MENUJU PERTANIAN ORGANIK

SELAMAT DATANG

Selasa, 01 November 2011

Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati adalah pengendalian hama dengan menggunakan jenis organisme hidup lain (predator, parasitoid, pathogen) yang mampu menyerang hama. Di suatu daerah hampir semua serangga dan tunggau mempunyai sejumlah musuh – musuh alami. Tersedianya banyak makanan dan tidak adanya agen – agen pengendali alami akan menyebabkan meningkatnya populasi hama. Populasi hama ini dapat pula meningkat akibat penggunaan bahan-bahan kimia yang tidak tepat sehingga dapat membunuh musuh-musuh alaminya. Sebagai contoh, meningkatnya populasi tunggau di Australia diakibatkan meningkatnya penggunaan DDT.
Dua jenis organisme yang digunakan untuk pengendalian hayati terhadap serangga dan tunggau adalah parasit dan predator. Parasit selalu berukuran lebih kecil dari organisme yang dikendalikan oleh (host), dan parasit ini selama atau sebagian waktu dalam siklus hidupnya berada di dalam atau menempel pada inang. Umumnya parsit merusak tubuh inang selama peerkembangannya. Beberapa jenis parasit dari anggota tabuhan (Hymenoptera), meletakkan telurnya didalam tubuh inang dan setelah dewasa serangga ini akan meninggalkan inang dan mencari inang baru untuk meletakkan telurnya.
Sebaliknya predator mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar sari serangga yang dikendalikan (prey), dan sifat predator secara aktif mencari mangsanya, kemudian memakan atau mengisap cairan tubuh mangsa sampai mati. Beberapa kumbang Coccinella merupakan predator aphis atau jenis serangga lain yang baik pada fase larva maupun dewasanya. Contoh lain serangga yang bersifat sebagai predator adalah Chilocorus, serangga ini sekarang telah dimanfaatkan sebagai agensia pengendali hayati terhadap hama kutu perisai (Aspidiotus destructor) pada tanaman kelapa.
Agar predator dan tanaman ini sukses sebagai agen pengendali biologis terhadap serangga, maka harus dapat beradaptasi dulu dengan lingkungan tempat hidup serangga hama. Predator dan parasit itu harus dapat beradaptasi dengan cepat pada lingkungan yang baru. Parasit dan predator juga harus bersifat spesifik terhadap hama dan mampu mencari dan membunuhnya.
Parasit harus mempunyai siklus hidup yang lebih pendek daripada inangnya dan mampu berkembang lebih cepat dari inangnya. Siklus hidup parasit waktunya harus sinkron dengan inangnya sehingga apabila saat populasi inang meningkat maka saat peningkatan populasi parasit tidak terlambat datangnya. Predator tidak perlu mempunyai siklus hidup yang sama dengan inangnya, karena pada umumnya predator ini mempunyai siklus hidup yang lebih lama daripada inangnya dan setiap individu predator mampu memangsa beberapa ekor hama.
Baik parasit maupun predator mempunyai ratio jantan dan betina yang besar, mempunyai keperidian dan kecepatan hidup yang tinggi serta memiliki kemampuan meenyebar yang cepat pada suatu daerah dan serangga – serangga itu secara efektif mampu mencari inang atau mangsanya.
Beberapa parasit fase dewasa memerlukan polen dan nektar, sehingga untuk pelepasan dan pengembangan parasit pada suatu daerah, yang perlu diperhatikan adalah daerah tersebut banyak tersedia polen dan nektar yang nanti dapat digunakan sebagai pakan tambahan.
Parasit yang didatangkan dari suatu daerah, mula – mula dipelihara dahulu di karantina selama beberapa saat agar serangga ini mampu beradaptasi dan berkembang. Selama pemeliharaan di dalam karantina, serangga-serangga ini dapat diberi pakan dengan pakan buatan atau mungkin dapat pula digunakan inangnya yang dilepaskan pada tempat pemeliharaan. Setelah dilepaskan di lapangan populasi parasit ini harus dapat dimonitor untuk mengetahui apakah parasit iru sudah mapan, menyebar dan dapat berfungsi sebagai agen pengendali biologis yang efektif; dan bila memungkinkan serangga ini mampu mengurangi populasi hama relatif lebih cepat dalam beberapa tahun.
Contoh pengendalian biologis yang pernah dilakukan di Australia adalah pengendalian Aphis dengan menggunakan tabuhan chalcid atau pengendalian kutu yang menyerang jeruk dengan menggunakan tabuhan Aphytes.
Selain menggunakan parasit dan predator, untuk menekan populasi serangga hama dapat pula memanfaatkan beberapa pathogen penyebab penyakit pada serangga. Seperti halnya dengan binatang lain, serangga bersifat rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri, cendawan, virus dan protozoa. Pada kondisi lingkungan yang cocok beberapa jenis penyakit akan menajdi wabah epidemis. Penyakit tersebut secara drastis mampu menekan populasi hama hanya dalam beberapa hari.
Beberapa jenis bakteri, misal Bacillus thuringiensis secara komersial diperdagangkan dalam bentuk spora, dan bakteri ini dipergunakan untuk menyemprot tanaman seperti halnya insektisida. Yang bersifat rentan terhadap bahan ini adalah fase ulat, dan bilamana ulat-ulat itu makan spora, maka akhirnya bakteri akan berkembang di dalam usus serangga hama, akhirnya bakteri itu menembus usus dan masuk ke dalam tubuhnya, sehingga akhirnya larva akan mati.
Jamur dapat pula digunakan untuk mengendalikan serangga hama, sebagai contoh Entomorpha digunakan untuk mengendalikan Aphis yang menyerang alfafa; spesies Beauveria untuk mengendalikan ulat dan Metarrhizium anisopliae sekarang sudah dikembangkan secara masal dengan medium jagung. Jamur ini digunakan untuk mengendalikan larva Orycetes rhinoceros yang imagonya merupakan penggerek pucuk kelapa.
Lebih dari 200 jenis virus mampu menyerang serangga. Jenis virus yang telah digunakan untuk mengendalikan hama adalah Baculovirus untuk menekan populasi Orycetes rhinoceros; Nuclear polyhidrosis virus yang telah digunakan untuk mengendalikan hama Heliothis zeae pada tongkol jagung, bahan tersebut telah banyak digunakan di AS, Eropa dan Australia. Virus tersebut masuk dan memperbanyak diri dalam sel inang sebelum menyebar ke seluruh tubuh. Inti dari sel – sel yang terserang menjadi besar, kemudian virus tersebut menuju ke rongga tubuh akhirnya inang akan mati.
Metode pengelolaan agen pengendali biologi terhadap serangga hama meliputi :
1. Introduksi, yakni upaya mendatangkan musuh alami dari luar (exotic) ke wilayah yang baru (ada barier ekologi).
2. Konservasi, yakni upaya pelestarian keberadaan musuh alami di suatu wilayah dengan antara lain melalui pengelolaan habitat.
3. Augmentasi, parasit dan predator lokal yang telah ada diperbanyak secara massal pada kondisi yang terkontrol di laboratorium sehingga jumlah agensia sangat banyak, sehingga dapat dilepas ke lapangan dalam bentuk pelepasan inundative.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar