistem pertanian melalui pendekatan yang komplementer antara teknofarming dan
ekofarming (disebut eko-teknofarming) dianggap sebagai skenario yang tepat untuk mencapai pembangunan pertanian
bervisikan pertanian berkelanjutan yang berbasis ilmu pengetahuan dan sumber daya. Pada tingkat makro, dengan
harapan menjadi penggerak utama ekonomi nasional yang kompetitif di tingkat global, visi pembangunan pertanian itu
menantang pemerintahan yang akan datang untuk mereorganisasi lembaga-lembaga tinggi negara yang penting bagi
penciptaan kebijakan pembangunan pangan, pertanian, dan perdesaan yang handal yang berkaitan dengan program
transmigrasi. Lembaga negara yang berfungsi steering itu disarankan berupa Kementrian atau Departemen Pangan,
Pertanian, dan Pembangunan Komunitas Perdesaan (PPP-Komdes), bukan sebuah komite seperti Komite Revitalisasi
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan yang kini ada dalam Kabinet Indonesia Bersatu, yang dengannya subsektor
tanaman, ternak, dan ikan air tawar direorganisasi sedemikian rupa sehingga kebijakan pembangunan pertanian
mempertimbangkan kemenyeluruhan ekosistem daratan (termasuk lahan pasang surut), terutama di wilayah perdesaan.
Pada tingkat implementasi, pemerintah disarankan untuk mendorong pembangunan model kemitraan antara pemerintah
(sebagai pengambil kebijakan), lembaga penelitian dan universitas (sebagai kontributor litbang), wiraswastawan atau
bank (sebagai pemilik modal), dan petani (sebagai praktisi pertanian). Kata-kata kunci: Tekno-ekofarming, Kementrian
atau Departemen Pangan, Pertanian, dan Pengembangan Komunitas Perdesaan, steering PENDAHULUAN Dalam
artikel yang lain (”Paradigma Pembangunan Pertanian Indonesia Masa Depan: Visi dan Misi”), penulis
telah mengusulkan visi pembangunan pertanian berupa sistem pertanian berkelanjutan berbasis ilmu pengetahuan dan
sumber daya sebagai penggerak utama ekonomi nasional yang berdaya saing tinggi dalam tataran ekonomi global. Misi
pembangunan pertanian tersebut adalah sebagai berikut: mencukupi kebutuhan pangan dan gizi dalam negeri,
memperbaiki kualitas hidup bangsa Indonesia, khususnya masyarakat pertanian, memberikan kontribusi yang tinggi bagi
pertumbuhan ekonomi nasional, dan menunjukkan peran yang nyata dalam perbaikan kualitas lingkungan. Dengan visi
dan misi tersebut, paradigma pembangunan pertanian Indonesia masa depan adalah pembangunan pertanian
berkelanjutan yang berbudaya industri, berdaya saing global, dan berpendekatan ekosistem. Tulisan ini bermaksud
menguraikan bagaimana visi dan misi pembangunan pertanian masa depan tersebut dapat dicapai dengan
menggunakan ‘pendekatan logika intuitif untuk skenario' (an intuitive logics approach to scenarios). Dengan
pendekatan ini, setelah keputusan strategis berupa penetapan visi dan misi pembangunan pertanian berikut paradigma
barunya ditetapkan, faktor-faktor keputusan kunci (key decision factors) dan faktor lingkungan strategisnya yang berupa
kekuatan luar atau pengendali (environmental forces atau external forces/drivers) dicermati. Kemudian, logika skenario
dan skenario pencapaian visi dan misi pembangunan pertanian dengan paradigma baru tersebut dirumuskan.
Selanjutnya, berbagai strategi yang sesuai dengan rumusan skenario itu ditetapkan. Akhirmya, implikasi-implikasi yang
mungkin timbul difikirkan akibat adanya berbagai strategi yang digunakan. Pencermatan Lingkungan Strategis
Berdasarkan pendekatan di atas, faktor-faktor kebijakan kunci yang perlu dicermati mencakup lingkungan Indonesia
yang beriklim tropik, lahan pengembangan yang masih luas, sumber daya manusia yang banyak, IPTEK yang terus
dikembangkan, serta kebutuhan pangan nasional yang besar. Di antara faktor-faktor kunci ini, perlu dibedakan faktorfaktor
yang tergolong mengandung ketidakpastian (uncertainties) dan faktor-faktor yang dapat ditentukan
(predetermineds). Iklim yang sulit diperkirakan, kondisi politik dan ekonomi nasional yang masih kurang menguntungkan,
dan permintaan akan produk pertanian yang dapat berubah dan penuh persaingan tergolong ke dalam faktor-faktor yang
sarat dengan ketidakpastian. Faktor-faktor yang dapat ditentukan mencakup kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia dan alam, taraf kemajuan IPTEK dan sistem informasi yang dimiliki, budaya makan konsumen, dan
produktivitas tanaman pertanian. Pencermatan lingkungan strategis yang menempatkan issues perdagangan global,
lingkungan, kemajuan IPTEK, sistem informasi, kebutuhan pangan dunia, dan otonomi daerah sebagai faktor-faktor
pengendali memberikan gambaran tentang besaran peluang (opportunity) dan ancaman (threat) bagi pembangunan
pertanian yang berwawasan agribisnis, sebagaimana yang tercermin dari paradigmanya. Selanjutnya, dengan
mempertimbangkan kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) yang dimiliki secara internal oleh subsektor ini,
kebijakan dan program pembangunannya diimplementasikan dengan mempertimbangkan berbagai skenario danlogikanya untuk mencapai visi pembangunan pertanian yang diusulkan tersebut. Hasil keempat komponen analisis
SWOT untuk mengembangkan pertanian dari sudut pandang agribisnis adalah sebagai berikut. Peluang Peluang
yang kita miliki untuk membangun pertanian dengan paradigma baru adalah sebagai berikut: (a) munculnya kawasan
Asia Pasifik sebagai kekuatan ekonomi baru yang potensial bagi pemasaran produk pertanian Indonesia; (b) adanya
penurunan peranan beberapa negara produsen pertanian pesaing Indonesia yang berarti meningkatkan kapasitas
kompetitif Indonesia; (c) adanya kemungkinan penurunan proteksi baik yang dilakukan oleh negara-negara maju
maupun oleh negara-negara berkembang sehingga akan memperluas pasar ekspor komoditi pertanian Indonesia; (d)
masih adanya kesempatan untuk meningkatkan produksi melalui pemanfaatan IPTEK, perluasan areal tanam, dan
peningkatan indeks pertanaman; (e) tersedianya plasma nutfah untuk sumber perbaikan varietas, baik untuk lahan subur
maupun lahan marginal; (f) iklim Indonesia yang tropis memberikan kesempatan untuk mengusahakan berbagai
tanaman sepanjang tahun; (f) ekosistem yang beragam antardaerah dengan keunggulan komoditi setempatnya dapat
menghasilkan berbagai produk untuk perdagangan antardaerah; (g) penekanan kehilangan hasil dan peningkatan
mutunya melalui perbaikan teknologi pascapanen dan pendekatan pemuliaan tanaman; (h) adanya kemauan politik
pemerintah untuk memperbaiki kinerja pertanian; (i) penggunaan produk pertanian yang semakin beragam, yakni untuk
pangan manusia dan bahan baku industri dan pakan ternak. Ancaman Tergolong sebagai ancaman bagi
pengembangan pertanian, khususnya agribisnis, adalah sebagai berikut: (a) persaingan yang semakin meningkat karena
jumlah produsen yang semakin meningkat; (b) harga produk pertanian yang relatif stabil dan tidak terlalu tinggi akibat
banyaknya produsen; (c) pengurangan permintaan produk akibat perubahan pola konsumsi; (d) tuntutan penggunaan
teknologi yang bergeser dari pihak produsen ke pihak konsumen, misalnya konsumen menginginkan produk pertanian
dengan spesifikasi tertentu (buah yang asam, berwarna jingga, bulat, dan sebagainya); (e) peningkatan kesadaran
konsumen akan lingkungan dan kesehatan sehingga menimbulkan tuntutan produk pertanian (pangan) yang bebas atau
tidak tercemari pestisida; (f) timbulnya hambatan teknis terselubung yang berupa kecenderungan negara maju
pengimpor pangan menggunakan perjanjian Technical Barrier to Trade (TBT) dan Agreement on Sanitary and
Phytosanitary Measures (SPS) dalam perdagangan (disguised restriction to trade) dan eco-labelling bagi ekspor produk
pertanian Indonesia; (g) informasi pasar yang cepat menjadi kendala bagi pengusaha untuk mengantisipasinya dengan
cara yang memadai; (h) iklim yang relatif sulit diramalkan sehingga menyebabkan ketidakpastian produksi pertanian; (i)
keterbatasan lahan pada masa-masa yang akan datang ditinjau dari segi luasan dan kesesuaiannya untuk produksi
pertanian; (j) kecenderungan upah pertanian yang semakin meningkat akibat produk manufaktur yang mahal; (k)
penghapusan subsidi yang dapat meningkatkan biaya produksi akibat meningkatnya harga sarana produksi. Kekuatan
Kekuatan Indonesia sehubungan dengan pembangunan pertaniannya adalah seperti di bawah ini: (a) kegiatan
pertanian dapat meningkatkan pendapatan petani dan menyerap tenaga kerja; (b) ekspor produk pertanian dapat
meningkatkan perolehan devisa negara; (c) lapangan kerja baru dapat ditimbulkan oleh kegiatan agroindustri; (d)
agroekologi Indonesia lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan negara lain sebagai pemasok produk pertanian;
(e) lahan pertanian tersedia dan dapat dikembangkan untuk pertanian dalam jumlah yang luas; (f) penduduk Indonesia
berjumlah banyak sehingga tenaga kerja untuk agribisnis pun akan cukup tersedia selain sebagai pangsa pasar produk
pertanian/agroindustri; (g) sektor pertanian terbukti lebih tangguh jika dibandingkan dengan sektor lainnya dalam situasi
krisis ekonomi. Kelemahan Pembentukan WTO menuntut setiap negara anggotanya untuk membuka pasarnya bagi
produk negara-negara lainnya. Akibatnya, dalam era perdagangan global akan terjadi persaingan yang ketat
antarprodusen, termasuk penghasil komoditi pertanian. Dalam era perdagangan global tersebut Indonesia memiliki
kelemahan sebagai berikut: (a) daya saing ekonomi yang rendah; (b) adanya kesenjangan mutu produk nasional
terhadap standar mutu internasional; (c) tidak adanya standar mutu bagi pangan impor; (d) adanya kesenjangan Standar
Nasional Indonesia (SNI) dengan standar mutu internasional; (e) kurangnya bahan baku (sarana produksi) yang cukup
dan kontinyu; (f) lemahnya pemanfaatan teknologi yang tersedia; (g) kurangnya tenaga profesional. Indonesia dengan
peluang dan kekuatan yang dimilikinya diharapkan dapat mengatasi ancaman dan kelemahan yang menghantuinya
untuk membangun pertanian. Optimisme ini cukup beralasan mengingat adanya faktor-faktor pendorong sebagaimana
yang telah dikemukakan.
Logika Skenario dan Skenario Pencapaian Visi Pembangunan Pertanian Dengan mempertimbangkan
kecenderungan perkembangan dalam pertanian tropika yang mengarah pada dua sistem pertanian yang tidak
berkelanjutan, yakni yang bermasukan eksternal tinggi (HEIA, high-external-input agriculture) atau, sebaliknya, yang
bermasukan eksternal rendah (LEIA, low-external-input agriculture), visi pembangunan pertanian Indonesia masa depan
dapat dicapai dengan melaksanakan empat alternatif skenario sebagai berikut: ecofarming, eco-ecofarming,
hitechfarming, dan ecofarming bersama technofarming (selanjutnya disebut eco-technofarming, yakni ecologically soundtechnofarming).
Di antara keempat skenario itu, eco-technofarming dianggap sebagai skenario yang tepat dan bijaksana,
yang logika skenarionya adalah sebagai berikut: "sistem pertanian berkelanjutan dengan pendekatan eco-technofarming
yang efisien dan saling melengkapi akan menjadi sektor yang andal bagi kecukupan pangan dan gizi serta perbaikan
kualitas hidup masyarakat, selain berkontribusi bagi perolehan produk domestik bruto (PDB) sektor pertanian yang tinggi
sehingga berperan bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan perbaikan kualitas lingkungan". Karakteristik dari keempat
alternatif skenario tersebut dibedakan menurut taraf masukan teknologi versus keamanan lingkungan dan orientasi
agribisnis yang ingin dicapainya, yakni sebagai berikut. Skenario-1: Ecofarming sebagai Skenario yang Pesimistik
Skenario-1 mengusahakan pertanian multikomoditi (tanaman dan hewan) yang saling komplementer dan sinergik, dan
karenanya menghasilkan multiproduk, serta dapat dipasarkan meskipun hanya di dalam negeri. Dengan pendekatan
ecofarming, pelaku agribisnis diharapkan dapat mempertahankan keamanan pangan dan gizinya. Kebutuhan bidang
lainnya dapat dipenuhi pula dalam taraf yang minimal. Untuk mengatasi situasi rawan pangan dalam krisis ekonomi yang
terjadi saat ini, skenario ini merupakan pilihan terjelek yang memberikan harapan, oleh karena itu, disebut sebagai
skenario yang pesimistik. Lebih-lebih harga produk pertanian tertentu acap kali tinggi, padahal, tidak ada pengeluaran
usaha tani untuk pembelian agrokimia. Skenario ini dapat diambil dalam keadaan yang tidak mungkin melaksanakan
techno-farming karena, misalnya, tidak adanya masukan eksternal dan teknologi pertanian konvensional lainnya. Sistem
ini memerlukan waktu yang lama untuk mencapai ekosistem yang stabil sehingga lama pula mencapai keuntungan yang
stabil. Pendekatan ecofarming lebih mengutamakan standar keamanan lingkungan, tetapi tidak meremehkan standar
mutu produk. Pemilihan skenario ini menghadapi resiko pengadaan bahan pangan yang lambat dan jumlahnya yang
kurang pada waktu yang relatif singkat. Pendekatan ini kurang baik untuk jangka pendek, tetapi cukup baik dalam jangka
panjang. Namun, dengan pendekatan skala agribisnis yang lebih luas, lebih-lebih jika produk organiknya dapat diekspor,
jika skenario ini akan berlaku, akan diperoleh hasil dan keuntungan yang banyak untuk memenuhi keperluan pangan,
gizi, dan ekonomi konsumen/penduduk. Skenario-2: Eco-ecofarming (Economically Viable Ecofarming) sebagai
Skenario yang Utopis Skenario-2 mengusahakan pertanian multi-komoditi sebagaimana dalam Skenario-1, tetapi
dengan pemilihan komoditi yang unggul di pasar baik di dalam maupun di luar negeri. Pemilihan skenario ini bersifat
utopis karena varietas tanaman penghasil tinggi umumnya memerlukan masukan eksternal yang tinggi pula. Pendekatan
ini tampaknya tidak mungkin dalam jangka pendek, bahkan memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan varietas
tanaman dan spesies hewan unggulan yang akan dibudidayakan. Skenario-3: Hitechfarming sebagai Skenario yang
Optimistik Pendekatan hitechfarming dalam Skenario-3 akan menghasilkan produk dalam kuantitas, kualitas, dan
kontinuitas yang diinginkan konsumen meskipun harganya harus mahal, dan dengan dampak teknologi bagi kerusakan
lingkungan sangat minimal. Bagi pengusaha, skenario ini akan mendatangkan stabilitas keuntungan dengan daur
produksi yang cepat serta sangat efisien. Pendekatan ini memungkinkan pengungkapan potensi hasil komoditi yang
maksimal dengan pendekatan bioteknologi, demikian juga dengan keamanan lingkungan, sehingga disebut skenario
optimistik. Skenario-4: Eco-technofarming (Ecologically Sound-Technofarming) sebagai Skenario yang Bijaksana
Technofarming mengusahakan komoditi yang mengutamakan monokultur dengan teknologi konvensional (produk
revolusi hijau) yang jika memungkinkan juga didukung oleh bioteknologi. Usaha tani ini menjamin produktivitas yang
tinggi dalam waktu relatif singkat, tetapi padat modal. Kelemahannya berupa kerusakan lingkungan yang sulit dihindari
akibat penggunaan agrokimia yang tinggi. Sistem pertanian yang secara ekonomis efisien ini, secara ekologis tidak
berkelanjutan akibat daur ulang sumber daya terbatas atau tidak ada sama sekali. Technofarming dipandang rawan
dalam jangka panjang. Oleh karena itu, pemanfaatannya dalam Skenario-4 perlu diimbangi dengan aplikasi teknologi
yang ramah lingkungan, antara lain, dengan mendaur ulang limbahnya untuk dijadikan masukan usaha tani kembali.
Dalam skenario eco-technofarming ini, di tingkat usaha tani individual (farm level) sistem pertanian monokultur bisa jadi
berpendekatan technofarming. Namun, dalam tingkat wilayah (region level), usaha tani-usaha tani monokultur tersebut
harus berada dalam satu pengelolaan yang memungkinkan adanya pendaurulangan produk sampingnya berupa limbah
antarusaha tani. Jadi, dalam skenario ini, pengelolaan secara terpadu atas berbagai sistem usaha tani konvensional
dapat memperbaiki tingkat keramahan usaha tani itu secara keseluruhan terhadap lingkungan, tetapi dengan
produktivitas yang tinggi akibat pendekatan techno-farming oleh unit-unit usaha taninya masing-masing. Skenario-4
juga merujuk pada sistem pertanian ramah lingkungan (ecofarming) yang meskipun memanfaatkan masukan eksternal,
penggunaannya berlangsung dalam jumlah yang aman, seperti yang terjadi dalam sistem LEISA. Jadi, skenario ecotechnofarming
melaksanakan pendekatan techno-farming dan eco-farming secara simultan, yang akan mendatangkan
manfaat berupa keuntungan finansial yang tinggi, kondisi sosial yang berterima, dan keamanan lingkungan yang relatif
terkendali. Eco-technofarming diharapkan akan melahirkan berbagai model agroekosistem yang cukup ramah
lingkungan. Skenario ke-4 ini merupakan pendekatan yang memberikan jaminan bagi penyediaan pangan dalam negeri,
selain dapat menghasilkan devisa yang kontribusinya nyata bagi ketangguhan ekonomi nasional. Skenario ini juga
sangat memperhatikan standar mutu sehingga merupakan skenario bijaksana yang diusulkan untuk mencapai visi dan
misi pertanian masa depan. Strategi DAN IMPLEMENTASI Pembangunan Pertanian Masa Depan Berdasarkan
skenario yang bijaksana berupa aplikasi eco-technofarming, strategi pembangunan pertanian masa depan dirumuskan
secara makro dan mikro. Implikasi dari kedua strategi itu selanjutnya harus ditindaklanjuti pula. Strategi Pembangunan
Pertanian Masa Depan Secara makro strategi tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) penetapan kembali
paradigma pembangunan ekonomi menjadi berbasis sumber daya domestik, (2) pengendalian sistem moneter, (3)
regulasi di bidang investasi dan pemberian intensif bagi produsen, (4) intervensi dalam pengintegrasian sektor pertanian
dengan perekonomian global, (5) penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi kegiatan agribisnis, termasuk peningkatan
keberpihakan lembaga keuangan kepada petani; (6) restrukturisasi Departemen Pertanian dengan "mengumpulkan"
kembali subsektor perikanan darat bersama dengan subsektor tanaman pangan, subsektor tanaman hortikultura,
subsektor tanaman perkebunan, dan subsektor peternakan disertai dengan perhatian pada SDM petaninya, (7)
peninjauan dan penetapan kembali tata ruang peruntukan lahan untuk pertanian dalam arti luas, (8) restrukturisasi
kelembagaan dan manajemen penelitian dan pengembangan sektor pertanian, (9) penerapan standar mutu produk
pertanian dan standar keamanan lingkungan, dan (10) penerapan otonomi daerah yang mendorong pada pemeliharaan
atau perbaikan sumber daya alam.. Diduga bahwa agribisnis yang akan mampu bersaing pada masa yang akan
datang adalah yang memiliki kriteria berikut: (1) melaksanakan prinsip efisiensi dan produktivitas tinggi, (2) menghasilkan
nilai tambah yang tinggi per satuan luas, (3) menggunakan teknologi yang sesuai dan ramah terhadap lingkungan, dan
(4) mempunyai jaringan kelembagaan yang professional tanpa KKN. Oleh karena itu, secara mikro strategi implementasi
pembangunan pertanian masa depan adalah sebagai berikut: (1) mengembangkan agribisnis berskala komersial yang
memanfaatkan potensi lahan dengan sebesar-besarnya, (2) meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian, (3)
meningkatkan mutu dan kontinuitas produk pertanian, (4) meningkatkan efisiensi produksi dan pemasaran produk
pertanian, (5) meningkatkan keterkaitan produksi pertanian dengan kegiatan agroindustrinya, dan (6) meningkatkan
kemampuan bersaing perusahaan agribisnis dalam memasarkan produknya melalui penguasaan informasi pasar,
pengembangan produk unggulan, perluasan negara tujuan ekspor produk, dan peningkatan mutu produk dan
lingkungannya. Implikasi Strategi Pembangunan Pertanian Masa Depan Implikasi dari strategi pendekatan makro
adalah perlunya tindakan-tindakan yang sesuai dengan paradigma baru pembangunan pertanian, yaitu (1) reformasi
administrasi publik; (2) peninjauan kembali berbagai peraturan dan perundangan yang tidak sesuai di semua jenjang dan
menggantinya dengan berbagai produk hukum baru yang lebih memadai; (3) peninjauan kembali tata ruang secara
keseluruhan yang ditindaklanjuti dengan penetapan dan pengendalian tata ruang baru bagi yang tidak sesuai; (4)
penetapan kebijakan pangan strategis sehubungan pencapaian ketahanan pangan nasional berbasis individu; (5)
pembangunan kurikulum pendidikan pertanian yang sesuai dengan kebutuhan teknologi pertanian yang diinginkan; (6)
pengintegrasian litbang pendidikan tinggi dan lembaga lainnya (departemen dan nondepartemen) dengan sektor
agribisnis praktis yang didukung oleh kebijakan yang memadai dari pemerintah; (7) penjaminan akses petani kepada
sumber pembiayaan usaha tani baik kepada lembaga perbankan maupun melalui kerja sama dengan pengusaha
swasta. Implikasi dari strategi pendekatan mikro adalah perlunya tindakan-tindakan sebagai berikut: (1)
penginventarisasian kembali kualifikasi sumber daya alam dan manusia serta taraf penguasaan teknologi pertanian dan
agroindustri; (2) peningkatan peran penelitian dan pengembangan di sektor pertanian dalam arti luas; (3) pengadaan
sarana dan prasarana produksi pertanian yang cukup dan serasi dengan kebutuhan; (4) pembangunan dan
pengendalian berbagai model agroekosistem (terpadu) yang berkelanjutan; (5) pengkoordinasian berbagai lembaga
yang terkait dalam sistem produksi pertanian; (6) pengembangan sistem informasi pertanian dalam arti luas; (7)
pemasyarakatan diversifikasi pangan dalam rangka memantapkan ketahanan pangan yang berbasis individu.
SIMPULAN Pembangunan sistem pertanian berpendekatan eco-technofarming yang dilaksanakan secara
komplementer dan sinergis (antara ecofarming dan technofarming) dinilai sebagai skenario bijaksana untuk mencapai
visi pembangunan pertanian berupa sistem pertanian berkelanjutan berbasis ilmu pengetahuan dan sumber daya
sebagai penggerak utama ekonomi nasional yang berdaya saing tinggi dalam tataran ekonomi global. Dengan visi
pembangunan pertanian itu, pemerintah dituntut untuk menetapkan paradigma pembangunan ekonomi yang berbasis
pada kekuatan sendiri, yakni sumber daya manusia dan alam domestik. Dalam rangka kelanjutan reformasi pertanian,
diperlukan reorganisasi lembaga tinggi negara untuk menghasilkan kebijakan pangan, pertanian, dan pembangunan
manusia perdesaan yang dikaitkan dengan program transmigrasi. Lembaga tinggi negara yang melaksanakan fungsi
steering ini disarankan berbentuk kementrian atau departemen dengan sebutan Kementrian atau Departemen Pangan,
Pertanian, dan Pengembangan Komunitas Perdesaan (PPP-Komdes), bukan sebuah komite seperti Komite Revitalisasi
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan seperti yang kini ada. Dalam departemen yang diusulkan itu subsektor tanaman,
peternakan, dan perikanan darat digabungkan kembali agar kebijakan pembangunan pertanian selalu
mempertimbangkan keutuhan ekosistem darat, termasuk ekosistem lahan pasang-surut, terutama di wilayah perdesaan.
Pembangunan pertanian masa depan sebagai subsistem agribisnis hendaknya didukung oleh subsistem masukan dan
berbagai lembaga yang terkait di stratum hulunya, sedangkan di stratum hilirnya ditopang oleh subsistem perdagangan
hasil, agroindustri, dan perdagangan produk agroindustri. Oleh karena itu, diperlukan adanya berbagai model pembinaan
agribisnis swasta berbasis penelitian dan pengembangan yang didukung oleh pemerintah, misalnya, dalam bentuk
kemitraan antara pemerintah (sebagai pemberi dukungan kebijakan), lembaga penelitian dan universitas (sebagai
sumber daya penelitian dan pengembangan), dan pengusaha atau perbankan (sebagai pemodal) yang melibatkan
petani (sebagai pelaksana di tingkat operasional usaha taninya).
DAFTAR PUSTAKA Alif, S. 1990. Tantangan pembangunan pertanian dalam menghadapi globalisasi. Pangan 6 (Vol.
II): 42 - 48. Badan Agribisnis, Departemen Pertanian. 1998. Rencana Strategis (Program dan Kegiatan Badan Agribisnis
TA 1999/2000 - 2001/2002). Jakarta. Departemen Pertanian. 2000. Kebijakan dan Program Utama Pembangunan
Pertanian. Jakarta. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, Departemen Pertanian. 1999. Kebijaksanaan
Pembangunan Subsektor Tanaman Pangan dan Hortikultura. Fahey, L. and R. M. Randall. 1998. Learning from The
Future Competitive Foresight Scenarios. John Wiley & Sons, Inc. New York. Hartono, C.F.G.S. 1994. Aspek globalisasi
perdagangan internasional dan regional yang berkaitan dan berpengaruh pada masalah pangan dan pertanian di
Indonesia. Pangan 20 (Vol. V): 41 - 49. Imamura, N. 1999. Agricultural policy reform, new legislation to change the face
of Japanese farming. Look Japan 521 (Vol. 45): 4-9. Menteri Pertanian RI. 2000. Memposisikan Pertanian sebagai
Poros Penggerak Perekonomian Nasional: Penajaman Kebijakan dan Program Pembangunan 2000-2004. Departemen
Pertanian. Jakarta. Mugnisjah, W.Q. 1999. Paradigma baru pembangunan pertanian Indonesia. Naskah bahan diskusi
di Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura. Jakarta. Mugnisjah, W.Q. dan Sudradjat. 2000. Penilaian kritis
terhadap kebijakan pembangunan tanaman pangan dan hortikultura. Makalah dalam Diskusi Pakar Arah Pembangunan
Pangan dan Hortikultura. Bandung. 8 Maret 2000. Mugnisjah, W.Q., Suwarto, dan A.S. Solihin. 2000. Agribisnis
Terpadu Bersistem LEISA di Lahan Basah: Model Hipotetik. Bul. Agron. XXVII (2): 49-61. Prakosa, M. (Menteri
Pertanian RI). 1999. Kebijakan pembangunan pertanian sebagai poros penggerak pembangunan nasional pada era
transparansi global. Makalah pada “Simposium Nasional Inovasi Pertanian dan Pameran Aneka Produk Unggulan
1999”. Surabaya, 24 November 1999. Ringland, G. 1998. Scenario Planning Managing for The Future. John
Wiley & Sons. Chichester. Saefuddin, A.M. 1998. Pembangunan pangan dan pertanian. Seminar dan Lokakarya
Nasional Perguruan Tinggi Pertanian Menjawab Tantangan Krisis Pangan Nasional. Bogor, 13-14 Juli 1998. Saragih, B.
1996. Pertanian Abad 21 : Agribisnis, cara baru melihat pertanian. Pangan 27 (Vol. VII): 8 - 16. Soekartawi. 1996.
Strategi ganda dalam pengembangan agribisnis di Indonesia. Pangan 27 (Vol. VII): 50 - 58. The World Bank. 1998.
Indonesia in Crisis, A Macroeconomic Update. Washington, D.C.
Van der Heijden, K. 1996. Scenarios, The Art of Strategic Conversation. John Wiley & Sons. Chichester.
http://kecubung6.com - ::: kecubung6.com :: : :: Prof. DR. Ir. Wahju Qamara MugnisPjaohw, eMre.Adg bry. :M: :a :m: ©b ocopyleft 2006 ::: Generated: 24 May, 2011, 16:16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar