MENUJU PERTANIAN ORGANIK

SELAMAT DATANG

Jumat, 14 Oktober 2011

Penjaminan Produk dalam Sistem Pertanian Organik

Trend Pertanian Organik
Pertanian organik (PO) sekarang ini telah menjadi salah satu icon dalam pertanian dunia. Perkembangan permintaan produk PO di dunia sekarang meningkat dengan pesat, khususnya di negara-negara maju. Hal itu dipicu oleh (1) menguatnya kesadaran lingkungan dan gaya hidup alami dari masyarakat, (2) dukungan kebijakan pemerintah nasional, (3) dukungan industri pengolahan pangan, (4) dukungan pasar konvensional (supermarket menyerap 50% produk PO), (5) adanya harga premium di tingkat konsumen, (6) adanya label generik, dan (7) adanya kampanye nasional PO secara gencar.
Namun produksi PO di negara maju masih belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat di sana. Sebagai ilustrasi, pertumbuhan permintaan PO dunia mencapai 15-20% per tahun, namun pangsa pasar yang mampu dipenuhi hanya berkisar antara 0,5-2% dari keseluruhan produk pertanian. Meski di Eropa penambahan luas areal PO dibanding total lahan pertanian terus meningkat, dari rata-rata dibawah 1% tahun 1987 menjadi 2-7% di tahun 1997 (tertinggi di Austria mencapai 10,12%), namun tetap saja belum mampu memenuhi pesatnya permintaan (Jolly, 2000).
Tingginya permintaan negara maju tersebut mendorong negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk memanfaatkan peluang tersebut dengan mendorong peningkatan dan percepatan produksi PO. Perkembangan PO di Indonesia juga didorong oleh munculnya kesadaran konsumen akan pentingnya produk-produk sehat dan ramah lingkungan, khususnya di kalangan kelas menengah perkotaan. Di kalangan petani sendiri mulai muncul kesadaran untuk menerapkan PO, terutama karena alasan lingkungan, kemandirian dan kesehatan.
PO dan Perdagangan (Internasional) PO sekarang ini tidak dapat dipisahkan dengan perdagangan, terlebih di tingkat global. Dulu, PO berkembang untuk memenuhi kebutuhan lokal dan eksis karena belum ada industri pertanian modern yang menjadikan input kimia sebagai determinan pokok. Sekarang ini, sebagaimana komoditi lain, produk PO seringkali harus dipindahkan ke lokasi konsumen yang jauh jaraknya dengan lokasi produsennya. Jadi, seiring dengan adanya kelangkaan produk PO di suatu tempat, mendorong adanya perdagangan produk PO.
Jarak antara produsen dan konsumen ini dijembatani dengan mekanisme perdagangan. Hanya saja, kendala jarak ini tidak memungkinkan konsumen untuk melihat secara langsung keberadaan proses produksi PO. Sehingga, seringkali konsumen menjadi ragu, apakah produk yang dikonsumsinya sungguh organik atau tidak. Faktanya, praktek perdagangan PO juga diwarnai dengan banyaknya klaim organik di pasaran, yang seringkali merupakan praktek penipuan dagang dengan mengatasnamakan produk organik. Dalam konteks ini, baik konsumen maupun petani organik sejati menjadi dirugikan. Dari sebab itu diperlukan adanya suatu mekanisme penjaminan mutu yang melindungi sekaligus kepentingan petani dan konsumen.
Bentuk penjaminan produk itu salah satunya adalah melalui sertifikasi, yaitu bentuk pengakuan formal dari suatu lembaga yang kompeten untuk memberikan pengesahan keorganikan dari suatu usahatani melalui mekanisme uji standar lapangan dan laboratorium. Jika suatu usahatani lolos uji tersebut maka dia boleh menggunakan label organik pada kemasan produknya. Dalam hal ini lembaga sertifikasi menjadi penjamin mutu produk. Dan apabila produsen ingin mengekspor produknya, kebanyakan negara maju mensyaratkan adanya sertifikasi produk dari lembaga sertifikasi yang sudah mendapat akreditasi atau pengakuan di tingkat internasional.
Standar dan Sertifikasi sebagai Bentuk Penjaminan PO
Dalam pengembangan PO diperlukan adanya standar yang menjadi acuan dalam pencapaian kualitas yang diharapkan oleh produsen dan konsumen. Standar tersebut berisi hal-hal umum mengenai proses produksi dan pengolahan yang diperkenankan dan yang tidak diperkenankan dalam budidaya PO dan hal-hal yang terkait dengan prinsip dan nilai-nilai dari PO itu sendiri.
Secara prinsip, standar PO itu berpegang pada segala usaha proses produksi PO yang dikelola secara alami dengan menjaga keseimbangan, keanekaragaman dan kesinambungan alam dan ekosistem di sekitarnya, sehingga menghasilkan produk yang sehat dan ramah lingkungan. Selain itu, dalam standar PO terkandung nilai-nilai kemandirian, solidaritas, transparansi, partisipasi dan demokrasi yang sesuai dengan filosofi PO itu sendiri.
Standar merupakan instrumen kesepakatan bersama (berdasarkan prinsip ekologi), bisa lokal, nasional maupun internasional. Di tingkat lokal, dibuat standar lokal yang sesuai dengan kondisi dan pengetahuan lokal. Di tingkat nasional terdapat Standar Nasional Indonesia (SNI), sementara di tingkat internasional terdapat IFOAM Basic Standard (IBS) atau Codex Alimentarius Commission (CAC). Standar lokal dan nasional sebaiknya harmonis dengan standar internasional. Petani PO seyogyanya menganut standar dalam usaha taninya.
Pilar kedua dalam sistem pertanian organik adalah mekanisme kontrol guna menjamin keorganikan usahatani, produk dan proses PO. Kontrol ini biasanya dilakukan oleh lembaga independen yang telah mendapatkan pengakuan publik. Lembaga ini biasanya disebut sebagai lembaga sertifikasi karena hasil pengawasannya akan dirupakan dalam bentuk sertifikat pengakuan organik.
Dalam melakukan kerjanya, lembaga penjamin ini mengacu pada standar yang disepakati (nasional atau internasional). Yang dilakukan mereka adalah mengirim inspektor ke lahan petani guna melihat antara lain kondisi lahan dan lingkungan, sejarah lahan, manajemen usahatani, dan dokumentasi proses produksi. Mereka juga akan mengambil sampel tanah dan produk untuk diuji di laboratorium guna melihat kadar residu tanah dan tanaman. Hasil inspeksi ini kemudian dianalisa oleh tim penilai sekaligus diputuskan, apakah usahatani tersebut layak menyandang predikat organik atau belum (semi organik). Jika layak, lembaga sertifikasi akan memberikan sertifikat dan hak kepada petani tersebut untuk menggunakan label lembaga sertifikasi dalam kemasan produknya. Biasanya konsumen akan percaya produk itu sungguh organik jika ada label tersebut.
Di tingkat internasional, IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movements) juga membuat aturan untuk melindungi konsumen dari keberadaan lembaga sertifikasi ‘aspal’. Maka, di IFOAM ada satu lembaga akreditasi (IOAS / International Organic Accreditation System) yang bertugas memberikan penilaian berdasarkan kriteria tertentu terhadap lembaga-lembaga sertifikasi organik yang mengacu pada IBS. Jika lembaga sertifikasi telah lolos akreditasi IOAS maka dia akan mencantumkan kata ‘IFOAM accredited’ dalam logo lembaga mereka. Dan otomatis kredibilitasnya dalam perdagangan internasional PO akan semakin terjamin. Contoh lembaga sertifikasi yang telah mendapat pengakuan dari IFOAM adalah NASAA (Australia), Soil Association (Inggris) dan ACT (Thailand).
Kontroversi Seputar Sertifikasi Isu sertifikasi dalam gerakan PO di Indonesia sendiri masih menjadi perdebatan dalam konteks kemampuannya sebagai alat pemberdayaan petani kecil. Ada pandangan bahwa sertifikasi merupakan alat kapitalisme global yang ujungnya tidak akan menguntungkan petani kecil atau memustahilkan petani kecil masuk kedalamnya. Sertifikasi juga dianggap sebagai bagian dari hambatan perdagangan yang pada gilirannya hanya menguntungkan pelaku-pelaku di negara maju, baik perusahaan importer, lembaga sertifikasi, produsen input organik dan pemerintah.
Sistem pertanian organik yang ada pun dinilai bias Barat, dimana ideologi dan perangkatnya dibuat di sana dan kemudian disosialisasikan ke Negara Selatan. Aturan standar sendiri dipandang sebagai cerminan tingkat teknologi dan iklim subtropis, yang di tingkat tertentu berbeda dengan daerah tropis. Lembaga sertifikasi dikuatirkan kemudian akan menjadi ‘polisi’ yang tugasnya melarang dan membolehkan hal-hal yang berkaitan dengan PO, sehingga ‘menepikan’ kedaulatan dan kebebasan petani untuk memilih. Lebih jauh, sistem sertifikasi diyakini sulit diterapkan di tingkat petani gurem yang jumlahnya mayoritas di Indonesia. Pada gilirannya sistem ini hanya menguntungkan petani-petani besar yang memiliki dana dan akses yang memadai.
Sementara mereka yang pro beranggapan bahwa sertifikasi selain dapat menawarkan jaminan keorganikan produk bagi konsumen, juga membantu mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan sistem produksi PO, membantu mendokumentasikan produksi PO, membantu perencanaan dan lobi pemasaran, menjaga seluruh pelaku PO untuk lebih jujur dalam proses produksi dan menguatkan posisi produsen primer.
Apakah Sertifikasi adalah Keharusan ?
Harus disadari bahwa sertifikasi adalah salah satu bentuk penjaminan pasar atas produk organik. Memang dalam perdagangan internasional mainstream, sertifikasi menjadi kemutlakan, tetapi masih banyak alternatif lain dalam pemasaran produk organik. Maka jika kita berorientasi ekspor dalam PO maka sertifikasi menjadi prasyarat kunci.
Di tingkat lokal, adakalanya kita tidak perlu memerlukan sertifikasi dalam perdagangan PO. Sebagai contoh, di Jepang ada satu model paguyuban konsumen-produsen yang disebut \"teikei\" dimana petani dan konsumen bertemu langsung dan bertransaksi. Di Amerika Serikat dan Kanada ada Community Shared Agriculture (CSA), dimana masyarakat lokal melindungi petani dengan cara mengutamakan untuk membeli produk organik petani setempat. Tentu saja, sistem seperti ini mengandaikan ada interaksi langsung dan kepercayaan antara konsumen dan produsen/penjamin. Dalam tingkat tertentu sistem ini dapat menjadi sistem terbaik secara sosial dan ekologi.
Namun, jika pasar produk makin meluas dan konsumen tidak dapat diorganisir secara langsung atau perdagangan sudah melibatkan antar kota, maka sistem penjaminan besar kemungkinan diperlukan. Di Indonesia, konsumen produk organik masih terbatas dan sejauh ini belum memahami persoalan standar ataupun jaminan mutu PO. Itulah kenapa beberapa produk yang mencantumkan label organik di beberapa supermarket di kota-kota besar belum menemui ‘kesulitan’ dengan konsumen lokal.
Maka keputusan petani PO untuk mengikuti sertifikasi sangat tergantung dari orientasi pemasarannya, selain kerangka nilai yang dianut dan konteks sosialnya. Bila orientasinya untuk subsisten tentulah penjaminan tidak mutlak dicari. Tetapi, jika orientasinya ke pasar (mainstream) nasional bahkan internasional, sertifikasi menjadi syarat penting. Kebijakan untuk memutuskan orientasi ini utamanya ada di tangan petani.
Penjaminan Produk Organik Yang Dikembangkan oleh BIOCert
Kualitas pangan organik ditentukan oleh bagaimana produk tersebut dihasilkan. Maka dalam PO, proses budidaya menjadi jaminan keorganikan pangan organik (organically produced).
Penjaminan produk organik yang dilakukan BIOCert tidak semata-mata melihat apakah proses budidaya PO telah memenuhi prinsip-prinsip dan standar budidaya PO, tetapi juga apakah sikap organis berupa nilai-nilai dan filosofi PO telah terpenuhi dalam proses budidaya tersebut oleh semua pelaku PO.
Selain itu BIOCert mendasarkan aktifitasnya pada visi utama yakni keberpihakan kepada petani-petani kecil dan keberlanjutan ekosistem pertanian.
Dari sebab itu, pelayanan penjaminan BIOCert menekankan dimensi edukasi dan pendampingan yang mengarah pada peningkatan kualitas sikap petani, mutu usaha tani organik dan keberlanjutan pola PO. Sertifikasi kemudian hanya menjadi pembuktian kualitas petani organik yang letaknya pada ujung pelayanan BIOCert.?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar