MENUJU PERTANIAN ORGANIK

SELAMAT DATANG

Senin, 10 Oktober 2011

Pengelolaan Kesuburan Tanah Sulfat Masam




I. PENDAHULUAN

Lahan rawa di Indonesia cukup luas dan tersebar di tiga pulau besar, yaitu di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua). Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992) luas lahan rawa Indonesia ± 33,4 juta ha, yang terdiri atas lahan rawa pasang surut sekitar 20 juta ha dan lahan lebak 13,4 juta ha. Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan berkaitan dengan program pemukiman transmigrasi yang dimulai sejak Pelita I (orde baru) sekitar tahun 1969 melalui program Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Pemanfaatan lahan pasang surut untuk pertanian merupakan pilihan yang strategis dalam mengimbangi penciutan lahan produktif di pulau Jawa yang dialihfungsikan untuk pembangunan sektor non pertanian seperti, perumahan, jalan raya, industri dan pembangunan lainnya.

Menurut Sudiadikarta et al., (1999) sampai saat ini lahan rawa yang telah dibuka 2,4 juta ha, 1,5 juta ha di Kalimantan dan 0,9 ha di Sumatera. Lahan rawa di Irian Jaya (Papua) sampai saat ini masih belum dibuka untuk pertanian. Pengembangan lahan rawa memerlukan perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan yang baik dan memerlukan penerapan teknologi yang sesuai, terutama pengelolaan tanah dan air yang tepat. Pemanfaatan yang bijak, pengembangan yang seimbang dan pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik, sifat dan kelakuannya, diharapkan dapat mengembalikan lahan rawa menjadi lahan pertanian yang berproduktivitas tinggi, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Widjaja-Adhi, 1995a dan 1995b). Sejak proyek P4S tahun tujuh puluhan dan dilanjutkan dengan proyek penelitian Badan Litbang Pertanian Swamp I, Swamp II, dan kerjasama dengan Belanda (LAWOO) tahun delapan puluhan, Proyek Penelitian Pengembangan Lahan Rawa Terpadu (ISDP) dan Proyek Pertanian PLG tahun sembilan puluhan telah banyak teknologi pengelolaan lahan rawa yang dihasilkan (Suriadikarta dan A.Abdurachman, 1999). Teknologi itu antara lain adalah teknologi pengelolaan tanah, tata air mikro, teknologi ameliorasi tanah dan pemupukan, penggunaan varietas yang adaptif, teknologi mengatasi hama dan penyakit, dan model usahatani. Namun penerapan teknologi pertanian lahan rawa umumnya tidak dapat diterapkan secara berkelanjutan disebabkan ada beberapa kendala yaitu : modal petani yang rendah, infrastruktur yang terbatas, kelembagaan pedesaan yang minim, dan kurangnya perhatian pemerintah dalam pemeliharaan jaringan tata air makro secara konsisten.

Berbagai kegagalan telah didokumentasikan namun keberhasilan juga telah dicapai sepanjang pengembangan lahan rawa. Terjadinya lahan bongkor akibat reklamasi yang kurang tepat merupakan pengalaman kegagalan yang tidak perlu terulang lagi dalam pengembangan lahan rawa yang masih memungkinkan untuk pengembangan pertanian. Potensi lahan rawa yang masih besar ini sebaiknya dapat dimanfaatkan untuk menunjang persiapan pengembangan sistem ketahanan pangan dan agribisnis yang menjadi program utama sektor pertanian. Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Pertanian (1999). Lahan rawa, baik rawa pasang surut maupun bukan pasang surut (lebak) dapat dijadikan basis pengembangan sistem ketahanan pangan, untuk kepentingan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Sehingga perhatian berupa investasi, terutama swasta dalam pemanfaatan lahan rawa seyogyanya dapat lebih ditingkatkan. Berdasarkan macam dan tingkat kendala dalam pengembangan dan pengelolaan, khususnya untuk pertanian, lahan rawa dibagi menjadi lima tipologi lahan, yaitu 1) lahan potensial, 2) lahan sulfat masam, 3) lahan gambut, 4) lahan salin atau pantai, 5) lahan rawa lebak.



II. PERMASALAHAN PADA TANAH SULFAT MASAM

Pertama kali tanah sulfat masam dikenal dengan sebutan cat clay yang diambil dari asal kata katteklei (bahasa Belanda), yang diartikan sebagai lempung yang berwarna seperti warna pada bulu kucing, yaitu warna kelabu dengan bercak kuning pucat (jerami). Bercak kuning pucat ini merupakan senyawa hasil (produk) oksidasi pirit yang sering disebut dengan jarosit. Istilah tanah sulfat masam sendiri digunakan karena berkaitan dengan adanya bahan sulfida (pirit) dalam tanah ini yang apabila teroksidasi menghasilkan asam sulfat sehingga menyebabkan tanah menjadi masam sampai sangat masam (pH 2-3). Tanah sulfat masam merupakan tanah liat rawa dan seringkali memiliki lapisan gambut tipis < 20 cm; memiliki lapisan pirit yang belum teroksidasi (bahan sulfidik) atau sudah teroksidasi (horison sulfurik) pada kedalaman 0-50 cm. Tanah sulfat masam terbagi menjadi sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual. Sulfat masam potensial dapat berubah menjadi sulfat masam aktual bila tanah mengalami drainase yang berlebihan akibat reklamasi. Pirit yang semula stabil dan tidak berbahaya pada kondisi anaerob atau tergenang, akan teroksidasi bila kondisi berubah menjadi aerob. Menurunnya permukaan air tanah akibat pembuatan saluran drainase primer-sekunder-tersier menyebabkan oksigen masuk ke dalam pori tanah dan akan mengoksidasi pirit membentuk asam sulfat, ion hidrogen dan Fe3+. Apabila oksidasi pirit berlangsung cepat maka akan terbentuk mineral jarosit berupa bercak-bercak karatan berwarna kuning jerami (Dent, 1986; Langenhoff, 1986).

Pada kondisi tergenang, kemasaman tanah dapat dikurangi namun disisi lain muncul masalah keracunan besi fero (Fe2+), Al, Mn, Hidrogen sulfida, CO2, dan asam organik. Masalah fisik yang sering dijumpai adalah terhambatnya perkembangan akar tanaman pada horison sulfurik karena tanaman kekurangan air, pematangan tanah terhambat serta saluran drainase tertutup oleh deposit oksida besi. Pada kondisi seperti ini, pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme tanah terhambat. Jenis tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang akan sangat terbatas dengan hasil rendah.


Proses kimia pada tanah sulfat masam:

Proses kimia pada tanah sulfat masam dapat dikelompokkan menjadi dua bagian penting. Pertama, proses kimia yang terjadi dalam keadaan reduktif, antara lain pembentukan pirit, reduksi besi feri menjadi fero, serta reduksi senyawa beracun.


Kedua, proses kimia pada kondisi oksidatif, yang terpenting adalah oksidasi pirit.

a. Proses reduksi

Pada kondisi aerob, sumber elektron utama bagi aktivitas mikroorganisme
pendekomposisi bahan organik adalah oksigen. Bila keadaan berubah menjadi anaerob, oksigen di dalam tanah secara perlahan menghilang. Namun demikian, dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob tetap berlangsung dengan memanfaatkan elektron yang dilepaskan dalam proses reduksi nitrat, oksida mangan, oksida besi, dan sulfat. Dalam proses reduksi selalu memanfaatkan proton, sehingga pH tanah akan meningkat. Proses kimia penting yang terjadi adalah :

Pembentukan pirit. Pirit (FeS2) adalah mineral berkristal kubus dari senyawa besi-sulfida yang terkumpul di dalam endapan marin kaya bahan organik dan diluapi air mengandung senyawa sulfat (SO4-) dari air laut. Bentuk kristal pirit sangat halus bervariasi dari <> 2 mikron hingga > 100 mikron (Van Dam dan Pons, 1972). Kandungan pirit dalam endapan marin mencapai 5%, tetapi umumnya 1-4% (Van Breemen, 1972). Pembentukan pirit memerlukan persyaratan tertentu :
(1) Lingkungan anaerob : Reduksi sulfat hanya dapat terjadi pada kondisi yang sangat anaerob seperti pada sedimen tergenang dan kaya bahan organik. Dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob menghasilkan senyawa-senyawa yang bersifat masam sehingga menyebabkan lingkungan bertambah masam (Pons et al., 1982);
(2) Sulfat terlarut : Sumber utama sulfat adalah air laut atau air payau pasang;
(3) Bahan organik : Oksidasi bahan organik menghasilkan energi yang sangat diperlukan oleh bakteri pereduksi sulfat. Ion sulfat bertindak sebagai sumber elektron bagi respirasi bakteri kemudian direduksi menjadi sulfida. Jumlah sulfida yang terbentuk berkaitan langsung dengan jumlah bahan organik yang dimetabolisme oleh bakteri;
(4) Jumlah besi : Tanah dan sedimen mengandung besi oksida dan hidroksida dalam jumlah yang banyak, yang akan tereduksi menjadi Fe2+, yang sangat larut pada pH sekitar normal atau dijerap oleh senyawa organik yang larut;
(5) Waktu : Waktu yang diperlukan untuk pembentukan pirit pada kondisi alami masih belum banyak diketahui. Reaksi antara padatan FeS dan S berjalan sangat lambat, memerlukan waktu bulanan bahkan tahunan untuk menghasilkan sejumlah pirit. Namun demikian, pada kondisi yang sesuai, Fe2+ larut dan ion polisulfida dapat membentuk pirit dalam beberapa hari (Howarth, 1979 dalam Dent, 1986). Reaksi keseluruhan pembentukan pirit dari besi oksida (Fe2O3) sebagai sumber Fe digambarkan sebagai berikut :


Pada kondisi tergenang atau anaerob, selain terbentuk ion mono-karbonat, di dalam tanah atau sedimen juga mengandung karbonat yang berasal dari koral atau binatang laut. Karbonat akan menetralisir kemasaman tanah dan mempertahankan pH sekitar netral.

Pirit adalah zat yang hanya ditemukan di tanah di daerah pasang surut saja. Zat ini dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh air laut yang masuk pada musim kemarau. Pada saat kondisi lahan basah atau tergenang, pirit tidak berbahaya bagi tanaman. Akan tetapi, bila terkena udara (teroksidasi), pirit berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang dapat meracuni tanaman. Pirit dapat terkena udara apabila:
=>Tanah pirit diangkat ke permukaan tanah (misalnya pada waktu mengolah tanah, membuat saluran, atau membuat surjan).
=>Permukaan air tanah turun (misalnya pada musim kemarau).

Gejala keracunan zat besi pada tanaman:
· Daun tanaman menguning jingga
· Pucuk daun mengering
· Tanamannya kerdil
· Hasil tanaman rendah.

Ciri-ciri tingginya kadar besi dalam tanah:
· Tampak gejala keracunan besi pada tanaman
· Ada lapisan seperti minyak di permukaan air
· Ada lapisan merah di pinggiran saluran.

Belerang menyebabkan air tanah menjadi asam, bahkan lebih asam daripada cuka. Akibat yang ditimbulkan adalah:
· Tanaman mudah terserang penyakit
· Hasil panen rendah
· Tanaman lebih mudah kena keracunan besi.

Tingkat kemasaman tanah diukur dengan angka pH. Makin rendah angka pH, makin asam air atau tanahnya. Tanaman padi menyukai pH antara 5-6 dan padi tidak dapat hidup jika berada pada pH di bawah 3.

Pirit di dalam tanah dapat ditandai dengan:
· Adanya rumput purun atau rumput bulu babi, menunjukkan ada pirit di dalam tanah yang telah mengalami kekeringan dan menimbulkan zat besi dan asam belerang.
· Bongkah tanah berbecak kuning jerami ditanggul saluran atau jalan, menunjukkan adanya pirit yang berubah warna menjadi kuning setelah terkena udara.
=> Adanya sisa-sisa kulit atau ranting kayu yang hitam seperti arang dalam tanah. Biasanya di sekitamya ada becak kuning jerami.
=> Tanah berbau busuk (seperti telur yang busuk), maka zat asam belerangnya banyak. Air di tanah tersebut harus dibuang dengan membuat saluran cacing dan diganti dengan air baru dari air hujan atau saluran.

Kedalaman pirit diukur dengan cara berikut ini:
· Gali lubang sedalam 75 cm atau lebih.
· Ambillah gumpalan tanah mulai dari kedalaman 10 cm, 20 cm, 30 cm, dan seterusnya sampai ke bagian bawah.
· Gumpalan tanah tersebut ditandai dan dicatat sesuai dengan asal kedalaman.
· Setiap gumpalan tanah ditetesi air peroksida. Bila keluar buih meledak-ledak menunjukkan adanya pirit dalam tanah tersebut.
· Cara lain dengan menyimpan gumpalan tanah tadi di tempat teduh. Diamati setelah 3 minggu, jika ada becak warna kuning jerami, maka tanah tersebut mengandung pirit.

Cara ini diulang sedikitnya di 20 tempat untuk setiap hektar lahan, guna memastikan kedalaman piritnya. Sehingga sewaktu mengolah tanah, pirit tidak teroksidasi, karena dapat meracuni tanaman.

Reduksi Fe3+menjadi Fe2+. Pada sebagian tanah masam, penggenangan akan mengakibatkan pH meningkat hingga 6-7 setelah beberapa minggu. Pada kondisi seperti ini, proses terpenting adalah reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ (Ponnamperuma, 1972; Patrick dan Reddy, 1978). Pada tanah sulfat masam muda, peningkatan pH dari 3,0-3,5 menjadi 5,5-6,0 berkaitan dengan tingkat pelarutan Fe2+ yang dicapai. Pada tanah sulfat masam yang telah lanjut, pH meningkat sangat lambat setelah penggenangan bahkan kadang-kadang tidak mencapai 5,5-6,0. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh : (1) lambatnya proses reduksi dan (2) tidak adanya bahan yang akan direduksi seperti misalnya oksida besi feri. Pada kondisi pertama, maka setelah penggenangan tidak akan terjadi perubahan nilai Eh atau pH yang drastis. Pada kasus kedua, nilai Eh akan menurun tanpa meningkatkan pH. Menurut Dent (1986), tanah sulfat masam yang sudah tua mengandung besi dalam bentuk kristal goetit dan hematit yang stabil sehingga sulit tereduksi. Sebaliknya tanah sulfat masam yang masih muda kaya akan koloid besi, sehingga diperkirakan mempunyai kadar besi terlarut yang tinggi setelah penggenangan. Reduksi oksida Fe3+ dengan bahan organik sebagai donor elektron akan mengkonsumsi 4 proton :
Konsten et al., (1990) melaporkan bahwa tanah sulfat masam di Kalimantan ada yang tidak menunjukkan peningkatan pH setelah penggenangan. Hal ini disebabkan tanah tersebut mempunyai kandungan oksida Fe3+ yang rendah dibandingkan kapasitas netralisasi oleh tanah.

Reduksi sulfat. Proses reduksi sulfat menjadi sulfida dapat terjadi pada kondisi pH di atas 4 hingga 5, pada pH di bawah itu reaksi terjadi sangat lambat dan bahkan tidak ada. Reduksi sulfat seringkali terjadi pada tanah sulfat masam yang masih muda dan sulfat masam lanjut yang lama tergenang. Reduksi sulfat ini sangat berkaitan dengan adanya hasil dekomposisi bahan organik yang masih baru. H2S yang terbentuk sangat beracun bagi tanaman, pada konsentrasi 0,1 mg l-1 H2S sudah dapat meracuni tanaman padi dalam larutan hara (Mitsui, 1964 dalam van Breemen, 1993). Reaksi yang terjadi digambarkan sebagai berikut :


b. Proses oksidasi

Proses utama yang terjadi bila tanah sulfat masam teroksidasi adalah oksidasi pirit. Reklamasi lahan rawa melalui pembuatan saluran drainase mengakibatkan perubahan kimia di dalam tanah sulfat masam. Pirit yang semula tidak berbahaya pada kondisi tergenang, secara perlahan berubah menjadi unsur beracun dan merupakan sumber kemasaman tanah bila kondisi tanah berubah menjadi oksidatif. Perbedaan yang besar antara pasang surutnya air laut serta musim kemarau yang panjang menyebabkan pirit teroksidasi secara alami. Reaksi oksidasi pirit dengan oksigen pada tanah sulfat masam berlangsung dalam beberapa tahapan, meliputi reaksi-reaksi kimia dan biologis (Dent, 1986). Pada tahap awal, oksigen terlarut secara lambat bereaksi dengan pirit menghasilkan 4 molekul H+ per molekul pirit yang dioksidasi :

Pada nilai pH kurang dari 3,5 reaksi oksidasi kimia ini berjalan sangat lambat dengan waktu paruh 1.000 hari. Kecepatan oksidasi pirit oleh Fe3+ sangat dipengaruhi oleh pH, karena Fe3+ hanya larut pada nilai pH di bawah 4 dan Thiobacillus ferrooxidans tidak tumbuh pada pH yang tinggi. Besi oksida dan pirit di dalam tanah mungkin secara fisik berada pada tempat yang berdekatan, namun ada tidaknya reaksi di antara mereka sangat dipengaruhi oleh kelarutan Fe3+.

Kecepatan oksidasi pirit cenderung bertambah dengan menurunnya pH tanah. Pada pH di bawah 4, proses oksidasi terhambat oleh suplai O2. Kecepatan penurunan pH akibat oksidasi pirit tergantung pada : (1) jumlah pirit; (2) kecepatan oksidasi; (3) kecepatan perubahan bahan hasil oksidasi; dan (4) kapasitas netralisasi. Kalsium karbonat dan basa dapat ditukar merupakan bahan penetralisir kemasaman dimana reaksinya dengan asam sulfat berjalan cepat(van Breemen, 1993).

Di dalam tanah, berbagai tingkatan oksidasi yang berlangsung tidak terjadi
pada titik yang sama. Pengujian secara mikro-morfologi menunjukkan bahwa ada perbedaan/batas yang nyata antara lokasi beradanya pirit dan bahan hasil oksidasinya seperti jarosit, besi oksida, dan gipsum. Pirit biasanya terdapat di dalam inti dari ped, sedangkan jarosit, besi oksida, dan gipsum terdapat pada permukaan ped dan ruang pori. van Breemen (1976) menduga bahwa oksigen bereaksi dengan Fe2+ terlarut membentuk Fe3+ terlebih dahulu sebelum bertemu dengan pirit.


c. Hasil oksidasi pirit

Oksidasi pirit oleh Fe3+ menghasilkan ion (H+) yang kemudian sebagian digunakan lagi untuk mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. Hasil akhir dari oksidasi pirit adalah hidroksida Fe3+. Pada pH > 4, oksida dan hidroksida Fe3+ akan mengendap, misalnya dalam bentuk goetit yang lambat laun akan berubah menjadi hematit (Dent, 1986).

Jarosit [KFe3(SO4)2(OH)6] merupakan endapan berwarna kuning pucat hasil oksidasi pirit pada kondisi yang sangat masam, yaitu pada Eh diatas 400 mV dan pH kurang dari 3,7. Reaksi pembentukannya sebagai berikut :

Pada pH di atas 4, jarosit tidak stabil dan mudah berubah menjadi goetit dan terhidrolisa menjadi oksida besi. Hasil pengujian mikroskopi terhadap irisan tipis dan difraksi sinar X menunjukkan bahwa bercak kuning yang merupakan karakteristik tanah sulfat masam didominasi oleh jarosit dan goetit. Bercak merah dan coklat pada sulfat masam adalah goetit yang kadang-kadang berasosiasi dengan jarosit dan hematit (van Breemen, 1976). Sulfat merupakan salah satu hasil oksidasi pirit yang sangat sedikit dijerap oleh profil tanah. Sebagian besar dari sulfur terlarut hilang bersama air drainase atau berdifusi ke lapisan di bawahnya yang kemudian akan direduksi kembali menjadi sulfida. Sebagian kecil tertahan dalam bentuk jarosit atau gipsum. Gipsum terbentuk pada tanah sulfat masam melalui reaksi netralisasi kemasaman oleh kalsium karbonat :
Ion hidrogen (proton) yang dihasilkan dari oksidasi pirit menyebabkan kondisi tanah yang sangat masam. pH yang sangat rendah menyebabkan penghancuran kisi-kisi mineral liat sehingga silikat dan Al3+ terlepas. Di lapangan, nilai pH tanah sulfat masam berkisar antara 3,2 hingga 3,8 (Dent, 1986). Meningkatnya kandungan silika dan Al3+ terlarut mempengaruhi karakteristik tanah dan air tanah. Aktivitas Al3+ terlarut berkorelasi secara langsung dengan pH, bila pH meningkat maka aluminium akan mengendap sebagai hidroksida atau basic sulfate (van Breemen, 1973).

Beberapa unsur mikro seperti Ni dan Co ikut terakumulasi di dalam sedimen karena mensubstitusi Fe dalam pirit atau unsur Cu, Zn, Pb yang menggantikan sulfida (Deer et al., 1965 dalam van Breemen, 1993). Unsur-unsur tersebut akan terlepas kembali saat pirit teroksidasi. Satawathananont (1986 dalam van Breemen, 1993) menunjukkan bahwa konsentrasi unsur Cu, Zn, Mo, Cd, Pb, Ni, dan As terdapat dalam jumlah yang lebih tinggi pada tanah berpirit yang aerasinya baik (pH 2,9) dibandingkan pada tanah sulfat masam yang sudah berkembang (pH 3,9-4,5) dan tanah marin yang tidak masam (pH 4,9) di Bangkok. Lebih lanjut ia mengamati tanah yang diinkubasi pada nilai potensial redoks dan pH yang terkontrol dalam suasana masam yang oksidatif selama dua minggu, logam berat yang larut air lebih tinggi pada tanah berpirit dibandingkan tanah lanjut/tua.

Selain unsur mikro, masih banyak unsur lain seperti gas SO2, Fe2+, H2S, Al3+ dan asam-asam organik yang dilepaskan sebagai akibat teroksidasinya pirit. Keluarnya unsur-unsur beracun tersebut dari tanah melalui air drainase ke perairan umum dapat menyebabkan polusi dan mengancam kehidupan biota sungai/laut.

Kandungan pirit di tanah sulfat masam temyata di kemudian hari menjadi permasalahan utama yang berat, atau sangat sulit diatasi, apabila tanah sulfat masam dibuka untuk pertanian. Masalahnya dimulai pada saat direklamasi, yaitu dengan penggalian saluran-saluran drainase besar, seperti saluran primer, sekunder, dan tersier, dengan tujuan untuk mengeringkan wilayah agar tanah sulfat masam yang semula basah atau tergenang menjadi tanah yang relatif lebih kering yang siap digunakan sebagai lahan pertanian. Akibat adanya saluran-saluran drainase tersebut, permukaan air tanah menjadi turun, dan tanah bagian atas menjadi kering dan terbuka. Akibat adanya oksigen di udara, maka tanah bagian atas ini mengalami oksidasi, sementara tanah bagian bawah masih tetap berada di lingkungan air tanah, yaitu tetap dalam kondisi tereduksi. Pirit yang terbentuk dalam suasana reduksi dalam endapan laut di dekat pantai dengan kandungan bahan organik tinggi, berasal dari vegetasi pantai seperti api-api dan bakau/mangrove.

Dalam kondisi reduksi, pirit bersifat stabil sesuai dengan suasana lingkungan pembentukannya. Akibat penurunan air tanah, pirit yang berada di tanah bagian atas ikut terbuka (exposed) di lingkungan yang aerob, dan mengalami oksidasi, menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe-III). Hasil akhirnya merupakan tanah ber-reaksi masam ekstrim (pH <3,5),>4,0), tekstur liat berdebu sampai liat, dan umumnya berwarna kelabu-kelabu gelap.

Profil tanah sulfat masam potensial, tanah bagian atas teroksidasi relatif lebih tipis sekitar 25-75 cm, setengah matang sampai hampir matang, reaksi tanah sangat masam-agak masam (pH >4,0), tekstur umumnya liat berdebu, dan warnanya kelabu tua sampai coklat kekelabuan. Lapisan bawah tereduksi, hampir mentah (practically unripe) sampai mentah, reaksi tanah masam-agak masam (pH >4,0), tekstur liat berdebu sampai liat, dan warnanya kelabu tua sampai kelabu gelap. Tanah sulfat masam aktual, karena memiliki reaksi masam ekstrim, dan banyak kandungan ion-ion yang bersifat racun/toksik, sehingga tidak sesuai untuk tanaman pertanian. Tanaman padi yang ditanam di tanah ini tidak menghasilkan gabah yang berarti. Lahan ini banyak ditinggalkan petani transmigran, sehingga menjadi lahan bongkor dan ditutupi semak-semak lebat. Vegetasi alami yang mampu tumbuh adalah yang toleran terhadap kemasaman tinggi, terdapat di Delta pulau Petak biasanya berupa purun (Lepironia mucronata), atau purun tikus (Fimbristylis sp.), dan gelam (Melaleuca leucadendron).


Sulfat masam potensial

Data profil sulfat masam potensial (SMP) menunjukkan adanya lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar 0-12/16 cm. Tekstur seluruh lapisan tanah menunjukkan halus, yaitu tekstur tanah SMP dari Sumatera mempunyai kandungan liat antara 40-75%, dengan debu 25-60%. Sementara kandungan liat SMP dari Kalimantan, bervariasi antara 40-85%, dan debu 20-50%. Dengan demikian, tekstur tanah lapisan atas termasuk liat berdebu, sedangkan lapisan bawahnya liat berdebu atau liat.

Reaksi tanah di seluruh lapisan bervariasi dari masam ekstrim (extremely acid) (pH 3,5 atau kurang) sampai sangat masam (very strongly acid) (pH 4,5-4,8), dan cenderung makin masam di lapisan-Iapisan bawah. Reaksi tanah lapisan atas rata-rata sangat masam sekali (pH 4,0-4,3), dan di lapisan bawah masam ekstrim sampai sangat masam sekali (pH 3,5-3,8). Kandungan garam, dengan data terbatas yang hanya berasal dari SMP Kalimantan, ditunjukkan oleh daya hantar listrik yang bervariasi dari 7.000-21.000 dS/m, dengan rata-rata termasuk sangat tinggi sekali (7.253-7.320 dS/m), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah.

Kandungan bahan organik, tidak termasuk lapisan gambut tipis di permukaan tanah bervariasi sedang sampai sangat tinggi, baik pada SMP dari Sumatera maupun SMP dari Kalimantan. Rata-rata kandungan bahan organik sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (9,16-20,54%) di lapisan atas, dan sangat tinggi (6,31-6,61%) di lapisan bawah. Kandungan N tinggi (0,59-0,70%) di lapisan atas, dan menurun menjadi rendah sampai sedang (0,17-0,28%) di lapisan bawah. Rasio C/N di seluruh lapisan tanah bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan cenderung meningkat di lapisan bawah. Rata-rata C/N tergolong tinggi (16-24) di lapisan atas, dan sangat tinggi (30-31) di lapisan bawah.

Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI) pada SMP dari Sumatera bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi di lapisan atas, dan menurun menjadi rendah sampai sedang di lapisan bawah. Rata-ratanya tinggi (58 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan rendah (20 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Sementara kandungan P2O5 di seluruh lapisan pada SMP dari Kalimantan, bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi. Oleh karena itu, rata-rata kandungan P2O5 potensial di lapisan atas termasuk sangat tinggi (115 mg/100 g tanah), dan di lapisan bawah sedang (33 mg/100 g tanah). Kandungan K2O tergolong sedang (32-35 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sedang sampai tinggi (29-60 mg/100 g tanah) di lapisan bawah.

Kandungan fosfat tersedia (P2O5 Bray-I) tergolong sedang sampai tinggi (17,7-32,3 ppm) di lapisan atas, dan sedang (15,2-17,0 ppm) di lapisan bawah. Jumlah basa, baik di lapisan atas maupun lapisan bawah, tergolong tinggi (18,0-28,3 cmol(+)/kg tanah).

Basa dapat tukar yang dominan di seluruh lapisan tanah adalah Mg dan Na masing-masing untuk Mg termasuk sangat tinggi (10,89- 14,19 cmol(+)/kg tanah, pada SMP dari Sumatera, dan termasuk tinggi (7,05-8,02 cmol(+)/kg tanah) pada SMP dari Kalimantan. Kandungan Na tergolong sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali, baik di lapisan atas (2,34-6,01 cmol(+)/kg tanah) maupun di lapisan bawah (4,91-5,61 cmol(+)/kg tanah). Sebaliknya kandungan Ca-dapat tukar rendah sampai sedang, baik di lapisan atas (5,11-7,84 cmol(+)/kg tanah), maupun lapisan bawah (4,61-7,95 cmol(+)/kg tanah). Sementara kandungan K-dapat tukar, tergolong sedang (0,43-0,64 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan. Kapasitar tukar kation tanah, menunjukkan nilai tinggi sampai sangat tinggi (31,5-62,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan tinggi (28,9-32,7 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah karena pengaruh kandungan bahan organik yang sangat tinggi.

Kejenuhan basa tergolong rendah sampai sedang (35-49%) di lapisan atas, dan sedang sampai sangat tinggi (55-84%) di lapisan bawah. Kejenuhan AI di semua lapisan umumnya sangat bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya rendah (32-35%) di lapisan atas, dan rendah sampai sedang (30-47%) di lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS2) sangat rendah (0,44-1,12%) di lapisan atas, dan rendah (1,35-2,31%) di lapisan bawah.


Sulfat masam aktual

Data Sulfat Masam Aktual (SMA) yang tersedia, hanya berasal dari lahan rawa di Kalimantan. Sementara data analisis yang berasal dari Sumatera, tidak menyebutkan adanya SMA karena data relatif berumur tua, 1974-1978. Tanah mempunyai lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar 0-12 cm. Seluruh lapisan tanah memiliki tekstur halus, dengan kandungan fraksi liat 35-70%, dan debu 25-60%, sehingga tekstur tanah lapisan atas tergolong liat berdebu, dan di lapisan bawah liat. Lapisan atas berreaksi sangat masam sekali (pH 3,6), sementara lapisan bawah antara kedalaman 20-120 cm menunjukkan pH antara 1,8-3,5, dengan pH rata-rata 2,8, sehingga tergolong ber-reaksi masam ekstrim.

Kandungan bahan organik di seluruh lapisan bervariasi tinggi sampai sangat tinggi, sehingga rata-ratanya tergolong sangat tinggi (7,51-10,93%). Kandungan N rata-rata tergolong sedang (0,22-0,49%) di seluruh lapisan, dan cenderung menurun di lapisan-Iapisan bawah. Rasio C/N bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan bertambah besar di lapisan bawah. Karena itu rasio C/N rata-rata tergolong tinggi (25) di lapisan atas, dan sangat tinggi (39) di lapisan bawah.

Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI 25%) di lapisan atas bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya termasuk tinggi (45 mg/100 g tanah). Kandungan P2O5 lapisan bawah, sebagian besar sangat rendah sampai sedang, sehingga rata-ratanya rendah (17 mg/100 g tanah). Sebaliknya kandungan K2O potensial (HCl 25%), sebagian besar tinggi sampai sangat tinggi di semua lapisan, sehingga rata-ratanya tergolong sangat tinggi (73-81 mg/100 g tanah).

Kandungan fosfat tersedia (P Bray-I) di seluruh lapisan sangat rendah sampai sedang, dan cenderung semakin rendah ke lapisan bawah. Oleh karena itu, rata-ratanya termasuk sedang (19,3 ppm) di lapisan atas, dan rendah (12,6 ppm) di lapisan bawah.

Jumlah basa-basa di semua lapisan sampai sedalam 180 cm sangat bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi sekali, dan cenderung menurun di lapisan bawah. Karena itu, rata-rata jumlah basa, baik di lapisan atas maupun lapisan bawah tergolong tinggi (21,9-29,1 cmol(+)/kg tanah). Seperti pada tipe- tipe lahan sebelumnya, basa dapatttukar yang dominan di seluruh lapisan adalah Mg dan Na. Mg terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi sekali, dan rata-ratanya sangat tinggi (8,30-9,25 cmol(+)/kg tanah) di semua tapisan. Demikian juga Na terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi sekali di seluruh lapisan, sehingga rata-ratanya termasuk sangat tinggi sekali (9,70-14,87 cmol(+)/kg tanah). Sebaliknya kandungan Ca-dapat tukar umumnya bervariasi dari sangat rendah sampai sedang, dan rata-ratanya tergolong rendah (3,49-4,12 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas dan lapisan bawah. Sedangkan K-dapat tukar tergolong tinggi (0,89 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah (0,37 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kapasitas tukar kation tanah bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya tergolong tinggi (33,5-37,2 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan karena kontribusi dari bahan organik.

Kejenuhan basa di seluruh lapisan tanah sangat bervariasi, sebagian sangat rendah, sebagian rendah sampai sedang, dan sebagian lagi sangat tinggi, dengan rata-rata sedang (40-42%), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kejenuhan AI di semua lapisan umumnya bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, sehingga rata-ratanya tinggi (67-71%) baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS2) menunjukkan rata-rata sangat rendah (0,85-1,07%) di kedua lapisan tanah.



III. RINGKASAN HASIL-HASIL PENELITIAN TANAH SULFAT MASAM
Salah satu tipologi lahan yang dijumpai di lahan rawa pasang surut, adalah lahan sulfat masam. Dicirikan dengan terdapatnya lapisan sulfida (pirit-FeS2) yang kadarnya >2% di dalam tanah dengan kedalaman bervariasi, sifat kimia tanahnya kurang menguntungkan bagi usaha pertanian, diantaranya kemasaman tanah sangat tinggi (pH tanah <4,0),>Ada tiga komponen teknologi yang harus diterapakan secara bersama-sama, yakni penataan lahan, pengelolaan tanah dan air, dan penanaman tanaman varietas toleran (Simatupang, 2006).
Lahan sulfat masam di mana kandungan besinya cukup tinggi dan ditemukan pada lapisan tanah tidak terlalu dalam (<50>Pirit tidak berbahaya apabila tidak terekspos ke permukaan tanah dan tidak memgalami oksidasi, oleh karena itu pirit di dalam tanah di upayakan tetap stabil dengan cara penerapan teknologi olah lahan konservasi. Terjadinya oksidasi pirit akan memasamkan tanah sehingga pH tanah turun sampai di bawah 3,0 dan menghasilkan besi ferro (Fe 2+) yang bersifat racun bagi tanaman padi. Penyiapan lahan sistem olah tanah konservasi merupakan teknologi yang dapat mengendalikan dan mengkonservasi pirit yang terdapat pada lapisan tanah. Olah tanah konservasi merupakan salah satu teknologi yang dapat menjawab atau mengatasi masalah yang berpeluang muncul dalam pengembangan kawasan lahan eks-PLG di Kalteng sebagai lahan produksi pangan (Simatupang, 2006).
Olah tanah konservasi merupakan teknologi penyiapan lahan yang menganut kepada prinsip konservasi tanah dan air. Bertujuan untuk mengatasi dan mengendalikan terjadinya degradasi kesuburan tanah terutama pada lahan-lahan marginal seperti lahan rawa pasang surut sehingga produktivitas lahan dapat dipertahankan dan berkelanjutan (Simatupang, 2006).
Sistem olah tanah konservasi dapat diterapkan sebagai pengganti sistem olah tanah yang mengguanakan banyak tenaga kerja, dilain pihak tenaga kerja sulit diperoleh (langka) dan upahnya relatif mahal. Di kawasan lahan rawa pasang surut, tenaga kerja merupakan salah satu kendala dalam sistem usahatani sehingga untukk mengatasi masalah tersebut sistem penyiapan lahan tanpa olah tanah merupakan cara yang lebih tepat (Simatupang, 2006).
Sistem olah tanah konservasi di lahan sulfat masam sangat erat hubungnannya dengan terdapatnya lapisan sulfidik (pirit) di dalam tanah hendaknya dipertahankan tetap dalam keadaan stabil, tadak terekspos (terangkat ke permukaan tanah) sehingga pirit tidak mengalami oksidasi (Simatupang, 2006).
Teknologi olah tanah konservasi erat kaitannya dengan pengelolaan gulma, dilain pihak gulma tumbuh cepat dan subur di lahan pasang surut, oleh karenannya dalam penerapannya berkaitan dengan penggunaan herbisida sebagai komponen utama untuk untuk mengendalikan gulma sehingga lahan menjadi siap untuk ditanami. Herbisida digunakan bertujuan untuk lahan menjadi siap untuk ditanam dan sekaligus untuk mengendalikan pertumbuhan gulma di areal pertanaman sebagai lahan ditanami (Simatupang, 2006).
Tahapan kegiatan dalam penerapan sistem penyiapan tanpa olah tanah: vegetasi (gulma dan sisa tanaman sebelumnya) disemprot dengan herbisida (glyfostat, paraquat, dan sulfo sat). Selanjutnya, setelah gulma mati kemudian direbabkan menggunakan alat bantu (seperti drum, batang pisang atau kelapa, digilas dengan roda traktortanagn) sampai rata dengan permukaan tanah untuk memudahkan pelaksanaan tanam padi (Simatupang, 2006).
Berdasarkan penelitian berlokasi SP-I Palingkau di kawasan lahan eks-PLG, ternyata penerapan teknologi tanpa olah tanah menggunakan herbisida dapat meningkatkan hasil padi 30-47% dibanding hasil padi yang didapat dengan teknologi yang diterapkan oleh petani umumnya. R/C-ratio 1,24-1,28, meningkat pendapatan petani, mengurangi penggunaan tenaga kerja sampai 28% dan teknologi tanpa olah tanah mampu mengendalikan keracunan besi pada tanaman padi. Selain itu, teknologi TOT ini juga dapat mendukung sistem usahatani yang berkelanjutan (Simatupang, 2006).
Maka untuk memacu usaha peningkatan produksi dan untuk mengendalikan kegagalan usahatani padi karena timbulnya keracunan besi, penerapan teknologi tanpa olah tanah merupakan langkah yang strategis. Melalui penerapan teknologi ini revitalisasi pembangunan pertanian di kawasan lahan eks-PLG diharapkan memberikan hasil yang optimal, dan memberikan kontribusi yang besar dalam usaha peningkatan produksi dan penyediaan pangan nasional (Simatupang, 2006).
Sistem mekanisasi pada pengolahan tanah akan menyebabkan pengusikan tanah yang juga akan memperlancar difusi oksigen ke dalam tanah. Difusi oksigen akan memperbaiki aerasi tanah yang berdampak pada perubahan suasana tanah. Tata air yang berfungsi sebagai saluran pengatus tanpa keberadaan sistem pengatur muka air tanah dapat menyebabkan tanah rawa menjadi over drain sehingga status tanah yang semula reduktif berubah menjadi oksidatif. Proses perubahan suasana ini selalu menyebabkan pemasaman pada tanah, terlebih lagi bila dalam tanah tersebut terkandung bahan sulfidik. Untuk itu perlu dilakukanlah penelitian hubungan antara potensi kemasaman dengan laju pengeluaran asam pada berbagai ayunan kondisi air oleh Sutanto (2001), guna mengurangi kontak antara asam yang timbul dengan tanah, maka pembilasan perlu segera dilaksanakan. Pembilasan dapat dikerjakan dengan air biasa ataupun air yang mengandung ion.
Tujuan penelitian ini adalah: (a) mengetahui peran gambut dalam memperbaiki sifat fisik tanah, (b) melihat pengaruh air laut, kapur, atau pupuk kandang sebagai bahan amelioran pada tanah sulfat masam, (c) melihat pengaruh pengolahan tanah secara mekanisasi terhadap evolusi kejenuhan aluminium di tanah sulfat masam potensial pada sistem sawah dan palawija.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
(a) Tanah sulfat masam paling cocok digunakan untuk padi sawah, akan lestari bila kadar pirit awal <1%>
(b) Perbaikan sifat fisika tanah dapat dikerjakan dengan pemberian bahan gambut hingga takaran yang mampu mencegah tanah bersifat kohesif bila kering. Takaran gambut sampai 10% belum mampu melonggarkan tanah atau memperbaiki laju perembihannya,
(c) Air laut dapat berfungsi sebagai amelioran dengan jalan menukarkan sumber kemasaman dalam kompleks pertukaran dengan kation basa (Ca dan Mg serta K) yang ada dalam air laut tersebut. Pembilasan sisa air laut sangat dibutuhkan untuk menghindari plasmolisis akar tanaman,
(d) Pembilasan garam terlarutkan, hasil oksidasi pirit yang bersifat masam sangat diperlukan sebelum tanah sulfat masam diberi amelioran dan pupuk,
(e) Kejituan pemberian amelioran sangat ditentukan oleh tingkat reaktifitas tanah, tanah tidak reaktif lebih tanggap daripada tanah reaktif, bahan penukar atau penetral sangat efisien bila hanya untuk sumber kemasaman yang berada dalam kompleks pertukaran.

Tahana (status) hara pada tanah sulfat masam tergolong rendah bahkan sangat rendah. Gejala kahat hara N, P, K, dan terutama P dan B sering dialami tanaman budidaya (lahan kering) merana dan kerdil akibat kemasaman dan keracunan ion Al3+ dan Fe3+ yang tinggi. Pada kondisi tergenang tanaman (seperti padi) mengalami keracunan Fe2+, H2S, CO2, dan asam-asam organik.
Hasil-hasil pertanian di tanah sulfat masam menunjukkan pemberian pupuk berpengaruh positif terhadap hasil tanaman. Keragaan tanaman yang diberi pupuk lengkap (N, P, dan K) menunjukkan lebih baik. Pengaruh ppuk lebih sangkil apabila kombinasi dengan pemberian bahan amelioran seperti kapur, dolomit, batuan fosfat alam, atau sejenis lainnya.
Prinsip dasar pemberian kapur pada tanah sulfat masam adalah untuk menekan kemasaman tanah terutama akibat kelarutan Al3+ yang tinggi dan juga untuk kemepanan pemupukan. Pemberian kapur, dolomit, atau batuan fosfat alam banyak disarankan untuk menetralisir kondisi kemasaman dan keracunan oleh H+, Al3+, dan atau Fe3+. Pemberian dolomit atau kapur tidak mesti untuk mencapai pH 5,5, karena apabila ditujukan untuk menaikkan pH mencapai 5,5 diperlukan jumlah kapur yang besar sekali antara 15-20 ton kapur/ha. Berdasarkan kadar pirit, untuk menetralkan 1 % pirit yang apabila terdegradasi menghasilkan potensi kemasaman setara dengan 35 cmol (+)/kg, diperlukan sekitar 50 ton kapur/ha. Padahal kadar pirit tertinggi di tanah sulfat masam antara 5-7 % sehingga untuk menetralkannya diperlukan 200-400 ton kapur (Sutrisno, 1990; Maas, 2000). Hasil Simposium internasional tanah sulfat masam kedua di bangkok, Thailand (1982) merekomendasikan bahwa pemberian kapur cukup hanya beberapa ton saja untuk perbaiakn kondisi kemasaman dan tahanan hara tanah yang rendah.
Laporan-laporan penelitian tentang pengaruh kapur menunjukkan hasil beragam. Pemberian kapur pada lahan budidaya yang telah mantap pada Kebun Percobaan Unit Tatas, Kapuas sampai dengan 1,5 ton kapur/ha memberikan respon yang linier mengikuti persamaan :
Y = 1,336 + 1,862 X,
Dimana:
Y = hasil padi (dalam ton gabah/ha) dan
X = takaran kapur (dalam ton kapur/ha)
Rangkaian penelitian di alhan sulfat masam tipe luapan B, Unit Tatas, kalimantan tengah menunjukkan pemberian kapur 1,5 ton CaO/ha dapat meningkatkan hasil padi sebesar 30 % berturut-turut hasil pada MH 89/90, MK 90, MK 90/91 mencapai 3,14; 2,00 dan 3,28 ton GKG/ha). Penelitian lain di lahan sulfat masam tipe C, Barambai, kalimantan Selatan dengan pemberian kapur 2 ton CaCO3/ha dapat meningkatkan hasil padi sebesar 20 % (4,65 ton GKG/ha) yang apabila dipadukan dengan pelumpuran hasil padi meningkat 52 % (5,83 ton GKG/ha). Dalam rangkaian penelitian ini juga ditunjukkan bahwa pengaruh residu kapur dapat diperoleh sampai masa tanam ketiga.
Dengan kata lain, pemberian kapur tidak diperlukan setiap musim tanam (Noor, 1996; Noor dan Saragih, 1997). Penelitian di lahan sulfat masam, Vietnam menunjukkan pemberian kapur hingga sebesar 3 ton kapur/ha tidak berpengaruh terhadap pH tanah, Al dapat ditukar, serapan N, P dan Ca pada tanam ke 1, tetapi sebaliknya pada tanam ke 2 terjadi peningkatan pH, penurunan Al, peningkatan serapan serapan N, P, dan Ca dan penurunan serapan Fe. Pengaruh pemberian kapur hingga takaran 3 ton/ha berhasil meningkatkan hasil padi sampai tanam ke empat, tetapi pada takaran 6-10 ton/ha hanya dapat meningkatkan hasil sampai pada tanam kedua selanjutnya menurun untuk tanam ketiga dan keempat. Tambahan kapur susulan/ulangan sampai takaran 10 ton/ha setiap musim tanam secara terus-menerus berhasil meningkatkan hasil padi hingga mencapai 4,8 ton gabah/ha. Pemberian kapur susulan/ulangan lebih sangkil dibandingkan secara tunggal dalam jumlah kapur yang sama, tetapi perbedaan hasil sangat kecil.
Banyak laporan yang menyatakan munculnya gejala kahat P pada tanaman yang dibudidayakan di lahan sulfat masam. Hal ini sebagaimana dikemukakan diatas, terkait dengan sifat kimia tanah sulfat masam yang tinggi dalam menyemat (fixation) P, terutama oleh Al3+, Fe3+. Hasil penelitian di lahan sulfat masam pada sistem reklamasi garpu Unit Tatas, Kalimantan Tengah menunjukkan tanggapan P muncul secara jelas pada pemberian bersaam dengan kapur, teapi pada takaran >2 ton kapur/ha pengaruh pemberian P tidak muncul secara jelas. Pemberian 90 kg P2O5/ha yang dikombinasikan dengan 1,50 ton kapur/ha dapat meningkatkan hasil padi sebesar 90 % (2,38 ton GKG/ha) dibandingkan dengan kontrol (1,22 ton GKG/ha). Pemberian P saja hanya meningkatkan hasil padi sebesar 25 % (1,50 ton GKG/ha) dan kapur saja hanya meningkatkan hasil padi sebesar 60 % (2,06 ton KG/ha). Hasil penelitia menunjukkan juga bahwa pengaruh residu P masih tampak sampai dengan tanam ketiga (Noor, 1996). Hasil penelitian di lahan sulfat masam pada sistem jaringan tat air Samuda Kedah, Semenanjung Malaysia menunjukkan pemberian fosfat alam setara 100 kg P2O5/ha yang dikombinasikan dengan kapur 2 ton/ha dapat meningkatkan hasil padi sebesar 15 % (4,09 GKG/ha) dan tanpa kapur meningkatkan hasil padi hanya sebesar 5 % (3,76 ton GKG/ha) (Arulando dan Pheng, 1982).
Pemberian P dalam bentuk fosfat alam menunjukkan lebih unggul dibandingkan dengan bentuk superfosfat (TSP atau SP-36). Pupuk fosfat alam adalah bahan galian yang sebagian besar mengandung kalsium fosfat yang disebut apatit (Ca10(PO4)6F2) berbentuk serbuk (prill) yang dapat digunakan langsung. Selain kandungan unsur ikutan yang tinggi seperti Ca, Mg, dan sebagainya, fosfat alam bersifat pelepas P lambat (slow release) sehingga cocok untuk tanah-tanah masam. Pengaruh fosfat alam selain tergantung pada mutu dan kadar P-nya, juga sifat reaksi yang ditimbulkannya. Berdasarkan kuat lemahnya reaksi, fosfat alam dapat dipilah antara yang bereaksi lemah (soft), sedang dan kuat (strong). Dalam simposium internasional tanah sulfat masam di Bangkok, Thailand (1982) banyak dikemukakan tentang pengaruh pemberian fosfat alam terhadap perubahan kimia dan hasil padi di lahan sulfat masam.



IV. PENGELOLAAN KESUBURAN PADA TANAH SULFAT MASAM

A. Pengelolaan Bahan Organik
Pengelolaan bahan organik di lahan sulfat masam memegang peranan penting. Walaupun pada umumnya kadar bahan organik di lahan sulfat masam cukup tinggi, khususnya yang berasosiasi dnegan gambut, tetapi di beberapa tempat kadar bahan organik tanah mengalami kemerosotan karena pembakaran atau terbakar, perombakan alamiah, terangkut melalui tanaman, dan tererosi/terlindi. Penyiapan lahan dengan membakar umum, tidak saja dilakukan oleh petani atau peladangyang miskin, tetapi juga oleh perusahaan perkebunan yang bermodal besar karena dianggap mudah dan lebih murah.
Bahan organik tidak hanya berperanan dalam memperbaiki fisik tanah, tetapi sekaligus berperan dalam menekan oksidasi pirit. Dalam konteks tanah sulfat masam, kompos humus (bahan organik) mempunyai fungsi untuk menurunkan atau mempertahankan suasana reduksi karena dapat mempertahankan kebasahan tanah sehingga oksidasi pirit dapat ditekan. Penekanan terhadap oksidasi pirit ini penting artinya bagi pertumbuhan tanaman yang peka terhadap peningkatan kemasaman dan kadar meracun kation-kation seperti Al3+, Fe2+, Mn2+, dan anion-anion seperti sulfida dan sisa-sisa asam organik.
Penyiapan lahan secara konvensional oleh petani petani tradisional dengan sistem tajak-puntal-hambur sebagaimana dkemukakan di atas merupakan kearifan lokal (indigenous knowledge) dalam pengelolaan bahan organik yang patut dikembangkan. Proses pengomposan praktis diserahkan kepada kebesaran alam dengan memanfaatkan mikroorganisme perombak anaerob. Hasil analisis kompos dari purun (Eleocharis sp.), bura-bura (Panicum repens), kerisan (Rhynchospora corymbosa) menunjukkan mengandung rata-rata 31,74 % organik karbon, 1,96 % N, 0,68 % P, dan 0,64 % K (Balittra, 2001).
Kadar bahan organik tanah di sulfat masam perlu dipertahankan pada taraf 5 %, terutama pada tipe luapan c untuk mempertahankan kebasahan tanah dan potensial redoks. Pada lahan sulfat masam yang lapisan atasnya berupa gambut atau lahan-lahan gambut yang dibawahnya terdapat lapisan pirit keberadaan lapisan piritnya perlu dipertahankan setebal antara 15-25 cm (Noor, 2001). Lahan-lahan gambut yang mempunyai lapisan pirit di bawahnya (seperti jenis tanah Sulfihemist, dan Sulfohemist) merupakan lahan yang sangat berbahaya dan beresiko serta sukar penulihan kembali apabila terdegradasi bila dibandingkan jenis lahan sulfat masam seperti Sulfaquent. Produktivitas dan kesuburan tanah rawa pasang surut berkaitan erat dengan ketebalan lapisan gambut atau kadar bahan organik tanah (Notohadiprawiro, 1998b).


B.
Teknologi Ameliorasi dan Pemupukan pada Lahan Sulfat Masam
Ameliorasi tanah sulfat masam untuk memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah harus dilakukan terlebih dahulu sebelum pemupukan dilaksanakan. Pemupukan tanpa perbaikan tanah tidak akan efisien bahkan tidak respon. Produktivitas tanah sulfat masam biasanya rendah, disebabkan oleh tingginya kemasaman (pH rendah), kelarutan Fe, Al, dan Mn serta rendahnya ketersediaan unsur hara terutama P dan K dan kejenuhan basa yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (Dent, 1986). Oleh karena itu tanah seperti ini memerlukan bahan pembenah tanah (amelioran) untuk memperbaiki kesuburan tanahnya sehingga produktivitas lahannya meningkat. Bahan amelioran yang dapat digunakan adalah kaptan dan Rock Phosphate. Kaptan digunakan untuk meningkatkan pH tanah sedangkan Rock Phosphate untuk memenuhi kebutuhan hara P-nya.
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan kebutuhan kapur menurut (Mc Lean, 1982, dalam Al-Jabri, 2002) adalah 1) derajat pelapukan dari tipe bahan induk, 2) kandungan liat, 3) kandungan bahan organik, 4) bentuk kemasaman, 5) pH tanah awal, 6) penggunaan metode kebutuhan kapur, dan 7) waktu. Penetapan kebutuhan kapur untuk tanah sulfat masam dapat dilakukan melalui beberapa metode, yaitu : 1) kebutuhan kapur berdasarkan metode inkubasi, 2) metode titrasi, dan 3) berdasarkan Al-dd. Penetapan kebutuhan kapur dengan metode inkubasi dilakukan dengan mencampurkan kapur dan tanah serta air dalam beberapa dosis kapur selama beberapa waktu tertentu, biasanya dari satu minggu sampai beberapa minggu. Lalu kebutuhan kapur ditentukan pada nilai pH tertentu. Menurut Mc. Lean (1982 dalam Al-Jabri 2002), kelemahan metode ini adalah terjadinya akumulasi garam (Ca, Mg, dan K) sehubungan dengan aktivitas mikroba sehingga takaran kapurnya lebih tinggi. Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan metode titrasi dengan NaOH 0,05 N untuk mencapai pH tertentu lebih rendah jika dibandingkan dengan metode inkubasi dan Al-dd KCl 1 N, tetapi cara ini lambat tidak sesuai untuk analisis rutin (Al-Jabri, 2002). Walaupun kebutuhan kapur dengan metode titrasi lebih rendah, tetapi sebagian besar dari kemasaman tanah tidak dinetralisir oleh basa. Hal ini disebabkan reaksi antara kation-kation asam yang dapat dititrasi berlangsung sangat lambat. Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan Al-dd KCl 1,0 N banyak dipertanyakan, sebab tingkat keracunan Al bervariasi dengan tanaman dan tanah. Karena tingkat keracunan untuk suatu jenis tanaman mempunyai variasi lebar dalam tanah yang berbeda maka Al-dd tidak digunakan sebagai parameter yang menentukan keracunan tetapi persentase kejenuhannya.
Hasil penelitian di rumah kaca dan lapangan ternyata pemberian dosis kapur berdasarkan titrasi dan inkubasi dapat diaplikasikan pada tanah sulfat masam potensial bergambut di Lamunti ex. PLG Kalimantan Tengah (Suriadikarta dan Sjamsidi, 2001), tanah sulfat masam umumnya ketersediaan hara P dan K rendah namun bila bahan organiknya tinggi maka P dan K biasanya
tinggi pula. Pada tanah sulfat masam aktual kadar P dan K dalam tanah sangat rendah sehingga pemupukan P dan K sangat diperlukan. Pemupukan P diberikan 100 kg TSP/ha atau 125 kg SP-36/ha yang setara dengan 200 kg RP/ha (Hartatik, 1999 dan Supardi et al., 2000). Rock Phosphate yang baik mutunya untuk tanah ini adalah Rock Phosphate Maroko Ground karena mempunyai kandungan Ca yang tinggi yaitu 27,65% dan kadar P2O5 total 28,8% (Suriadikarta dan Sjamsidi, 2001). Hasil penelitian di lahan rawa menunjukkan pupuk kalium cukup diberikan 100 kg KCl/ha untuk tanaman padi sawah.
Tanah sulfat masam di Pulau Petak sangat respon terhadap pemupukan P baik yang berasal dari TSP maupun dari Rock Phosphate. Hasil penelitian Manuelpillei et al. (1986) di kebun percobaan Unitatas BARIF pemberian 135 kg P2O5/ha, 1.000 kg kaptan/ha, 50 kg K2O/ha, dan 120 kg N/ha dapat meningkatkan hasil tanaman padi menjadi 2,45 t/ha GKG terjadi delapan kali lipat peningkatan bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa P dan Kaptan). Pemberian 90 kg P2O5/ha dan kaptan 500 kg/ha menghasilkan 2,21 t/ha GKG, hasil ini tidak berbeda nyata dengan pemberian 135 kg P2O5/ha dan kaptan 1.000 kg/ha.
Pemberian Rock Phosphate pada tanah sulfat masam juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata dengan penggunaan TSP, hal ini disebabkan terjadinya proses penyanggaan Rock Phophate dalam media yang sangat masam, menghasilkan bentuk P yang meta-stabil seperti Dicalsium phophate yang tersedia untuk tanaman. Subiksa et al. (1999), menunjukkan pemberian dolomit 2 t/ha dan SP-36 200-300 kg/ha dapat menghasilkan rata-rata 4,0 t/ha GKG pada tanah sulfat masam potensial di Kecamatan Telang, Kabupaten Muba, Sumatera Selatan.
Dalam penelitian pada tanah sulfat masam potensial di Tabung Anen Kalimantan Selatan pemberian pupuk P + kalium + bahan organik dan kapur masing-masing sebesar 43 kg P/ha, 52 kg K/ha, kapur 1 t/ha dan pupuk kandang 5 t/ha memberikan hasil 3,24 t/ha GKG, pemberian kapur didasarkan kepada metode inkubasi untuk mencapai pH 5 (Hartatik et al., 1999). Sedangkan pemupukan P berdasarkan kepada kebutuhan P untuk mencapai 0,02 ppm P dalam larutan tanah. Di Belawang kebutuhan kapurnya lebih tinggi yaitu sebesar 4 t/ha, respon pemupukan P dan K tertinggi dicapai pada perlakuan P optimum (100 kg P/ha), K 78 kg/ha, dan 4 t kapur/ha. Hasil itu dapat dipahami karena tanah sulfat masam aktual di Belawang piritnya telah mengalami oksidasi sehingga Al-dd tinggi dan P tersedia rendah. Hasil penelitian pemupukan P dan kapur pada tanah sulfat masam pada beberapa lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.3. P-alam yang telah dicoba untuk tanah sulfat masam dan memberikan hasil yang sama baiknya adalah P-alam Tunisia, Ciamis, Christmas, dan Aljazair.
Di Lamunti, ex PLG Kalimantan Tengah P-alam setara dengan 150 kg P2O5/ha rata-rata dapat memberikan hasil 4,5 t/ha GKG, tetapi kalau diberikan 75 kg P2O5/ha hasil yang diperoleh hanya 3,79 t/ha GKG, sedangkan di Palingkau Kalimantan Tengah dengan dosis yang sama dapat memberikan masing-masing 3,7 t/ha dan 3,4 t/ha GKG (Supardi et al., 2000). Pemupukan P-alam hingga 60% erapan maksimum P dalam tanah sulfat masam Sumber Agung dan Sumber Rejo di Pulau Rimau, Sumatera Selatan dapat meningkatkan kadar P tersedia, namun belum dapat menurunkan kadar unsur beracun Fe2+, Fe-Al oksida, dan amorf serta sulfat dalam tanah. Unsur beracun diatas ditemukan dalam jumlah yang lebih tinggi pada tanah sulfat masam potensial yang baru teroksidasi dibandingkan tanah sulfat masam aktual (Setyorini, 2001). Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam mereklamasi atau melakukan pencucian/drainase di tanah sulfat masam potensial, apalagi jika kandungan liat tinggi. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa erapan P maksimum pada tanah sulfat masam aktual mencapai 2,000 µg P/g sedangkan pada sulfat masam potensial sedikit lebih rendah yaitu sekitar 1,666 µg P/g. Nilai erapan maksimum yang tinggi pada sulfat masam aktual dari pada sulfat masam potensial diakibatkan perbedaan kadar dan jenis liat, kadar pirit, pH, Al dan Fe, serta bahan organik. Ditinjau dari distribusi bentuk P-anorganik pada tanah sulfat masam diatas, terlihat bahwa fraksi Fe-P dan Al-P mendominasi jumlah P anorganik pada tanah sulfat masam potensial sedangkan fraksi Al-P dan Ca-P dominan pada sulfat masam aktual. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan P pada tanah sulfat masam antara lain pH, Alo, Feo, Ald, Fed, dan pirit. Tingginya kadar Fe dan Al bentuk amorf pada tanah sulfat masam mempengaruhi distribusi fraksi Panorganik (Setyorini, 2001).
Dari hasil penelitian Konsten dan Sarwani (1990), di Pulau Petak Kalimantan Selatan, diperoleh bahwa oksidasi pirit setelah reklamasi membuat tanah di daerah tersebut sangat masam, dijenuhi oleh Al dan mempunyai pH antara 3 dan 4. Adanya garam-garam besi bebas dan Al menyebabkan keracunan tanaman dan defisiensi K dan Ca sangat sering terjadi. Kemasaman tanah aktual dari tanah sulfat masam di Pulau Petak diduga dengan titrasi cepat pada pH 5,5, jumlah Al-dd sampai 60 mmol/g. Kemasaman tanah aktual untuk tanah pH kurang dari 4 adalah 20 mmol/100 g yang setara dengan keperluan kapur 15 t/ha. Potensi kemasaman sangat tinggi dengan kandungan pirit mencapai 8%.
Selanjutnya Konsten dan Sarwani (1990) mengemukakan bahwa untuk mengatasi kemasaman aktual yang tinggi dapat dilakukan dengan drainase dangkal, pencucian intensif tanah lapisan atas, yang dikombinasikan dengan pemberian kapur dan pupuk kalium.

C. Penggunaan Varietas yang Adaptif
Tanaman yang dapat diusahakan dilahan sulfat masam antara lain tanaman padi, palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau), sayuran (cabe, kacang panjang, kubis, tomat, dan terong), buah-buahan (rambutan, nanas, pisang, jeruk, nangka, dan semangka), dan tanaman industri (kelapa dan lada) (Suwarno et al., 2000). Tanaman tersebut dapat tumbuh baik bila tanahnya masih SMP dan sistem tata air mikro seperti saluran drainase dan ameliorasi tanah dilakukan dengan baik sesuai kondisi lahannya. Namun walaupun banyak tanaman pangan, buah-buahan, sayuran, dan tanaman industri dapat tumbuh di lahan rawa sulfat masam faktor pemasaman perlu dipertimbangkan.

a. Padi dan palawija
Penelitian adaptabilitas tanaman padi sawah telah lama dilakukan di lahan pasang surut khususnya pada tanah sulfat masam dan pertumbuhan tanaman padi lebih baik pada tanah sulfat masam dibandingkan pada tanah gambut dalam. Penelitian dimulai sejak sebelum Proyek Swamps sampai berakhir pada Proyek ISDP tahun 2000. Menurut Suwarno et al. (2000) sampai saat ini telah dilepas secara resmi 11 varietas yang cocok di lahan pasang surut (Tabel 4.4). Dari 11 varietas di atas nampaknya yang akan cocok untuk di lahan sulfat masam adalah Mahakam, Kapuas, Lematang, Sei Lilin, Banyuasin, Lalan, Batang hari, dan Dendang.
Namun untuk tanah sulfat masam aktual dimana kadar Al dan Fe sangat tinggi lebih baik ditanami varietas lokal yang telah adaptif seperti varietas Ceko, Jalawara, Talang, Gelombang, dan Bayur. Mengingat kondisi kesuburan tanah sulfat masam sangat beragam maka pemupukan perlu disesuaikan dengan hasil analisis tanahnya.
Tanaman palawija umumnya ditanam di lahan pekarangan sebagai kebun campuran dengan tanaman buah-buahan dan sayuran. Varietas kedelai yang cocok untuk tanah sulfat masam adalah varietas Wilis, Rinjani, Lokon, dan Dempo. Varietas kedelai tersebut mampu memberikan hasil 1,5- 2,4 t/ha, kacang tanah 3,5 t/ha, dan kacang hijau 1,2 t/ha biji kering, dan jagung yang sesuai adalah varietas Arjuna dengan hasil 3-4 t/ha biji pipilan kering.

b. Sayuran dan buah-buahan
Teknik penggunaan amelioran dan pengelolaan hara terpadu serta penggunaan benih bermutu dengan waktu tanam yang tepat merupakan persyaratan utama keberhasilan sayuran di lahan rawa (Satsiyati et al., 1999). Namun keberadaan lokasi pengembangan yang terletak jauh dipedalaman dan tidak didukung oleh infrastruktur dan sarana menjadi hambatan untuk pemasaran hasil sayuran.
Tanaman buah-buahan ditanam di pekarangan pada guludan adalah pisang, nangka, dan rambutan atau jeruk. Tanam sayuran dan pisang cepat memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani terutama pada tahun pertama mereka tinggal di tempat pemukiman baru. Hasil penelitian Proyek Swamps di lahan pekarangan lahan sulfat masam di Karang Agung Ulu (1987/1988), komoditas hortikultura mampu memberikan pendapatan lebih besar dari pada tanaman pangan dengan rincian 65,4% untuk tanaman sayuran dan 34,6% untuk tanaman pangan (Subiksa dan Basa, 1990).
Jenis sayuran yang telah diteliti pada tanah sulfat masam adalah tomat varietas Ratna dan Intan dengan potensi hasil masing-masing 18,54 t/ha dan 13,4 t/ha. Petsai yang sesuai hanya ada satu varietas yaitu No. 82-157 dengan potensi hasil 15,6 t/ha. Selanjutnya bawang merah varietas Ampenan dan Bima dapat beradaptasi cukup baik pada tanah sulfat masam dengan potensi hasil 6,4 dan 6,15 ton umbi kering/ha (Sutater et al., 1990). Dosis pemupukan tanaman sayuran dan buah-buahan disajikan pada Tabel 4.6.

c. Tanaman industri/perkebunan
Hasil penelitian di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah ex PLG tanaman industri/perkebunan yang dapat beradaptasi di lahan sulfat masam adalah kopi, kelapa, dan lada.
a. Kelapa
Tanaman kelapa merupakan komoditas tanaman di lahan pasang surut, sebagai sentra produksi kelapa sebaran tanaman kelapa di Provinsi Riau diperkirakan > 60% (Mahmud, 1990). Jenis kelapa yang sesuai adalah kelapa lokal, yang dikenal memiliki daya adaptasi dan toleransi terhadap lingkungan tumbuh sangat luas.
Tanaman kelapa dapat ditanam tumpangsari dengan tanaman kopi, palawija, dan hortikultura. Namun ada juga yang ditanam secara monokultur di guludan seperti di Riau. Di Karang Agung Ulu dan Karang Agung Tengah produksi kelapa rata-rata berkisar 7-18 butir/pohon/periode petik dan 10-17 butir/pohon/periode petik.
Pupuk yang diberikan untuk tanaman kelapa masing- masing diberikan per pohon, tergantung kepada umur tanaman (Tabel 4.7). Pemberian pupuk N, P, dan K paling tinggi pada umur tanaman kelapa 3 tahun.

b. Temu-temuan
Jenis tanaman temu-temuan di antaranya jahe, kencur, kunyit, temulawak, lengkuas, dan bangle di lokasi pasang surut cukup baik pertumbuhannya dan dapat dikembangkan secara monokultur dan tumpangsari dengan tanaman palawija atau tanaman tahunan yang tidak terlalu tinggi tingkat naungannya (Anonimous, 1993 dan Anonimous, 1999). Persyaratan tumbuh tanaman temu-temuan menghendaki tanah yang gembur dan subur, pH tanah normal dan tidak tahan genangan air, sehingga upaya perbaikan tanah meliputi pemberian kaptan, pemupukan, pembuatan saluran cacing yang intensif, dan penambahan lapisan gambut akan memberikan pertumbuhan dan produksi rimpang yang optimum.
Temu-temuan diharapkan dapat menunjang sistem usahatani di lahan pasang surut yang mempunyai fungsi ganda dapat dimanfaatkan sebagai bumbu dan dapat digunakan sebagai obat alternatif baik untuk manusia maupun ternak, di antaranya kunyit, temulawak, jahe, kencur (obat reumatik pegel linu), lempuyang (pegel linu) temu ireng dan bangle (obat cacing), temu giring (obat panas dan batuk).
Sebagai contoh untuk ternak, jahe dapat mencegah gejala tetelo (ND), dan temulawak dapat menekan berkembangnya bakteri di kotorannya, sehingga bau limbah dapat ditekan. Produksi temu-temuan cukup bagus, jahe merah di Karang Agung Ulu (Anonimous, 1993) dengan pemupukan 45 kg N + 36 kg P2O5 + 50 kg K2O + 200 kg kapur + 1,5 ton gambut/hektar memberikan hasil 15,5-23,6 t/ha. Sedangkan untuk jahe putih kecil atau emprit produksi 4,9-8,5 t/ha dan jahe putih besar varietas gajah produksi 4,5-5,9 t/ha. Demikian juga dari Kalimantan Tengah produksi jahe putih kecil cukup baik 0,7-1,0 kg/rumpun. Produksi tanaman kencur juga cukup baik di Karang Agung Ulu dapat mencapai 11,2-20,1 t/ha, dan dari uji produksi di Kalimantan Tengah juga menunjukkan produksi yang baik yaitu mencapai 200-300 g/rumpun.
c. Lada
Tanaman lada varietas Petaling I, Petaling II, dan LDK dapat tumbuh dan beradaptasi baik di lahan pasang surut potensial maupun sulfat masam aktual Karang Agung Ulu. Pada lahan potensial pengapuran dengan takaran 2-3 kg/tanaman dapat mempengaruhi produksi buah lada sampai panen ke-3 (panen pertama 28 bulan). Sedangkan pada lahan sulfat masam, pembuatan saluran cacing di kanan dan di kiri tanaman memberikan hasil tertinggi yaitu 140, 300, dan 230 gram per pohon masing-masing pada panen pertama, kedua, dan ketiga.
Saluran cacing ini ditujukan untuk menjamin drainase yang baik agar kelembaban tanah tidak berlebihan bagi tanaman lada. Karena lada memerlukan bahan organik tinggi maka pengembangan di lahan bergambut tipis lebih sesuai untuk tanaman lada produktif, pemupukan tiga kali setahun dengan interval empat bulan sekali dengan takaran 512 g urea + 880 g TSP + 600 g KCl + 60 g kiserit per pohon memberikan hasil tertinggi yaitu 1,22 kg/pohon (Anonimous, 1993). Tiang panjat seperti lamtoro gung (Leucaena sp.) dan waru-waruan dengan pemangkasan empat kali setahun memberikan pertumbuhan yang baik terhadap lada di Karang Agung Ulu ini.



D. Pengelolaan Tanah dan Air
Pengelolaan tanah dan air (soil and water management) merupakan kunci utama untuk keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut, termasuk tanah sulfat masam. Pengelolaan tanah dan air ini meliputi jaringan tata air makro maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi, dan pemupukan.

a. Jaringan tata air makro
Pengembangan lahan rawa meliputi kegiatan reklamasi dan pengelolaan. Kegiatan reklamasi dimulai dari perencanaan, penelitian dan pelaksanaan di lapangan. Penelitian yang mendukung perencanaan reklamasi sangat diperlukan terutama penelitian sumberdaya lahan meliputi tanah, air, iklim, dan hidrologi serta aspek lingkungan. Dalam pelaksanaannya reklamasi mencakup pekerjaan penebangan hutan dan pembakaran, konstruksi jalan, dan pembuatan saluran drainase (Widjaja-Adhi, 1995).
Sistem reklamasi lahan rawa di Indonesia telah dilakukan sejak proyek P4S yang dimulai awal Pelita I di lahan rawa pasang surut pantai timur Sumatera, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan serta Kalimantan Barat. Menurut Subagjo dan Widjaja-Adhi (1998) selama PJP I telah ditetapkan lima sistem jaringan tata air makro, yaitu: 1) sistem garpu, 2) tangga, 3) sisir tunggal, 4) sisir berpasangan, dan 5) kombinasi garpu dengan sisir.
Selain kelima sistem tersebut UGM telah mengkombinasikan dengan pembuatan kolam pada ujung saluran primer atau sekunder (Gambar 1) yang disebut dengan sistem kolam. Keuntungan dari sistem kolam ini adalah asamasam atau racun dapat diendapkan dalam kolam tersebut tidak masuk ke dalam lahan pertanian dan memelihara aliran sewaktu air surut. Sistem kolam ini telah dilaksanakan di Pulau Petak dan Barabai Kalimantan Selatan.

Sistem jaringan tata air tersebut sebenarnya tidak berlaku umum tetapi tergantung kepada tipologi lahan dan tipe luapan di daerah itu. Sistem jaringan tata air selain dibedakan menurut bentuknya dapat pula dibedakan menurut hubungan tata air, yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem reklamasi jaringan tertutup adalah cara pembukaan lahan yang jaringan tata airnya tidak berhubungan satu sama lain (zonasi). Sistem ini seperti yang dilakukan oleh petani Suku Banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dan Suku Bugis di Pulau Sumatera. Pada sistem tertutup ini pembuatan saluran atau handil sangat hati-hati dengan memperhatikan karakteristik tanah dan tipe luapan air sungai. Handil itu dibuat tegak lurus sungai ke arah hutan mengikuti garis kontur sehingga handil itu tidak selalu lurus dan panjangnya tergantung air pasang masuk (4-10 km). Cara reklamasi seperti ini umumnya berhasil dalam meningkatkan produktivitas lahan rawa, terutama padi, palawija, dan tanaman buah-buahan.
Berdasarkan hasil penelitian Badan Litbang Pertanian bahwa lahan pasang surut memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian terutama dalam kaitannya dalam mendukung program ketahanan pangan dan agribisnis melalui peningkatan dan diversifikasi produksi, peningkatan pendapatan dan lapangan kerja. Namun untuk mendukung kearah pengembangan pertanian yang berhasil dan berkesinambungan dilahan pasang surut ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam reklamasi lahan, yaitu pemanfaatan jaringan tata air berikut salurannya dan tata ruang untuk penataan lahannya (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998).
Selanjutnya dalam pembuatan saluran baik primer, sekunder dan tersier perlu memperhatikan tata letak, dimensi dan cara pembuatan salurannya disesuaikan dengan fisiografi dan kondisi lahan sehingga menunjang kelestarian dan produktivitas lahan. Pembuatan saluran harus mengikuti atau memperhatikan garis kontur dan tipologi lahannya. Saluran dengan mempertimbangkan garis kontur maka aliran air dapat mengalir dengan baik, tinggi air di saluran rata.
Hal ini akan sangat berpengaruh dalam proses pencucian bahan-bahan beracun dari lahan ke saluran dan seterusnya ke sungai berjalan lancar. Dimensi dan kedalaman saluran perlu dipertimbangkan sehubungan dengan keadaan hidrologi di daerah tersebut, sebab penurunan muka air yang drastis akan mengakibatkan teroksidasi lapisan pirit, besi, Al, dan sulfat akan muncul ke permukaan dan dengan adanya air hujan akan meningkatkan kemasaman (pH) air di saluran.
Selain itu penurunan permukaan air yang drastis juga akan menyebabkan gambut kering tak balik (irrevisible drying) sehingga akan mempercepat penurunan permukaan gambut (subsidence) dan atau cepat hilangnya lapisan gambut. Pembuatan tata ruang sebelum saluran dibuat perlu memperhatikan dan mempertimbangkan pola penggunaan lahan hipotetik yang dikemukakan oleh Widjaja-Adhi, (1992). Menurut Harjono, (1995) sedikitnya terbuka lima peluang fungsi dari jaringan pengairan rawa, yaitu 1) berfungsi sebagai saluran drainase, 2) sebagai pemasukan air, 3) sebagai alat trasportasi, 4) berfungsi sebagai konservasi sumberdaya air rawa, dan 5) sebagai pendukung bagi proses reklamasi.
Untuk mencapai jaringan tata air ini hendaknya berpegang kepada pola penggunaan lahan dan pola pemanfaatan sekaligus diharapkan dapat berfungsi sebagai saluran drainase, pemasok air, mendukung proses reklamasi, dan konservasi sumber air. Fungsi jaringan tata air sebagai alat transportasi perlu dipertimbangkan pada tahapan mana ini dapat diberlakukan. Pada tahap saluran primer dan sekunder mungkin fungsi ini dapat diberlakukan, tetapi untuk tersier sebaiknya tidak dianjurkan. Pembuatan pintu air pada saluran primer atau sekunder seperti dilahan ex-PLG sangat tidak efisien karena mengganggu fungsi transportasi masyarakat sekitar sehingga akhirnya dijebol, pengaturan pintu air sebaiknya mulai dilakukan di tingkat tersier ke bawah.
Dalam rancangan infrastruktur hidrologi, pengelolaan air di lahan pasang surut dibedakan ke dalam : (1) Pengelolaan air makro, (2) pengelolaan air mikro, dan (3) pengelolaan air tingkat tersier yaitu mengkaitkan antara pengelolaan air makro dan pengelolaan air mikro (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998). Pengelolaan air makro yaitu penguasaan air di tingkat kawasan reklamasi yang bertujuan mengelola berfungsinya jaringan drainase/irigasi (navigasi-sekundertersier), kawasan retarder dan sepadan sungai/laut dan saluran intersepsi bila diperlukan serta kawasan tampung hujan.
Kawasan retarder dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya banjir di daerah hulu sungai termasuk mengurangi kedalaman dan lama genangan air dilahan lebak dangkal dan tengahan. Dalam hal ini, seyogyanya lebak dalam dapat dimanfaatkan sebagai kawasan retarder dengan jalan diperdalam dan alirannya diarahkan ke sungai di bagian hilirnya.
Saluran itersepsi dimaksudkan untuk menampung aliran permukaan dan sebagai tempat memproses air yang mengandung bahan beracun agar tidak memasuki areal pertanian. Saluran ini dibuat di daerah perbatasan lahan kering dan rawa menyerupai waduk panjang serta diarahkan untuk menyalurkan kelebihan air ke sungai di bagian hilirnya.
Kawasan tampung hujan dimaksudkan sebagai daerah sumber air untuk irigasi. Kawasan tampung hujan sebaiknya dialokasikan pada lahan gambut di bagian hulu sungai karena gambut memiliki daya menahan dan melepas air tinggi, yaitu antara 300-800% bobotnya.

b. Tata Air Mikro
Sistem pengelolaan tata air mikro berfungsi untuk : (1) mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, (2) mencegah pertumbuhan tanaman liar pada padi sawah, (3) mencegah terjadinya bahan beracun bagi tanaman melalui penggelontoran dan pencucian, (4) mengatur tinggi muka air, dan (5) menjaga kualitas air di petakan lahan dan di saluran. Untuk lebih memperlancar keluar masuknya air pada petakan lahan yang sekaligus memperlancar pencucian bahan racun, Widjaja-Adhi (1995) menganjurkan pembuatan saluran cacing pada petakan lahan dan di sekeliling petakan lahan. Oleh karena itu, sistem pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan dan pengelolaan tata air di saluran kuarter dan petakan lahan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan sekaligus memperlancar pencucian bahan beracun.
Hasil penelitian Suriadikarta et al. (1999), saluran kuarter biasanya dibuat di setiap batas pemilikan lahan, sedangkan di dalam petakan lahan dibuat saluran cacing dengan interval 3-12 m dan di sekeliling petakan lahan tergantung pada kondisi lahannya. Semakin tinggi tingkat keracunan, semakin rapat pula jarak antar saluran cacing tersebut. Hasil penelitian Subagyono et al. (1999) pencucian bahan beracun dari petakan lahan dilakukan dengan memasukkan air ke petakan lahan sebelum tanah dibajak, kemudian air tersebut dikeluarkan setelah pengolahan tanah selesai. Usaha pencucian ini akan berjalan baik apabila terdapat cukup air segar, baik dari hujan maupun dari air pasang. Oleh karena itu, air di petakan lahan perlu diganti setiap dua minggu pada saat pasang besar.
Pengelolaan air tingkat tersier ditujukan untuk mengatur saluran tersier agar berfungsi: (1) memasukkan air irigasi, (2) mengatur tinggi muka air di saluran dan secara tidak langsung di petakan lahan, dan (3) mengatur kualitas air dengan membuang bahan beracun yang terbentuk di petakan lahan serta mencegah masuknya air asin ke petakan lahan. Sistem pengelolaan air di tingkat tersier dan mikro tergantung kepada tipe luapan air pasang dan keracunan di petakan lahan.
Penataan air di lahan petani dapat dilakukan dengan sistem aliran satu arah (one-way flow system) dan sistem aliran yang sifatnya bolak-balik (twoway flow system). Hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam sistem tata air adalah sinkronisasi antara tata air makro dan mikro (Subagyono et al., 1999). Misalnya, penerapan aliran sistem satu arah untuk pencucian hanya akan berjalan efektif jika kondisi saluran tersier, sekunder, dan primer semuanya dalam kondisi baik dan arah aliran tidak bolak-balik.
Pada sistem aliran satu arah dirancang saluran irigasi dan saluran drainase secara terpisah. Pintu klep (flapgate) dipasang berlawanan arah. Pada saluran irigasi pintu klep membuka ke arah dalam sedang pada saluran drainase pintu klep membuka ke arah luar, sehingga pencucian lahan dapat berlangsung dengan efektif. Pencucian lahan dimaksudkan agar unsur yang bersifat racun bagi tanaman seperti Fe2+, sulfat, dan Al3+ keluar dari lahan usaha dan pH tanah menjadi lebih baik.
Tata air pada lahan yang bertipe luapan A dan B perlu diatur dalam sistem aliran satu arah (one way flow system), sedangkan untuk lahan bertipe luapan C dan D, saluran air perlu ditabat/disekat dengan stoplog untuk menjaga permukaan air tanah agar sesuai dengan kebutuhan tanaman serta memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran tersebut. Untuk keperluan pengaturan tata air ini perlu dibangun pintu-pintu yang sesuai sebagai pengendali air. Pintu air tersebut dapat berupa stoplog maupun pintu ayun atau pintu engsel (flapgate). Skesta kedua sistem tata air tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.
Hasil penelitian pengelolaan tata air mikro dengan cara tersebut pada lahan sulfat masam dengan berbagai sistem penataan lahan di Karang Agung Ulu oleh Djayusman et al. (1995) menunjukkan adanya peningkatan kualitas lahan dan hasil tanaman dari musim ke musim. Aliran satu arah dikombinasikan dengan pengolahan tanah memakai traktor tangan dan pemberian dolomit pada lahan sulfat masam dalam satu unit tata air saluran sekunder (50 ha) oleh Proyek ISDP (1997), dapat secara cepat meningkatkan kualitas lahan dan memberikan hasil yang baik bagi tanaman padi dan palawija. Nilai pH air tanah meningkat dari rata-rata 4,2 pada saat sebelum pengolahan tanah menjadi rata-rata 4,8 pada saat penanaman dan 5,4 pada pada saat panen (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998). Sedangkan kandungan Fe++ 160 ppm pada saat tanam dan 72 ppm pada saat panen. Hasil rata-rata ubinan padi varietas Cisadane mencapai 6,26 t/ha GKP sedangkan varietas Cisangarung dapat mencapai 9,44 t/ha GKP.

c. Penataan lahan
Penataan lahan perlu dilakukan untuk membuat lahan tersebut sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Dalam melakukan penataan lahan perlu diperhatikan hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya seperti pada tipologi sulfat masam potensial dengan tipe luapan A, maka penataan lahan sebaiknya untuk sawah, karena pirit akan lebih stabil tidak mengalami oksidasi dan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik. Tetapi bila tipe luapan B, maka pola pemanfaatan lahan dapat dilaksanakan dengan sistem surjan.
Sistem surjan dapat digunakan untuk tanaman padi, palawija, sayuran atau buah-buahan. Untuk tanah sulfat masam potensial pengolahan tanah dan pembuatan guludan sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Guludan dibuat secara bertahap dan tanahnya diambil dari lapisan atas. Hal ini dilakukan untuk menghindari oksidasi pirit.
Sistem surjan adalah salah satu contoh usaha penataan lahan untuk melakukan diversifikasi tanaman dilahan rawa. Lebar guludan 3-5 m, dan tinggi 0,5-0,6 m, sedangkan tabukan dibuat dengan lebar 15 m. Setiap ha lahan dapat dibuat 6-10 guludan, dan 5-9 tabukan. Tabukan surjan ditanami padi sawah, sedangkan guludan ditanami dengan palawija, sayuran, dan tanaman industri (kencur, kopi, dan kelapa). Dari Tabel diatas ditunjukkan bagaimana pola pemanfaatan lahan dalam kaitannya tipologi lahan dan tipe luapan. Sistem surjan baik dilakukan pada tipe luapan B dan C sedangkan tipe luapan D lebih baik untuk sistem pertanian lahan kering. Untuk tanah gambut tekstur lapisan tanah dibawahnya sangat menentukan dalam pola pemanfaatan lahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar